Mencari makalah yang lain :

Google
 

Sunday, March 25, 2007

MENYEIMBANGKAN TAUHID INDIVIDUAL DAN TAUHID SOSIAL


Oleh: Amir Tajrid, M.Ag.

(Alumni Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, sekarang Staf pengajar di STAIN Samarinda, direktur kajian pada Pusat Pengembangan Masyarakat Indonesia (BARNEA Center) Kalimantan Timur).

“Wama khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun”.

Artinya: “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk menyembah-Ku”.

Cuplikan ayat di atas, menegaskan bahwa manusia sebagai hamba Allah SWT. mempunyai tugas utama menyambah kepada-Nya. Substansi ayat tersebut sayogjanya tidak dianggap sebagai sebuah slogan saja, yang kosong dari perilaku nyata. Sebab ibadah yang kita lakukan kepada sang Khalik merupakan sebuah bentuk kepatuhan hamba kepada Tuhannya. Kepatuhan hanya kepada sang Khalik (bukan kepada yang lain) ini, menunjukkan tidak adanya sekutu baginya. Ini berarti dalam segala tindakan dan perilaku yang kita lakukan harus selalu mencerminkan nilai-nilai tauhid sebagaimana yang diajarkan oleh baginda Rasulillah SAW.

Sebagaimana diketahui bahwa diutusnya Rasulullah SAW. di muka bumi ini adalah untuk menyampaikan risalah tauhid. Yakni pengakuan terhadap keesaan Allah. Risalah tauhid ini diturunkan karena dilatarbelakangi oleh budaya paganisme (budaya musyrik) yang telah merusak risalah tauhid yang telah dibawa oleh rasul-rasul sebelumnya. Risalah tauhid (yang bernama Islam ini) yang dibawa oleh Rasulullah SAW. secara garis besarnya memuat dua dimensi. Dimensi pertama adalah apa yang disebut dengan hablun minallah. Yakni hubungan antara makhluq dan Khaliqnya atau yang dikenal dengan tauhid individual. Hubungan langsung antara makhluq dan khaliqnya ini dalam Islam juga disebut dengan ibadah makhdhah, ibadah murni. Yakni ibadah-ibadah yang tidak dapat dinalar oleh akal manusia. Hubungan antara manusia sebagai makhluk dengan Allah SWT sebagai Sang Khaliq diatur melalui bidang ilmu tertentu yang disebut dengan fiqh ibadah. Yakni sekumpulan aturan yang digunakan untuk mengatur cara bagaimana manusia berhubungan dengan Allah SWT. Bagaimana cara berwudlu, bagaimana cara shalat, dan lain sebagainya. Tata hubungan yang dilakukan oleh manusia dengan Sang Khaliq dalam rangka menjaga kwalitas keimanan dan nilai-nilai tauhid ini dikenal dengan tauhid individual.

Dimensi kedua adalah apa yang disebut dengan hablun minannas. Yakni hubungan antara makhluq satu dengan makhluq yang lain. Antara manusia satu dengan manusia yang lainnya. Hubungan antar manusia sebagai makhluk sosial. Hubungan ini dikenal dengan istilah tauhid sosial. Penggunaan istilah tauhid sosial dalam konteks ini lebih disebabkan oleh adanya alasan bahwa apapun yang diperbuat manusia dalam hubungannya dengan sesama makhluk lainnya harus bermuara pada nilai-nilai tauhid. Ini berarti tujuan akhir dari apa yang dilakukan oleh manusia adalah kepada Yang Satu. Yakni, demi dan karena Allah bukan karena yang lain.

Sebagaimana halnya tauhid individual, tauhid sosial dalam arti hubungan sosial juga membutuhkan aturan-aturan yang mengatur hubungan tersebut. Dalam istilah fiqh dikenal dengan fiqh mu’amalah atau fiqh sosial, yakni sekumpulan aturan yang mengatur cara bagaimana manusia melakukan interaksi sosial. Berkaitan dengan fiqh mu’amalah atau fiqh sosial ini, terdapat pemahaman yang salah di kalangan masyarakat kita. Selama ini mereka memandang bahwa fiqh mu’amalah atau fiqh sosial hanya menyangkut soal-soal yang berhubungan dengan perdagangan. Padahal tidak demikian, fiqh sosial mengatur seluruh hubungan sosial manusia tidak hanya sebatas perdagangan, tetapi juga mengatur berbagai bentuk hubungan yang lain. Bagiamana cara berhubungan, berperilaku, dan bersikap dengan keluarga, tetangga, alam lingkungannya dan lain-lainnya. Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang harmonis, maka harus ada upaya pembaharuan pemahaman yang keliru tersebut.

Keberadaan tauhid individual dan tauhid sosial (yang sudah diatur dalam fiqh individual dan sosial) harus berjalan secara bergandengan dan bersama-sama. Di sana harus terjadi sebuah keseimbangan dalam tata kehidupan seorang muslim. Sebab tidak bisa dikatakan sebagai seorang muslim yang sempurna jika salah satu hubungan tersebut tidak berjalan secara baik dan seimbang. Misalnya, seseorang baik dalam tauhid individualnya, tetapi tauhid sosialnya kurang baik. Atau sebaliknya tauhid sosialnya baik, tapi tauhid individualnya masih dipertanyakan. Jika demikian, maka di sana akan terjadi sebuah ketidakseimbangan. Mungkin di mata manusia ia dikenal sebagai seorang yang baik dan dermawan. Tetapi di mata Allah SWT ia bukanlah orang yang baik. Atau sebaliknya ia di mata Allah SWT. adalah baik, tetapi lantaran hubungan sosialnya kurang baik maka ia dicap masyarakat sebagai orang yang tidak baik. Yang pada akhirnya dapat menimbulkan prasangka buruk yang berujung pada perbuatan dosa. Untuk menghindarinya, sudah barang tentu mereka yang mempunyai pikiran sehat dapat dipastikan memilih baik pada kedua dimensi tersebut. Yakni baik di sisi Allah dan juga baik di sisi sesamanya.

Penegasan mengenai keseimbangan tauhid individual dan tauhid sosial ini, dapat kita analisa melalui teks al-Qur’an. Di dalam teks sakral al-Qur’an banyak sekali kita temukan kata amanu yang digandeng dengan kata amilussalihat. Diantaranya adalah ayat:

“Walladzina amanu waamilussalihati ulaika ashabul jannati hum fiha khalidun”.

Artinya: “Dan orang-orang yang telah beriman dan telah berbuat kabijan, mereka itu adalah ahli surga, dan mereka kekal di dalamnya”.

Ayat lainnya adalah:

“Walladzina amanu waamilussalihati sanudhiluhum jannatin tajri mintahtihal anharu khalidina fiha abada lahum fiha azwajun mutahharatun wanudkhiluhum dhillan dhalila”.

Artinya: “Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan akan Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir dari bawahnya sungai-sungai kekal dan abadi di dalamnya. Baginya di dalamnya isteri-isteri yang disucikan dan Aku akan memasukkan mereka ke dalam perlindungan-Ku”.

Berdasarkan kedua ayat di atas ditemukan dua kata yang selalu bergandengan. Yaitu kata amanu yang berarti berkaitan dengan persoalan keimanan yang bersifat individual. Sebab hakekat keimanan ini hanya seseorang mukmin dan Allah SWT. yang tahu. Hanya Allah saja yang mengetahui gerak hati seseorang. Dan kata amilussalihat : berbuat kebajikan, yang berarti berkaitan dengan berbuat baik dan menjaga keharmonisan alam, terutama melakukan hubungan dengan sesama manusia sebagai makhluk sosial.

Sebagaimana diketahui bahwa Islam sangat menjujung tinggi nilai-nilai universal diantaranya adalah nilai balancing. Nilai balancing atau keseimbangan ini juga berlaku pada kedua hubungan tersebut, yakni hubungan tauhid sosial dan tauhid individul. Urgensi (arti penting) balancing ini, terutama yang menyangkut hubungan sosial sangat ditekankan oleh Islam. Sebab terciptanya hubungan sosial yang harmonis merupakan pilar utama terbentuknya masyarakat yang berperadaban. Islam tidak saja mengatur hubungan antar masyarakat sesama muslim, tetapi Islam juga mengatur hubungan masyarakat muslim dengan masyarakat non muslim. Bahkan Islam juga mengatur hubungan internasional. Yakni hubungan negara Islam dangan negara yang lain. Sebagaimana yang terlihat dalam dinasti Abbasiyah Islam yang berpusat di Baghdad.

Hubungan sosial antar sesama muslim sebagaimana yang tergambar dalam sabda Rasulullah SAW dikatakan, bahwa seorang muslim adalah saudara bagi seorang muslim lainnya, ibarat sebuah bangunan atau seperti satu jasad. Jika salah satu anggotanya tersakiti maka anggota yang lain pun ikut merasa sakit. Ibarat bangunan rumah maka peran yang dimainkan oleh umat Islam sebagai makhluk sosial tentunya tidak sama. Masing-masing mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda dan tidak seragam. Masing-mesing berperan sesuai dengan status yang dimilikinya. Perbedaan status dan peran ini disebabkan oleh perbedaan kemampuan yang dimiliki oleh mereka. Oleh karena itu masing-masing harus taat dan patuh sesuai dengan tanggungjawab yang diembannya. Mereka yang menjadi pedagang, silahkan menjadi pedagang yang baik dan jujur. Mereka yang menjadi guru silahkan melakukan tugas mengajarnya dengan baik dan bertanggung jawab. Mereka yang menjadi nelayan silahkan menjadi nelayan yang baik. Demikian juga mereka yang menjadi DPR silahkan menjadi anggota dewan yang baik. Tidak hanya sekedar menuntut haknnya saja tetapi juga menjalankan kewajibannya. Yakni memperjuangkan hak-hak dan aspirasi masyarakat yang diwakilinya.

Namun demikian, dari berbagai macam latar belakang yang berbeda-beda ini harus tetap kompak menjalankan kwajibannya masing-masing. Sehingga tercipta sebuah tatanan masyarakat yang harmonis.

Hubungan sosial selanjutnya adalah hubungan sosial antara masyarakat nuslim dengan masyarakat non muslim. Dalam sejarah Islam sebagai yang ditulis oleh penulis-penulis muslim ternama, seperti Ahmad Amin dalam kitabnya Dhuha al-Islam dan Fajrul Islam atau penulis orientalis, seperti Marshall G.S Hodgson dalam bukunya The Venture of Islam, atau Ira M. Lapidus dalam bukunya Sejarah Sosial Umat Islam, dikatakan bahwa, di sana telah terjadi adanya hubungan yang harmonis antara masyarakat muslim dan non muslim dengan terwujudnya jaminan kesalamatan pada jiwa atau harta benda masyarakat non muslim. Bahkan mereka diberi kebebasan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya masing-masing. Mereka dijaga keselamatannya berdasarkan undang-undang yang berlaku. Tidak ada pemaksaan dan perampasan hak asasi mereka. Oleh karenanya berdasarkan fakta-fakta sejarah ini, kita sebagai umat Islam harus berjiwa besar dengan memberikan pengayoman pada saudara-saudara kita yang beda agama dan pada saudara-saudara kita yang minoritas dalam masyarakat kita. Sebagai kelompok mayoritas umat Islam senantiasa harus menebarkan kenyamanan dan kedamaian dalam masyarakat.

Hubungan sosial selanjutnya adalah hubungan internasional. Islam belasan abad yang lalu telah merumuskan sistem hubungan ini. Dalam sejarah dikatakan bahwa ulama yang pertama kali merumuskan sistem hubungan internasional ini adalah Imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah merumuskan dasar-dasar hubungan internasional ini dengan mendiktekan pemikiran-pemikirannya kepada murid-murid utamanya seperti Imam Abu Yusuf, Muhammad Ibnul Hasan al-Syaibany, dan lain sebagainya. Salah satu usaha pembukuan dasar-dasar hubungan internasional ini, kemudian dilakukan oleh kedua murid tersebut. Diantara buku yang sampai kepada kita yang mengatur hubungan internasional ini adalah kitab al-Radd ala Siyar al-Awza’I yang ditulis oleh Imam Abu Yusuf yang diangkat sebagai hakim agung (qadhi al-qudhat) pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Buku ini mejelaskan secara mendetail sikap-sikap yang dimiliki oleh negara muslim hubungannnya dengan negara tetangganya, disertai dengan bebarapa pemikiran para pakar hukum Islam pada saat itu seperti Imam Abdurrahman al-Awza’i seorang Jurist berkebangsaan Syam, sekarang Syiria atau Suriah. Diantara aturan-aturan yang harus dijunjung tinggi adalah aturan yang berkaitan dengan permasalahan etika dalam berperang, memperlakukan tawanan musuh, akad perjanjian dengan negara lain, perdagangan, kerjasama politik, mematuhi kesepakatan bersama, perjanjian tukar menukar tawanan, dan lain sebagainya.

Dengan melihat beberapa uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa Islam sebagai agama samawi terakhir telah memuat aturan yang diperlukan oleh manusia baik dalam hubungannnya dengan Tuhan atau dalam hubungannya dengan sesama manusia sebagai makhluk sosial, yang disebut dengan fiqh sosial dan fiqh individual. Aturan-aturan ini diciptakan sebagai upaya membimbing manusia menuju kebahagian dunia dan akherat. Berpijak pada aturan-aturan tersebut, dapat dijadikan sebagai masukan dan motivasi pada segenap individu untuk selalu berupaya menebarkar rasa aman dan kedamaian hidup dalam masyarakat Indonesia yang majmuk. Upaya ini dapat di mulai dari kelompok yang paling kecil, seperti keluarga, kemudian meningkat pada kelompok masyarakat yang lebih besar.

Sebagai kesimpulan dari tulisan yang pendek ini, dengan melihat uraian yang telah disampaikan di atas dan untuk mewujudkan masyarakat yang harmonis, kiranya sangat penting bagi kita untuk senantiasa sadar dan menjaga keseimbangan hubungan, baik hubungan dengan Tuhan maupun hubungan sesama manusia dan alam lingkungannya. Dangan kata lain mari kita jaga keseimbangan tauhid sosial dan tauhid individual untuk meraih kebahagian dunia dan akherat. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Friday, March 23, 2007

KEPEMIMPINAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR`AN

(Analisis atas Penafsiran Para Ulama Tentang Ayat-ayat Kepemimpinan)
Subhan*

Abstrak: Tulisan ini membahas tentang kepemimpinan dalam al-Qur`an. Term yang digunakan al-Qur`an untuk menjelaskan tentang kepemimpinan adalah khalifah, ulu al-amr, imam dan malik. Keempat term tersebut terkait dengan makna pemimpin sesuai dengan konteks ayatnya. Dari ayat-ayat tentang kepemimpinan, para ulama memberikan penafsiran tentang konsep kepemimpinan bahwa makna kepemimpinan dalam al-Qur`an itu mencakup seluruh pengertian pemimpin meliputi pemimpin risalah, pemimpin kekhalifahan, pemimpin shalat dan semua imamah atau kepemimpinan. Adapun tugas para pemimpin adalah menyeru kebajikan, menegakkan keadilan dan mencegah kedzaliman.

