Mencari makalah yang lain :

Google
 

Tuesday, September 18, 2007

Sejarah Bisa Berulang

Mungkin sudah tidak diingat, bahkan oleh orang Dayak sendiri, bahwa pada pertengahan 50-an abad ke-20 pernah terjadi hiruk-pikuk politik berkaitan dengan agama dan etnisitas di Kalimantan. Separoh pulau milik Indonesia itu pada 1956 dibagi menjadi 3 propinsi. Kalimantan Barat mencakup batas perairan dari sungai Kapuas dan sungai-sungai lain yang mengalir ke arah barat; Kalimantan Timur mencakup batas perairan dari sungai Mahakam dan seluruh sungai lain yang mengalir ke timur; dan Kalimantan Selatan meliputi batas perairan dari seluruh sungai yang mengalir ke selatan, seperti sungai Barito dan sungai Kahayan. Daerah yang kini disebut Kalimantan Tengah termasuk ke dalam wilayah Kalimantan Selatan.
Bagi propinsi Kalimantan Timur dan Barat perbedaan topografis masih dianggap cocok, namun tidak demikian pada kasus batas perairan dari sungai-sungai yang mengalir ke arah selatan. Kelompok Muslim Banjar, yang secara kuantitatif dan politik superior, mendominasi propinsi Kalimantan Selatan. Masyarakat Dayak di wilayah itu yang merasa terdesak segera melangkahkan berbagai upaya ke pemerintah pusat di Jakarta untuk memperoleh pengakuan Dayak Besar dengan propinsi yang terpisah dari kekuasaan Banjar muslim Kalimantan Selatan. Tetapi seluruh upaya itu menemui kegagalan; pemerintah pusat tak mengabulkan permohonan mereka.
Tak puas dengan itu, sebagian masyarakat Dayak menegaskan perlawanan fisik, sebuah gerakan (disebut pemberontakan) mengikuti garis agama dan etnis berkobar. Kelompok utama Dayak Ngaju pada 1956 mulai menyerang berbagai bangunan pemerintah terutama di Banjarmasin. Tujuan utama gerakan tersebut adalah untuk memperoleh pengakuan terhadap eksistensi Dayak Besar dalam putaran politik pemerintahan dengan mendirikan propinsi otonom terpisah dari Kalimantan Selatan. Sadar bahwa ini persoalannya sudah menyangkut persoalan mengancam persatuan dan kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Presiden Soekarno akhirnya (1957) mengabulkan permohonan Dayak untuk mendirikan propinsi sendiri bernama Kalimantan Tengah (Miles, 1976). Sebuah kebijakan yang sebelumnya diberikan kepada Daerah Istimewa Aceh.
Kenyataan Kalimantan Timur sekarang memang tidak persis sama dengan kenyataan Kalimantan Selatan waktu itu. Dominasi agama tertentu di Kalimantan Timur kini tidak terlihat sebagaimana di Kalimantan Selatan tempo dulu. Akan tetapi membanjirnya migrasi orang-orang Jawa, Bugis, Mandar, Banjar, dan Madura yang memperoleh sambutan dari kalangan muslim Kutai (haloq) tidaklah mustahil jika akan melahirkan dominasi sebagaimana yang terjadi di Kalimantan Selatan tempo dulu. Sebuah dominasi yang melebar dalam berbagai hal dan sektor; sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan.
Laporan-laporan yang disiarkan, hutan dibabat, jalan sungai diubah menjadi darat, industrialisasi yang hanya menimbang skill dan pengetahuan digelar, migrasi berlangsung deras, peng-agama-an meluas, dan orang-orang Dayak terkena re-setlement tanpa ujung. Semua itu menghasilkan orang-orang Dayak semakin tersudut dari “pentas” ekonomi, politik, dan budaya.
Memang benar bahwa banyak dari penduduk Dayak yang beralih profesi (Weinstock dan Sunito, 1989; Eghenter, 1995). Tetapi, akses Dayak terhadap berbagai sumber ekonomi masih sebatas di wilayah pinggir. Perdagangan di kota maupun di desa didominasi oleh para pendatang (Bugis, Banjar, dan Jawa). Begitu pula partai politik, birokrasi, dan kebudayaan, posisi pentingnya didominasi non Dayak.
Tampaknya, kita harus melawan lupa.
Bisri Effendy

