tag:blogger.com,1999:blog-8748866915785030052024-03-20T02:44:01.219-07:00Articles Bankbank makalahhttp://www.blogger.com/profile/09527060703496216783noreply@blogger.comBlogger38125tag:blogger.com,1999:blog-874886691578503005.post-19920955866083532772009-12-25T14:09:00.000-08:002009-12-25T14:11:15.127-08:00Cooperative LearningA. Pendahuluan<br />Sebuah pembelajaran tentu ada model, perkembangan model pembelajaran dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan. Model-model pembelajaran tradisional sudah jarang yang menggunakan, kecenderungan orang menggunakan model pembelajaran yang lebih modern. Banyak macam dan ragamnya model pembelajaran tersebut, dan salah satu model pembelajaran tersebut adalah Cooperative Learning, model pembelajaran tersebut saat ini banyak mendapat respon karena model ini tidak hanya unggul dalam membantu siswa memahami konsep yang sulit, tetapi juga sangat berguna untuk menumbuhkan kemampuan berpikir siswa, bekerja sama, dan membantu teman. <br />Berangkat dari teori kontruktivisme, pembelajaran kooperatif merupakan salah satu pembelajaran yang dikembangkan karena mengembangkan struktur kognitif untuk membangun pengetahuan sendiri melalui berpikir rasional (Rustaman et al., 2003: 206).<br />B. Pengertian Pembelajaran Kooperatif<br />Cooperative Learning is a relationship in a group of students that requires positive interdependence (a sense of sink or swim together), individual accountability (each of us has to contribute and learn), interpersonal skills (communication, trust, leadership, decision making, and conflict resolution), face-to-face promotive interaction, and processing (reflecting on how well the team is functioning and how to function even better). (Pembelajaran Kooperative adalah suatu hubungan dalam kelompok siswa yang memerlukan saling ketergantungan positif (rasa tenggelam atau berenang bersama-sama), akuntabilitas individu (masing-masing dari kita harus berkontribusi dan belajar), keterampilan antarpribadi (komunikasi, kepercayaan, kepemimpinan, pengambilan keputusan, dan resolusi konflik), tatap muka interaksi promotif, dan pengolahan (merefleksikan bagaimana baik tim berfungsi dan bagaimana berfungsi bahkan lebih baik).<br />Sistem pembelajaran gotong royong atau cooperative learning merupakan system pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama dengan sesame siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur. Pembelajaran kooperatif dikenal dengan pembelajaran secara berkelompok. Tetapi belajar kooperatif lebih dari sekedar belajar kelompok atau kerja kelompok karena dalam belajar kooperatif ada struktur dorongan atau tugas yang bersifat kooperatif sehingga memungkinkan terjadinya interaksi secara terbukadan hubungan yang bersifat interdepedensi efektif diantara anggota kelompok (Sugandi, 2002: 14). <br />Dalam pembelajaran kooperative, untuk mencapai hasil yang maksimal, maka harus diterapkan lima unsur model pembelajaran gotong royong, yaitu:<br />a. Saling ketergantungan positif.<br />b. Tanggung jawab perseorangan.<br />c. Tatap muka.<br />d. Komunikasi antar anggota.<br />e. Evaluasi proses kelompok<br /><br />C. Karakteristik Pembelajaran Kooperatif<br />Ada beberapa karakteristik pembelajaran kooperatif ini, karakteristik tersebut diantaranya adalah :<br />1. Siswa bekerja dalam kelompok kooperatif untuk menguasai materi akademis.<br />2. Anggota-anggota dalam kelompok diatur terdiri dari siswa yang berkemampuan rendah, sedang, dan tinggi.<br />3. Jika memungkinkan, masing-masing anggota kelompok kooperatif berbeda suku, budaya, dan jenis kelamin.<br />4. Sistem penghargaan yang berorientasi kepada kelompok daripada individu..<br /><br />D. Teknik Pembelajaran Kooperatif<br />Banyak sekali teknik yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran kooperatif ini, berikut beberapa teknik yang bisa dijadikan rujukan dalam penggunaan pembelajaran kooperatif, teknik pembelajaran kooperatif di antaranya adalah :<br />1. Jigsaw<br />Terdapat kelompok ahli dan kelompok asal. Kelompok asal adalah kelompok awal siswa terdiri dari berapa anggota kelompok ahli yang dibentuk dengan memperhatikan keragaman dan latar belakang. Guru harus trampil dan mengetahui latar belakang siswa agar terciptanya suasana yang baik bagi setiap angota kelompok. Sedangkan kelompok ahli, yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok lain (kelompok asal) yang ditugaskan untuk mendalami topik tertentu untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal.<br />Para anggota dari kelompok asal yang berbeda, bertemu dengan topik yang sama dalam kelompok ahli untuk berdiskusi dan membahas materi yang ditugaskan pada masing-masing anggota kelompok serta membantu satu sama lain untuk mempelajari topik mereka tersebut. Disini, peran guru adalah mefasilitasi dan memotivasi para anggota kelompok ahli agar mudah untuk memahami materi yang diberikan. Setelah pembahasan selesai, para anggota kelompok kemudian kembali pada kelompok asal dan mengajarkan pada teman sekelompoknya apa yang telah mereka dapatkan pada saat pertemuan di kelompok ahli.Para kelompok ahli harus mampu untuk membagi pengetahuan yang di dapatkan saat melakuakn diskusi di kelompok ahli, sehingga pengetahuan tersebut diterima oleh setiap anggota pada kelompok asal. Kunci tipe Jigsaw ini adalah interdependence setiap siswa terhadap anggota tim yang memberikan informasi yang diperlukan. Artinya para siswa harus memiliki tanggunga jawab dan kerja sama yang positif dan saling ketergantungan untuk mendapatkan informasi dan memecahkan masalah yang biberikan.<br />2. Bertukar Pasangan<br />Setiap siswa mendapatkan satu pasangan. Guru memberikan tugas dan siswa mengerjakan tugas dengan pasangannya Setelah selesai, setiap pasangan bergabung dengan pasangan lain. Kedua pasangan tersebut bertukar pasangan kemudian saling menanyakan dan mengukuhkan jawaban. Temuan baru yang diperoleh dari pertukaran pasangan kemudian dibagikan kepada pasangan semula.<br />3. Kepala Bernomor<br />Siswa dibagi dalam kelompok dan setiap siswa dalam setiap kelompok mendapat nomor. Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya. Kelompok memutuskan jawaban yang dianggap paling benar dan memastikan setiap anggota kelompok mengetahui jawaban ini. Guru memanggil salah satu nomor. Siswa dengan nomor yang dipanggil melaporkan hasil kerja sama mereka.<br />4. Keliling Kelompok<br />Salah satu siswa dalam masing-masing kelompok memulai dengan memberikan pandangan dan pemikirannya mengenai tugas yang sedang dikerjakan. Siswa berikutnya juga ikut memberikan kontribusinya. Demikian seterusnya. Giliran bicara bisa dilaksanakan menurut arah perputaran jarum jam atau dari kiri ke kanan.<br />5. Kancing Gemerincing<br />Guru menyipkan satu kotak kecil berisi kancing-kancing. Setiap siswa dalam kelompok mendapatkan dua atau tiga buah kancing. Setiap kali seorang siswa berbicara, dia harus menyerahkan salah satu kancingnya. Jika kancingnya sudah habis, dia tidak boleh berbicara lagi sampai kancing semua rekannya habis.<br />6. Dua Tinggal Dua Tamu<br />Siswa bekerja sama dalam kelompok berempat. Setelah selesai, dua orang dari setiap kelompok meninggalkan kelompoknya dan bertamu ke kelompok yang lain.<br />Dua orang yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan informasi ke tamu mereka. Tamu mohon diri dan kembali ke kelompoknya kemudian melaporkan hasil temuannya. Kelompok mencocokkan dan membahas hasil-hasil kerja mereka.<br />7. Tipe TGT (Teams Games Tournaments)<br />Siswa memainkan permainan-permainan dengan anggota-anggota tim lain untuk memperoleh skor bagi tim mereka masing-masing. Permainan dapat disusun guru dalam bentuk kuis berupa pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan materi pelajaran. Kadang-kadang dapat juga diselingi dengan pertanyaan yang berkaitan dengan kelompok (identitas kelompok mereka). Permainan dalam TGT dapat berupa pertanyaan-pertanyaan yang ditulis pada kartu-kartu yang diberi angka. Tiap siswa, misalnya, akan mengambil sebuah kartu yang diberi angka tadi dan berusaha untuk menjawab pertanyaan yang sesuai dengan angka tersebut. Turnamen harus memungkinkan semua siswa dari semua tingkat kemampuan (kepandaian) untuk menyumbangkan poin bagi kelompoknya. Prinsipnya, soal sulit untuk anak pintar, dan soal yang lebih mudah untuk anak yang kurang pintar. Hal ini dimaksudkan agar semua anak mempunyai kemungkinan memberi skor bagi kelompoknya. Permainan yang dikemas dalam bentuk turnamen ini dapat berperan sebagai penilaian alternatif atau dapat pula sebagai reviu materi pembelajaran.bank makalahhttp://www.blogger.com/profile/09527060703496216783noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-874886691578503005.post-53378254343022221002009-12-18T16:40:00.000-08:002009-12-18T16:44:28.165-08:00THEORY OF ORGANISATION OF LEARNING SITUATIONOleh: Abdul Wahid, Hajriana, Masita, Siti Maulidah, Siti Rahmah<br /><br />A.Pendahuluan<br /><br />Pendidikan nasional akan berhasil mencapai tujuan pendidikan jika didukung oleh pelaksanaan pendidikan di lembaga pendidikan. Keberhasilan pelaksanaan pendidikan di sekolahpun didukung oleh komponen- komponen pendidikan yang saling terkait dan terpadu dalam kerja sama yang sistemik.<br />Salah satu komponen yang memiliki peran penting dalam proses pembelajaran adalah guru (pendidik). Peran guru dalam pembelajaran adalah memberikan bimbingan dan pelayanan pendidikan kepada siswa, baik bimbingan pengetahuan (transfer ilmu pengetahuan dan budaya), maupun bimbingan kepribadian (transfer nilai). Dengan demikian, guru bertanggung jawab menciptakan situasi/suasana yang memungkinkan terjadinya proses pembelajaran yang kondusif. <br />Kemampuan guru dalam mengorganisasikan situasi pembelajaran sering menjadi permasalahan, tidak jarang guru yang belum mampu mengelola situasi pembelajaran yang kondusif. Terkadang guru tidak mampu mempertahankan kondusifitas situasi pembelajaran yang awalnya sudah baik, namun di tengah pembelajaran perhatian siswa menjadi berkurang, siswa mulai melakukan aktifitas yang tidak sesuai dengan desain pembelajaran, dan lain sebagainya.<br />Dalam pengorganisasian situasi pembelajaran, guru juga perlu memahami konsep dan teknik pengelolaan kelas yang baik. Karena ruang kelas merupakan salah satu lingkungan pendidikan yang paling dekat dan paling sering dimanfaatkan siswa sebagai tempat belajar, di samping lingkungan belajar di sekolah dan lingkungan masyarakat.<br />Banyak hal penting yang perlu diperhatikan oleh guru untuk mengorganisasikan situasi pembelajaran. Diantaranya konsep belajar mengajar yang efektif dan efesien, konsep pengorganisasian situasi pembelajaran, termasuk pengelolaan kelas.<br />Dalam tulisan ini, akan dipaparkan tentang bagaimana konsep belajar mengajar, dan pengorganisasian situasi pembelajaran. Tujuan penulisan makalah ini, yaitu untuk mengulas kembali tentang konsep belajar mengajar dan pengorganisasian situasi pembelajaran, sehingga guru mampu menciptakan situasi pembelajaran yang kondusif yang memungkinkan terciptanya proses pembelajaran yang efektif dan efesien.<br /> <br />B.Pembahasan<br /><br />1.Teori belajar mengajar<br />Dalam pembelajaran terjadi proses belajar dan mengajar yang melibatkan guru dan siswa yang saling berinteraksi. Keduanya merupakan subjek pembelajaran yang saling memberi, mengisi, dan memotivasi sehingga tercipta pengalaman belajar bagi siswa dan guru. <br />a.Teori belajar<br />Belajar merupakan kegiatan pokok dalam proses pendidikan di sekolah, pencapaian tujuan pendidikan tergantung pada proses belajar yang dialami oleh siswa. Menurut Slameto (2003: 2), belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.<br />Adapun ciri-ciri perubahan tingkah laku dalam pengertian di atas, yaitu; perubahan terjadi secara sadar, bersifat kontinu dan fungsional, siswa bersifat positif dan aktif, bukan bersifat sementara, bertujuan atau terarah, dan mencakup seluruh aspek tingkah laku. (Slameto, 2003: 3-4).