Kata Kunci: Kepemimpinan, khalifah, ulu al-amr, imam dan malik.

PENDAHULUAN

Sejarah telah mencatat bahwa diantara persoalan-persoalan yang diperselisihkan pada hari-hari pertama sesudah wafatnya Rasulullah SAW adalah persoalan politik atau yang biasa disebut persoalan al-Imamah (kepemimpinan).[1] Meskipun masalah tersebut berhasil diselesaikan dengan diangkatnya Abu Bakar (w. 13 H/634 M) sebagai khalifah, namun dalam waktu tidak lebih dari tiga dekade masalah serupa muncul kembali dalam lingkungan umat Islam. Kalau pada pertama kalinya, perselisihan yang terjadi adalah antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar, maka pada kali ini perselisihan yang terjadi adalah antara khalifah Ali bin Abi Thalib (w. 41 H/661 M) dan Mu`awiyah bin Abi Sufyan (w. 64 H/689 M) dan berakhir dengan terbunuhnya khalifah Ali dan bertahtanya Mu`awiyah sebagai khalifah dan pendiri kerajaan Bani Umayyah.[2]

Mencuatnya persoalan-persoalan tersebut dikarenakan al-Qur`an maupun al-Hadis sebagai sumber hukum Islam tidak memberikan penjelasan secara pasti mengenai sistem pemerintahan dalam Islam, konsepsi kekuasaan dan kedaulatan serta ide-ide tentang konstitusi.[3]

Term bahasa Arab yang secara eksplisit bermakna negara atau pemerintahan (Daulah dan Hukumah) tidak pernah disebut-sebut oleh al-Qur`an dengan pasti. Selain itu Nabi sendiri tidak memberikan konsep pemerintahan yang baku dan mapan. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pemerintahan memiliki peluang yang besar untuk dikembangkan. Demikian pula bentuk negara dalam Islam bukan merupakan hal yang essensial, karena yang essensial adalah unsur-unsur, sendi-sendi, dan prinsip-prinsip dalam menjalankan pemerintahan.[4]

Perkembangan yang baru, terjadi dalam abad XIX akibat terjadinya kontak peradaban dengan dunia Barat. Kaum pembaru dalam dunia Islam berusaha melakukan pembaruan dengan menerapkan nilai-nilai Barat atau dengan menggali dan mengkaji ulang ajaran-ajaran Islam ataupun dengan memadu kedua unsur-unsur tersebut. Gerakan pembaruan ini berdampak antara lain dalam kehidupan politik. Kerajaan Turki Usmani yang dipandang sebagai khilafah dan pemerintahan Islam sedunia tidak dapat mempertahankan eksistensinya, ia dibubarkan pada bulan Maret 1924 setelah pembentukan Negara nasional sekuler Republik Turki tanggal 29 Oktober 1923.[5] Dengan demikian institusi yang dipandang sebagai lambang supremasi politik Islam telah lenyap.[6]

Pemikiran politik sesungguhnya telah dikenal oleh sejarah sejak zaman Yunani kuno. Karya-karya besar sebagai perintis telah ditulis misalnya buku The Republic[7] karya Plato (428/7-348/7 SM) dan buku Politics[8] dari Aristoteles (384-322 SM). Kedua karya ini kemudian terlihat mempengaruhi pemikiran filosof muslim seperti al-Farabi (260-339 H/870-950 M), Ibnu Sina (370-428 H/980-1037 M), Ibnu Bajah (w. 1138 M), dan Ibnu Rusyd (520-595 H/1126-1198 M).[9] Meskipun demikian, ini tidak berarti bahwa pemikiran politik yang berkembang dalam dunia Islam hanya diilhami oleh pemikiran Barat, sebab sebelum munculnya kaum filosof muslim tersebut pemikiran politik telah dikenal dalam lingkungan fuqaha seperti Abu Hanifah (80-150 H/699-769 M) dan Abu Yusuf (l. 117 H/731 M).[10] Demikian pula dalam karya Imam Syafi`i (150-204 H), pemikiran politik dapat ditemukan,[11] hanya saja sebagai faqih, pemikiran mereka bersifat legalistik normatif karena berakar pada teks-teks al-Qur`an dan Sunnah. Namun memasuki abad V H, pemikiran legalistik normatif ini mengambil pula unsur kesejarahan seperti yang tampak dalam karya Ali bin Muhammad al-Mawardi (w. 450 H)[12] dan al-Farra (w. 458 M).[13] Pemikiran yang legalistik tetapi memiliki dasar filsafat moral terlihat dalam karya Imam al-Ghazali (450-505 H/1058-1111 M)[14] dan pemikiran sosiologis historis dikemukakan oleh Abd al-Rahman bin Khaldun (732-808 H/1332-1406 M).[15]

Kemunduran kerajaan-kerajaan besar Islam dalam abad XVIII membangunkan dunia Islam untuk mengamati dan mempelajari kekalahannya dan mencari pemecahan masalah yang dihadapi. Kerajaan Turki Usmani mencoba mengambil peradaban Barat yang lebih maju terutama dalam bidang teknik dan kemiliteran.[16] Sedang di India tampil Ahmad Syah Waliyullah bin Abd al-Rahman al-Dahlawi (1703-1762 M) mengemukakan gagasan agar sistem pemerintahan yang telah dikembangkan oleh al-Khulafa` al-Rasyidun (para khalifah yang mendapat petunjuk).[17]

Pemikiran politik yang berkembang dalam dua abad berikutnya bercabang dari dua pola pemikiran di atas. Pengambilan dan penerapan nilai-nilai kebudayaan Barat (Westernisasi) dapat dibedakan atas bentuk ekstrem dan bentuk moderat. Westernisasi ekstrem terlihat dalam Kemalism (Aliran Kemalis, Kemalisme) yang berhasil mendirikan Republik Turki (1923 M) dan membebaskan segala institusi politik dari kekuasaan agama.[18] Sedangkan Westernisasi moderat terlihat dalam pemikiran kelompok Turki Muda, khususnya pada tokoh-tokoh seperti Ahmad Riza (1859-1931 M) dan Pangeran Sahabuddin (1877-1948 M). Mereka ingin menerapkan nilai-nilai kebudayaan Barat yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam seperti ajaran konstitusi dan ajaran mengenai pengembangan kemampuan berdiri sendiri.[19] Pada sisi lain aliran yang bertumpu pada ajaran Islam dapat pula dibedakan atas pemikiran yang ingin mengembalikan ajaran Islam yang bersumber al-Qur`an dan Sunnah dan yang bersumber dari fiqih para imam madzhab dan para mujtahid pengikut mereka dan pemikiran yang bermaksud mengembangkan konsepsi-konsepsi dari al-Qur`an dan Sunnah. Aliran pertama yang dapat disebut sebagai aliran tradisional dalam konteks pembaharuan di Turki terlihat dalam pemikiran Nemik Kemal (1840-1888 M). Meskipun ia menghendaki pembaruan, tetapi ia tetap mempertahankan tradisi-tradisi yang ada.[20] Aliran kedua yang dapat disebut dengan meminjam istilah Linguistik sebagai “Puritanisme”, atau mempertahankan kemurnian.[21] Jamal al-Din al-Afghani (1839-1877 M) yang menjadi pelopor Pan Islamisme adalah contoh pemikir puritanisme dari kalangan pembaru di Mesir.[22]

Dari latar belakang di atas, penulis mencoba untuk mengungkapkan konsep kepemimpinan dalam perspektif al-Qur`an, yang membahas tentang term-term kepemimpinan dalam al-Qur`an dan penafsiran para ulama atas ayat-ayat kepemimpinan.

PENGERTIAN DAN TERM-TERM PEMIMPIN

Al-Qur`an menggunakan Khalifah, Ulu al-Amri, Imam dan Malik untuk pengertian pemimpin. Berikut ini akan diuraikan pengertian term-term tersebut satu persatu.

A. Khalifah

Dilihat dari segi bahasa, term khalifah akar katanya terdiri dari tiga huruf yaitu kha`, lam dan fa. Makna yang terkandung didalamnya ada tiga macam yaitu mengganti kedudukan, belakangan dan perubahan.[23]

Dari akar kata di atas, ditemukan dalam al-Qur`an dua bentuk kata kerja dengan makna yang berbeda. Bentuk kata kerja yang pertama ialah khalafa-yakhlifu dipergunakan untuk arti “mengganti”, dan bentuk kata kerja yang kedua ialah istakhlafa-yastakhlifu[24] dipergunakan untuk arti “menjadikan”.[25]

Pengertian mengganti di sini dapat merujuk kepada pergantian generasi ataupun pergantian kedudukan kepemimpinan. Tetapi ada satu hal yang perlu dicermati bahwa konsep yang ada pada kata kerja khalafa disamping bermakna pergantian generasi dan pergantian kedudukan kepemimpinan, juga berkonotasi fungsional artinya seseorang yang diangkat sebagai pemimpin dan penguasa di muka bumi mengemban fungsi dan tugas-tugas tertentu.[26]

Bentuk jamak dari kata khalifah ialah khalaif dan khulafa. Term khalaif dipergunakan untuk pembicaraan dalam kaitan dengan manusia pada umumnya dan orang mukmin pada khususnya. Sedangkan khulafa dipergunakan oleh al-Qur`an dalam kaitan dengan pembicaraan yang tertuju kepada orang-orang kafir.[27]

B. Ulu al-Amr

Istilah Ulu al-Amr terdiri dari dua kata Ulu artinya pemilik dan al-Amr artinya urusan atau perkara atau perintah. Kalau kedua kata tersebut menjadi satu, maka artinya ialah pemilik urusan atau pemilik kekuasaan. Pemilik kekuasaan di sini bisa bermakna Imam dan Ahli al-Bait, bisa juga bermakna para penyeru ke jalan kebaikan dan pencegah ke jalan kemungkaran, bisa juga bermakna fuqaha dan ilmuan agama yang taat kepada Allah SWT.[28]

Dilihat dari akar katanya, term al-Amr terdiri dari tiga huruf hamzah, mim dan ra, ketiga huruf tersebut memiliki lima pengertian, yaitu; perkara, perintah, berkat, panji dan keajaiban.[29]

Kata al-Amr itu sendiri merupakan bentuk mashdar dari kata kerja Amara-Ya`muru artinya menyuruh atau memerintahkan atau menuntut seseorang untuk mengerjakan sesuatu. Dengan demikian term Ulu al-Amr dapat kita artikan sebagai pemilik kekuasaan dan pemilik hak untuk memerintahkan sesuatu. Seseorang yang memiliki kekuasaan untuk memerintahkan sesuatu berarti yang bersangkutan memiliki kekuasaan untuk mengatur dan mengendalikan keadaan.[30]

C. Imam

Kata Imam berakar dari huruf hamzah dan mim, kedua huruf tersebut mempunyai banyak arti, diantaranya ialah pokok, tempat kembali, jama`ah, waktu dan maksud.[31]

Para ulama mendefinisikan kata Imam itu sebagai setiap orang yang dapat diikuti dan ditampilkan ke depan dalam berbagai permasalahan, misalnya Rasulullah itu adalah imamnya para imam, khalifah itu adalah imamnya rakyat, al-Qur`an itu adalah imamnya kaum muslimin.[32]

Adapun sesuatu yang dapat diikuti dan dipedomani itu tidak hanya manusia, tapi juga kitab-kitab dan lain sebagainya. Kalau dia manusia, maka yang dapat diikuti dan dipedomani ialah perkataan dan perbuatannya. Kalau dia kitab-kitab, maka yang dapat diikuti dan dipedomani ialah ide dan gagasan-gagasannya. Tetapi jangan lupa, bahwa sesuatu yang dapat diikuti itu terbagi pada dua macam, dalam hal kebaikan dan keburukan.[33]

D. Malik

Akar kata al-Malik terdiri dari tiga huruf, yaitu mim, lam dan kaf, artinya ialah kuat dan sehat. Dari akar kata tersebut terbentuk kata kerja Malaka-Yamliku artinya kewenangan untuk memiliki sesuatu. Jadi term al-Malik bermakna seseorang yang mempunyai kewenangan untuk memerintahkan sesuatu dan melarang sesuatu dalam kaitan dengan sebuah pemerintahan. Tegasnya term al-Malik itu ialah nama bagi setiap orang yang memiliki kemampuan di bidang politik pemerintahan.[34]

PENAFSIRAN ATAS AYAT-AYAT KEPEMIMPINAN

Penelitian terhadap kitab-kitab tafsir al-Qur`an menunjukkan adanya ide-ide yang berkenaan dengan kecenderungan perkembangan pemikiran politik para mufassir. Hal ini terlihat dalam perbedaan pendapat mereka sebagai akibat perbedaan metode dan corak tafsir mereka.

Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H) yang menggunakan unsur kebahasaan disamping unsur riwayat dalam menafsirkan al-Qur`an mengemukakan konsep yang relevan dengan negara kesejahteraan. Ia menyatakan bahwa raja adalah penyelenggara kesejahteraan rakyat dan penduduk negerinya. Ia bertugas mengatur urusan mereka, menutup jalan-jalan yang menjurus kepada kelaliman, mencegah orang berbuat aniaya dan membela rakyat dari perbuatan yang melampaui batas.[35]

Mahmud bin Umar al-Zamakhsyari (467-538 H/1027-1144M) menekankan aspek kesusastraan Arab dan dukungan terhadap aliran teologi Mu`tazilah mengemukakan konsep Negara moral. Ia menegaskan bahwa eksistensi Imamah adalah untuk menolak kedzaliman.[36] Imam berfungsi sebagai panutan penyeru kebajikan dan sebagai pemerintah,[37] karena itu ia wajib memerintah dengan menegakkan keadilan dan kebenaran dan melarang kemunkaran.[38]

Berbeda dengan dua mufassir terdahulu, Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi (w. 671 H) dan Isma`il bin Katsir (w. 774 H) mengemukakan pemikiran legalistik meskipun metode yang mereka pergunakan berbeda. Al-Qurthubi yang menekankan pembahasannya pada aspek hukum Islam (fiqih) menggunakan kaidah-kaidah dan pengertian kebahasaan dan analisis perbandingan membahas soal Imamah mengikuti sistematik pembahasan fiqih.[39] Ibnu Katsir yang menulis tafsirnya dengan metode seperti yang dipergunakan Ibnu Jarir mengemukakan pula uraian tentang Imamah seperti analisis al-Qurthubi, ia juga menambahkan argumentasi pentingnya Imamah berdasarkan dalil rasional.[40]

Pemikiran yang berbeda dikemukakan pula oleh Muhammad Abduh (1849-1905 M) seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M) dalam tafsir al-Manar. Penggunaan pendekatan sosio-kultural[41] olehnya menghasilkan konsepsi politik yang bercorak sosiologis dan lebih mendalam karena pengaruh pemikiran Barat. Dengan mengutip pandangan filosof bahwa manusia adalah makhluk politik,[42] ia juga mengemukakan bahwa perekat sosial yang universal adalah kebutuhan hidup. Karena itu eksistensi manusia sebagai umat tidaklah berdasarkan agama.[43]

Sebagaimana Muhammad Abduh yang terpengaruh dengan pemikiran Barat, Sayyid Quthb yang pernah mengenyam pendidikan di Barat dan bersentuhan langsung dengan politik Barat, memberikan penafsiran bahwa kepemimpinan itu adalah hak bagi orang-orang yang karena amal dan perbuatannya bukan warisan dari keturunan.[44] Hanya saja dalam penafsirannya Sayyid Quthb nampak lebih menonjolkan pembelaannya terhadap Islam. Hal ini terlihat ketika dia menyatakan bahwa terjauhnya kaum Yahudi dari kepemimpinan dan yang berhak untuk menjadi pemimpin adalah umat Islam yang sesuai dengan manhaj (aturan) Allah.[45] Kepemimpinan menurut Sayyid Quthb meliputi pemimpin risalah, pemimpin kekhalifahan, pemimpin shalat dan semua imamah atau kepemimpinan. Sebagaimana al-Zamakhsyari, Sayyid Quthb mengungkapkan konsep keadilan bagi para pemimpin dan jika pemimpin itu melakukan kedzaliman maka lepaslah dirinya dari hak kepemimpinan.[46]

PENUTUP

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa term yang digunakan al-Qur`an untuk menjelaskan tentang pemimpin adalah khalifah, ulu al-amr, imam dan malik. Adapun penafsiran para ulama atas ayat-ayat kepemimpinan itu terkait dengan latarbelakang mufasir, metode dan corak yang digunakan. Walaupun pada akhirnya menghasilkan penafsiran tentang kepemimpinan yang hampir sama yang pada intinya berpendapat bahwa seorang pemimpin itu harus menyeru kebajikan, menegakkan keadilan dan menolak kedzaliman.

DAFTAR PUSTAKA

Abu al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim bin Abi Bakar Ahmad al-Syahratsani, al-Milal wa al-Nihal, Mesir : Mushtafa al-Babi wa Auladuh, Cet. I, 1387 H.

Abu al-A`la al-Maududi, Abu Hanifah and Abu Yusuf dalam M.M. Sharif (ed.) A. History of Muslim Phylosophy, Wies Baden : Otto Harrassowits, Cet. I, 1963.

Abu Abdillah Muhammad Idris al-Syafi`i, al-Umm, Beirut : Dar al-Fikr, Cet. I, 1403 H/1983 M.

Al-Syafi`i, al-Fiqh al-Akbar dalam Abu Hanifah al-Nu`man al-Fiqh al-Akbar, Mishr : al-`Amirah al-Syarqiyah, 1324 H.

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya `Ulum al-Din, al-Qahirah : Muassasah al-Halabi wa Syarikah, Cet. I, 1387 H/1967 M.

Abi al-Husain Ahmad Ibn Faris Zakariyya, Mu`jam Maqayis al-Lughah, Juz II, t.tp., : Dar al-Fikr, 1979.

Abd Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur`an, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994.

Al-Raghib al-Ashfahani, Mufradat Alfadz al-Qur`an, Damsyiq : Dar al-Qalam, 1992.

Abu Ja`far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami` al-Bayan al-Ta`wil fi Tafsir al-Qur`an, Mishr : Mushtafa al-Bab al-Halabi wa Auladuh, Cet. VII, 1373 H/1954 M.

Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, al-Jami` li Ahkam al-Qur`an, Mishr : Dar al-Katib al-Arabi, Cet. I, 1967.

Abd al-Jabbar bin Ahmad, Syarh al-Ushul al-Khamsah, al-Qahirah : Maktabah al-Wahdah, 1965.

Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu`i, yang diterjemahkan oleh Suryan A. Jamrah dalam Metode Tafsir Maudhu`i Suatu Pengantar, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996.

B. Jowett and T. Twinning, Ariestotele`s Politics and Poetics, New York : The Viking Press, 1957.

E.I.J. Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam, London : Cambridge University Press, 1962.

Harun Nasution dan Azyumardi Azra, Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta : Yayasan Obor, 1985.

Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta : Bulan Bintang, 1975.

Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, Jakarta : Gramedia, 1983.

Muhammad Imarah, al-`A`mal al-Kamilah li Jamal al-Din al-Afghani, t.tp. : Dar al-Katib al-`Arabi, t.t.

J.L. Davies & D.J. Vaughan, The Republic of Plato, London : Macmillan and co. Limited, 1950.

M. Sirojuddin Syamsuddin, “Pemikiran Politik” (Aspek yang Terlupakan dalam Sistem Pemerintahan Islam), dalam Refleksi Pembaharuan Islam, Jakarta : LSAF, 1989.

Mahmud bin Umar al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf an Haqaiq al-Tanzil wa Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta`wil, Mishr : Mushtafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, Cet. I, 1972.

M. Quraish Shihab, Metode Penyusunan Tafsir yang Berorientasi pada Sastra, Budaya dan Kemasyarakatan, Ujung Pandang : IAIN Alauddin, 1984.

Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur`an al-Hakim, Mishr : Maktabat al-Qahirah, t.t., Cet. II.

Muhammad Fuad Abd al-Baqi, al-Mu`jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur`an al-Karim, Beirut : Dar al-Fikr, Cet. IV, 1997 M/1418 H, hal. 303-306.

Nizayi Berkes, The Development of Secularism in Turkey, Montrel : Mc Gill University Press, 1964.

Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur`an, Jilid I, Kairo : Dar al-Syuruq, Cet. XVIII, 1412 H/1992 M.

Thomas W. Arnold, The Caliphate, London : Routledge & Kegan Paul Ltd., 1967.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1988.

Wayne S. Vucinich, The Ottoman Empire, Its Record and Legacy, Toronto : D. Van Nostron Co. Inc., 1955.


* Penulis adalah Dosen STAIN Samarinda dan tengah menyelesaikan Program Doktor Konsentrasi Tafsir Hadis di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

[1] Abu al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim bin Abi Bakar Ahmad al-Syahratsani, al-Milal wa al-Nihal, Mesir : Mushtafa al-Babi wa Auladuh, 1387 H, Cet I, hal. 24.

[2] Ibid.

[3] M. Sirojuddin Syamsuddin, “Pemikiran Politik” (Aspek yang Terlupakan dalam Sistem Pemerintahan Islam), dalam Refleksi Pembaharuan Islam, Jakarta : LSAF, 1989, hal. 252.

[4] Harun Nasution dan Azyumardi Azra, Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta : Yayasan Obor, 1985, hal. 10.

[5] Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta : Bulan Bintang, 1975, hal. 154.

[6] Thomas W. Arnold, The Caliphate, London : Routledge & Kegan Paul Ltd., 1967, hal. 180.

[7] Karya tersebut dalam bentuk dialog filosofis tentang keadilan. Menurut Plato, keadilan lebih mudah dipelajari apabila dimulai dari keadilan yang terdapat dalam Negara. Karena itu ia membahas kelahiran sebuah Negara, latar belakang dan tujuan yang hendak dicapai, unsur-unsur dan kriteria yang harus terpenuhi agar terwujud sebuah Negara yang paling baik. Lebih lanjut lihat J.L. Davies & D.J. Vaughan, The Republic of Plato, London : Macmillan and co. Limited, 1950, hal. 53.

[8] Karya ini ditulis oleh Aristoteles berdasarkan hasil penelitiannya terhadap konstitusi negara-negara kota Yunani dan merupakan respons terhadap pemikiran utopi Plato. Buku ini diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dan diterbitkan bersama dengan karya Aristoteles lainnya oleh The Viking Press (1957) dengan judul Aristotele`s Politics and Poetics.

[9] E.I.J. Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam, London : Cambridge University Press, 1962, hal. 122-202.

[10] Abu al-A`la al-Maududi, Abu Hanifah and Abu Yusuf dalam M.M. Sharif (ed.) A. History of Muslim Phylosophy, Wies Baden : Otto Harrassowits, 1963, Cet I, hal. 674-702.

[11] Lihat Abu Abdillah Muhammad Idris al-Syafi`i, al-Umm, Beirut : Dar al-Fikr, 1403 H/1983 M, Cet. I, hal. 188-190. Lihat juga al-Syafi`i, al-Fiqh al-Akbar dalam Abu Hanifah al-Nu`man, al-Fiqh al-Akbar, Mishr : al-`Amirah al-Syarqiyah, 1324 H, hal. 38-40.

[12] Pemikiran politik al-Mawardi tertuang dalam kitabnya yang berjudul al-Ahkam al-Sulthaniyah wa al-Wilayah al-Diniyah, yang memuat hukum-hukum ketatanegaraan.

[13] Karya al-Farra juga berjudul al-Ahkam al-Sulthaniyah, seperti halnya karya al-Mawardi di atas, kitab ini memuat pula hukum-hukum tatanegara dengan sistematik yang tak jauh berbeda. Hanya sebagai pengikut madzhab Hambali, kitab tersebut memuat pula pandangan-pandangan Imam Ahmad bin Hambal (w. 241 H) mengenai kehidupan politik zamannya.

[14] Lihat Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya `Ulum al-Din, al-Qahirah : Muassasah al-Halabi wa Syarikah, 1387 H/1967 M, Cet I, hal. 23-24.

[15] Pemikiran politik Ibnu Khaldun dapat ditemukan dalam jilid pertama dari kitabnya yang berjudul al-Ibar wa Diwan al-Mubtada` wa al-Khabr fi Ayyam al-`Arab wa al-`Ajam wa al-Barbar wa Man Asharahum min Dzawi al-Muqaddimah Ibnu Khaldun. Jilid ini dikenal juga dengan judul Muqaddimah Ibnu Khaldun dan berisi filsafat sosial dan sejarah.

[16] Harun Nasution, Pembaharuan op. cit., hal. 13-14.

[17] Ibid, hal. 18-21.

[18] Wayne S. Vucinich, The Ottoman Empire, Its Record and Legacy, Toronto : D. Van Nostron Co. Inc., 1955, hal. 183.

[19] Nizayi Berkes, The Development of Secularism in Turkey, Montrel : Mc Gill University Press, 1964, hal. 304-313.

[20] Ibid, hal. 214-215, Harun Nasution, Pembaharuan op. cit., hal. 108-111 dan 135.

[21] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1988, hal. 711. Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, Jakarta : Gramedia, 1983, hal. 141.

[22] Lihat Muhammad Imarah, al-`A`mal al-Kamilah li Jamal al-Din al-Afghani, t.tp. : Dar al-Katib al-`Arabi, t.t. hal. 27.

[23] Abi al-Husain Ahmad Ibn Faris Zakariyya, Mu`jam Maqayis al-Lughah, Juz II, t.tp., : Dar al-Fikr, 1979, hal. 210.

[24] Al-Qur`an menggunakan bentuk istakhlafa-yastakhlifu pada lima ayat (QS. al-Nur;55, al-An`am;133, Hud;57, dan al-A`raf;129), selain itu menggunakan bentuk khalafa-yakhlifu dibanyak ayat, Lihat Muhammad Fuad Abd al-Baqi, al-Mu`jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur`an al-Karim, Beirut : Dar al-Fikr, Cet. IV, 1997 M/1418 H, hal. 303-306.

[25] Lihat Abd Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur`an, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994, hal. 112.

[26] Ibid, hal. 114.

[27] Ibid, hal. 111, Al-Qur`an menggunakan term khalaif sebanyak empat kali (QS. al-An`am;165, Yunus;14, 73 dan Fathir;39) sedangkan term khulafa sebanyak tiga kali (QS. al-A`raf;69, 74 dan al-Naml;62).

[28] Lihat al-Raghib al-Ashfahani, Mufradat Alfadz al-Qur`an, Damsyiq : Dar al-Qalam, 1992, hal. 90.

[29] Ibn Faris, op. cit., hal. 137.

[30] Abd Muin Salim, op. cit., hal. 231.

[31] Ibn Faris, op. cit., Juz I, hal. 21.

[32] Ibid, hal. 28.

[33] Lihat Al-Ashfahani, op. cit., hal. 87.

[34] Lihat Ibn Faris, op. cit., Juz V, hal. 351.

[35] Lihat Abu Ja`far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami` al-Bayan al-Ta`wil fi Tafsir al-Qur`an, Mishr : Mushtafa al-Bab al-Halabi wa Auladuh, 1373 H/1954 M, Cet. VII, hal. 77.

[36] Mahmud bin Umar al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf an Haqaiq al-Tanzil wa Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta`wil, Mishr : Mushtafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1972, Cet I, hal. 309 dan 382.

[37] Ibid, Cet. III, hal. 165.

[38] Ibid, Cet. I, hal. 535.

[39] Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, al-Jami` li Ahkam al-Qur`an, Mishr : Dar al-Katib al-Arabi, 1967, Cet. I, hal. 263-274. Di sini al-Qurthubi mengemukakan beberapa masalah Imamah dengan cara seperti yang terdapat dalam kitab fiqih. Secara berurutan ia mengemukakan hukum mengangkat Imam, cara pengangkatan Imam, penolakan terhadap pemikiran politik syi`ah Imamiah, persaksian akad Imamah, syarat-syarat Imam, pemecatan Imam, ketaatan rakyat dan hukum berbilangnya Imam dalam sebuah wilayah pada waktu yang sama. Metode seperti ini mengingatkan metode al-Mawardi dan al-Farra terdahulu dan dengan demikian al-Qurthubi dapat dipandang sebagai mufassir pertama yang memadukan metode fiqih kedalam tafsir al-Qur`an.