Kesadaran Kewargaan Bisa Atasi Konflik Komunal

Oleh : Asman Azis & Mh. Nurul Huda
Menjamurnya berbagai organisasi berbasis etnis di Kaltim belakangan ini dirasakan amat merisaukan. Berbagai kalangan menilai hal ini bukan hanya rawan manipulasi politik, tetapi juga konflik antar komunitas dan lembaga. Kesadaran kewargaan dibutuhkan untuk meminimalisir konflik itu.
Elisason, pria berumur lebih setengah abad itu adalah salah seorang yang risau itu. Ia resah bercampur sedih. Sebagai putra asli Dayak, dirinya bangga kesadaran masyarakatnya mulai bangkit menuntut kembali hak-hak budaya dan ekonominya yang tergusur oleh derap modernisasi. Tapi di sisi lain, orientasi organisasi ini semakin kabur lantaran, katanya, sudah keluar dari rel-rel yang disepakati bersama.
“Banyaknya organisasi itu menunjukkan kami sudah bangkit. Tapi juga bisa jadi petanda kemunduran bila keberadaannya hanya diperalat demi target politik atau ekonomi kelompok elit saja,” ujar tokoh lokal Dayak yang masih memegang jabatan Ketua Persatuan Dayak Kalimantan Timur (PDKT) Ranting Tenggarong Seberang ini. Konflik Dayak-Madura di Kalbar dan Kalteng, serta konflik antara Dayak dan Bugis di Nunukan baru-baru ini memperkuat kekhawatiran itu.
Sebagai fungsionaris organisasi, meski hanya di tingkat ranting, Elisason rasanya bukan asal omong. Setiap tahun organisasi tempat dirinya bernaung itu menggelar kongres. Dan di setiap kongres pula ia menjumpai pengalaman yang dirasakan sebagai kemunduran itu. Persaingan, konflik dan saling sikut yang biasanya terus menguat apalagi bila event pilkada menjelang. Apalagi pada peristiwa yang terakhir ini Elisason tak jarang bersinggungan keras dengan organisasi etnis yang lain.
Ya, memang, tak sedikit organisasi berbasis etnis Dayak di seantero Kalimantan Timur sekarang ini. Bahkan konon hingga ratusan jumlahnya. Selain organisasi-organisasi yang sudah mapan macam PDKT (Persatuan Dayak Kalimantan Timur) yang memiliki kepengurusan dari tingkat propinsi hingga ranting kecamatan, paguyuban-paguyuban berbasis subetnis juga amat berbilang jumlahnya.
Para pengurusnya tak terbatas para sesepuh, tokoh, dan ketua adat di komunitas masing-masing. Organisasi yang memiliki payung hingga tingkat kabupaten atau propinsi bahkan dipimpin oleh pejabat birokrasi atau tokoh partai politik.
Perbedaan kepentingan kerapkali menyulut pertikaian elit yang tajam. Akibatnya bukan hanya mengancam solidaritas komunitas secara keseluruhan, tapi juga tergelincir dalam konflik internal antar komunitas Dayak sendiri.
Kekhawatiran Elisason dan sejumlah tokoh masyarakat di Kaltim belakangan ini sebenarnya bisa ditarik lebih luas.
Gejala menguatnya politik identitas sebagai ekspresi semangat kekuatan lokal yang mulai marak sejak reformasi dan puncaknya sejak diberlakukannya otonomi daerah, telah mengentalkan sentimen komunal yang terkotak-kotak. Karena itu persaingan dan konflik bukan hanya mungkin terjadi dalam internal komunitas, tapi juga melebar ke arah antar kelompok yang berbeda-beda.
Keragaman etnis
Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2000, Kalimantan Timur sebenarnya memperlihatkan wajah yang berwarna-warni. Selain kebudayaan penduduknya yang amat heterogen, wilayah seluas 245.237,80 km2 atau sekitar satu setengah kali Pulau Jawa dan Madura ini juga bersifat multietnik: Dayak dan berbagai variannya, Bugis, Banjar, Mandar, Madura, dan Jawa.