<br />Sedangkan jenis-jenis belajar menurut Slameto (2003: 5-8), yakni; belajar bagian (part learning, practioned learning), belajar dengan wawasan (learning by insight), belajar diskriminatif (discriminatif learning), belajar global/keseluruhan (Global whole learning), belajar incidental (incidental learning), belajar instrumental (instrumental learning), belajar intensional (intentional learning), belajar laten (latent learning), belajar mental (mental learning), belajar produktif (productive learning), belajar verbal (verbal learning). <br />Teori-teori belajar banyak dikemukakan oleh para pakar pendidikan, di antaranya teori Gestalt, teori J. Bruner, teori Piaget, dan teori R. Gagne. Namun secara umum, Slameto (2003: 27-28) memberikan gambaran susunan prinsip-prinsip belajar yang dapat diterapkan dalam situasi dan kondisi yang berbeda, dan oleh setiap siswa secara individual. Prinsip-prinsip belajar tersebut sebagai berikut:<br />1)Berdasarkan prasyarat yang diperlukan untuk belajar, yakni:<br />a)dalam belajar setiap siswa harus diusahakan partisipasi aktif, meningkatkan minat dan membimbing untuk mencapai tujuan instruksional;<br />b)belajar harus dapat menimbulkan reinforcement dan motivasi yang kuat pada siswa untuk mencapai tujuan instruksional;<br />c)belajar perlu lingkungan yang menantang dimana anak dapat mengembangkan kemampuannya bereksplorasi dan belajar dengan efektif;<br />d)belajar perlu ada interaksi siswa dengan lingkungannya.<br />2)Sesuai hakikat belajar, yakni;<br />a)belajar itu proses kontinyu, maka harus tahap demi tahap menurut perkembangannya;<br />b)belajar adalah proses organisasi, adaptasi, eksplorasi dan discovery;<br />c)belajar adalah proses kontinguitas (hubungan antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain) sehingga mendapatkan pengertian yang diharapkan.stimulus yang diberikan menimbulkan response yang diharapkan. <br />3)Sesuai materi/bahan yang harus dipelajari, yakni;<br />a)belajar bersifat keseluruhan dan materi itu harus memiliki struktur, penyajian yang sederhana, sehingga siswa mudah menangkap pengertiannya;<br />b)belajar harus dapat mengembangkan kemampuan tertentu sesuai dengan tujuan instruksional yang harus dicapainya.<br />4)Syarat keberhasilan belajar, yakni;<br />a)belajar memerlukan sarana yang cukup, sehingga siswa dapat belajar dengan tenang;<br />b)repetisi, dalam proses belajar perlu ulangan berkali-kali agar pengertian/keterampilan/sikap itu mendalam pada siswa.<br /><br />b.Teori mengajar <br />Mengajar merupakan salah satu kegiatan dalam proses pembelajaran. Menurut J. Mursell dan S. Nasution (2006: 8-9) bahwa mengajar adalah mengorganisasikan hal-hal yang berhubungan dengan belajar dapat dilihat pada segala macam situasi mengajar, yang baik maupun yang buruk. Selain itu, mengajar juga dapat dipandang sebagai menciptakan situasi dimana diharapkan anak-anak akan belajar dengan efektif. Dapat pula mengajar dipandang sebagai menyusun sejumlah kegiatan-kegiatan dalam hidup sekelompok manusia yang belajar.<br />Slameto (2003: h. 35-39), menjelaskan bahwa ada beberapa prinsip mengajar yang perlu diperhatikan oleh seorang guru. Ada dua pendapat tentang prinsip- prinsip mengajar yang akan diuraikan sebagai berikut:<br />Pedapat yang pertama menyebutkan sepuluh prinsip mengajar, sebagai berikut:<br />1)Perhatian. Di dalam mengajar guru harus dapat membangkitkan perhatian siswa kepada pelajaran yang diberikan oleh guru.<br />2)Aktivitas. Dalam proses belajar mengajar, guru perlu menimbulkan aktivitas siswa dalam berfikir maupun berbuat.<br />3)Appersepsi. Setiap guru dalam mengajar perlu menghubungkan pelajaran yang akan diberikan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa, ataupun pengalamannya.<br />4)Peragaan. Waktu guru mengajar di depan kelas, harus berusaha menunjukkan benda-benda yang asli. Bila mengalami kesukaran boleh menunjukkan model, gambar, benda tiruan, atau menggunakan media lainnya seperti radio, tape recorder, TV dan lain sebagainya.<br />5)Repetisi. Bila guru menjelaskan sesuatu unit pelajaran, itu perlu diulang-ulang.<br />6)Korelasi. Guru dalam mengajar wajib memperrhatikan dan memikirkan hubungan antar setiap mata pelajaran.<br />7)Konsentrasi. Hubungan antar mata pelajaran dapat diperluas, mungkin dapat dipusatkan kepada salah satu pusat minat, sehingga siswa memperoleh pengetahuan secara luas dan mendalam.<br />8)Sosialisasi. Dalam perkembangannya siswa perlu bergaul dengan teman lainnya.<br />9)Individualisasi. Guru harus menyelidiki dan mendalami perbedaan siswa (secara individual), agar dapat melayani pendidikan yang sesuai dengan perbedaannya itu.<br />10)Evaluasi. Guru harus memiliki pengertian evaluasi, mendalami tujuan dan kegunaan evaluasi, mengenal fungsi evaluasi dan macam-macam bentuk dan prosedur penilaian.<br /><br />Pendapat yang kedua dikemukakan oleh Mursel, bahwa terdapat enam prinsip mengajar yang perlu diperhatikan oleh seorang guru, sebagai berikut:<br />1)Konteks. Dalam belajar sebagian besar tergantung pada konteks belajar itu sendiri. Situasi problematik yang mencakup tugas untuk belajar hendaknya dinyatakan dalam kerangka konteks, yang dianggap penting dan memaksa bagi pelajar dan yang melibatkan dia menjadi peserta yang aktif, justru karena tujuannya sendiri.<br />2)Fokus. Dalam proses belajar perlu diorganisasikan bahan yang penting artinya belajar yang penuh makna dan efektif harus diorganisasikan di suatu fokus .<br />3)Sosialisasi. Dalam proses belajar siswa melatih bekerja sama dalam kelompok berdiskusi.<br />4)Individualisasi. Dalam mengorganisasi belajar mengajar, guru memperhatikan taraf kesanggupan siswa dan merangsangnya untuk menentukan bagi dirinya sendiri apa yang dapat dilakukan sebaik-baiknya.<br />5)Sequence. Belajar sebagai gejala tersendiri dan hendaknya diorganisasikannya dengan tepat berdasarkan prinsip konteks, fokalisasi, sosialisasi dan individualisasi.<br />6)Evaluasi. Dilaksanakan untuk meneliti hasil dan proses belajar siswa untuk mengetahui kesulitan-kesulitan yang mlekat pada proses belajar itu.<br /><br />Dari dua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa guru dalam melaksanakan tugas mengajar perlu memperhatikan prinsip yang berkaitan dengan pengembangan individu dan sosial siswa, mengorganisasi dan menciptakan situasi pembelajaran yang menarik perhatian siswa, sesuai dengan konteks, dan terdapat korelasi antar mata pelajaran, serta memperhatikan teknik pembelajaran dengan melakukan proses repetisi (pengulangan) dan memusatkan perhatian siswa (fokus) pada satu materi atau pusat minat. <br /><br />2.Pengorganisasian situasi pembelajaran<br />Pembelajaran merupakan kegiatan yang di dalamnya terjadi proses belajar dan mengajar yang melibatkan guru, siswa, dan sumber belajar lainnya. Menurut Sudarsono Sudirdjo dan Eveline Siregar dalam tulisannya yang berjudul “Media Belajar Sebagai Pilihan dalam Strategi Pembelajaran” (Dewi Salma Prawiradilaga dan Eveline Siregar, 2007: 4) bahwa pembelajaran adalah upaya menciptakan kondisi dengan sengaja agar tujuan pembelajaran dapat dipermudah (facilated) pencapaiannya. <br />Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa salah satu tugas guru dalam proses pembelajaran adalah mengorganisasikan situasi pembelajaran. Hal ini juga dikemukakan Hamzah B. Uno dalam Martinis Yamin dan Maisah (2009: 135) bahwa salah satu dari tiga strategi yang perlu diperhatikan oleh guru dalam pembelajaran adalah pengorganisasian pembelajaran. Untuk itulah guru dapat disebut sebagai organisator pembelajaran.<br />Berkaitan dengan tugas guru sebagai organisator situasi pembelajaran, Slameto (2003: 74-76) mengemukakan bahwa dalam pembelajaran, ada dua kondisi (situasi) yang perlu diperhatikan oleh seorang guru, yaitu: <br />a.Kondisi internal, yaitu kondisi (situasi) yang ada di dalam diri siswa itu sendiri, misalnya kesehatannya, kemanannya, ketentramannya, dan sebagainya. Menurut Maslow, ada tujuh (7) kebutuhan primer manusia yang harus dipenuhi, yaitu; 1) kebutuhan fisiologis, 2) kebutuhan akan keamanan, 3) kebutuhan akan kebersamaan dan cinta, 4) kebutuhan akan status, 5) kebutuhan self-actualisation, 6) kebutuhan untuk mengetahui dan mengerti, 7) kebutuhan estetik (kebutuhan akan keteraturan, keseimbangan, dan kelengkapan dari suatu tindakan).<br />b.Kondisi eksternal, yaitu kondisi (situasi) yang ada di luar diri pribadi manusia, umpamanya kebersihan rumah, penerangan, serta keadaan lingkungan fisik yang lain.<br /><br />Kedua kondisi (situasi) inilah yang harus diperhatikan dan diorganisasikan guru dalam proses pembelajaran, agar pembelajaran menjadi bermakna, memberikan pengalaman belajar bagi siswa dengan suasana pembelajaran yang menyenangkan serta sesuai dengan kebutuhan dan motivasi siswa.<br />Proses pengorganisasian situasi pembelajaran tidak terlepas dari tugas guru dalam menciptakan situasi kelas untuk belajar dan membimbing siswa untuk saling belajar membelajarkan serta membawa dampak lahirnya masukan bagi guru. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan pengelolaan kelas yang baik, karena di kelaslah akan terjadi proses organisasi pembelajaran.<br />Pupuh Fathurrahman dan M. Sobry Sutikno (2007: 105) mengemukakan bahwa pengelolaan kelas merupakan suatu kegiatan yang mewujudkan sistem perencanaan pengajaran dalam setting pembelajaran nyata, dengan evaluasi yang terkontrol secara sistematik dan memberi timbal balik secara langsung. Menurutnya cirri-ciri pengelolaan kelas yakni terjadinya intensitas interaksi antara guru-murid, murid-guru, murid-murid, murid dengan dirinya sendiri, guru dengan jati diri profesinya dan murid-guru dengan komponen belajar lainnya.<br />Melalui proses pengelolaan kelas, maka akan tercipta kelas dengan karakter sebagai berikut:<br />a.Speed, artinya anak dapat belajar dalam percepatan proses dan progress, sehingga membutuhkan waktu yang relative singkat.<br />b.Simple, artinya organisasi kelas dan materi menjadi sederhana, mudah dicerna dan situasi kelas kondusif<br />c.Self-confidence, artinya anak dapat belajar dengan penuh rasa percaya diri atau menganggap dirinya mampu mengikuti pelajaran dan belajar berprestasi.<br /><br />Bobbi dePorter dkk. (Pupuh Fathurrahman dan M. Sobry Sutikno, 2007: 106-107) menawarkan beberapa modalitas dalam resep pengelolaan pembelajaran pembelajaran, antara lain:<br />a.Dari dunia mereka ke dunia kita<br />Prinsip menjembatani jurang antara siswa dan guru akan memudahkan guru membangun jalinan komunikasi yang baik, menyelesaikan bahan pelajaran lebih cepat, membuat hasil belajar lebih melekat dan memastikan terjadinya pengalihan pengetahuan.<br />b.Cermati Modalitas V-A-K<br />Visual modalitas mengakses cara visual yang diciptakan maupun diingatkan. CD Auditorial mengakses segala jenis bunyi dan kata yang diciptakan dan diingatkan. Dan Kinestetik mengakses segala jenis gerak dan emosi yang diciptakan dan diingatkan. <br />c.Model kesuksesan dari sudut pandang perancang<br />Guru selalu mengolah secara cermat rencana pengajaran untuk mempersiapkan siswa belajar dengan penuh kehangatan dan antusias.<br />d.Pertemukan kecerdasan berganda <br />Prestasi belajar merupakan harmoni dari berbagai kecerdasan, bukan satu kecerdasan, misalnya kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan kreativitas (CQ), dan kecerdasan spiritual (SQ).<br />e.Penggunaan metafora, perumpamaan, dan sugesti<br />Metafora dapat menghidupkan konsep-konsep yang dapat terlupakan dan memunculkannya ke dalam otak secara mudah dan cepat dengan asosiasi. Sugesti memberi bayangan yang mudah diingat.<br /><br />Sementara itu, keterampilan mengelola kelas sangat berkaitan dengan usaha guru untuk mempertahankan kondisi kelas dan mengembangkan iklim kelas. Thomas Gordon (Pupuh Fathurrahman dan M. Sobry Sutikno, 2007: 106-107) memberikan resep mempertahankan kondisi kelas yang baik, yakni; 1) Keterbukaan dan transparan, sehingga memungkinkan terjadinya keterusterangan dan kejujuran siswa dalam pembelajaran; 2) Penuh perhatian, sehingga setiap pihak mengetahui bahwa dirinya dihargai oleh pihak lain; 3) Saling ketergantungan; 4) Keterpisahan, untuk membuka kemungkinan tumbuhnya keunikan, kreativitas dan individualitas masing-masing; 5) Pemenuhan kebutuhan bersama sehingga tidak ada pihak yang merasa dikorbankan untuk memenuhi kepentingan pihak lain.