[40] Penggunaan dalil rasional ditemukan dalam pemikiran politik tokoh Mu`tazilah Abd al-Jabbar bin Ahmad (w. 415 H). Lihat Abd al-Jabbar bin Ahmad, Syarh al-Ushul al-Khamsah, al-Qahirah : Maktabah al-Wahdah, 1965, hal. 750-751.

[41] Lihat Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu`i, yang diterjemahkan oleh Suryan A. Jamrah dalam Metode Tafsir Maudhu`i Suatu Pengantar, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996, hal. 29. Lihat juga Quraish Shihab, Metode Penyusunan Tafsir yang Berorientasi pada Sastra, Budaya dan Kemasyarakatan, Ujung Pandang : IAIN Alaudin, 1984, hal. 1. Di sini diungkapkan ciri pendekatan sosio-kultural (Adabi al-Ijtima`i) yaitu mengungkapkan keindahan bahasa al-Qur`an, kemu`jizatannya, hukum alam, hukum kemasyarakatan dan mengatasi masalah sosial dengan petunjuk-petunjuk al-Qur`an serta mengkompromikan antara al-Qur`an dengan pengetahuan yang benar.

[42] Pandangan seperti ini ditemukan dalam pemikiran Ariestoteles “Man is by Nature a Political Animal”, Lihat B. Jowett and T. Twinning, Ariestotele`s Politics and Poetics, New York : The Viking Press, 1957, hal. 5.

[43] Muhammad Abduh mengakui agama sebagai salah satu faktor sosial, tetapi bukanlah yang utama. Pendapatnya ini diperkuat oleh kenyataan adanya berbagai akidah dan perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa manusia bukan satu umat. Dengan begitu ia memasukkan unsur kemanusiaan dalam konsep umat yang sebelumnya hanya dikenal berdasarkan agama. Lihat Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur`an al-Hakim, Mishr : Maktabat al-Qahirah, t.t., Cet. II, hal. 282.

[44] Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur`an, Jilid I, Kairo : Dar al-Syuruq, Cet. XVIII, 1412 H/1992 M, hal. 113

[45] Ibid.

[46] Ibid.

FORMULATOR MADZHAB HANAFI


Oleh: Amir Tajrid, M.Ag.
(Dosen Syari’ah STAIN Samarinda Kalimantan Timur)

Abstract: Artikel ini akan mengkaji dua tokoh penting yang berjasa besar dalam memformulasikan dan mentransmisikan prinsip-prinsip hukum madzhab Hanafi yang secara historis maupun empiris tidak dilakukan sendiri oleh pendirinya. Sebagaimana diketahui, tiga dari empat pendiri (funding fathers) madzhab sunni, Maliki, Syafi’i, dan Hambali, disinyalir mempunyai andil besar dan campur tangan secara langsung terhadap formulasi madzhab yang mereka dirikan. Fakta tersebut dapat dilihat melalui publikasi hasil pemikiran hukumnya dalam beberapa karya yang telah diterbitkan. Fenomena ini agaknya berbeda dengan Abu Hanifah pendiri madzhab Hanafi yang tidak secara langsung melakukan formulasi terhadap madzhabnya.

Keywords: Hukum Islam, Formulasi, Transmisi, Madzhab Hanafi.

I. Pendahuluan

Tiga dari empat pendiri (funding fathers) madzhab sunni, Maliki, Syafi’i, dan Hambali, disinyalir mempunyai andil besar dan campur tangan secara langsung terhadap formulasi madzhab yang mereka dirikan. Fakta tersebut dapat dilihat melalui publikasi hasil pemikiran hukumnya dalam beberapa karya yang telah diterbitkan. Fenomena ini agaknya berbeda dengan Abu Hanifah pendiri madzhab Hanafi yang tidak secara langsung melakukan formulasi terhadap madzhabnya.

Fakta tersebut, secara historis maupun empiris dapat dibenarkan. Mengingat sampai saat ini belum diketemukan karya-karyanya di bidang hukum Islam (fiqh). Pendapat lain mengatakan bahwa ia sama sekali tidak pernah menulis dalam bidang dimaksud. Data pendukung asumsi tersebut adalah apa yang telah dikemukakan oleh Ibnu Nadim dalam al-Mufahras-nya mengenai tulisan-tulisan Abu Yusuf, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Amin. Diantaranya adalah kitab Fiqh al-Akbar,[1] al-Risalah yang dinisbahkan kepada al-Basti, kitab al-Alim wa al-Muta‘allim, kitab al-Radd ’ala al-Qadariyah.[2] Asumsi bahwa Abu Hanifah tidak menulis kitab dalam bidang fiqh, akhirnya menjadi jelas.

Walaupun demikian, murid-murid kenamaan beliau berusaha menghafal dan menulis pendapat-pendapatnya dan mereka inilah yang kemudian mentransmisikan ragam pemikiran hukumnya dengan cara menuliskan, mencari dalil (istidlal), mencari masalah dan memperluasnya sekaligus memformulasikannya.

Usaha pentransmisian madzhab Hanafi oleh murid muridnya menjadikan madzhab tersebut dikenal luas dikalangan umat Islam. Puncaknya ketika mereka dipercaya memegang peradilan. Melalui mesin birokrasi dan dukungan pemerintah madzhab Hanafi tampil sebagai madzhab negara. Diantara murid Abu Hanifah yang berusaha memformulasikan pemikiran hukumnya untuk kali pertama adalah Abu Yusuf,[3] Muhammad ibnul Hasan al-Syaibany, dan Zufar. Dua yang pertama, Abu Yusuf dan Muhammad ibnul Hasan al-Syaibany, dianggap yang paling besar jasanya dalam memformulasikan madzhab Hanafi. Keduanya layak disebut sebagai formulator madzhab Hanafi. Dalam konteks upaya formulasi yang dilakukan keduanya inilah penelitian ini dilakukan.

II. Permasalahan, Tujuan, dan Kegunaan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan dua tokoh yang terlibat secara langsung proses formulasi madzhab Hanafi, dengan bertumpu pada dua permasalahan pokok. Pertama, sejauhmana upaya yang dilakukan Abu Yusuf dan Muhammad Ibnu al-Hasan al-Syaibany dalam memformulasikan madzhab Hanafi. Kedua, bagaimanakah karakter pemikiran hukum dari dua formulator madzhab tersebut.

Kedua permasalahan tersebut penting untuk dikuak sebab akan memberikan sumbangan pemikiran bagi mareka yang concern terhadap kajian perkembangan, dinamika, formulasi, serta penyebaran ragam madzhab sunni khususnya madzhab Hanafi.

III. Metodologi Penelitian

Penelitian ini lebih bersifat penelitian dasar atau penelitian murni (bukan penelitian terapan) kerena dilakukan tanpa memikirkan ujung paraktis atau titik terapan. Perhatian utamanya adalah kesinambungan dan integritas ilmu dan filosofi.[4]

Secara metodologis peneltian ini menggunakan pendekatan sejarah (historical approarch), karena mengungkapkan kehidupan seseorang dalam hubungannya dengan masyarakat, sifat-sifat, watak, pengaruh pemikiran dan idenya, serta pembentukan watak tokoh tersebut selama hidupnya.[5]

Metode pengumpulan datanya adalah dengan pembacaan dan pengkajian data kepustakaan yang sekaligus menjadi sumber datanya, yang meliputi: karya-karya yang ditulis oleh tokoh yang diteliti atau orang lain serta buku-buku lain yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti, seperti: fiqh, ushul fiqh, sejarah, dan lainnya.

Selanjutnya, analisis data dilakukan dengan tehnik dekriptis-analitis[6]-komparatif. Yakni peneliti mendeskripsikan fakta-fakta sejarah dan pemikiran hukum yang terkait dengan proses formulasi madzhab Hanafi kemudian dianalisis secara mendalam. Lalu dilakukan perbandingan pemikiran hukum diantara mereka untuk mengetahui kemandirian dan karakter pemikirannya.

Kemudian, dalam kerangka mempermudah pemahaman hasil penelitian, maka dilakukan penyajian secara berurutan. Yakni terlebih dahulu dibahas biografi, karya-karya, karakter pemikiran ushul fiqh dan fiqh Abu Yusuf, kemudian Muhammad Ibnul hasan al-Syaibany dengan format yang sama secara berurutan. Dan disusul dengan kesimpulan.

IV. Hasil Penelitian

A. Imam Abu Yusuf.

1. Biografi Abu Yusuf, (113 H/731 M-182 H/798 M).

Ia adalah murid sekaligus sahabat utama Abu Hanifah, ketua Mahkamah Agung Daulah Abbasiyah, ahli fiqh, tafsir, ahli hadits, sejarawan, sastrawan, dan seorang teolog Irak.[7] Nama lengkapnya adalah Ya’kub bin Ibrahim bin Habib bin Khunais bin Sa’ad bin Habtah al-Anshari. Ia berasal dan suku Bujailah, salah satu suku bangsa Arab. Keluarganya disebut al-Anshari karena dari pihak ibunya mempunyai garis keturunan dengan kaum Anshar (pemeluk Islam yang pertama dan penolong Nabi SAW di Madinah). Dia adalah Sa’ad bin Habtah salah seorang sahabat Nabi SAW. Sa’ad dikalangan sahabat Anshar lebih dikenal dengan nama ibunya, yaitu Habtah binti Malik dan keturunan Amr bin ‘Auf.

Adapun Bapak Sa’ad bin Habtah adalah Auf bin Bahir bin Mu’awiyah bin Salma bin Bujailah, seorang halif bani Amr bin ‘Auf al-Anshari, sebagaimana ungkap Abu Umar bin Abdi al-Barr dalam kitab al-Isti‘ab yang dikutib oleh Ibnu Khallikan dalam Wafayat al-A‘yan fi Anba‘i Abna’ al-Zaman.[8]

Sejak kecil ia telah memiliki bakat dan minat akademik tinggi, tetapi kelemahan ekonomi keluarga memaksanya ikut bekerja mencari nafkah. Semula ia periwayat (transmitor) hadits. Ia banyak mendapatkan pujian dari muhadditsun.[9] Kemudian ia tertarik dengan hukum Islam (fiqh). Ia kali pertama belajar fiqh pada Muhammad bin Abi Laila yang dikenal dengan Ibnu Abi Laila (w. 148 H; seorang ulama’ dan hakim di Kufah). Selanjutnya ia berguru pada Abu Hanifah, pendiri madzhab Hanafi.[10] Melihat bakat dan semangat serta ketekunan Abu Yusuf dalam belajar, Abu Hanifah memberikan beasiswa untuk membiayai seluruh keperluan pendidikannya, bahkan biaya hidup keluarganya.[11] Imam Abu Hanifah sangat mengharapkan agar Abu Yusuf kelak dapat melanjutkan dan menyebarluaskan madzhab Hanafi ke berbagai belahan dunia Islam.[12]

Sepeninggal Abu Hanifah, Abu Yusuf menggantikan kedudukannya sebagai guru besar (syaikh) pada halaqah Abu Hanifah selama enam belas tahun. Selama memegang profesi tersebut ia tidak pernah bersentuhan dengan jabatan pemerintahan. Karena menjaga prinsip gurunya yang tidak mau memegang jabatan apapun di bidang pemerintahan, terutama jabatan hakim. Selain itu, ia juga giat menulis terutama dalam bidang hukum Islam (fiqh). Ia rajin mencatat ucapan, fatwa, dan hukum yang disimpulkan dalam halaqah Abu Hanifah. Karya-karyanya merupakan yang pertama di bidang hukum yang beredar pada saat itu. Oleh karena itu tidak heran kalau karya-karya itu menguasai alam fikiran umat Islam, termasuk ulama’ di lingkungan peradilan dan mahkamah-mahkamah resmi, sehingga keputusan mereka diwarnai oleh fiqh madzhab Hanafi. Dari sinilah nama besar Abu Yusuf tersebar luas ke berbagai negeri seiring dengan tersebarnya madzbab Hanafi.

2. Kemandirian berfikir dan sebab hijrah Abu Yusuf ke Baghdad.

Potret hubungan Abu Yusuf dengan Abu Hanifah dalam konteks pemikiran hukum bukanlah hubungan seseorang yang ber-taqlid dengan orang yang di-taqlidi, tetapi hubungan mahasiswa dengan guru besar yang disertai kemerdekaan berfatwa dan berijtihad. Ia tidak berpuas diri dengan apa yang dikatakan oleh guru besarnya, bahkan pendapatnya sendiri seringkali berbeda[13] dari pendapat guru besarnya. Oleh karena itu, di dalam karya-karyanya, ia mencantumkan pemikiran Abu Hanifah serta argumentasinya dan sekaligus mencatumkan pendapatnya sendiri dengan argumentasinya pula.[14]

Perlu diketengahkan di sini, bahwa sejak Abu Hanifab wafat, keadaan ekonominya semakin lama-semakin memburuk dan tidak dapat menunjang karir akademiknya. Oleh karena itu, ia terpaksa menjual rumah istrinya yang mengakibatkan kemarahan mertuanya. Hal ini membuatnya meninggalkan Kufah dan hijrah ke Baghdad pada tahun 166 HI 782 M. Di Baghdad, ia menemui khalifah Abbasiyah, al-Mahdi (159 H/775 M-169 H/785 M), yang langsung mengangkatnya sebagai hakim di Baghdad Timur. Jabatan hakim tersebut dipegang sampai masa khalifah al-Hadi (169 H/785 M-170 H/786 M). Di masa khalifah Harun al-Rasyid (170 H/786 M-194 H/809 M), jabatannya naik menjadi Hakim Agung (qadhi al-qudhat) pertama daulah Abbasiyah. Jabatan ini belum pernah ada sejak masa bani Umayyah (abad VII) sampai masa khalifah al-Mahdi dan daulah Abbasiyah (abad VIII). Jabatan ini pantas diberikan kepadanya karena disamping luas pengetahuannya, kepribadiannya sangat disukai oleh Harun al-Rasyid.[15]

Berbeda dengan para pendahulunya, Abu Yusuf berbuat dan berfatwa sesuai dengan keinginan hukum. Dalam mengadili suatu perkara, ia tidak memperdulikan apakah yang dihakimi itu dari kalangan istana atau luar istana. Jika jabatan hakim yang dipegangnya pada masa aI-Mahdi dan al-Hadi hanya memberi wewenang kepadanya untuk memutuskan perkara yang diajukan serta memberi fatwa bagi yang membutuhkannya, maka jabatan Hakim Agung memberinya wewenag lebih luas, yaitu di samping memutuskan perkara, juga bertanggungjawab menyusun materi hukum yang diterapkan oleh para hakim. Kewenangannya yang lebih penting lagi ialah mengangkat para hakim di seluruh negeri.[16]

3. Karya-karya Abu Yusuf.

Di sela-sela kesibukannya menjadi Hakim Agung, Abu Yusuf masih sempat menulis berbagai buku yang berpengaruh besar dalam memperbaiki sistem pemerintahan dan peradilan serta penyebaran madzhab Hanafi. Beberapa diantara karyanya[17] adalah kitab al-Atsar,[18] Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibnu Abi Laila,[19] al-Radd ala Siyar al-Awza’i,[20] dan al-Kharaj. [21]

4. Pemikiran Ushul Fiqh Abu Yusuf.

Abu Yusuf sangat lekat dengan teori adat (’uruf). Ia adalah ahli hukum (jurist) pertama yang menggunakan adat kebiasaan masyarakat sebagai sumber hukum Islam yang kemudian diikuti oleh ulama’ sesudahnya. Ia berpendapat bahwa, jika suatu nash berasal dari adat istiadat atau tradisi, kemudian adat lain (adat yang baru) menggantikannya, maka gugur hukum dalam nash itu.