Sebagaimana kota-kota lain yang bersumber daya melimpah, Kaltim layaknya kota kosmopolitan. Migrasi penduduk dari satu daerah ke daerah lain berlangsung cepat dan terbuka. Apalagi dengan pesatnya perkembangan sarana komunikasi dan transportasi, perjumpaan-perjumpaan antar komunitas yang berlatar belakang berbeda sulit dihindari.
Di Kaltim, kelompok-kelompok etnis ini juga membentuk organisasi atau paguyuban-paguyuban.
Orang-orang Sulawesi Selatan, misalnya, membentuk Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS). Begitu pula orang Banjar, mereka berkumpul dalam komunitas Kerukunan Keluarga Bubuhan Banjar (KKBB) Kaltim. Sementara orang Jawa yang merantau dan akhirnya memutuskan menetap dan tinggal di Kalimantan Timur, mereka mendirikan Ikapakarti (Ikatan Paguyuban Keluarga Tanah Jawi) dan mengklaim memayungi 35 jenis paguyuban. Sebagaimana halnya Dayak, organisasi-organisasi ini juga memiliki anggota yang duduk di birokrasi dan partai politik.
Tak ada yang ganjil dengan tumbuhnya berbagai organisasi dan paguyuban berbasis etnis semacam ini. Setiap orang memiliki keterikatan kultural dan mengidentifikasikan dengan identitas kulturalnya.
Hanya saja warna-warni keragaman etnis ini terancam hilang bila politik identitas – yang sejak awal dikonstruksi secara politis dan direpresentasikan melalui paguyuban-paguyuban ini--menegasikan eksistensi komunitas yang berbeda.
Dengan kata lain, paguyuban yang awalnya sebagai wadah silaturahmi dan persaudaraan bersama pada gilirannya dimanfaatkan demi kepentingan politik atau ekonomi kelompok elit tertentu. Kenyataannya konflik-konflik komunal acapkali bersumber dari situasi semacam ini.
“Kalau organisasi etnis ini hanya menjadi kendaraan untuk meraih posisi politik tertentu, maka bukannya menjadi pereda konflik, sebaliknya akan menyulut konflik,“ tandas Abdul Rahman Daeng Sikki, wakil Rata Kiri Kanansekretaris Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan.
Penuturan Daeng Sikki ini memperlihatkan betapa mudahnya konflik komunal tersulut. Sumbernya bisa pertikaian politik, perebutan sumber daya ekonomi atau persaingan elit dalam birokrasi.
Kesadaran Kewargaan
Lantas bagaimana cara menghentikan gesekan antar etnis dan konflik berlatar belakang politik identitas semacam ini?
Muhammad Arifin yang juga Ketua Prodi Sosiologi Universitas Mulawarwan, Samarinda, menegaskan pendekatan keamanan, pengerahan massa dan premanisme bukanlah jalan penyelesaian. Menurut dia, organisasi-organisasai berbasis etnis ini seyogyanya menanamkan kesadaran perbedaan kepada anggota komunitasnya. Tujuannya agar berbagai kelompok budaya dan etnis ini bisa saling memahami dan menghargai satu sama lain.
“Selain berbagai organisasi berbasis etnis ini harus introspeksi, negara juga harus memulihkan kelompok-kelompok marginal seperti etnis Dayak agar memperoleh lagi kesempatan dan hak-hak mereka kembali,” ujarnya.
”Pemberian HPH (Hak Pengelolaan Hutan) dan KP (Kuasa Pertambangan) yang sangat merugikan masyarakat Dayak dilakukan oleh pemerintah, juga kebijakan-kebijakan pemerintah seperti re-setlement penduduk sangat berperan dalam proses-proses marginalisasi tersebut.”
Selain itu, Arifin juga menambahkan agar pemerintah, birokrasi dan wakil rakyat memberi perlindungan dan perlakuan yang sama dan adil bagi semua masyarakat sebagai warga, bukan sebagai penduduk etnis tertentu saja.
Dengan kebijakan semacam ini diharapkan konflik-konflik komunal yang kerapkali dipicu oleh marginalisasi budaya, diskriminasi ekonomi maupun politik, tak akan terulang lagi. []