<br /> Jadi pada dasarnya, pengelolaan kelas merupakan upaya penciptaan situasi dan kondisi kelas yang memungkinkan terjadinya proses pembelajaran yang optimal, sehingga mencapai tujuan pembelajaran yang efektif dan efesien.<br /><br />3.Penataan ruang kelas untuk penciptaan situasi pembelajaran yang kondusif dan menyenangkan<br />Lingkungan belajar yang kondusif dan menyenangkan akan mendukung keberhasilan proses pembelajaran. Menurut Dhority yang dikutip oleh Bobbi dePorter dkk. (Pupuh Fathurrahman dan M. Sobry Sutikno, 2007: 109) melalui hasil penelitiannya menyebutkan bahwa lingkungan yang ditata secara bagus untuk mendukung belajar harus dilakukan. Ia berkata “Belajar itu segar, hidup penuh semangat atau datang dan jelajahi”.<br />Hal-hal penting untuk diperhatikan dalam penataan ruang kelas antara lain:<br />a.Bangku dan meja belajar<br />b.Pas bunga<br />c.Hiasan dinding (gambar, jam dinding, mading kelas)<br />d.Musik<br />e.Rak buku<br />Selain dari lingkungan kelas di atas, pengelolaan pembelajaran juga mencakup pengelolaan lingkungan belajar (latar) di luar kelas, seperti pemanfaatan halaman sekolah, kantin sekolah, taman, mushallah/masjid sekolah, dan sebagainya, kemudian pemanfaatan lingkungan masyarakat sebagai sumber belajar, misalnya kebun binatang dan tempat umum lainnya.<br /> <br />C.Penutup<br />Keberhasilan proses pembelajaran tergantung pada peran seorang guru dalam menciptakan situasi yang memungkinkan siswa dapat belajar dengan efektif. Situasi pembelajaran dapat diorganisasikan dengan memahami dan menerapkan teori-teori belajar dan mengajar, serta memahami konsep dan teknik mengelola kelas yang kondusif dan menyenangkan.<br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Fathurrahman, Pupuh dan Sobry Sutikno. 2007. Strategi Belajar Mengajar; Melalui Penanaman Konsep Umum dan Konsep Islami. Bandung: PT. Refika Aditama<br /><br />Mursell, J. dan S. Nasution. 2006. Mengajar dengan Sukses (Successful Teaching). Jakarta: Bumi Aksara<br /><br />Prawiradilaga, Dewi Salma dan Eveline Siregar. 2007. Mozaik Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana<br /><br />Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT. Rineka Cipta<br /><br />Yamin, Martinis dan Maisah. 2009. Manajemen Pembelajaran Kelas; Strategi Meningkatkan Mutu Pembelajaran. Jakarta: Gaung Persadabank makalahhttp://www.blogger.com/profile/09527060703496216783noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-874886691578503005.post-83988732509371976782009-12-04T20:14:00.000-08:002009-12-05T04:39:41.994-08:00STRATEGI BELAJAR DENGAN ANEKA SUMBEROleh:Abdul Wahid, Hajriana, Cici Andri<br />Pendahuluan<br />Perkembangan pendidikan dewasa ini telah membawa angin segar bagi para guru, pemerintah telah menetapkan kriteria standar dalam unsur-unsur pendidikan, kebijakan pemerintah tentang sertifikasi dalam rangka pemenuhan standar guru memberikan dampak yang cukup signifikan, guru yang dinyatakan lulus dalam sertifikasi mendapat imbalan sebagai penghargaan atas kompetensinya. Kebijakan pemerintah tentang pendidikan dengan menetapkan 8 kriteria standar pendidikan juga berdampak pada perubahan kurikulum yang terakhir dibuat dengan kebijakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)<br />Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang berisi 2 bagian, bagian satu adalah batang tubuh yang terdiri dari latar belakang, identitas satuan pendidikan, struktur kurikulum dan muatan KTSP, Kalender pendidikan. Sedangkan bagian 2 adalah lampiran yang terdiri dari silabus dan RPP. Perubahan kurikulum ini memberi dampak pada penggunaan sumber belajar<br />Sumber belajar yang dulunya diseragamkan dengan kebijakan dari pusat saat ini diberikan keleluasaan kepada satuan pendidikan untuk menentukan sendiri yang dirumuskan dari awal waktu penyusunan kurikulum dengan memperhatikan kondisi dan potensi yang dimiliki oleh satuan pendidikan maupun lingkungan sekitar. perubahan tersebut juga diakibatkan karena ada perubahan pandangan tentang pelajar, dari teori botol kosong atau kertas bersih menjadi setiap anak sejak lahir sudah membawa potensi yang berbeda-beda.<br />Potensi berbeda yang dimiliki oleh anak dengan sistem belajar yang diterapkan di sekolah formal mempengaruhi suasana, proses dan hasil belajar. Bahkan kadang-kadang guru sering mengalami kendala dalam situasi seperti itu.<br />Untuk meningkatkan gairah siswa dalam belajar, siswa perlu diberi kesempatan untuk mencari data dari berbagai sumber agar dapat belajar dengan sebaik-baiknya. Dengan menggunakan berbagai media pengajaran siswa tidak hanya menggunakan alat pendengaran untuk mendapatkan pelajaran, tetapi dengan melalui pengadaan variasi tampilan dan alat indera lain yang digunakan diharapkan siswa akan semakin terpacu di dalam belajar. Di sinilah pentingnya media dalam pembelajaran.<br />Untuk menyalurkan pesan dalam proses pembelajaran dengan bantuan media akan mempermudah siswa untuk memahami, mengerti, serta mengingat materi yang disampaikan oleh guru. Namun demikian guru dituntut dapat memiliki, menciptakan, dan menggunakan media sesuai dengan tujuan, jenis materi, dan strategi yang digunakan.<br />Pengertian Strategi dan Sumber Belajar<br />1. Pengertian Strategi<br />Strategi belajar diartikan sebagai tingkah laku dan pemikiran yang dilakukan oleh siswa yang bertujuan untuk mempengaruhi hasil dari sebuah proses (Weinstein & Major 1986:315). Chamot (2004:14) mendefinisikan strategi belajar sebagai pikiran dan tindakan sadar yang dilakukan oleh siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Yang lain mengartikan strategi merupakan pola-pola umum kegiatan anak didik dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah digariskan (Syaiful & Aswan 2006:5)<br />Pada mulanya strategi belajar berasal dari ilmu pengetahuan kognitif, dengan asumsi dasar bahwa manusia memproses informasi dan belajar termasuk bentuk dari memproses informasi tersebut, strategi ini bisa digunakan dalam belajar dan mengajar apapun. Sehubungan dengan konteks belajar mengajar, Trone (1983) menjelaskan strategi belajar bahasa merupakan usaha untuk meningkatkan kompetensi linguistik dan sosiolinguistik bahasa sasaran.<br />2. Pengertian Sumber Belajar<br />Para ahli di bidang pendidikan memaparkan definisi sumber belajar, sebagai berikut:<br />Dalam pengertian yang sederhana, sumber belajar (learning resources) adalah guru dan bahan-bahan pelajaran/ bahan pengajaran baik buku-buku bacaan atau semacamnya. Namun pengertian sumber belajar sesungguhnya tidak sesempit atau sesederhana itu, bahwa segala daya yang dapat dipergunakan untuk kepentingan proses / aktifitas pengajaran baik secara langsung maupun tidak langsung, di luar diri peserta didik (lingkungan) yang melengkapi diri mereka pada saat pengajaran berlangsung disebut sebagai sumber belajar, jadi pengertian sumber belajar itu sangat luas. (Rohani 2004:161)<br />Sumber belajar menurut AECT , meliputi semua sumber yang dapat digunakan oleh pelajar baik secara terpisah maupun dalam bentuk gabungan, biasanya dalam situasi informasi, untuk memberikan fasilitas belajar. Sumber itu meliputi pesan, orang, bahan, peralatan, teknik dan tata tempat.<br />Sumber belajar dibedakan menjadi 2 jenis: a)sumber belajar yang direncanakan, yaitu semua sumber yang secara khusus telah dikembangkan sebagai komponen system instruksional untuk memberikan fasilitas belajar yang terarah dan bersifat formal dan b)sumber belajar karena dimanfaatkan, yaitu sumber-sumber yang tidak secara khusus didisain untuk keperluan pembelajaran namun dapat ditemukan, diaplikasikan dan digunakan untuk keperluan belajar.<br />Sudjana (1989), menuliskan bahwa pengertian Sumber Belajar bisa diartikan secara sempit dan secara luas. Pengertian secara sempit diarahakan pada bahan-bahan cetak. Sedangkan secara luas tidak lain adalah daya yang bisa dimanfaatkan guna kepentingan proses belajar mengajar, baik secara langsung maupun tidak langsung.<br />Menurut Dictionary of Instructional Technology (1986), any resources (people, instructional materials, instructional hardware, etc) which may be used bay a learner to bring about or facilitate learning.<br />Percival & Ellington (1988) mengatakan bahwa sumber belajar yang dipakai dalam pendidikan atau latihan adalah suatu system yang terdiri dari sekumpulan bahan atau situasi yang diciptakan dengan sengaja dan dibuat agar memungkinkan siswa belajar secara individual. Sumber belajar inilah yang disebut media pendidikan atau media instruksional. Untuk menjamin bahwa sumber belajar adalah sebagai sumber belajar yang cocok, harus memenuhi 3 peryaratan sebagai berikut:<br />a. harus dapat tersedia dengan cepat<br />b. harus dapat memungkinkan siswa untuk memacu diri sendiri<br />c. harus bersifat individual, misalnya harus dapat memenuhi berbagi kebutuhan para siswa dalam belajar mandiri.<br />Dorrel (1993), learning resources is the phrase that will be used to describe learning materials which includes videos, books, audio cassettes, CBT and IV programs, together with learning packages which combine any of these media. Menurut Seels & Richey (1994), sumber belajar adalah manifestasi fisik dari teknologi – perangkat keras, perangkat lunak dan bahan pembelajaran. Dapat dikategorikan dalam 4 jenis teknologi yaitu teknologi cetak, teknologi audiovisual, teknologi berazaskan komputer, dan teknologi terpadu.<br />- Teknologi cetak: cara untuk memproduksi atau menyampaikan bahan seperti buku-buku dan bahan-bahan visual yang statis, terutama melalui proses pencetakan mekanis atau fotografis.<br />- Teknologi Audiovisual : cara memproduksi dan menyampaikan bahan dengan menggunakan peralatan mekanis dan elektronis untuk menyampaikan pesan-pesan audio dan visual<br />- Teknologi berbasis komputer: cara-cara memproduksi dan menyampaikan bahan dengan menggunakan perangkat yang bersumber pada mikroprosesor.<br />- Teknologi terpadu: cara untuk memproduksi dan menyampaikan bahan dengan memadukan beberapa jenis media yang dikendalikan komputer<br /><br />Jenis-Jenis Sumber Belajar<br />Komponen-komponen sumber belajar yang digunakan di dalam kegiatan belajar mengajar dilihat dari keberadaan sumber belajar yang digunakan dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:<br />Sumber belajar yang sengaja direncanakan dan sumber belajar yang tidak direncanakan tetapi dapat dimanfaatkan.<br />1. Sumber belajar yang sengaja direncanakan (by design) yaitu semua sumber yang secara khusus telah dikembangkan sebagai komponen sistem instruksional untuk memberikan fasilitas belajar yang terarah dan bersifat formal.<br />2. Sumber belajar karena dimanfaatkan (by utilization) atau sumber belajar yang tidak direncanakan yaitu sumber belajar yang tidak secara khusus didesign untuk keperluan pembelajaran namun dapat ditemukan, diaplikasikan dan digunakan untuk keperluan belajar. Sumber belajar yang tidak direncanakan pada dasarnya tidak direncanakan dalam kegiatan pendidikan namun karena keadaan dimungkinkan dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan pendidikan maka keadaan atau situasi tersebut dapat dijadikan sebagai sumber belajar. Contoh Rumah Sakit pada awalnya hanya digunakan untuk kepentingan kesehatan suatu masyarakat, tetapi rumah sakit tersebut dapat digunakan sebagai sumber belajar apabila seseorang sedang membicarakan pokok bahasan tentang kesehatan.<br />Penggolongan sumber belajar menjadi dua bagian tersebut tidak mutlak. Masing-masing ahli dapat membagi berdasarkan pengetahuannya masing-masing. karyanya “The Definition of Educational Technology (1977) mengklasifikasikan sumber belajar menjadi 6 macam:<br />- Pesan (Message) ialah informasi yang diteruskan oleh komponen lain dalam bentuk ide atau gagasan, fakta, pengertian dan data.