Dalam menanggapi pemikiran Abu Yusuf, jumhur ulama’ tidak sependapat dengan pandangannya. Bahkan Abu Hanifah, gurunya sendiri juga tidak mendukung pendapat itu.[22]

Bagaimanakah model teori adat Abu Yusuf? Untuk memudahkan pemahaman mengenai alur pikir teori adatnya, tentunya harus dimulai dengan pernyataan yang sudah menjadi maklum dikalangan muslim mengenai inti ajaran Islam. Bahwa Islam sebagai sistem ajaran paripurna, di samping memberikan paket pedoman dan petunjuk yang harus diamalkan dan dipatuhi, juga memberikan jaminan kebebasan kepada mereka untuk melakukan aktivitas adan kreatifitas positif dalam rangka mewujudkan dan memenuhi hajat bidupnya, yang dikenal dengan istilah tradisi (urf), yang oleh ajaran Islam diberi kedudukan yang terhormat. Dalam konteks demikian, hadits yang cukup populer dapat dijadikan sebagai salah satu argumen yang menyatakan bahwa tradisi penduduk Madinah yang terbiasa melakukan transaksi salam, transaksi pemesanan barang dapat dijadikan sebagai landasan hukum. Tradisi dan praktek tersebut mendapatkan lagalisasi dari Rasulullah, padahal transaksi demikian pada dasamya tidak sejalan dengan pnnsip umum dalam bertransaksi, karena termasuk bay’ al-ma‘dum yang dilarang.

Atas dasar itu, sebagian besar ulama seperti madzbab Hanafi, Maliki, dan juga Syafi’i, memandang tradisi, perkataan maupun perbuatan, sebagai salah satu kiat dalam melaksanakan hukum Islam[23] dan menjadi dasar perumusan hukum ketika tidak ada nash al-Qur’an dan al Hadits, disamping sebagai sarana untuk memahami nash-nash yang tidak ada penjelasan resmi dan kongkritnya. Inilah yang kemudian memunculkan kaidah al-‘adat muhakkamatun, serta kaidah yang menyatakan bahwa setiap ketentuan syara’ yang dikemukakan secara mutlak dan tidak ada penjelasannya secara konkrit baik dalam syarak itu sendiri maupun dalam bahasa, penjelasannya diserahkan pada tradisi. Kiranya tidak menimbulkan permasalahan bahwa tradisi itu dapat dijadikan perumusan hukum dapat menimbulkan problem. Problem dimaksud adalah bagaimana dengan suatu tradisi baru yang tidak sejalan atau bertentangan dengan nash syara’, masihkah ia harus dipertahankan sebagai landasan hukum dengan konsekwensi pengabaian nash ataukah ia harus diabaikan?

Mengenai masalah ini terdapat beberapa kemungkinan antara lain sebagai berikut: pertama, apabila pertentangan antara tradisi dengan nash itu secara total (min kulli wajhin), sehingga pengakuan terhadap tradisi tersebut dipandang sebagai meninggalkan dan mengabaikan nash, maka tradisi demikian haruslah ditinggalkan, tidak dapat dipedomani dalam merumuskan hukum. Misalnya tradisi membuka aurat, penetapan anak zina sebagai anak sah, dan sebagainya.

Kedua, apabila terjadi pertentangan antara tradisi baru dengan nash dan nash ini di dasarkan pada tradisi yag berlaku pada saat turunya nash dan tradisi tersebut dipandang sebagai illat hukumnya, maka dalam hal ini Abu Yusuf, berbeda dengan Abu Hanifah dan Muhammad ibnu Hasan al-Syaibany, berpendapat bahwa tradisi baru yan bertentangan dengan tradisi yag terkandung dalam nash itulah yag harus dipedomani. Tindakan demikian, menurut Abu Yusuf tidak dipandang sebagai pengabaian nash, melainkan sebagai salah satu cara men-takwilkan-nya, dan ini sejalan dengan kaidah al-hukmu yaduru ma‘a ’ illatihi wujudan wa ‘adaman.

Sebagai contoh, hadits Nabi menjelaskan bahwa jual beli gandum dengan gandum dan kurma dengan kurma haruslah sama, dan yang menjadi ukuran sama tidaknya adalah takaran, bukan timbangan. Penegasan Nabi tentang ukuran untuk gandum dan kurma itu dengan takaran bukan dengan timbangan, adalah karena didasarkan pada tradisi yang berlaku pada saat itu. Oleh karena dalam pandangan Abu Yusuf, ketika tradisi mengenahi ukuran itu telah berubah, tidak lagi dengan takaran melainkan dengan timbangan seperti yang beraku pada saat sekarang, maka yang harus dijadikan ukuran mengenai sama tidaknya dalam jual beli gandum tersebut adalah timbangan, bukan takaran. ini artinya tradisi sekaranglah yang harus dijadikan pedoman.[24]

4. Pemikiran fiqh Abu Yusuf

Mengenai pemikiran fiqhnya, sebagaimana dituangkan dalam kitab al-Kharaj, mencakup berbagai bidang, antara lain sebagai berikut. Pertama, tentang pemerintahan, ia mengemukakan bahwa seorang penguasa bukanlah seorang raja yang dapat berbuat secara diktator. Ia adalah seorang khalifah yang mewakili Tuhan di muka bumi untuk melaksanakan perintah-Nya. Oleh karena itu, penguasa harus bertindak atas nama Tuhan. Semua tindakannya harus berdasarkan pada keadilan Tuhan. Dalam konteks hubungan hak dan tanggungjawab pemerintah terhadap rakyat, ia menyusun kaidah fiqh yang sangat populer, yaitu: tasharruf al-imam ala al-ra‘iyyah manuthun bi al-maslahah. Bahwa setiap tindakan pemerintah yang berkaitan dengan rakyat harus didasarkan pada nilai maslahah.

Kedua, keuangan. Ia menyatakan bahwa uang negara bukan milik khalifah dan sultan, tetapi amanat Allah SWT dan rakyatnya yang harus dijaga dengan penuh tanggungjawab. Hubungan penguasa dengan kas negara sama seperti hubungan seorang wali dengan harta anak yatim yang diasuhnya. Ketiga, pertanahan. Ia meminta kepada pemerintah agar hak milik tanah rakyat di hormati, tidak boleh diambil dari seseorang kalau diberikan kepada orang lain. Tanah yang diperoleh dari pemberian dapat ditarik kembali jika tidak digarap selama tiga tahun dan boleh diberikan kepada orang lain. Keempat, perpajakan. Ia berpendapat bahwa pajak hanya ditetapkan pada harta yang melebihi kebutuhan rakyat dan ditetapkan berdasarkan kerelaan mereka.

Kelima, peradilan. Ia berpendapat bahwa jiwa dari peradilan adalah keadilan yang murni. Penghukuman terhadap orang yang tidak bersalah dan pemberian maaf pada orang yang bersalah adalah suatu penghinaan terhadap lembaga peradilan. Menetapkan hukum tidak dibenarkan berdasarkan sesuatu yang tidak pastiti (subhat). Kesalahan dalam mengampuni lebih baik dari pada kesalahan dalam menghukum.[25] Orang yang ingin menggunakan kekuasaan untuk mencampuri persoalan keadilan harus ditolak, dan kedudukan seseorang atau jabatannya tidak boleh menjadi bahan pertimbangan dalam persoalan keadilan. Dalam prakteknya ia pernah menolak kesaksian seorang menteri kepercayaan khalifah Harun al-Rasyid. Karena ia pernah berkata, “Aku adalah budak Khalifah”. Menurut Abu Yusuf, kalau benar yang diucapkannya, maka kesaksiannya tidak sah karena seorang budak tidak sah menjadi saksi. Kalau ia berdusta dalam ucapannya, berarti kesaksian seorang pendusta juga tidak dapat diterima. Itulah hukuman bagi pejabat penjilat yang mengambil hati atasannya.[26]

B. Muhamad Ibnul Hasan al-Syaibany

1. Biografi Muhammad ibnul Hasan al-Syaibany, (131 H/748 M - 189H/804M).

A1-Syaibany adalah ahli fiqh dan tokoh ketiga madzhab Hanafi yang berperan besar dalam mengembangkan dan menulis pandangan imam Abu Hanifah. Nama Lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad ibnul Hasan bin Farqad al-Syaibany.[27] Ia berasal dari sebuah desa di Damsyiq, berada di Wasith yang bernama Harasta.[28] Pada saat ayahnya hijrah dari Syam menuju Irak, kemudian menetap di Wasith lahirlah Muhammad (baca; al-Syaibany). A1-Syaibany tumbuh dan berkembang di Kufah.[29]

Jenjang pendidikannya berawal dari lingkungan keluarganya sendiri di bawah bimbingan lansung ayahnya, seorang ahli fiqh di zamannya. Pada usia belia, al-Syalbany telah menghafal al-Qur’an. Pada Usia 19 tahun, Ia belajar kepada imam Abu Hanifah dalam waktu yang tidak lama.[30] Kemudian ia belajar kepada Abu Yusuf, murid Abu Hanifah. Dari kedua gurunya inilah, al-Syaibany memahami fiqh madzhab Hanafi dan tumbuh menjadi pendukung utama dalam formulasi madzhab tersebut. A1-Syaibany sendiri dikemudian hari banyak menulis ragam pengetahuan yang pernah disampaikan Imam Abu Hanifah kepadanya.[31]

Selanjutnya, ia belajar hadits kepada Sufyan al-Tsaury dan Abdurrahman al-Awza’i. Di samping itu, ketika berumur 30 tahun, ia mengadakan mauhibah ke Madinah (wilayah munculnya hadits) untuk berguru hadits kepada Imam Malik yang mempunyai latar belakang sebagai ulama ahl al-hadits selama lebih kurang tiga tahun.

Bergurunya al-Syaibany kepada imam Malik dan tokoh-tokoh Madinah ini, memberikan nuansa baru dalam pemikiran hukumnya. Al Syaibany menjadi tahu lebih banyak hadits yang selama ini luput dari pengamatan Abu Hanifah yang lebih menekankan pada aspek penalaran (al-ra’y). Sehingga al-Syaibany banyak banyak mempunyai kemiripan dengan Abu Yusuf dalam hal penguasaan hukum ahl al-ra’y di Kufah dan hukum ahl al-hadits di Madinah. Demikian juga dalam disiplin keilmuannya juga seperti Abu Yusuf. Al-Syaibany menguasai sastera, nahwu, lughat, syair, ilmu-ilmu agama, seperti al-Qur’an, Hadits, dan fiqh. Karenanya, ia ahli dalam bahasa dan proses pentasyri’an hukum dari ragam kasus yang berbeda-beda.[32]

Dalam hal kekayaan al-Syaibany tidak sama dengan Abu Yusuf, bahkan sangat bertolak belakang, ia sangat berkecukupan. Ia mampu membiayai studinya dalam ilmu-ilmu yang telah disebutkan di atas, sebanyak tiga puluh ribu dirham. Ia pernah menolong imam al-Syafi’i dengan hartanya, penampilannya sangat elegan, berpakaian rapi dan bagus, fasih ucapannya, matang ilmu fiqhnya.[33]

Dengan kematangan pendidikannya ini, al-Syaibany mampu mengkombinasikan antara dua aliran yang saling bertentangan, yaitu: ahl al-ra’y di Irak dan ahl al-hadits di Madinah. Dalam beberapa hal, ia tidak selalu mengikuti pendapat gurunya, Abu hanifah, yang lebih mengutamakan metodologi nalar dalam menjawab permasalahan hukum, akan tetapi ia lebih yakin dengan mengikuti pendapatnya sendiri.[34] Walaupun demikian, ia juga masih mempertimbangkan serta mengutip hadits-hadits yang tidak dipakai oleh imam Abu Hanifah dalam memerkuat pendapatnya.