Kategori

Dulu, pesisir dan pedalaman di Jawa pernah dirumuskan sebagai dua kategori penting yang selalu paradoks atau diperlawankan. Dalam hal politik pemerintahan Mataram, pedalaman sebagai pusat kekuasaan dengan legitimasi penguasa laut selatan, dan pesisir utara sebagai pusat oposisi dan perlawanan. Pangeran Puger di zaman Sultan Agung yang mengungsi ke utara ketika ia mendeklarasikan diri sebagai oposan terhadap Mataram merupakan contoh menarik.

Dari segi kebudayaan, banyak orang menulis bahwa kebudayaan pesisir dan kebudayaan pedalaman di selatan Jawa merupakan dua entitas budaya yang sangat berbeda dan sah untuk dikategori secara terpisah. Bentuk-bentuk kesenian maupun ritual di kedua wilayah itu amatlah tidak sama di mana pesisir lebih melahirkan ekspresi yang terbuka bahkan vulgar, sementara pedalaman lebih merupakan persemayaman simbolisme dan kehalusan. Jaipong pesisir utara (Karawang dan Subang) yang terkenal dengan ‘goyang kerawang’ (erotis) selalu dibedakan dari jaipong pedalaman (Bandung dan sekitarnya) yang ‘estetis’ bahkan keduanya pernah ‘bertabrakan’ dan saling bertentangan. Dalam soal keagamaan pun kedua wilayah geografis tersebut juga menciptakan dua corak yang berbeda; pesisir yang santri dan pedalaman yang sinkretis (kejawen).

Ketegori serupa juga terjadi di Lampung. Penduduk asli daerah itu juga terbelah ke dalam pesisir dan pedalaman. Penduduk pesisir menganggap bahwa Raden Intan, seorang pejuang di zaman Belanda, adalah pahlawan yang hebat, sedangkan penduduk pedalaman menganggapnya sebagai penjahat. Pandangan serupa juga terjadi di Riau dalam memandang pejuang Pangeran Tambusai. Penduduk Riau darat (pulau Sumatera) memandang pangeran itu sebagai pahlawan dan amat getol mengusulkannya menjadi pahlawan nasional, sementara Riau pulau memandangnya sebagai penjahat.

Pemilahan (kategori) di kedua daerah itu ternyata tidak hanya menyangkut soal kebudayaan, melainkan berimbas pada perkara politik. Berulang kali pemilihan gubernur atau pejabat tertentu lainnya kandas hanya karena persoalan dari mana asal calon yang bersangkutan; dugaan paling kuat bahwa hal itu memang yang dikehendaki Jakarta. Oleh sebab itu, dalam rentang waktu panjang (masa orde baru), kepala daerah di kedua wilayah itu selalu dimonopoli Jakarta dan yang menjadi adalah dari Jawa.

Kategori geografis rupanya juga sempat mempengaruhi perkembangan keilmuan sosial terutama antropologi. Hingga tahun 90-an, bahkan sampai kini pun masih terlihat sisa-sisanya, kita ‘tercekoki’ oleh pendekatan (perspektif) geografis yang memandang seolah wilayah geografi masih berpengaruh pada pembentukan corak atau karakter kebudayaan. Sulit mengikuti perspektif ini ketika ternyata perkembangan komunikasi dan transportasi menghasilkan mobilitas sosial dan pengerucutan pada pusat politik, ekonomi, dan kebudayaan yang tunggal. Dan dalam kasus Indonesia pusat itu adalah Jakarta yang bukan pesisir dan bukan pula pedalaman, tetapi metropolitan. Dalam soal agama pun juga sama, menuju ke pusat bernama “bukit puritan”.