<br />- Manusia (people) ialah orang yang bertindak sebagai penyimpan informasi sangatlah tepat apabila dikatakan bahwa manusia adalah sumber dari segala sumber belajar.<br />- Bahan (materials) ialah perangkat lunak yang mengandung pesan disajikan kepada peserta didik dengan menggunakan perantara melalui alat/perangkat keras ataupun oleh dirinya sendiri.<br />- Peralatan (device) ialah peralatan yang digunakan untuk menyampaikan pesan yang tersimpan dalam bahan (materials).<br />- Teknik/metode (tecnique) yaitu prosedur atau alur yang dipersiapkan dalam mempergunakan bahan pelajaran, peralatan situasi dan orang untuk menyampaikan pesan. Contoh sumber belajar yang dirancang adalah ceramah, demonstrasi, tanya jawab dan sebagainya.<br />- Lingkungan (setting) yaitu situasi atau suasana sekitar di mana pesan disampaikan/ditransmisikan baik lingkungan fisik, ruang kelas, gedung sekolah, atau nonofisik.<br />Menurut Sudjana sumber belajar adalah sebagai berikut:<br />1. Sumber belajar tercetak, buku, majalah, brosur, koran, poster, denah, ensiklopedi, kamus dan lain-lain.<br />2. Sumber belajar noncetak, film, slide,video, model, audio, cassete, transparansi, realita obyek.<br />3. Sumber belajar yang berbentuk fasilitas: perpustakaan, ruangan belajar, lapangan olah raga.<br />4. Sumber belajar berupa kegiatan: wawancara, kerja kelompok, observasi, simulasi, permainan dan lain-lain.<br />5. Sumber belajar berupa lingkungan di masyarakat: taman, terminal, pasar, toko, pabrik, musium (Sudjana dan Rivai, (1989)<br />D. Tahap-Tahap Perkembangan Sumber Belajar<br />Eric Ashby (1977), seorang pemerhati pendidikan menjelaskan tahap-tahap perkembangan sumber belajar sebagai berikut:<br />- Sumber belajar pra-guru.<br />Tahap ini, sumber belajar utama adalah orang dalam lingkungan keluarga atau kelompok. Lahirnya guru sebagai sumber belajar utama. Pada tahap inilah cikal bakal adanya sekolah.<br />- Sumber belajar bentuk cetak.<br />Sumber belajar produk teknologi komunikasi. Sumber ini dikenal dengan istilah audio visual aids yaitu sumber belajar dari bahan audio (suara), visual (gambar), atau kombinasi dari keduanya dalam sebuah proses pembelajaran.<br />E. Hal-Hal yang Harus Diperhatikan ketika Memilih Sumber Belajar<br />Ada sejumlah pertimbangan yang harus diperhatikan, ketika akan memilih sumber belajar, yaitu:<br />1. Bersifat ekonomis dan praktis (kesesuaian antara hasil dan biaya).<br />2. Praktis dan sederhana artinya mudah dalam pengaturannya.<br />3. Fleksibel dan luwes, maksudnya tidak kaku dalam perencanaan sekaligus pelaksanaannya.<br />4. Sumber sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dan waktu yang tersedia.<br />5. Sumber sesuai dengan taraf berpikir dan kemampuan siswa.<br />6. Guru memiliki kemampuan dan terampil dalam pengelolaannya.<br />E. Tahap-Tahap Perkembangan Sumber Belajar<br />Eric Ashby (1977), seorang pemerhati pendidikan menjelaskan tahap-tahap perkembangan sumber belajar sebagai berikut:<br />1. Sumber belajar pra-guru. Tahap ini, sumber belajar utama adalah orang dalam lingkungan keluarga atau kelompok.<br />2. Sumber belajar dengan guru sebagai pusat atau sumber belajar.<br />3. Sumber belajar dengan guru dan media<br />F. Manfaat Belajar Berbasis Aneka Sumber<br />Belajar berbasis aneka sumber memberikan berbagai keuntungan antara lain:<br />Selama pengumpulan informasi terjadi kegiatan berpikir yang kemudian akan menimbulkan pemahaman yang mendalam dalam belajar (McFarlane, 1992)<br />Mendorong terjadinya pemusatan perhatian terhadap topik sehingga membuat peserta didik menggali lebih banyak informasi dan menghasilkan hasil belajar yang lebih bermutu (Kulthan, 1993)<br />Meningkatkan ketrampilan berpikir seperti ketrampilan memecahkan Sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi, sumber belajar semakin lama semakin bertambah banyak jenisnya, sehingga memungkinkan orang dapat belajar mandiri secara lebih baik.<br />Pergeseran dari era industri ke era informasi menuntut perubahan dalam berbagai bidang, termasuk pendidikan. Di era informasi, peserta didik setiap saat dihadapkan pada berbagai informasi dalam jumlah jauh lebih banyak dibandingkan pada masa-masa sebelumnya.<br />Informasi tersebut disebarkan melalui berbagai media baik cetak maupun elektronik, dari yang berteknologi sederhana sampai yang sudah canggih seperti penggunaan CD-ROM, internet dan sebagainya. Jika peserta didik tidak dipersiapkan untuk dapat memberi makna terhadap informasi, menciptakannya menjadi pengetahuan, menggunakan serta tertinggal. Begitu juga ditempat kerja, Rose & Nicholl (1997) mengemukakan bahwa pengetahuan meningkat dua kali lipat setiap dua atau tiga tahun dalam hampir setiap lapangan pekerjaan. Ini berarti bahwa pengetahuan yang kita miliki juga harus meningkat dua kali lipat setiap dua atau tiga tahun kalau ingin bertahan.<br />Daftar Pustaka<br />AECT (1977), Definisi Teknologi Pendidikan, Jakarta:Penerbit CV.Rajawali.<br />Ahmad Rohani (2004), Pengelolaan Pengajaran Edisi Revisi, Jakarta : PT. Rineka Cipta<br />Brown, Sally & Brenda Smith (1996), Resource-based Learning,London: Kogan Page Limited.<br />Dorrell, Julie (1993), Resource Based Learning, London: Mc.Graw-Hill Book Company.<br />Ellington, Henry & Duncan Harrris (1986), Dictionary of Instructional Technology, London: Kogan Page.<br />Percival, Fred & Henry Ellington (1988), Teknologi Pendidikan, Jakarta: Penerbit Erlangga<br />Rose, Collin & Malcolm Nicholl (1997), Accelerated Learning for the 21st Century, London: Judy Piathus.<br />Seels, Barbara B, & Rita C.Richey (1994), Teknologi Pembelajaran, Definisi dan Kawasannya,Jakarta: Unit Percetakan UNJ.<br />Syaiful Bahri Djamarah & Aswan Zain (2006), Strategi Belajar Mengajar, Jakarta : PT. Rineka Ciptabank makalahhttp://www.blogger.com/profile/09527060703496216783noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-874886691578503005.post-32815526373334283502007-10-02T18:41:00.000-07:002007-10-02T18:42:32.510-07:00Orang Dayak dalam Imajinasi Politik Elit<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify;"><b style=""><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Oleh: Abdullah Naim & Mh. Nurul Huda</span></span></span></b></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-family:Times New Roman;font-size:100%;"> </span></span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Seorang ilmuwan asing pernah bilang bahwa nasib orang Dayak adalah dijajah, bukan memerintah. Itu kata Van Linden, seorang antropolog kolonial kelahiran Belanda. </span></span></span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Catatan serupa juga dibuat oleh Magenda (1991), yang kurang lebih melukiskan betapa orang Dayak selama berabad-abad mengalami marjinalisasi dalam skala yang sangat luas baik oleh kekuatan politik lokal, nasional, maupun kolonial. Citra populernya sebagai kelompok yang terbelakang, primitif dan liar semakin memperparah marjinalisasi politik, ekonomi, dan budaya yang mereka derita.</span></span></span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Barangkali kesan atau nasib semacam itu belakangan ini tak nampak lagi. Di mana-mana, di Kalimantan Timur, dan mungkin di bagian lain pulau Borneo ini, Dayak telah menjadi salah satu ikon utama budaya daerah. Beragam artefak dan penanda kultural Dayak bisa kita saksikan hampir di berbagai tempat mendominasi wajah dunia perkotaan. </span></span></span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Coba cermati berbagai gedung dan bangunan fasilitas publik di kota Samarinda dan Balikpapan, seperti gedung pemerintahan, perguruan tinggi, bangunan pasar, dan bandar udara di sana. Ornamen-ornamen khas Dayak menghiasi hampir semua bangunan. Ukir-ukiran, lukisan dan patung-patung, bahkan rumah jabatan (pendopo) Gubernur Kalimantan Timur menggunakan nama <i style="">lamin etam</i> sebagai sebutan istimewanya. Selain itu lihat pula di pasar-pasar kota. Mudah sekali ditemukan pernik-pernik, souvenir seperti gantungan kunci, tas, patung dan lainnya yang berornamen Dayak dijual bebas. </span></span></span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Semua gambaran tentang modernitas dan kemajuan itu justeru hadir bersamaan dengan menyoloknya citra etnik Dayak yang tradisional dan dulu dicitrakan primitif itu.</span></span></span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Orang Dayak sudah bangkit. Begitu kesan banyak orang melihat gegap gempitanya representasi identitas Dayak dalam ruang publik itu. Apalagi beragam organisasi yang mengatasnamakan komunitas Dayak juga bermunculan. Kebanyakan para elitnya kalau tidak menduduki jabatan penting di birokrasi, sebagian menempati posisi sentral di partai politik. </span></span></span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Tak bisa dimungkiri semua kenyataan ini memperkuat kesan bahwa ekspresi kultural orang-orang Dayak bukan hanya telah terepresentasikan sepenuhnya dalam ruang publik. Di sisi lain mereka juga seolah memiliki akses kekuasaan yang terbuka atau setidaknya terwakili secara politik. </span></span></span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Dulu adalah peristiwa langka bila orang Dayak yang tinggal di kampung terpencil bisa menghadiri kegiatan partai besar, apalagi mengenal kota Jakarta. Tapi, kini, pengalaman macam itu bukan peristiwa yang mustahil lagi. </span></span></span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Awal September lalu, misalnya, seorang pengurus partai besar di Kaltim membawa serta seorang warga Ritan menuju Jakarta. Si kakek tua, yang masih memelihara daun telinganya yang panjang, diajak mengikuti rakernas partai itu. Di Jakarta, lelaki tua ini menjadi tontonan peserta lainnya dan sibuk melayani ajakan foto bersama. Si politikus partai ini pun tersenyum bangga lantaran dipuji habis karena partainya mampu menembus pelosok-pelosok desa tempat tinggal si kakek tua. </span></span></span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Gebyar budaya Dayak sebagai representasi identitas daerah semacam ini rupanya belakangan juga diramaikan oleh berbagai proyek kebudayaan. Keinginan untuk menggerakkan sektor pariwisata sebagai salah satu ladang penghasil devisa turut mendorong pemerintah untuk melakukan revitalisasi. Ritual-ritual, kesenian dan simbol-simbol budaya Dayak direkonstruksi habis-habisan. Seperti terlihat belakangan ini di mana pemda Kutai Kartanegara merencanakan proyek pembangunan lamin-lamin baru di sejumlah desa berpenghuni komunitas Dayak.</span></span></span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0pt; text-indent: 36pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Begitulah. Imajinasi tentang Dayak yang dulu dipandang primitif dan terbelakang itu direkonstruksi kembali. Tidak sekadar lewat himbauan dalam pidato-pidato para pejabat, tapi juga lewat promosi-promosi agen pariwisata. </span></span></span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-family:Times New Roman;font-size:100%;"> </span></span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0pt; text-align: justify;"><b><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Siapa diuntungkan?