Di Baghdad al-Syaibany yang berprofesi sebagai guru besar, banyak berjasa dalam mengembangkan fiqh madzhab Hanafi. Imam al-Syafi’i sendiri sering ikut dalam halaqah al-Syaibany. Hal ini ditopang pula oleh kebijaksaan pemerintah Dinasti Abbasiyah yang menjadikan madzhab Hanafi sebagai madzhab resmi negara. Tidak mengherankan ketika Abu Yusuf yang diangkat oleh Khalifah Harun al-Rasyid 149 H/766 M-193 H/809 M untuk menjadi Hakim Agung mengangkat al-Syaibany sebagai hakim di al-Riqqah (Irak).[35] Akan tetapi menurut Coulson, al-Syaibany meski kadang bertindak sebagai hakim untuk perkara ringan, ia lebih condong sebagai seorang akademis yang berperan sebagai penasehat hukum (lawyer). Banyak tulisan perihal ajaran hukum yang sudah di hasilkannya.[36]

2. Karya-karya al-Syaibany

Al-Syaibany termasuk penulis yang cukup produktif Muhammad Abu Zahrah menyebutkan karya-karya intelaktual al-Syaibany, yang menurutnya tergolong karya asli pertama bidang hukum madzhab Hanafi yang memuat ragam permasalahan hukum. Dalam penulisan kitab-kitab tersebut, Abu Yusuf mempunyai peran penting dalam usaha mengeluarkan kumpulan kumpulan kitab hukum tersebut. Karya-karya al-Syaibany ini terhitung cukup banyak, akan tetapi karya-karya yang dianggap muktabar sebagai kitab rujukan pertama dalam hukum dibagi mejadi dua bagian.[37]

Pertama, Dhahir al-Riwayat, yang merupakan kitab yang ditulis berdasarkan pelajaran yang disampaikan oleh imam Abu Hanifah. Sebagaimana dijelaskan bahwa Abu Hanifah tidak meninggalkan karya yang mengungkapkan pokok-pokok pikirannya dalam hukum. Al-Syaibany-lah yang menuqilkan dan merekam pandangan Abu Hanifah dalam Dhahir al-Riwayat ini. Kitab Dhahir al-Riwayat terdiri atas enam judul, yaitu: kitab al-Ashl atau al-Mabsuth, al-Jami’ al-Kabir, al-Jami’ al-Shagir, al-Siyar al-Kabir, al-Siyar al-Shagir, dan al-Ziyadat.[38]

Keenam kitab tersebut berisikan pendapat Abu Hanifah tentang berbagai masalah ke-Islam-an, seperti fiqh, ushul fiqh, ilmu kalam, dan sejarah. Keenam kitab mi kemudian dihimpun oleh Abi al-Fadhl Muhammad bin Muhammad al-Maruzi (w. 334 H I 945 M), salah seorang ulama fiqh madzhab Hanafi dalam sebuah kitab bernama al-Kafiy, setelah terlebih dahulu membuang masa!ah-masalah yang ditulis secara berulang-ulang di dalamnya. Kemudian, Muhammad bin Ahmad al-Syarakhsi (ulama’ abad V H) memberikan komentar (syarah) terhadap kitab al-Kafiy dalam kitabnya yang terkenal dengan nama al-Mabsuth yang terdiri dari tiga puluh juz, sehingga kitab al-Kafiy dengan syarahnya ini menempati posisi paling tinggi dalam madzhab Hanafi.[39]

Kedua, al-Nawadir, yang merupakan kitab yang ditulis oleh al-Syaibany berdasarkan pandangannya sendiri. Kitab-kitab yang termasuk dalam al-Nawadir adalah Amali Muhammad fi al-Fiqh (pandangan al-Syaibany tentang berbagai masalah hukum), al-Ruqayyat (himpunan keputusan terhadap masalah-masalah yang di hadapinya ketika menjadi hakim di al-Riqqah), al-Makharij al-Khiyal (tentang masalah hilah dan jalan keluarnya), al-Radd ala Ahl al-Madinah (penolakan terhadap pandangan orang Madinah), al-Ziyadah (pendapat al-Syaibany yang tidak terangkum dalam keempat kitab tersebut di atas), serta al-Atsar. Kitab yang terakhir ini melahirkan polemik tentang hak-hak non muslim di negara Islam dan ditanggapi oleh al-Syafi’i.

Al-Syafi’i dalam kitabnya al-Umm secara khusus menulis bantahan dan kritik terhadap al-Syaibany dengan judul al-Radd ’ala Muhammad ibnul Hasan (bantahan terhadap pendapat Muhammad ibnul Hasan al-Syaibany).

Karya lain al-Syaibany, sebagaimana ungkap Muhammad Abu Zahrah, adalah kitab al-Kisaniyat, kitab al-Haruniyat, dan lainnya. Kitab-kitab ini dikategorikan sebagai kitab-kitab yang tidak termasuk Dhahir al-Riwayat, karena tidak diriwayatkan dengan riwayat yang jelas oleh al-Syaibany.[40]

3. Pemikiran ushul fiqh al-Syaibany

Metode Hanafiyah mengenai prinsip-prinsip ushul fiqh berangkat dan detail-detail masalah hukum yang telah ditetapkan oleh para pendahulu mereka. Dengan demikian, dasar ragam kajian mereka ditarik dari ketetapan-ketetapan hukum yang detail terdahulu dan bukan sebaliknya. Oleh karena itu murid-murid Abu Hanifah, al-Syaibany misalnya, mempelajari ushul fiqh dengan metode ini akan memulainya dengan mengumpulkan detail-detail masalah hukum berdasarkan fatwa hukum yang telah ditetapkan imam Hanafi, dan kemudian menganalisisnya.[41]

Langkah ijtihad yang ditempuh oleh al-Syaibany sama dengan gurunya, Abu Hanifah, dengan urutan sumber sebagai berikut, yaitu: al-Kitab, al-Sunnah, Aqwal al-Shahabah, Qiyas, Istihsan, Ijma’, dan Urf. Al-Syaibany menggunakan empat yang terakhir, bila tiga sumber hukum yang pertama tidak menyebutkan hukum suatu penstiwa dengan jelas. Urutan-urutan di atas berdasarkan ucapan Abu Hanifah, yang menjelaskan bahwa ketika berijtihad ia mendasarkan pada dalil-dalil ashl di atas.[42]

Sebagaimana diketahui Abu Hanifah adalah imam ahl al-ra’y, dalam menghadapi nash al-Qur’an dan Al-Sunnah ia berusaha menangkap pesan dibalik nash. Karenanya, ia dikenal sebagai ahli bidang ta’lil al-ahkam dan qiyas. Dari pendiriannya itu ia memunculkan teori istihsan.

Sejauh ini menurut pengamatan penulis, metode istihsan Abu Hanifah yang di kembangkan dan diikuti oleh al-Syaibany dalam memformulasikan madzhab Hanafi mengacu dan berdasar kepada dua hal yang menjadi identitas dan karakter fiqh madzhab tersebut, yaitu: spirit dagang (al-ruh al-tijariyah), dan menjaga kemerdekaan seseorang (himayah al-hurriyyah).[43] Dari kedua prinsip dasar inilah al-Syaibany mencoba merumuskan fiqh madzhab Hanafi dalam beberapa kitab karangannya, diantaranya adalah kitab al-Jami’ al-Kabir.

Kitab al-Jami’ al-Kabir ini secara garis besar mengulas tentang parmasalahan ibadah (ubudiyah), dan hubungan antar sesama manusia (mu‘amalah). Mengenai permasalahan ibadah, hubugan manusia dengan Tuhan, ia mencotohkan masalah cara membersihkan (thaharah) pakaian yang terkena kotoran. Ia berpendapat bahwa jika pakaian terkena kotoran kemudian dibasuh dalam tiga tempat yang dipergunakan untuk mencuci pakaian (ijanah), semisal ember, dengan memeras pakaian yang terkena kotoran itu, maka pakaian itu hukumnya suci pada perasan yang ketiga, tetapi jika dibasuh pada tempat lain, maka air tersebut boleh dipergunakan untuk wudhu.[44]

Inti pendapat al-Syaibany dalam thaharah adalah bahwa jika badan atau pakaian terkena najis maka boleh mencucinya dengan sesuatu benda cair yang suci yang dapat menghilangkan kotoran tersebut. Menurutnya, tidak ada ketentuan membersihkan harus dengan air, yang bertolak belakang dengan pendapat al-Syafi’i yang mensyaratkan harus dengan air.

Dalam mu’amalah, khususnya jual beli buah-buahan dan tanaman sebelum sampai pada tingkat kematangannya, al-Syaibany berbeda pendapat dengan para ahli hukum di masanya. Terjadinya perbedaan pandangan di kalangan mereka berangkat dari asumsi hukum asal dari jual beli, yaitu adanya syarat terdapatnya mabi’ (benda yang dijual) ketika akad berlangsung atau tidak adanya syarat tersebut.

Dari masalah pokok di atas, para ahli hukum kemudian menemukan ragam cabang permasalahan yang berkaitan dengan masalah tersebut yang berakibat pada munculnya perbedaan pendapat diantara mereka. Salah satu cabang permasalahan yang muncul adalah terjadinya pembelian tanaman atau buah-buahan yang belum sampai masa panen secara keseluruan dalam pengertian masih ada sebagian yang masih belum pantas panen. Berdasarkan nash hadits jual beli seperti ini hukumnya adalah rusak (fasid/batal). Batalnya jual beli ini diakibatkan oleh adanya syarat untuk tidak segera memanen sebagian buah yang masih belum matang. Ini berarti terdapat unsur pemanfaatan si pembeli pada tanah dan pohon si penjual, yang berarti pula terjadi dua akad secara bersamaan, dan yang demikian ini adalah terlarang.

Menanggapi permasalahan di atas al-Syaibany berpendapat berdasarkan hukum urf (kebiasaan yang terjadi dalam masyarakat), yaitu bahwa jika kematangan buah tersebut tidak memerlukan waktu yang lama, maka akad tersebut sah. Sebab secara adat kebiasaan kematangan tanaman atau buah-buahan tidak terjadi secara sekaligus (daf’atan wahidatan), tetapi secara berurutan. Kebolehan akad ini menurutnya termasuk bagian dari permasalahan istihsan (menganggap baik) dan mempermudah mu’amalah dikalangan masyarakat.[45]

Hal penting yang perlu digarisbawahi dari paparan di atas adalah urgensi urf yang dapat menjadi alat pertimbangan pemecahan hukum yang terkait mu’amalat, yaitu memberi kemudahan bagi manusia. Oleh karenanya, urf menurut kebanyakan ahli hukum dipandang sebagai salah satu pokok/dasar hukum (ashlun min ushul al-ahkam).

Dari pemikiran fiqh Abu Hanifah yang berpijak kepada dua hal pokok yang telah disebutkan di atas, telah dikembangkan dan dikumpulkan oleh al-Syaibany dalam beberapa karya intelektualnya, akhirnya dapat ditemukan beberapa kaidah fiqhiyyah di antaranya adalah al-taisir fi al-ibadat wa a/ mu‘amalat,[46] ri’ayat al-fakir wa al dha’if,[47] tashhih al- tasharrufat al-insan bi al-qadr al-imkan, [48] ri‘ayat hurriyvat al-insan wa insaniyatih, [49] ri‘ayat siyadat al-daulah mumassalat fi al-imam.[50]

Disamping metodologi istinbath hukum yang dipakai oleh al-Syaibany diperoleh berdasarkan ketetapan-ketetapan Abu Hanifah, ia adalah ahli hukum pertama yang membenarkan ijma’ atas dasar sebuah hadits. Ketika membahas shalat tarawih, ia menyatakan bahwa shalat tersebut adalah sah karena kaum muslimin telah menyepakatinya dan menganggapnya baik. Lebih jauh ia memperkuat kesepakatan kaum muslimin tersebut dengan mengutip sebuah hadits Nabi SAW, ”Apapun yang dianggap baik oleh orang-orang beriman adalah baik di mata Allah dan apapun yang dianggap buruk mereka adalah buruk juga di mata-Nya”. Hadits ini kemudian dikabarkan sebagai pernyataan dari Abdullah bin Mas’ud dan bukan sebagai pernyataan dari Nabi Muhammad SAW.[51]

4. Pemikiran Fiqh al-Syaibany

Pada paragraf-paragraf yang terdahulu telah dijelaskan bahwa pola pikir al-Syaibany lebih mengarah kepada penggabungan dua pola pikir yang berkembang saat itu, yakni pola pikir ahl al-hadits dan ahl al-ra’y. Ia berusaha untuk menjembatani pertentangan kedua kelompok tersebut. Akan tetapi sebagai pendukung madzhab Hanafi, ia tidak dapat melepaskan diri dari pemakaian istihsan yang dirumus dan terapkan oleh imam Hanafi dalam berbagai pemikiran hukumnya. Sebagai contoh, jika penduduk suatu kota atau benteng meminta perlindungan kaum muslimin, maka menurut qiyas, perlindungan tersebut hanya berlaku untuk kota atau bentengnya saja dan tidak mencakup seluruh sarana prasarana dan fasilitas yang ada di dalamnya. Akan tetapi al-Syaibany menolak pendapat tersebut berdasarkan qiyas. Dalam hal ini ia beralih menggunakan istihsan. Menurutnya, berdasarkan istihsan perlindungan tersebut mencakup kota atau benteng beserta seluruh sarana dan prasarana yang ada di dalamnya. Karena dalam penggunaan istilah yang umum, kata-kata al-qal’ah (benteng) atau madinah (kota) tidah hanya sekedar bangunan-bangunannya saja, tetapi juga meliputi segala isi dan penghuninya.[52]

Al-Syaibany sering menyatakan pemakaian istihsan secara eksplisit dalam beberapa tulisannya. Terhadap hal-hal tertentu ia sering menyatakan bahwa dirinya dan ulama’ Irak lainnya meninggalkan qiyas dan beralih kepada istihsan. Walaupun demikian, dalam beberapa hal ia menolak pendapat gurunya dan mengikuti pandangan ahl al-hadits. Misalnya dalam persoalan apakah seorang imam dapat memimpin shalat dalam posisi duduk sedangkan makmum yang dipimpinnya dalam posisi berdiri, ia sependapat dengan imam Malik dan ahl al-hadits. Ia berpendapat bahwa imam harus memimpin shalat dalam posisi berdiri, padahal Abu Hanifah berpendapat sebaliknya. Dalam kasus ini, al-Syaibany mengikuti tradisi Nabi SAW dan Khulafa’ al-Rasyidin yang memimpin shalat dalam keadaan berdiri. Menurutnya tidak ada satupun petunjuk yang menyampaikan bahwa mereka pernah memimpin shalat dalam posisi duduk. Karena itu praktek yang lebih autentik inilah yang diikuti oleh al-Syaibany.

Dalam kondisi tertentu, al-Syaibany juga tidak segan mengkritik imam Malik dan ahl al-hadits karena mereka mengabaikan tradisi Nabi SAW yang mereka riwayatkan sendiri. Menurut sebuah riwayat dari imam Malik, melintas di hadapan orang yang sedang shalat tidak terlarang, sementara Nabi SAW jelas melarangnya. Al-Syaibany mengkritik hal itu, karena menurutnya, imam Malik dan masyarakat Madinah umumnya menyampaikan dan meriwayatkan tardisi Nabi SAW, sedang mereka sendiri tidak melakukannya.