Begitu banyak hasil-hasil riset sosial berkesimpulan bahwa kecenderungan kebudayaan (dari gaya hidup sampai ekonomi, politik, dan keberagamaan) paling menonjol penduduk wilayah pedalaman (kota dan desa) metropolis, kapitalistik, dan puritan, hal yang sama juga dapat disaksikan di wilayah pesisir. Otonomi daerah yang antara lain menggemakan lokalitas, ternyata hanya menghasilkan pengkaplingan tahta politik dan tidak membentuk corak subtansi yang beraneka-ragam.

Menegaskan kembali identitas lokal berdasarkan geografi, selain identitas itu sendiri selalu merupakan proyek politik, akan berseberangan dengan kenyataan. Bahkan akan berbahaya ketika penanda yang dipilih adalah sesuatu yang krusial dan ‘rawan konflik’ seperti agama.

Bisri Effendy

Ketika Kategori Kultural Semakin Cair

Belum lama ini sejumlah aktifis dan seniman mendatangi gedung DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara. Dalam hearing bersama wakil rakyat itu, seorang seniman dari LPKK (Lembaga Pembinaan Kebudayaan Kutai) Tenggarong melontarkan usulan yang mengundang tanya. Katanya, bila Kutai Barat dan Kutai Timur telah mengembangkan kesenian (kebudayaan) pedalaman (Dayak), maka Kutai Kartanegara harus mengambil kesenian pesisir, Melayu/Islam, agar memiliki kekhasan dari wilayah kabupaten lainnya.

Entah apa sebenarnya yang ada di benak sang aktifis ini. Mirip keyakinan dan nalar para pengambil kebijakan kita di masa Orde Baru, seolah-olah kebudayaan pesisir dan pedalaman berbeda secara esensial, begitu pula identitas orang-orang di dalamnya selalu tetap dan tak berubah. Padahal kenyataan sosial selalu berkembang dan berjalan dinamis sehingga tak mungkin dikotak-kotakkan dalam kategori tunggal semata.

Produk festival

Pembagian kategoris kesenian pedalaman dan pesisir di Kaltim sebenarnya belum lama terdengar. Istilah ini baru diperkenalkan oleh Dinas Pariwisata Kalimantan Timur dalam acara festival kesenian tahun 2001. Selanjutnya ia dipertegas dalam perhelatan Festival Kemilau Seni Budaya Etam, Desember 2006, yang mem-festival-kan musik pesisir/pedalaman, busana pesisir/pedalaman, dan tari pesisir/pedalaman. Kegiatan ini diprakarsai Dinas Pariwisata dan Taman Budaya Kalimantan Timur dan diikuti oleh 13 kabupaten/kota se-Kaltim.

Namun ada hal menarik dari berbagai festival ini. Kendati tema festival mengusung kesenian pesisir dan pedalaman, berbagai pertunjukan justeru melampaui angan-angan penyelenggaranya. Apa yang dianggap kesenian pedalaman yang khas ternyata memiliki unsur-unsur kesenian pesisir. Demikian pula sebaliknya, jenis musik yang sering dikategorikan khas pesisir justeru menampilkan perpaduan unik antara musik yang dianggap Islami itu dengan musik tradisional masyarakat Dayak.

Darmo, misalnya, mengaku gerakan tarian grupnya biasa dimainkan oleh komunitas adat di hulu sungai Mahakam. Namun demikian tarian yang dimainkannya juga memuat unsur yang dianggap khas pesisir itu. “Lihat saja alat musiknya, selain sampeq kami juga menggunakan tingkilan yang sering dikategorikan alat musik pesisir, bahkan Islam,” papar peserta festival yang dari namanya saja barangkali orang tak menyangka dirinya berasal dari suku Dayak Benuaq, Kutai Barat.