</span></span></span></b></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Kalau dicermati, dinamika semacam ini sebetulnya sudah mulai marak tahun 90-an lalu. Terutama soal upaya pemerintah untuk menggali sumber devisa alternatif di luar migas. </span></span></span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Selain itu, konteks kebutuhan pariwisata internasional yang memburu keotentikan dan keeksotisan budaya asli telah mendorong pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk menghidupkan kembali keunikan tradisinya. Dalam konteks inilah kebudayaan Dayak yang barangkali sebagian sudah mulai ditinggalkan lalu direkonstruksi, direvitalisasi. </span></span></span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Lamin-lamin baru dibangun kembali atas fasilitas pemerintah, yang meskipun merujuk pada model lama yang dianggap asli namun kini membawa makna dan fungsi-fungsi baru. Demikian pula simbol-simbol budaya Dayak, seperti patung, ukiran, burung Enggang atau tari-tarian yang dulu hanya bisa kita jumpai dalam upacara-upacara ritual, kini ambil bagian dalam proses komodifikasi tersebut. </span></span></span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Belakangan beragam pertanyaan muncul di tengah gegap gempita perayaan budaya ini. Kegelisahan justru muncul dari lubuk hati warga komunitas Dayak sendiri yang tetap hidup miskin di kampung-kampung terpencil. </span></span></span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Fakta semacam yang berikut ini tak sedikit dijumpai di kampung-kampung itu di mana warga Dayak mulai mempertanyakan sendiri perubahan-perubahan yang dihadapinya. </span></span></span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Seorang kontraktor pemerintah yang menggarap proyek pembangunan <i>lamin</i> di Desa Sungai Bawang, Kukar, menuai protes keras dari warga lantaran tak sesuai dengan fungsi tradisionalnya. <i>Lamin</i> yang dibangun itu tidak sesuai, <i>masak</i> dibangun seperti stadion., protes Mama Mona salah seorang penduduk Sungai Bawang. Apa yang dinyatakan sebagai ketaksesuaian itu sudah jelas tidak hanya berkenaan dengan bangunan <i>lamin</i> yang menurut warga Dayak sangat asing. Tetapi lebih dari itu karena dianggap tak sesuai dengan nilai dan fungsi rumah panjang itu bagi kehidupan warga Dayak. </span></span></span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Dengan <i>lamin</i> model baru itu dipastikan fungsi sosial dan budaya komunitas Dayak itu akan tergusur. Apalagi terdengar sebelumnya bahwa <i>lamin</i> baru itu nantinya hanya akan difungsikan sebagai tempat pertemuan adat, gelar tari-tarian, atau objek wisata belaka. </span></span></span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Respon ini mau tak mau mendorong komunitas Dayak untuk mempertanyakan kembali seberapa besar keuntungan diperoleh dari kecenderungan-kecenderungan baru ini. </span></span></span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Tak sedikit orang Dayak mengeluh terkait gambaran-gambaran negatif yang direproduksi seputar dirinya di dalam poster-poster pariwisata. Banyak pula yang kecewa lantaran mereka tidak banyak mengunduh untung dari artefak, ornamen dan simbol-simbol ke-Dayak-an yang kini dikonsumsi luas oleh orang-orang kota. </span></span></span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Banyak patung burung Enggang dipasang di dinding dan puncak-puncak gedung pemerintahan. Tetapi tetap saja kami susah dan tidak berkesempatan hidup sejahtera, ujar Albert, seorang warga Ritan, kecamatan Tabang, Kukar. </span></span></span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Kenyataan yang sama juga nyaris terlihat di pasar-pasar dan toko souvenir. Hampir semua penjual pernik-pernik dan hiasan khas Dayak ini didominasi oleh orang Bugis dan Banjar. Hanya sebagian kecil saja orang Dayak yang menjajakan dan menikmati buah warisan tradisi budayanya itu.</span></span></span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Dilema-dilema macam inilah yang hampir pasti dirasakan oleh sebagian besar orang Dayak. Di satu sisi eksistensi diri dan ekspresi budaya mereka seolah diapresiasi secara luas oleh publik. Namun, di sisi lain, mereka justru menghadapi problem lama yang seolah tak pernah terselesaikan. </span></span></span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0pt; text-indent: 36pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Mama Wek dan Yurni, misalnya, mengaku revitalisasi itu tak begitu bermakna bagi hidupnya. Bagi perempuan warga Lung Anai ini, pembangunan desa budaya, lamin, dan revitalisasi seni tradisi Dayak hanyalah pengakuan artifisial terhadap tradisi budaya orang-orang Dayak. Karena yang penting bagi dirinya adalah bagaimana mereka bisa hidup tenang, nyaman dan aman di tanah tempat tinggalnya. </span></span></span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0pt; text-indent: 36pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Kalau mereka mengakui tradisi kami, seharusnya mereka juga mengakui hak atas tanah-tanah kami, tandas Yurni. Ya, memang menjadi sebuah ironi, bila imajinasi politik warga Dayak justeru berjarak lebar dengan imajinasi para elitnya.[]</span></span></span></div>bank makalahhttp://www.blogger.com/profile/09527060703496216783noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-874886691578503005.post-2968777523309730842007-10-02T18:36:00.000-07:002007-10-02T18:41:30.939-07:00POLITIK PENCITRAAN<div style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;"><span style=""> </span>Dayak, Daya, Daya, atau Dyak, seperti disebut literatur terbaru, adalah nama-nama antropologis. Dan orang-orang Kayan, Kenyah, Bahau, Tunjung, Benuaq, Bentian, Iban, Klemantan, Ngaju, Maanyan, Lawangan, Murut, Punan, dan seterusnya hanya menerima secara pasif. Victor King (1993) menyebut beberapa kemungkinan asal kata Dayak, bisa dari kata <i style="">daya </i>(bahasa Kenyah) berarti hulu atau pedalaman, dari kata <i style="">aja </i>(bahasa Melayu) yang bermakna pribumi, atau dari istilah dalam bahasa Jawa (Tengah) yang berarti tindakan yang tidak sesuai.</span></span></span> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;"><span style=""> </span>Tidak hanya itu. Para antropolog Barat abad ke-19, kolonial, para penginjil, para dai, dan birokrat hingga kaum terpelajar Indonesia pascakemerdekaan mengonstruksi bahwa Dayak pemburu kepala, pembuat rajah, perampok, penghuni rumah-rumah panjang, masyarakat terasing, tak beragama, dan perambah hutan. Saunders (1993) menegaskan bahwa karya Bock, <i style="">The Head-hunters of Borneo </i>(terbit 1881 di Inggris) berpengaruh besar terbangunnya citra Dayak seperti itu. Demikian pula bermacam gambar rekaan dari pariwisata yang bisa segera membangun <i style="">image </i>dan memancing perhatian atau menghadirkan sesuatu yang sebenarnya tidak ada (<i style="">absent</i>) dalam kenyataan. Persis seperti konstruksi yang dibangun berbagai program pembangunan seperti proyek pemukiman (resetlement) dan kebijakan penambahan departemen perambah hutan dan suatu kabinet di masa Orde Baru.<span style=""> </span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Selain King dan Saunders, McKinley (1976), Freeman (1979), Coomans (1987), dan Hoffman (1986), dan sejumlah intelektual-aktivis dari Kalimantan sendiri yang sejak lima belas tahun terakhir tumbuh subur di seluruh Kalimantan mengajukan kritik keras terhadap pencitraan tersebut. Citra tentang Dayak yang dibangun atas dasar politik dan kebudayaan si pemandang dan bukan dari sudut pandang orang-orang Dayak sendiri itu dinilai tidak adil, tidak manusiawi, menyesatkan, dan sangat kolonial.<span style=""> </span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Dayak juga disebut berasal dari Cina. Seluruh dokumen tentang asal mula Dayak selalu menyebut bahwa mereka adalah imigran bergelombang dari Yunnan, daratan Cina Selatan yang menyusur melalui Indo-Cina dan Malaysia hingga berakhir di Kalimantan. Coomans memperkirakan bahwa Dayak yang kini bermukim di Kalimantan Selatan dan tengah menyusur pengembaraannya melalui Sumatera dan Jawa, sementara mereka yang sekarang berdomisili di Kalimantan Barat dan Timur melalui Filipina. Sebuah Mal di Samarinda memajang replika perahu bermotif Cina yang diklaim sebagai perahu pertama rombongan Cina pertama yang memasuki Kalimantan.<span style=""> </span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Bisa jadi asumsi-asumsi historis itu benar. Pembakuan sejarah asal usul dari Cina itu sendiri menciptakan citra yang tak menguntungkan bagi masyarakat Dayak. Citra itu menjadikan Dayak sangat rentan dalam konteks sosial-politik Indonesia yang mempersoalkan pri-nonpri, WNI-WNA, peranakan, minoritas-mayoritas, dan problem rasial lain. Sebuah kelompok atau komunitas tertentu, dengan sangat gampang disudutkan hanya karena ia bukan pribumi, bukan WNI, Cina peranakan, dan bukan termasuk mayoritas. </span></span></span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Citra memang bukan yang sesungguhnya, karena ia lebih merupakan proyek politik mereka yang memandang. Tetapi, citra itu pula yang menentukan nasib bangsa Dayak kemarin, hari ini, dan esok hari. Tak mungkinkah kita memberikan ruang bebas sehingga orang Dayak dapat mencitrakan, merumuskan, dan mendefinisikan diri? Hanya arogansi politik dan intelektual yang tidak dapat menyediakan ruang bebas itu. </span></span></span></div>bank makalahhttp://www.blogger.com/profile/09527060703496216783noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-874886691578503005.post-71327622698013057532007-09-18T18:29:00.000-07:002007-09-18T18:30:41.194-07:00Sejarah Bisa Berulang<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify;"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;"><span style="" lang="IN"><span style=""></span>Mungkin sudah tidak diingat, bahkan oleh orang Dayak sendiri, bahwa pada<span style=""> </span>pertengahan 50-an abad ke-20 pernah terjadi hiruk-pikuk politik berkaitan dengan agama dan etnisitas di Kalimantan. Separoh pulau milik Indonesia itu pada 1956 dibagi menjadi 3 propinsi. </span><span style="" lang="IN">Kalimantan Barat mencakup batas perairan dari sungai Kapuas dan sungai-sungai<span style=""> </span>lain yang mengalir ke arah barat; Kalimantan Timur mencakup batas perairan dari sungai Mahakam dan seluruh sungai lain yang mengalir ke timur; dan Kalimantan Selatan meliputi batas perairan dari seluruh sungai yang mengalir ke selatan, seperti sungai Barito dan sungai Kahayan. Daerah yang kini disebut Kalimantan Tengah termasuk ke dalam wilayah Kalimantan Selatan. <span style=""></span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;"><span style=""> </span>Bagi propinsi Kalimantan Timur dan Barat perbedaan topografis masih dianggap cocok, namun tidak demikian pada kasus batas perairan dari sungai-sungai yang mengalir ke arah selatan. Kelompok Muslim Banjar, yang secara kuantitatif dan politik superior, mendominasi propinsi Kalimantan Selatan. Masyarakat Dayak di wilayah itu yang merasa terdesak segera melangkahkan berbagai upaya ke pemerintah pusat di Jakarta untuk memperoleh pengakuan Dayak Besar dengan propinsi yang terpisah dari kekuasaan Banjar muslim Kalimantan Selatan. Tetapi seluruh upaya itu menemui kegagalan; pemerintah pusat tak mengabulkan permohonan mereka.<span style=""> </span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;"><span style=""> </span>Tak puas dengan itu, sebagian masyarakat Dayak menegaskan perlawanan fisik, sebuah gerakan (disebut pemberontakan) mengikuti garis agama dan etnis berkobar. Kelompok utama Dayak Ngaju pada 1956 mulai menyerang berbagai bangunan pemerintah terutama di Banjarmasin. Tujuan utama gerakan tersebut adalah untuk memperoleh pengakuan terhadap eksistensi Dayak Besar dalam putaran politik pemerintahan dengan mendirikan propinsi otonom terpisah dari Kalimantan Selatan. Sadar bahwa ini persoalannya sudah menyangkut persoalan mengancam persatuan dan kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Presiden Soekarno akhirnya (1957) mengabulkan permohonan Dayak untuk mendirikan propinsi sendiri bernama Kalimantan Tengah (Miles, 1976). Sebuah kebijakan yang sebelumnya diberikan kepada Daerah Istimewa Aceh.