Konsistensi al-Syaibany dalam mengikuti tradisi Nabi SAW juga terlihat dalam perbedaan pendapatnya dengan imam Abu Hanifah dalam masalah ghanimah. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa bagian tentara berkuda sama banyak antara tentara dan kudanya. Masing-masing mendapat satu bagian. Ia tidak mengakui autentisitas hadits Nabi SAW yang mengatakan bahwa tentara berkuda mendapat tiga bagian: dua bagian untuk kudanya dan satu bagian untuk tentara itu sendiri. Al-Syaibany menolak pendapat Abu Hanifah dan mendukung pandapat tiga bagian untuk tentara berkuda, sebagaimana ditegaskan hadits di atas. Pembagian ini menurut al-Syaibany meliputi: satu bagian untuk biaya perawatan kuda, satu bagian untuk kepentingan kuda, satu bagian untuk kepentingan tentara itu sendiri.[53]

Pandangan al-Syaibany tersebut memeperlihatkan bahwa ia mempunyai pemikiran yang independen. Menurut Fazlur Rahman (1919-1988), pemikir neomodernisme asal Pakistan, Kitab al-Siyar al-Kabir yang di tulis oleh al-Syaibany dalam masa akhir hidupnya, merupakan ijtihadnya sendiri yang timbul dari kritikannya terhadap pendapat yang berkembang sebelumnya.[54]

Disamping pandangannya yang independen tersebut, al-Syaibany juga dikenal sebagai tokoh peletak dasar hukum intemasional dalam Islam. Al-Syaibany adalah orang pertama yang menulis masalah hukum internasional dalam sebuah studi sistematis. Al-Siyar al-Kabir dan al Siyar al-Saghir adalah bukunya yang membicarakan masalah tersebut. Dalam bukunya tersebut al-Syaibany membicarakan masalah hubungan antara negara Islan dengan negara-negara non muslim. Baik dalam masa perang maupun damai. Dalam hubungan di masa perang, al-Syaibany menandaskan pandangannya pada prinsip etika al-Qur’an dan al-Sunnah. Ia berpendapat bahwa peperangan hanya diijinkan dalam kondisi darurat dan untuk tujuan mempertahankan diri (defesif), bukan menyerang atau mengganggu kedaulatan negara lain (offensif). Kalaupun terjadi peperangan, ia menekankan bahwa tentara Islam tidak dibenarkan membunuh anak-anak, wanita, dan orang tua renta, membakar negeri musuh atau menebang pohon serta hal-hal lain yang sifatnya merusak (destruktif).

Ia juga berpendapat bahwa orang musyrik dan negara asing yang meminta perlindungan (suaka) ke negara Islam wajib diberi perlindungan. Harta dan jiwanya tidak boleh diganggu, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Taubah (9) ayat (6).

Sementara dalam hubungan damai dengan negara non muslim, al-Syaibay menekankan pentingnya mematuhi pakta-pakta perdamaian yang telah disepakati bersama, apapun ideologi dan kepercayaan negara tersebut. Negara Islam tidak boleh memutuskan hubungan diplomatik dengan negara lain secara sepihak. Disamping itu negara Islam juga wajib menghormati duta negara asing yang di tempatkan di negara Islam. Harta, jiwa, dan keluarganya harus dilindungi. Menurutnya, kalau negara asing membebaskan duta-duta negara Islam dan pajak impor serta pajak-pajak lainnya, maka duta negara tersebut juga harus diberi keistimewaan yang sama.[55]

V. Kesimpulan

Dari paparan di atas dapat disimpulkan, bahwa Abu Yusuf dan al-Syaibany merupakan tokoh sentral dan sekaligus murid Abu Hanifah yang mempunyai peran penting dalam proses transmisi dan formulasi madzhab Hanafi, walaupun tarkadang keduanya berbeda pandangan dalam hal-hal tertentu dengan gurunya, Abu Hanifah. Transmisi madzhab Hanafi dilakukan oleh keduanya dengan cara penyebaran madzhab Hanafi secara Individual maupun dengan menggunakan mesin birokrasi yang didukung sepenuhnya oleh negara ketika para pengikut madzhab Hanafi menguasai lembaga peradilan, terutama ketika Abu Yusuf menduduki jabatan Hakim Agung. Sedangkan formulasi madzhab Hanafi dilakukan keduanya melaui media pengumpulan dan penulisan karya-karya di bidang hukum yang memuat seluruh pemikiran hukum Abu Hanifah dalam beberapa karya sebagaimana telah disinggung pada pembahasan sebelumnya. Melalui metode inilah, akhirnya madzhab Hanafi dapat diketahui dan tersebar luas hingga sekarang berkat usaha transmisi dan formulasi yang dilakukan oleh keduanya.

Tersebar dan terformulasikannya madzhab Hanafi melalui istimbath dan tahrij terhadap fatwa-fatwa Abu Haniah yang dilakukan oleh para murid-muridnya, utamanya Abu Yusuf dan al-Syabany sedemikian cepatnya, paling tidak disebabkan karena beberapa hal. Pertama, banyaknya murid-murid Abu Hanifah yang tersebar di daerah kekuasaan Islam, di samping adanya tujuan yang kuat untuk menyebarluaskan pemikiran Abu Hanifah. Mereka berusaha mejelaskan dasar-dasar pijakan fiqh madzhab Hanafi dengan memberikan patokan-patokan kesamaan dan perbedaannya. Sehingga banyak sekali masalah-masalah furu’iyah yang berkembang dalam madzhab ini.

Kedua, setelah murid-murid Abu Hanifah yang utama, ada sekelompok pengikutnya yang lain yang berusaha memecahkan hukum berdasarkan illah, dan menerapkannya terhadap kajadian-kejadian yang baru muncul. Mereka, setelah melakukan istimbath mengenai illah hukum, yang di atasnya berdiri permasalahan madzhab yang bersifat furu’iyah, selanjutnya mereka kumpulkan masalah-masalah yang sejenis dalam sebuah kaidah yang bersifat umum dan menyeluruh, sebagaimana yang dilakukan al-Syaibany.

Ketiga, tersebarnya murid-murid Abu Hanifah diberbagai daerah dengan aneka ragam budayanya, yang melahirkan ragam permasalahan baru yang menuntut adanya pen-tahrij-an, pada akhirnya menimbulkan adanya usaha penulisan hasil pen-tahrij-an tersebut menjadi sebuah peraturan hukum tertulis, seperti yang dilakukan oleh Abu Yusuf ketika mempunyai kewenangan yang luas pada saat menjabat sebagai hakim agung yang terjadi pada masa Daulah Abbasiyah.

Konsistensi dan loyalitas keduanya terhadap madzhab Hanafi dalam melakukan pemformulasian dan pentransmisian madzhab tersebut tetap menjadikannya sebagai ahli hukum yang berkarakter bebas dan independen dalam memutuskan hukum bahkan tidak segan untuk mengkritik gurunya atau ahli hukum lain yang berbeda pendapat dengannya. Wallahu ’a’lam bi al-shawab.

DAFTAR PUSTAKA

A1-Syaibany, Al-Jami al-Kabir, Dr. Muhammad Muhammad Tamir, (ed.), Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001.

Abdul Aziz Dahlan (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid I, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.

Abdul Aziz Dahlan, (ed.), Ensikiopedi Hukum Islam, Jilid. V, Jakarta: PT. Ichtiar Barn Van Hoeve, 1996.

Abdullah Mustafa al-Maraghi, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, Terj. Husein Muhammad, Cet. I, Yogyakarta: LKPSM, 2001.

Abu Umar bin Abdi al-Barr, Al-Isti‘ab, t.tp., t.tb., t.th.

Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Jilid II, Cet. 10, Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Araby, tth.

Ahmad Hasan, Ijma’, Terj. Rahmani Astuti, Bandung: Pusataka, 1985.

Ali Hasbullah, Ushul al-Tasyri’ al-Islamy, Bandung: Dar al-Ma’arif, 1976.

Al-Khatib Abu Bakar al-Baghdadi, Tarikb al-Baghdad, Juz. XIV, t.tp., t.tb., t.th.

Dr. Muhammad Zuhri, Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. II., 1997.

Ibnu Khallikan, Wafayat al- ‘A‘yan fi Anba‘i Abna‘ al-Zaman, Dr. Muhammad Ihsan (ed.) Jilid. IV, Beirut, Lebanon: Dar al-Tsaqafah, t.th.

Ibnu Khallikan, Wafayat al-’A‘yan fi Anba’i Abna’ al-Zaman, Dr. Ihsan Abbas (ed.), Jilid. VI, Beirut, Lebanon: Dar Shadir, tth.

Ibnu Nadim, Al-Mufahras, t.tp., t.tb., t.th.

Ibrahim Husain, Beberapa Catalan Tentang Reaktualisasi Hukum Islam dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam, Jakarta: IPHI-Paramadina, t.th.

Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif, Jakarta: Ikip Negeri Jakarta, t.th.

Mohammad Nazir, Metodologi Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.

Muhammad Abu Zahrah, A1-Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyyah, t.tp.: Mathba’ah al-Muduny, tth.

Muhammad Ibnul Hasan al-Hajwy al-Tsa’aliby al-Fasy, Al-Fikr al-Saamy fi Tarikh al- Fiqh al-Islamy, Juz. II, Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tth.

Muhammad Sidiq, A1-Wajiz fi Idarat Qawa‘id al-Kulliyah, Beirut: Mu’assasahal-Risalah, 1983.

Muhammad Yusuf Musa, Abu Hanifah, Mesir: Maktabah Nahdhah Mesir bi-al Fujalah, tth.

Noel J. Coulson, Hukum Islam Dalam Perspektif Sejarah, Terj., Hamid Ahmad, Jakarta: P3M, 1987.

Thaha Jabir al-Alwani, Metodologi Hukum Islam Kontemporer, Terj. Yusdani, Yogyakarta: Ull-Press, 2001.


[1]Kitab Fiqh al-Akbar yang disebutkan oleh Ibnu Nadim ini masih menjadi perdebatan di kalangan para ulama’ dalam topik kajiannya. Letak perdebatan ini berawal dan diketemukannya sebuah kitab kecil yang berbicara tentang “aqoid” yang bernama Fiqh al-Akbar yang hanya terdiri dan beberapa lembar. Mengenai kitab Fiqh al-Akbar ini terdapat riwayat yang berbeda-beda. Di sinyalir sebagian riwayat-riwayat tersebut tidak benar. Satu pendapat mangatakan bahwa kitab ini pertama kali dicetak di India beserta syarah-nya. Kitab tersebut ditulis untuk memperkuat faham Asy’ariyah, padahal al-Asy’ari hidup setelah Abu Hanifah kira-kira dua generasi. Pendapat lain meriwayatkan bahwa kitab Fiqh al-Akbar bukanlah kitab yang ada di tangan kita sekarang, melainkan kitab fiqh yang memuat lebih kurang enam puluh ribu masalah, seperti dikatakan oleh al-Hajwy dalam kitab Tarikh Fiqh-nya. Pendapat yang paling diyakini kuat, menurut Ahmad Amin, adalah pendapat yang mengatakan bahwa Abu Hanifah tidak menulis kitab dalam bidang fiqh. Alasan ini dapat dimaklumi karena terjadinya gerakan penulisan pada masa Abbasiyah dimana ia ikut menyaksikan, ia sudah dalam keadaan usia lanjut yang tidak memungkinkan baginya untuk menulis buku. Di samping itu kitab Fiqh al-Akbar merupakan kitab yang membahas tentang akidah dan bukan termasuk kategori gerakan penulisan (tadwin). Ia lebih mirip dengan risalah, seperti risalah-risalah yang dikirimkan oleh sebagian ulama’ kepada sebagian yang lain. Jadi Fiqh al-Akbar dasarnya adalah kebanaran penisbatan kepada Abu Hanifah walaupun di sana juga terjadi penambahan. Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Jilid II, Cet. 10 (Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Araby, tth.), hal. 197-198.

[2]Ibid., hal., 197.

[3]Muhammad ibnul Hasan al-Hajwy al-Tsa’aliby al-Fasy dalam kitabnya al-Fikr al-Saamy fi Tarikh aI-Fiqh al-Islamy, mengatakan bahwa madzhab Abu Yusuf sebenarnya berdiri sendiri dan terlepas dari Abu Hanifah tetapi karena dasar-dasar madzhab yang di bangun Abu Yusuf lebih dekat kepada dasar-dasar madzhab Abu Hanifah serta ditulis bersama-sama dengan madzhab Abu Hanifah disamping karena ketawadhu’an kepada gurunya, maka madzhab Abu Yusuf dinisbahkan kepada Abu Hanifah. Muhammad Ibnul Hasan al-Hajwy al-Tsa’aliby al-Fasy, Al-Fikr al-Saamy fi Tarikh al- Fiqh al-Islamy, Juz. II (Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tth.), hal. 25.

[4]Mohammad Nazir, Metodologi Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hal., 30.

[5]Ibid. hal., 62.

[6]Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif (Jakarta: Ikip Negeri Jakarta, t.th.,), hal., 77.

[7]Ensiklopedi Hukum Islam, Jild. I (Jakarta: PT. Ichtiyar Baru Van Hoeve, tth.), hal. 16; Abdullah Mustafa al-Maraghi, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, Terj. Husein Muhammad, Cet. I (Yogyakarta: LKPSM, 2001), hal., 77.

[8]Ibnu Khallikan, Wafayat al-’A‘yan fi Anba’i Abna’i al-Zaman, Dr. Ihsan Abbas (ed.), Jild. VI (Beirut, Lebanon: Dar Shadir, tth.), hal., 378; Abu Umar bin Abdi al-Barr, Al-Isti‘ab, t.tp., t.tb., t.th., hal. 584. Al-Khatib Abu Bakar al-Baghdady, dalam Tarikh Baghdad-nya mengatakan bahwa dia (ayah Sa’ad) adalah Sa’ad bin Bujair bin Mu’awiyah bin Quhafah bin Bulail bin Sardas bin Abdi Manaf bin Abi Usamah bin Sahmah bin Sa’ad bin Abdullah bin Qadad bin Tsa’labah bin Mu’awiyah bin Zaid bin Ghaus bin Bujailah. Al-Khatib Abu Bakar al-Baghdadi, Tarikb al-Baghdad, Juz. XIV, t.tp., t.tb., t.th., hal. 242-243.

[9]Sebagaimana diketahui, jarang sekali ahli hadits memberikan pujian kepada para pendukung ra’yu. Hal ini tidak berlaku pada sosok Abu Yusuf. Pujian tersebut tetap datang dari ahli hadits walaupun ia sendiri adalah salah seorang pendukung ra’yu. Ia meriwayatkan hadits dari gurunya, antara lain dari Hisyam bin ’Urwah, Abu Ishaq al-Syaibany, Atha’ bin Sa’ib (w. 130 H), dan orang-orang yang setara dan sezaman dengan mereka. Karier akademiknya menunjukkan ia memiliki kemampuan yang tinggi sebagai ahl aI-ra’y yang dapat menghafal sejumlah besar hadits. Ensiklopedi Hukum Islam, Op. Cit. hal., 16.