Pengakuan ini juga diamini Indra Bengeh yang menjabat kepala adat Dayak Besar, Kutai Timur. Ia menuturkan tidak semua warga Dayak tinggal di pedalaman, banyak di antara mereka yang tinggal di pesisir yang sebagian menetap di sepanjang pesisir Sangkulirang. Hal ini juga berlaku bagi masyarakat Kutai dan Melayu yang tidak seluruhnya tinggal di pesisir. ”Makanya tidak tepat jika pedalaman itu hanya disebut Dayak dan pesisir itu Kutai dan Melayu,” tandas Indra Bengeh usai menampilkan musik dan tari Dayak Modang dari Kutai Timur itu.

Pandangan kategoris bahwa pedalaman merepresentasikan Kristen sementara pesisir Islam juga dipatahkan oleh masyarakat sendiri. Bagi Darmo, persepsi demikian itu, setidaknya dalam kesenian, sangat menyesatkan dan bisa berakibat serius terhadap hubungan sosial dalam masyarakat. ”Tidak ada hubungan langsung antara tarian baik pedalaman maupun pesisir dengan agama tertentu secara kaku,” demikian tegasnya. Pendapat serupa juga keluar dari mulut seorang seniman teater asal Samarinda, Lita. ”Jika ada orang Dayak masuk Islam biasanya disebut Melayu atau Kutai, padahal itu bisa membuat seseorang kehilangan hak kulturalnya sebagai Dayak,” tandasnya.

Problematis

Ya, bagi Darmo dan juga Lita di atas, identifikasi agama dengan etnisitas atau kategori-kategori tertutup lainnya bukan hanya membingungkan dari segi nalar sehat tapi juga problematis dalam realitas sosial. Berbagai macam ritual yang dijalankan komunitas Dayak Benuaq dan Tunjung di Kaltim, seperti ngugu taun (bersih desa), ritual kewangkey (ritus kematian untuk balas jasa terhadap arwah-arwah leluhur), dan juga ritual belian (upacara penyembuhan khas komunitas Tunjung dan Benuaq), barangkali bisa membuyarkan kotak-kotak kategorial semacam itu. Dalam setiap ritual tersebut, terdapat berbagai tarian yang dimainkan tanpa mengenal batas agama. Bahkan bisa dikatakan, dalam satu ritual ada beragam agama. Di Jahab, Kutai Kartanegara, misalnya, kepala adatnya beragama Katolik, belian-nya Muslim, ada juga yang Kristen, dan lainnya beragama Kaharingan.

Dalam ranah kesenian, gugatan terhadap identifikasi agama dan etnis atau budaya itu kenyataannya jauh lebih kuat dan semarak. Meski dewan juri festival telah mengelompokkan berbagai kesenian dalam kategori pedalaman dan pesisir, kenyataannya banyak grup musik dan tari tradisi yang mengawinkannya dengan gambus yang konon khas pesisir (dan juga Islami) dan sampeq yang pedalaman. Lagu mayanyo dari suku Tidung, misalnya, dimainkan secara apik dan padu dengan iringan musik sampeq, gambus serta tingkilan sekaligus. Demikian pula kelompok musik pedalaman Kutai Barat yang diiringi alat musik tingkilan yang tampil memikat. Realitas ini memperlihatkan betapa identitas, kategori-kategori, dan kebudayaan begitu cair, plural dan amat dinamis.

Begitulah, kenyataan bahwa kesenian dan kebudayaan di Kaltim tumbuh beragam memang harus diterima akibat keragaman sosialnya. Namun, menentukan kategori kebudayaan itu secara tertutup apalagi didorong oleh kepentingan eksternal (politik dan pariwisata) tentu tidaklah tepat. Adalah kekeliruan bila kebudayaan diandaikan seperti pakem yang bisa dikotakkan berdasar batas-batas wilayah geografis, teritorial atau kelompok etnis tertentu. Begitu pula mengandaikan identitas kebudayaan yang selalu tunggal, tanpa menyadari bahwa ia selalu dikonstruksi secara sosial dan politis.

Bukankah cara pandang semacam itu hanya mengkopi angan-angan sentralisme kekuasaan Orde Baru yang mendirikan TMII (Taman Mini Indonesia Indah) sebagai representasi tunggal identitas budaya daerah?.