<span style=""> </span></span></span></span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;"><span style=""> </span>Kenyataan Kalimantan Timur sekarang memang tidak persis sama dengan kenyataan Kalimantan Selatan waktu itu. Dominasi agama tertentu di Kalimantan Timur kini tidak terlihat sebagaimana di Kalimantan Selatan tempo dulu. Akan tetapi membanjirnya migrasi orang-orang Jawa, Bugis, Mandar, Banjar, dan Madura yang memperoleh sambutan dari kalangan muslim Kutai <i style="">(haloq)</i> tidaklah mustahil jika akan melahirkan dominasi sebagaimana yang terjadi di Kalimantan Selatan tempo dulu. Sebuah dominasi yang melebar dalam berbagai hal dan sektor; sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan. </span></span></span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;"><span style=""> </span>Laporan-laporan yang disiarkan, hutan dibabat, jalan sungai diubah menjadi darat, industrialisasi yang hanya menimbang skill dan pengetahuan digelar, migrasi berlangsung deras, peng-agama-an meluas, dan orang-orang Dayak terkena re-setlement tanpa ujung. Semua itu menghasilkan orang-orang Dayak semakin tersudut dari pentas ekonomi, politik, dan budaya. </span></span></span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Memang benar bahwa banyak dari penduduk Dayak yang beralih profesi (Weinstock dan Sunito, 1989; Eghenter, 1995). Tetapi, akses Dayak terhadap berbagai sumber ekonomi masih sebatas di wilayah pinggir. Perdagangan di kota maupun di desa didominasi oleh para pendatang (Bugis, Banjar, dan Jawa). Begitu pula partai politik,<span style=""> </span>birokrasi, dan kebudayaan, posisi pentingnya didominasi non Dayak.</span></span></span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Tampaknya, kita harus melawan lupa.</span></span></span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;"><span style=""> </span><span style=""> </span><span style=""> </span><b style=""><span style=""> </span>Bisri Effendy</b></span></span></span></div>bank makalahhttp://www.blogger.com/profile/09527060703496216783noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-874886691578503005.post-46486949246195234272007-09-18T18:26:00.000-07:002007-09-18T18:29:32.429-07:00Kesadaran Kewargaan Bisa Atasi Konflik Komunal<div style="text-align: justify;"><span style="" lang="DA"><div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: center;" align="center"><b style=""><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Oleh : Asman Azis & Mh. Nurul Huda</span></span></span></b></div> <div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: center;" align="center"><b style=""><span style="" lang="IN"><span style="font-family:Times New Roman;font-size:100%;"> </span></span></b></div> <div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Menjamurnya berbagai organisasi berbasis etnis di Kaltim belakangan ini dirasakan amat merisaukan. Berbagai kalangan menilai hal ini bukan hanya rawan manipulasi politik, tetapi juga konflik antar komunitas dan lembaga. Kesadaran kewargaan dibutuhkan untuk meminimalisir konflik itu. </span></span></span></div> <div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Elisason, pria berumur lebih setengah abad itu adalah salah seorang yang risau itu. Ia resah bercampur sedih. Sebagai putra asli Dayak, dirinya bangga kesadaran masyarakatnya mulai bangkit menuntut kembali hak-hak budaya dan ekonominya yang tergusur oleh derap modernisasi. Tapi di sisi lain, orientasi organisasi ini semakin kabur lantaran, katanya, sudah keluar dari rel-rel yang disepakati bersama.</span></span></span></div> <div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Banyaknya organisasi itu menunjukkan kami sudah bangkit. Tapi juga bisa jadi petanda kemunduran bila keberadaannya hanya diperalat demi target politik atau ekonomi kelompok elit saja, ujar tokoh lokal Dayak yang masih memegang jabatan Ketua Persatuan Dayak Kalimantan Timur (PDKT) Ranting Tenggarong Seberang ini. Konflik Dayak-Madura di Kalbar dan Kalteng, serta konflik antara Dayak dan Bugis di Nunukan baru-baru ini memperkuat kekhawatiran itu. </span></span></span></div> <div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Sebagai fungsionaris organisasi, meski hanya di tingkat ranting, Elisason rasanya bukan asal omong. Setiap tahun organisasi tempat dirinya bernaung itu menggelar kongres. Dan di setiap kongres pula ia menjumpai pengalaman yang dirasakan sebagai kemunduran itu. Persaingan, konflik dan saling sikut yang biasanya terus menguat apalagi bila event pilkada menjelang. Apalagi pada peristiwa yang terakhir ini Elisason tak jarang bersinggungan keras dengan organisasi etnis yang lain. </span></span></span></div> <div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;"><span style=""> </span>Ya, memang, tak sedikit organisasi berbasis etnis Dayak di seantero Kalimantan Timur sekarang ini. Bahkan konon hingga ratusan jumlahnya. Selain organisasi-organisasi yang sudah mapan macam PDKT (Persatuan Dayak Kalimantan Timur) yang memiliki kepengurusan dari tingkat propinsi hingga ranting kecamatan, paguyuban-paguyuban berbasis subetnis juga amat berbilang jumlahnya. </span></span></span></div> <div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Para pengurusnya tak terbatas para sesepuh, tokoh, dan ketua adat di komunitas masing-masing. Organisasi yang memiliki payung hingga tingkat kabupaten atau propinsi bahkan dipimpin oleh pejabat birokrasi atau tokoh partai politik. </span></span></span></div> <div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Perbedaan kepentingan kerapkali menyulut pertikaian elit yang tajam. Akibatnya bukan hanya mengancam solidaritas komunitas secara keseluruhan, tapi juga tergelincir dalam konflik internal antar komunitas Dayak sendiri.</span></span></span></div> <div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Kekhawatiran Elisason dan sejumlah tokoh masyarakat di Kaltim belakangan ini sebenarnya bisa ditarik lebih luas. </span></span></span></div> <div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Gejala menguatnya politik identitas sebagai ekspresi semangat kekuatan lokal yang mulai marak sejak reformasi dan puncaknya sejak diberlakukannya otonomi daerah, telah mengentalkan sentimen komunal yang terkotak-kotak. Karena itu persaingan dan konflik bukan hanya mungkin terjadi dalam internal komunitas, tapi juga melebar ke arah antar kelompok yang berbeda-beda.</span></span></span></div> <div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt;"><span style="" lang="IN"><span style="font-family:Times New Roman;font-size:100%;"> </span></span></div> <div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt;"><b><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Keragaman etnis</span></span></span></b></div> <div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt;"><b><span style="" lang="IN"><span style="font-family:Times New Roman;font-size:100%;"> </span></span></b></div> <div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2000, Kalimantan Timur sebenarnya memperlihatkan wajah yang berwarna-warni. Selain kebudayaan penduduknya yang amat heterogen, wilayah seluas <span style="color: black;">245.237,80 km2 atau sekitar satu setengah kali Pulau Jawa dan Madura</span> ini juga bersifat multietnik: Dayak dan berbagai variannya, Bugis, Banjar, Mandar, Madura, dan Jawa. </span></span></span></div> <div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Sebagaimana kota-kota lain yang bersumber daya melimpah, Kaltim layaknya kota kosmopolitan. Migrasi penduduk dari satu daerah ke daerah lain berlangsung cepat dan terbuka. Apalagi dengan pesatnya perkembangan sarana komunikasi dan transportasi, perjumpaan-perjumpaan antar komunitas yang berlatar belakang berbeda sulit dihindari. </span></span></span></div> <div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Di Kaltim, kelompok-kelompok etnis ini juga membentuk organisasi atau paguyuban-paguyuban. </span></span></span></div> <div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Orang-orang Sulawesi Selatan, misalnya, membentuk Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS). Begitu pula orang Banjar, mereka berkumpul dalam komunitas Kerukunan Keluarga Bubuhan Banjar (KKBB) Kaltim. Sementara orang Jawa yang merantau dan akhirnya memutuskan menetap dan tinggal di Kalimantan Timur, mereka mendirikan Ikapakarti (Ikatan Paguyuban Keluarga Tanah Jawi) dan mengklaim memayungi 35 jenis paguyuban. Sebagaimana halnya Dayak, organisasi-organisasi ini juga memiliki anggota yang duduk di birokrasi dan partai politik.</span></span></span></div> <div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Tak ada yang ganjil dengan tumbuhnya berbagai organisasi dan paguyuban berbasis etnis semacam ini. Setiap orang memiliki keterikatan kultural dan mengidentifikasikan dengan identitas kulturalnya. </span></span></span></div> <div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Hanya saja warna-warni keragaman etnis ini terancam hilang bila politik identitas yang sejak awal dikonstruksi secara politis dan direpresentasikan melalui paguyuban-paguyuban ini--menegasikan eksistensi komunitas yang berbeda. </span></span></span></div> <div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Dengan kata lain, paguyuban yang awalnya sebagai wadah silaturahmi dan persaudaraan bersama pada gilirannya dimanfaatkan demi kepentingan politik atau ekonomi kelompok elit tertentu. Kenyataannya konflik-konflik komunal acapkali bersumber dari situasi semacam ini.</span></span></span></div> <div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Kalau organisasi etnis ini hanya menjadi kendaraan untuk meraih posisi politik tertentu, maka bukannya menjadi pereda konflik, sebaliknya akan menyulut konflik, tandas Abdul Rahman Daeng Sikki, wakil </span></span></span><span class="" style="display: block;" id="formatbar_JustifyFull" title="Rata Kiri Kanan" onmouseover="ButtonHoverOn(this);" onmouseout="ButtonHoverOff(this);" onmouseup="" onmousedown="CheckFormatting(event);FormatbarButton('richeditorframe', this, 13);ButtonMouseDown(this);"><img src="img/gl.align.full.gif" alt="Rata Kiri Kanan" border="0" /></span><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">sekretaris Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan. </span></span></span></div> <div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Penuturan Daeng Sikki ini memperlihatkan betapa mudahnya konflik komunal tersulut. Sumbernya bisa pertikaian politik, perebutan sumber daya ekonomi atau persaingan elit dalam birokrasi. </span></span></span></div> <div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;"><span style=""> </span></span></span></span></div> <div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt;"><b><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Kesadaran Kewargaan</span></span></span></b></div> <div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"><span style="font-family:Times New Roman;font-size:100%;"> </span></span></div> <div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Lantas bagaimana cara menghentikan gesekan antar etnis dan konflik berlatar belakang politik identitas semacam ini?</span></span></span></div> <div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Muhammad Arifin yang juga Ketua Prodi Sosiologi Universitas Mulawarwan, Samarinda, menegaskan pendekatan keamanan, pengerahan massa dan premanisme bukanlah jalan penyelesaian. Menurut dia, organisasi-organisasai berbasis etnis ini seyogyanya menanamkan kesadaran perbedaan kepada anggota komunitasnya. Tujuannya agar berbagai kelompok budaya dan etnis ini bisa saling memahami dan menghargai satu sama lain.</span></span></span></div> <div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Selain berbagai organisasi berbasis etnis ini harus introspeksi, negara juga harus memulihkan kelompok-kelompok marginal seperti etnis Dayak agar memperoleh lagi kesempatan dan hak-hak mereka kembali, ujarnya. </span></span></span></div> <div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt; text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Pemberian HPH (Hak Pengelolaan Hutan) dan KP (Kuasa Pertambangan) yang sangat merugikan masyarakat Dayak dilakukan oleh pemerintah, juga kebijakan-kebijakan pemerintah seperti re-setlement penduduk sangat berperan dalam proses-proses marginalisasi tersebut.