[10]Khallikan, Wafayat…, Op. Cit. hal., 379.

[11]Ibid. hal. 380.

[12]Disamping itu, ia juga belajar pada ulama’ besar lain di masanya. Bakat ilmu fiqhnya sangat besar. Imam Abu Hanifah pernah memujinya dengan berkata, “Ia salah seorang muridku yang paling kuat hafalannya” dan tidak ada lagi seseorang di seluruh dunia yang lebih luas ilmu fiqhnya dari pemuda ini”. Sekiranya Abu Hanifah tidak mempuyai murid selain Abu Yusuf, niscaya Abu Yusuf sudah cukup sebagai kebanggaan besar atas seluruh manusia”. Abdul Aziz Dahlan (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid I (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hal. 16.

[13]Ibnu Khallikan, Wafayat..., Op. Cit. Hal., 379.

[14]Misalnya, Abu Hanifah tidak menerapkan hukum potong tangan pencuri kain kafan (nabbasy) dengan alasan bahwa barang yang dicuri itu tidak dianggap sebagai milik orang yang hidup dan terjaga, meskipun dalam esensinya merupakan perbuatan dosa. Pendapat tersebut berbeda dan pendapat Abu Yusuf yang memasukkan tindakan nabbasy ke dalam pengertian umum sariq (pencuri yang di hukum potong tangan). Menurutnya, perbuatan itu terbukti mengandung arti pencurian. Apabila masyarakat menyebutnya dengan istilah nabbasy tidak dengan istilah sariq, maka hal itu semata-mata muncul dari rasa benci yang mendalam terhadap pencuri kain kafan mayat.

[15]Harus al-Rasyid dalam satu kesempatan pernah melontarkan kata-kata pujian terhadap Abu Yusuf. Ia mengatakan, “Ia seorang ulama’ yang memiliki keluasan ilmu fiqh, memiliki tradisi ilmiah yang teguh dan konsisten”.

[16]Dengan jabatan dan kewenangan tersebut, ia memiliki kesempatan yang lebih luas untuk membumikan pemikiran hukum madzhab Hanafi dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikannya suatu sistem hukum praktis. Karena pengangkatan hakim di selurub kekuasaan daulah Abbasiyah menjadi wewenangnya, maka terbuka kesempatan untuk mengangkat para murid dan pengikut madzhab Hanafi menjadi hakim di daerah-daerah. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan madzhab Hanafi berkembang pesat dan tersebar luas di berbagai daerah kekuasaan Islam. Ahmad Amin, Dhuha..., Op. Cit., hal., 199.

[17]Muhammad Abu Zahrah, A1-Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyyah (t.tp.: Mathba’ah al-Muduny, tth.), hal., 186

[18]Di dalam kitab ini dimuat hadits yang diriwayatkannya, ayah dan gurunya. Sanad hadits tersebut ada yang bersambung sampai kepada Rasulullah, sahabat, dan ada pula yang hanya sampai kepada tabi’in. ia mengemukakan pendapat gurunya, Abu Hanifah, kemudian pendapatnya sendiri, dan menjelaskan sebab terjadinya perbedaan pendapat mereka.

[19]Di dalamnya dikemukakan pendapat Abu Hanifah dan Ibnu Abi Laila serta perbedaan pendapat mereka. Tidak ketinggalan pula dimuat kritik keras Abu Hanifah terhadap ketetapan peradilan yang dibuat Ibnu Abi Laila dalam memutuskan perkara. Dalil-dalil nash dan logika Abu Hanifah juga dimuat dengan terperinci.

[20]Kitab ini memuat perbedaan pendapatnya dengan pendapat Abdurahman al-Awza’i tentang masalah perang dan jihad, sekaligus bantahan Abu Yusuf terhadap pendapatnya.

[21]Kitab ini merupakan kitab terpopuler diantara karya-karyanya. Di dalam kitab ini ia menerangkan pemikiran hukumnya dalam berbagai aspek, seperti: keuangan negara, pajak tanah, pemerintahan, dan prinsip-prinsip demokrasi (musyawarah). Menurut Ibnu Nadim (w. 386 H/995 M), sejarawan Islam ternama, selain dari kitab-kitab tersebut di atas, masih banyak lagi buku yang ditulisnya, seperti Kitab al-Shalah (mengenai shalat), Kitab al-Zakat (mengenai zakat), Kitab al-Shiyam (tentang puasa), al-Bay’ (mengenai jual beli), Kitab al-Farai’dh (mengenai waris), dan Kitab al-Washiyyah (mengenal wasiat). Dalam kitab-kitab tersebut dimuat pendapat gurunya dan pendapatnya sendiri tentang masalah-masalah yang dikandung oleh masing-masing kitab. Sebagaimana gurunya, Abu yusuf termasuk kelompok ahli hukum yang mengedepankan rasionalitas (ahl al-ra‘y). Ia lebih banyak menggunakan analogi dalam menetapkan hukum dari pada hadits ahad. Lihat Ibnu Nadim, Al-Mufahras, t.tp., t.tb., t.th., hal. 203.

[22]Untuk penjelasan lebih lanjut tentang masalah adat dan berbagai permasalahannya seperti syarat-syarat dan argumentasi kehujjahannya, serta pembahasan lengkap tentang bagaimana jika adat bertentagan dengan nash lihat Muhammad Sidiq, A1-Wajiz fi Idarat Qawa‘id al-Kulliyah (Beirut: Mu’assasahal-Risalah, 1983), hal., 157-164.

[23]Ali Hasbullah, Ushul al-Tasyri’ al-Islamy (Bandung: Dar al-Ma’arif, 1976), hal. 313.

[24]Ibrahim Husain, Beberapa Catalan Tentang Reaktualisasi Hukum Islam dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: IPHI-Paramadina, t.th.), hal. 264.

[25]Ibnu Khallikan, Wafayat..., Op. Cit. Hal., 381.

[26]Abdul Aziz Dahlan, (ed.), Ensiklopedi.... Op. Cit. Hal. 18.

[27]Abdullah Mustafa al-Maraghi, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, Terj. Husein Muhammad, Cet. I, (Yogyakarta: LKPSM, 2001), hal. 77-78.

[28]Ahmad Amin mengatakan bahwa sebagian ulama’ berpendapat bahwa al-Syaibany berasal dan sebuah desa yang berada di wilayah Damsyiq bernama Harasta. Sebagian lain mengatakan ia berasal dan Iraq Selatan, dan bapaknya adalah seorang Komandan pasukan di Syam, ia adalah seorang mawali dan penisbatannya kepada al-Syaibany disebabkan karena walak. Dia dilahirkan pada tahun 132 H di Wasith dan besar di Kufah. Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Juz. H, Cet. X (Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Araby, tth.) haL. 203.

[29]Ibnu Khallikan, Wafayat al- ‘A‘yan fi Anba‘i Abna‘ al-Zaman, Dr. Muhammad Ihsan (ed.) Jild. IV (Beirut, Lebanon: Dar al-Tsaqafah, t.th.), hal. 184-185.

[30]Menurut Ahmad Amin, al-Syaibany tidak lama berguru kepada Abu Hanifah. Pada saat Abu Hanifah meninggal al-Syaibany berumur delapan belas tahun. Ahmad Amin, Dhuha..., Op. Cit., hal. 203.

[31]Abdul Aziz Dahlan, (ed.), Ensikiopedi Hukum Islam, Jild. V (Jakarta: PT. Ichtiar Barn Van Hoeve, 1996),, hal. 1686.

[32]Ahmad Amin, Dhuha... Op. Cit., hal. 203

[33]Ibid.

[34]Noel J. Coulson, Hukum Islam Dalam Perspektif Sejarah, Terj., Hamid Ahmad (Jakarta: P3M, 1987), hal., 57-58.

[35]Abdul Aziz Dahlan, (ed.), Ensiklopedi... Op. Cit., hal., 1687.

[36]Noel J. Coulson, Hukum..., Op. Cit., hal. 57.

[37]Muhammad Abu Zahrah, Al-Tarikh aI-Madzahib al-Fiqhiyyah, (t.tp.: Mathba’ah al-Muduny, tth.), hal., 187. Muhammad Yusuf Musa, Abu Hanifah (Mesir: Maktabah Nahdhah Mesir bi-al Fujalah, tth.), hal., 170-171.

[38]Dr. Muhammad Zuhri, Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. II., 1997), hal., 104.

[39]Muhammad Yusuf Musa, Abu Hanifah... Op. Cit., hal., 170.

[40]Muhammad Abu Zahrah, Al-Tarikh..., Op. Cit., hal., 187.

[41]Thaha Jabir al-Alwani, Metodologi Hukum Islam Kontemporer, Terj. Yusdani (Yogyakarta: Ull-Press, 2001), hal. 71.

[42]Adapun mengenai ijtihad dengan menggunakan selain dalil nash, al-Makky dalam Manaqibnya, seperti yang telah dikutip oleh Abu Zahrah, mengatakan bahwa fatwa hukum Abu Hanifah adalah terpercaya, jauh dan kesesatan, serta memperhatikan aspek hubungan antar manusia dan hal-hal yang dapat menjadikan kelangsungan dan kebaikan urusan hidup mereka. Ia memutuskan permasalahan-permasalahan yang dihadapinya dengan cara qiyas. Jika qiyas tidak mampu memecahkan permasalahan itu, ía gunakan cara istihsan. Jika istihsan tidak mampu memecahkannya juga, ía kembalikan kepada apa yang telah diamalkan oleh kaum muslimin (baca; urf). Selanjutnya ia mengambil hadits yang ia pandang baik, kemudian meng-qiyas-kannya selama qiyas sesuai, jika tidak sesuai, ia kembalikan kepada istihsan. Salah satu dari keduanya, mana yang lebih cocok ia pergunakan. Inilah ilmu Abu Hanifah, kata Sahl. Lihat Abu Zahrah, Al-Tarikh..., Op.Cit., hal. 175.

[43]Ibid., hal. 178.

[44]Menurutnya pakaian yang suci yang dicuci dalam ember tidak dapat merusak air. Menurut Abu Hanifah dan al-Syaibany, bila seseorang sebagian anggota badannya terkena kotoran, lalu dicuci ke dalam tiga ember, maka hukumnya suci pada tahap ketiga dari pencucian itu. Jika ia mencuci keempat kalinya, maka air itu tidak dapat digunakan untuk berwudlu. Sedangkan menurut Abu Yusuf, kotoran itu tidak suci, demikian juga bila seorang junub mandi dalam lima atau enam abar (penulis tidak menemukan arti kata abar), maka air itu tidak dapat mensucikan dan bahkan air itu manjadi rusak. A1-Syaibany, Al-Jami al-Kabir, Dr. Muhammad Muhammad Tamir, (ed.), (Beirut, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), hal., 5-6.

[45]Muhammad Yusuf Musa, Abu Hanifah... Op. Cit., hal. 147.

[46]Kemudahan dalam ibadah dan mu’amalat, yang merupakan dasar syari’at Islam. Salah satu tujuan disyari’atkannya hukum Islam adalah terwujudnya kemudahan dengan menarik kesulitan dan menghilangkan masyaqat baik dalam bidang akidah, ibadah, maupun hukum. Hal ini berdasarkan Firman Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 185, “Allah Menghendaki kemudahan bagi kamu, dan tidak menghendaki kesulitan bagi kamu”..

[47]Menjaga orang-orang yang fakir dan lemah, yang merupakan inti pesan al-Qur’an. Dimensi ini, kita dapat menemukan banyak permasalahan yang menyangkut pandangan dan madzhab Hanafi mengenai penjagaan (dalam usaha memberantas) kefakiran dan kelemahan. Misalnya, ulama’ berbeda pendapat dalam wajib atau tidaknya zakat terhadap perhiasan baik dari emas atau perak. Menurut madzhab Hanafi hukumnya adalah wajib, sedangkan imam al-Syafi’i dalam salah satu pendapatnya tidak mewajibkan zakat. Ibid., hal. 90

[48]Keabsahan tasharruf manusia berdasarkan kemampuannya. Masalah yang muncul dari kaidah ini antara lain adalah apakah Islam-nya anak laki-laki (shabiy) yang berakal sebelum mencapai kepada kemampuannya untuk menilai sesuatu yang baik bagi dirinya, dianggap sah atau tidak? Madzhab Hanafi berpendapat sah, sedangkan al-Syafi’i menganggap tidak sah. Ibid.

[49]Menjaga kemerdekaan manusia dan sifat kemanusiaannya. Madzhab Hanafi sangat mengutamakan kemerdekaan manusia dan sifat kemanusiaannya. Pandangan ini berimplikasi terhadap dibolehkannya wanita yang sudah mencapai balig, berdasarkan keinginan dan kebebasannya, untuk menikah dengan seseorang laki-laki yang dianggap baik menurut pertimbangannya sendiri, dan hal-hal yang terkait dengan pernikahan dinnya. Seorang wali tidak mempunyai hak dan kewenangan untuk memaksanya menikah dengan laki-laki yang tidak disukainya. Ibid.

[50]Menjaga kepemimpinan negara yang terdapat dalam diri seorang imam. Islam berdiri berdasarkan prinsip demokrasi (syura) dan persamaan hak dan kewajiban diantara para pemeluknya. Hal ini mengacu kepada apa yang datang dari Nabi, bahwa orang-orang muslim sederajat darahnya, mempunyai tanggungjawab yang sama, tidak ada keutamaan antara Arab dan ’ajam, kecuali taqwanya. Oleh karenanya khalifah atau sultan yang dianggap sebagai seorang imam mempunyai hak menjaga kepemimpinannya sendiri dan orang-orang yang dipimpinnya, yang merupakan hak dan kewajiban bagi setiap muslim untuk menjaga kepemimpinan itu dan tidak berbuat kesalahan terhadapnya. Ibid.

[51]Ahmad Hasan, Ijma’, Terj. Rahmani Astuti (Bandung: Pusataka, 1985), hal. 40-41.

[52]Abdul Aziz Dahlan, (ed.), Ensiklopedi…, hal., 1687.

[53]Ibid, hal., 1688.

[54]Ibid.

[55]Ibid.