<span style=""> </span></span></span></span></div> <div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Selain itu, Arifin juga menambahkan agar pemerintah, birokrasi dan wakil rakyat memberi perlindungan dan perlakuan yang sama dan adil bagi semua masyarakat sebagai warga, bukan sebagai penduduk etnis tertentu saja.</span></span></span></div> <div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-indent: 36pt;"><span style="" lang="IN"><span style="font-size:100%;"><span style="font-family:Times New Roman;">Dengan kebijakan semacam ini diharapkan konflik-konflik komunal yang kerapkali dipicu oleh marginalisasi budaya, diskriminasi ekonomi maupun politik, tak akan terulang lagi. []</span></span></span></div></span></div>bank makalahhttp://www.blogger.com/profile/09527060703496216783noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-874886691578503005.post-14654653095844502952007-09-18T18:24:00.000-07:002007-09-18T18:26:03.343-07:00Kategori<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Dulu, pesisir dan pedalaman di Jawa pernah dirumuskan sebagai dua kategori penting yang selalu paradoks atau diperlawankan. Dalam hal politik pemerintahan Mataram, pedalaman sebagai pusat kekuasaan dengan legitimasi penguasa laut selatan, dan pesisir utara sebagai pusat oposisi dan perlawanan. Pangeran Puger di zaman Sultan Agung yang mengungsi ke utara ketika ia mendeklarasikan diri sebagai oposan terhadap Mataram merupakan contoh menarik. </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=""> </span>Dari segi kebudayaan, banyak orang menulis bahwa kebudayaan pesisir dan kebudayaan pedalaman di selatan Jawa merupakan dua entitas budaya yang sangat berbeda dan sah untuk dikategori secara terpisah. Bentuk-bentuk kesenian maupun ritual di kedua wilayah itu amatlah tidak sama di mana pesisir lebih melahirkan ekspresi yang terbuka bahkan vulgar, sementara pedalaman lebih merupakan persemayaman simbolisme dan kehalusan. Jaipong pesisir utara (Karawang dan Subang) yang terkenal dengan ‘goyang kerawang’ (erotis) selalu dibedakan dari jaipong pedalaman (Bandung dan sekitarnya) yang ‘estetis’ bahkan keduanya pernah ‘bertabrakan’ dan saling bertentangan. Dalam soal keagamaan pun kedua wilayah geografis tersebut juga menciptakan dua corak yang berbeda; pesisir yang santri dan pedalaman yang sinkretis (kejawen). </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=""> </span>Ketegori serupa juga terjadi di Lampung. Penduduk asli daerah itu juga terbelah ke dalam pesisir dan pedalaman. Penduduk pesisir menganggap bahwa Raden Intan, seorang pejuang di zaman Belanda, adalah pahlawan yang hebat, sedangkan penduduk pedalaman menganggapnya sebagai penjahat. Pandangan serupa juga terjadi di Riau dalam memandang pejuang Pangeran Tambusai. Penduduk Riau darat (pulau Sumatera) memandang pangeran itu sebagai pahlawan dan amat getol mengusulkannya menjadi pahlawan nasional, sementara Riau pulau memandangnya sebagai penjahat. </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=""> </span>Pemilahan (kategori) di kedua daerah itu ternyata tidak hanya menyangkut soal kebudayaan, melainkan berimbas pada perkara politik. Berulang kali pemilihan gubernur atau pejabat tertentu lainnya kandas hanya karena persoalan dari mana asal calon yang bersangkutan; dugaan paling kuat bahwa hal itu memang yang dikehendaki <st1:place st="on"><st1:city st="on">Jakarta</st1:City></st1:place>. Oleh sebab itu, dalam rentang waktu panjang (masa orde baru), kepala daerah di kedua wilayah itu selalu dimonopoli <st1:place st="on"><st1:city st="on">Jakarta</st1:City></st1:place> dan yang menjadi adalah dari Jawa. <span style=""> </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=""> </span>Kategori geografis rupanya juga sempat mempengaruhi perkembangan keilmuan sosial terutama antropologi. Hingga tahun 90-an, bahkan sampai kini pun masih terlihat sisa-sisanya, kita ‘tercekoki’ oleh pendekatan (perspektif) geografis yang memandang seolah wilayah geografi masih berpengaruh pada pembentukan corak atau karakter kebudayaan. Sulit mengikuti perspektif ini ketika ternyata perkembangan komunikasi dan transportasi menghasilkan mobilitas sosial dan pengerucutan pada pusat politik, ekonomi, dan kebudayaan yang tunggal. Dan dalam kasus <st1:country-region st="on">Indonesia</st1:country-region> pusat itu adalah <st1:place st="on"><st1:city st="on">Jakarta</st1:City></st1:place> yang bukan pesisir dan bukan pula pedalaman, tetapi metropolitan. Dalam soal agama pun juga sama, menuju ke pusat bernama “bukit puritan”. </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=""> </span>Begitu banyak hasil-hasil riset sosial berkesimpulan bahwa kecenderungan kebudayaan (dari gaya hidup sampai ekonomi, politik, dan keberagamaan) paling menonjol penduduk wilayah pedalaman (kota dan desa) metropolis, kapitalistik, dan puritan, hal yang sama juga dapat disaksikan di wilayah pesisir. Otonomi daerah yang antara lain menggemakan lokalitas, ternyata hanya menghasilkan pengkaplingan tahta politik dan tidak membentuk corak subtansi yang beraneka-ragam. </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=""> </span>Menegaskan kembali identitas lokal berdasarkan geografi, selain identitas itu sendiri selalu merupakan proyek politik, akan berseberangan dengan kenyataan. Bahkan akan berbahaya ketika penanda yang dipilih adalah sesuatu yang krusial dan ‘rawan konflik’ seperti agama. <span style=""> </span><span style=""> </span><span style=""> </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=""> </span><span style=""> </span><b style=""><span style=""> </span>Bisri Effendy<o:p></o:p></b></p>bank makalahhttp://www.blogger.com/profile/09527060703496216783noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-874886691578503005.post-26055364572478957142007-09-18T18:20:00.000-07:002007-09-18T18:24:35.352-07:00Ketika Kategori Kultural Semakin Cair<p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="SV">Belum lama ini sejumlah aktifis dan seniman mendatangi gedung DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara. Dalam <i style="">hearing</i> bersama wakil rakyat itu, seorang seniman dari LPKK (Lembaga Pembinaan Kebudayaan Kutai) Tenggarong melontarkan usulan yang mengundang tanya. Katanya, bila Kutai Barat dan Kutai Timur telah mengembangkan kesenian (kebudayaan) pedalaman (Dayak), maka Kutai Kartanegara harus mengambil kesenian pesisir, Melayu/Islam, agar memiliki kekhasan dari wilayah kabupaten lainnya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="SV"><span style=""> </span>Entah apa sebenarnya yang ada di benak sang aktifis ini. Mirip keyakinan dan nalar para pengambil kebijakan kita di masa Orde Baru, seolah-olah kebudayaan pesisir dan pedalaman berbeda secara esensial, begitu pula identitas orang-orang di dalamnya selalu tetap dan tak berubah. Padahal kenyataan sosial selalu berkembang dan berjalan dinamis sehingga tak mungkin dikotak-kotakkan dalam kategori tunggal semata.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><b style=""><span style="" lang="SV">Produk festival <o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="SV">Pembagian kategoris kesenian pedalaman dan pesisir di Kaltim sebenarnya belum lama terdengar. Istilah ini baru diperkenalkan oleh Dinas Pariwisata Kalimantan Timur dalam acara festival kesenian tahun 2001. Selanjutnya ia dipertegas dalam perhelatan Festival Kemilau Seni Budaya Etam, Desember 2006, yang mem-festival-kan musik pesisir/pedalaman, busana pesisir/pedalaman, dan tari pesisir/pedalaman. </span><span style="" lang="FI">Kegiatan ini diprakarsai Dinas Pariwisata dan Taman Budaya Kalimantan Timur dan diikuti oleh 13 kabupaten/kota se-Kaltim. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="FI">Namun ada hal menarik dari berbagai festival ini. Kendati tema festival mengusung kesenian pesisir dan pedalaman, berbagai pertunjukan justeru melampaui angan-angan penyelenggaranya. Apa yang dianggap kesenian pedalaman yang khas ternyata memiliki unsur-unsur kesenian pesisir. Demikian pula sebaliknya, jenis musik yang sering dikategorikan khas pesisir justeru menampilkan perpaduan unik antara musik yang dianggap Islami itu dengan musik tradisional masyarakat Dayak.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="FI"><span style=""> </span>Darmo, misalnya, mengaku gerakan tarian grupnya biasa dimainkan oleh komunitas adat di hulu sungai Mahakam. Namun demikian tarian yang dimainkannya juga memuat unsur yang dianggap khas pesisir itu. “Lihat saja alat musiknya, selain <i style="">sampeq </i>kami juga menggunakan <i style="">tingkilan</i> yang sering dikategorikan alat musik pesisir, bahkan Islam,” papar peserta festival yang dari namanya saja barangkali orang tak menyangka dirinya berasal dari suku Dayak Benuaq, Kutai Barat.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="FI"><span style=""> </span></span><span style="" lang="SV">Pengakuan ini juga diamini Indra Bengeh yang menjabat kepala adat Dayak Besar, Kutai Timur. Ia menuturkan tidak semua warga Dayak tinggal di pedalaman, banyak di antara mereka yang tinggal di pesisir yang sebagian menetap di sepanjang pesisir Sangkulirang. Hal ini juga berlaku bagi masyarakat Kutai dan Melayu yang tidak seluruhnya tinggal di pesisir. ”Makanya tidak tepat jika pedalaman itu hanya disebut Dayak dan pesisir itu Kutai dan Melayu,” tandas Indra Bengeh usai menampilkan musik dan tari <i style="">Dayak Modang</i> dari Kutai Timur itu.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="SV">Pandangan kategoris bahwa pedalaman merepresentasikan Kristen sementara pesisir Islam juga dipatahkan oleh masyarakat sendiri. Bagi Darmo, persepsi demikian itu, setidaknya dalam kesenian, sangat menyesatkan dan bisa berakibat serius terhadap hubungan sosial dalam masyarakat. ”Tidak ada hubungan langsung antara tarian baik pedalaman maupun pesisir dengan agama tertentu secara kaku,” demikian tegasnya. Pendapat serupa juga keluar dari mulut seorang seniman teater asal Samarinda, Lita. ”Jika ada orang Dayak masuk Islam biasanya disebut Melayu atau Kutai, padahal itu bisa membuat seseorang kehilangan hak kulturalnya sebagai Dayak,” tandasnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><b style=""><span style="" lang="SV">Problematis <o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="SV"><span style=""> </span>Ya, bagi Darmo dan juga Lita di atas, identifikasi agama dengan etnisitas atau kategori-kategori tertutup lainnya bukan hanya membingungkan dari segi nalar sehat tapi juga problematis dalam realitas sosial. Berbagai macam ritual yang dijalankan komunitas Dayak Benuaq dan Tunjung di Kaltim, seperti <i style="">ngugu taun</i> (bersih desa), ritual <i style="">kewangkey </i>(ritus kematian untuk balas jasa terhadap arwah-arwah leluhur), dan juga ritual <i style="">belian</i> (upacara penyembuhan khas komunitas Tunjung dan Benuaq), barangkali bisa membuyarkan kotak-kotak kategorial semacam itu. Dalam setiap ritual tersebut, terdapat berbagai tarian yang dimainkan tanpa mengenal batas agama. Bahkan bisa dikatakan, dalam satu ritual ada beragam agama. Di Jahab, Kutai Kartanegara, misalnya, kepala adatnya beragama Katolik, belian-nya Muslim, ada juga yang Kristen, dan lainnya beragama Kaharingan.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="SV"><span style=""> </span>Dalam ranah kesenian, gugatan terhadap identifikasi agama dan etnis atau budaya itu kenyataannya jauh lebih kuat dan semarak. Meski dewan juri festival telah mengelompokkan berbagai kesenian dalam kategori pedalaman dan pesisir, kenyataannya banyak grup musik dan tari tradisi yang mengawinkannya dengan <i style="">gambus</i> yang konon khas pesisir (dan juga Islami) dan <i style="">sampeq</i> yang pedalaman. Lagu <i style="">mayanyo</i> dari suku Tidung, misalnya, dimainkan secara apik dan padu dengan iringan musik <i style="">sampeq</i>, <i style="">gambus</i> serta <i style="">tingkilan</i> sekaligus. Demikian pula kelompok musik pedalaman Kutai Barat yang diiringi alat musik <i style="">tingkilan</i> yang tampil memikat. Realitas ini memperlihatkan betapa identitas, kategori-kategori, dan kebudayaan begitu cair, plural dan amat dinamis.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="SV">Begitulah, kenyataan bahwa kesenian dan kebudayaan di Kaltim tumbuh beragam memang harus diterima akibat keragaman sosialnya. Namun, menentukan kategori kebudayaan itu secara tertutup apalagi didorong oleh kepentingan eksternal (politik dan pariwisata) tentu tidaklah tepat. Adalah kekeliruan bila kebudayaan diandaikan seperti pakem yang bisa dikotakkan berdasar batas-batas wilayah geografis, teritorial atau kelompok etnis tertentu. Begitu pula mengandaikan identitas kebudayaan yang selalu tunggal, tanpa menyadari bahwa ia selalu dikonstruksi secara sosial dan politis. <o:p></o:p></span></p> <span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";" lang="SV">Bukankah cara pandang semacam itu hanya mengkopi angan-angan sentralisme kekuasaan Orde Baru yang mendirikan TMII (Taman Mini Indonesia Indah) sebagai representasi tunggal identitas budaya daerah?.</span>bank makalahhttp://www.blogger.com/profile/09527060703496216783noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-874886691578503005.post-44494553537290523762007-07-02T18:26:00.000-07:002007-07-02T18:28:38.077-07:00MEMPERKENALKAN EDWARD SAID PASCA 11 SEPTEMBER<p class="MsoNormal" style="text-align: center; line-height: 14.4pt;" align="center"><b style=""><span style="font-size: 14pt;">Oleh Ahmad Baso<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 14.4pt;"><span style="font-size: 14pt;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 14.4pt;">“I am an Oriental writing back at the Orientalists, who for so long have thrived upon our silence. I am also writing <i>to</i> them, as it were, by dismantling the structure of their discipline, showing its metahistorical, institutional, anti-empirical, and ideological biases.”</p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 14.4pt;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 14.4pt;">--- Edward W. Said, “Beginning: Interview” (1976) </p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 14.4pt;"><b><o:p> </o:p></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 14.4pt;"><b>Arus Balik, “Menulis-Balik” , Dekolonisasi: Mengapa Edward Said? </b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 14.4pt;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Edward W. Said berawal dari sebuah kerja “menulis-balik”, sebuah dekolonisasi. Dan Said memang dikenal identik dengan gugatan atas segala sesuatu yang dianggap mapan dan lepas dari kritik. Tapi, Said bukan hanya mewakili diri seorang pribadi yang biasa dijargonkan “sok asal berbeda”, seperti kata pepatah Arab <i style="">“khalif tu’raf”,</i> berbedalah maka kamu akan terkenal. <span style="" lang="SV">Said justru merepresentasikan semangat zaman yang kini sedang bergerak secara global dalam bahasa “resistensi” atas kapitalisme global. </span>Anti-globalisasi, gerakan lingkungan, gerakan masyarakat adat <i style="">(indigeneous peoples),</i> gerakan perempuan dunia ketiga, gerakan petani melawan WTO, hingga gerakan anti neo-lib, anti-IMF dan Bank Dunia, adalah di antara sekian resistensi global tersebut. Beberapa bulan sebelum meninggal, Said sempat menyebut identitasnya: “<i>I grew up in a non-Western culture, and, as someone who is amphibious or bicultural, I am especially aware, I think, of perspectives and traditions other than those commonly thought of as uniquely American or “Western”. This perhaps gives me a slightly peculiar angle</i>”.<a name="sdfootnote1anc"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote1sym" target="_blank"><span style=""><sup><span style="color: windowtext;">1</span></sup></span></a><span style=""></span> (<i>HDC</i>: 1-2).</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><st1:place st="on"><st1:city st="on">Ada</st1:City></st1:place> pengalaman menarik yang harus saya tulis di sini. Salah seorang peneliti <i>bule</i> menganggap bahwa naskah buku saya, <i>Islam Pasca Kolonial </i>(2005), perlu diedit, seperti layaknya seorang profesor yang mengedit naskah mahasiswanya. Soalnya dalam buku itu, seperti dibacanya, terlalu banyak nama Edward Said disebut. Padahal peneliti itu menyenangi buku saya <i>Civil Society versus Masyarakat Madani</i> (1999). Buku itu sangat dipuji dan sering dikutip. <st1:place st="on"><st1:city st="on">Ada</st1:City></st1:place> kesan saya menyerang Nurcholish Madjid, dan itu kayaknya paling disukai. Namun, ketika dalam buku <i>Islam Pasca Kolonial</i>, saya menyerang <i>(</i>istilah Said, <i>writing back</i>) otoritas keilmuan mereka, dan meragukan superioritas pengetahuan mereka, itu langsung direspon dengan perlunya diedit kata per kata, kalimat per kalimat, seperti halnya seorang profesor mengedit dan mendisiplinkan pikiran mahasiswanya. </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Pengalaman ini menarik perhatian saya kepada adanya ketimpangan dalam produksi pengetahuan, seperti halnya yang dialami seorang genius dari Jawa yang pernah diledek oleh C. Snouck Hurgronje “tidak berpengetahuan dan tidak mengerti”, seperti saya ungkap dalam buku saya <i>Islam Pasca Kolonial</i>. Masalahnya, bagaimana jadinya seandainya kalangan pribumi punya pengetahuan tentang etnografi dan menerapkannya ke dalam masyarakat Eropa. Artinya, sebagai kebalikan dari para etnolog Eropa yang datang ke dunia Timur, dan menerapkan teorinya untuk meneliti masyarakat Timur yang dianggap primitif dan tidak beradab. <span style="" lang="FI">Maka, kesimpulan pengetahuan pribumi ini bisa merontokan supremasi peradaban Barat. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><span style="" lang="FI">Mengapa peneliti bule ini menyangkal dengan cara “perlu diedit” seperti itu, dan tidak menganggapnya sebagai “pengetahuan tandingan” atau “wacana alternatif” terhadap hegemoni pengetahuan Barat?. Soalnya, baginya, mungkin, konklusi dari buku itu sangat berbahaya bagi misi pemberadaban Barat yang membenarkan kolonialisme atas dunia Timur. </span><span style="" lang="SV">Segenap pembenaran dan legitimasi kehadiran Barat mengkolonisasi Timur itu dengan sendirinya akan rontok. </span><span style="" lang="FI">Sehingga dilihat mengancam dan berbahaya, serta mengganggu stabilitas hirarkis rasial dan pengetahuan antara penjajah dan yang dijajah, antara Barat yang pintar dan Timur yang bodoh. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><span style="" lang="FI">Selama ini karya-karya penulis berkulit putih dari Barat sudah menjadi bagian sehari-hari dari para pelajar, mahasiswa, dan para peneliti dalam kerja-kerja. Hampir setiap saat sejumlah peneliti dari negara-negara Barat yang kaya datang ke sini untuk mengenal lebih jauh situasi negeri ini. Namun disayangkan, sejumlah asumsi-asumsi dominan yang mereka gunakan, sadar atau tidak, masih bersifat etnosentris. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><span style="" lang="FI">Tulisan ini dengan menunjukkan kekuatan kritik Edward Said, bagaimana organisasi keterpelajaran dan akademik menempatkan obyeknya bersama-sama, dengan cara apa dan kemana arah yang mereka bawa, dan bagaimana ouput dari yang mereka hasilkan itu dalam segenap karya dan tulisan mereka. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><span style="" lang="FI">Di sinilah alasan mengapa Edward Said menjadi penting. Kelebihan Said dari sekian sarjana yang kritis, adalah pada kemampuannya mengkombinasikan kritik sastra dan kritik imperialis dalam konteks studi-studi Islam seperti yang diangkat oleh kalangan Orientalis, dan juga dalam konteks ilmu-ilmu sosial lainnya yang berbicara dan merepresentasikan Dunia Ketiga. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 14.4pt;"><span style="" lang="FI"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 14.4pt;"><b>Edward Said, Pengalaman Pribadi</b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 14.4pt;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Ketika saya menulis artikel ini, September 2006, genap sudah dua tahun sejak wafatnya Edward Said. Meski tidak pernah bersua, namun ia tetaplah hadir dalam segenap untaian kata dan kalimat yang terjalin dalam buku ini. Kabar meninggalnya Said baru saya terima seminggu kemudian dalam satu perjalanan ke arena muktamar anak muda NU di Situbondo, Jawa Timur, awal Oktober 2003. Pikiran pun berkecamuk: Apa yang akan saya presentasikan dalam forum muktamar pemikiran anak muda itu? Kritik tradisi atau kritik imperialisme? NU sebagai obyek kritik atau subyek kritik? Sebuah proses panjang dari proyek kritik imperial Said kini menghadang saya dalam keragu-raguan di tengah hiruk-pikuk hadirin yang tersengat oleh heroisme-fundamentalis Ulil-Abshar Abdallah yang meluap-luap mengkritik tradisi NU yang dianggap tradisional, konservatif, dan regresif.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Saya berkenalan dengan Said, seperti halnya saya berkenalan dengan Muhammad Abed al-Jabiri – melalui teks. Awalnya adalah terjemahan buku Said <i>Orientalisme </i>yang pada 1991 sudah mengundang perhatian kawan-kawan peminat studi posmodernisme di <st1:place st="on"><st1:city st="on">Jakarta</st1:City></st1:place>. Adalah Ulil Abshar-Abdallah sendiri yang memperkenalkan buku ini, yang waktu itu sedang didiskusikan di Kajian 164 yang dibentuk oleh anak-anak PMII, dan di Formaci, Ciputat. <span style="" lang="SV">Maklum, Said mengundag perhatian karena ia memperkenalkan pendekatan Michel Foucault. </span>Foucault sebagai metodologi waktu itu belum diperkenalkan. Munculnya buku <i>Orientalisme </i>yang waktu itu diterjemahkan oleh Penerbit Pustaka Bandung, diharapkan nantinya akan memperkaya kajian ilmu-ilmu sosial. Apalagi dalam studi-studi Islam.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Said pun kemudian menggema di wilayah ini. Tapi sayangnya waktu itu muncul buku <i>Culture and Imeprialism </i>pada 1993, yang mendapat apresiasi besar di kalangan muslim urban di <st1:place st="on"><st1:city st="on">Jakarta</st1:City></st1:place>. Bahkan mendapat perhatian khusus dalam koran <i>Republika </i>pada tahun 1995, yang waktu itu dimiliki oleh para petinggi ICMI. Sehingga, yang tampak ke permukaan, adalah pembalikan esensialisasi Barat menjadi esensialisasi Islam. <span style="" lang="FI">Seperti halnya buku Orientalism yang mendapat banyak pujian dan sambutan hangat dari kalangan Islam fundamentalis, yang ternyata dipakai untuk membenarkan politisasi Islam menghadapi segenap yang berbau Barat.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><span style="" lang="SV">Selain itu, gaung Said juga terdengar dalam kajian sastra. </span>Terutama dalam jurnal <i>Kalam</i>, yang mengangkat tema Sastra dan Pascakolonialisme. Tapi, belakangan komunitas Utan Kayu yang membidani jurnal tersebut sudah tidak tertarik lagi dengan kajian postkolonial, apalagi Said, kecuali hanya sebagai kutipan di sana sini dalam <i>Catatan Pinggir</i>-nya Goenawan Mohamad. Mungkin ini karena bersamaan dengan menguatnya wacana anti-intelektual- fundamrentalis “Islam liberal” yang hanya mencukupkan diri dengan iklan-iklan “setuju kenaikan harga BBM”. </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Edward Said sebagai kritikus pengetahuan imperialis akhirnya tidak atau setidaknya kurang mendapatkan perhatian. Memang banyak orang yang merasa tersengat dengan kritikan Said. Terutama orang-orang yang selama ini mengklaim punya hak untuk tahu tentang “Islam” – dengan argumen obyektifitas dan imparsialitas.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Edward Said awalnya dikenal sebagai kritikus sastra, yang terpengaruh oleh tradisi narasi Joseph Conrad. Tapi kemudian mengembangkan dirinya juga sebagai kritik imperial. Pengalaman awal dengan kritik imperial muncul ketika menulis tentang T.E. Lawrence, yang dikenal juga dengan <st1:city st="on"><i style="">Lawrence</i></st1:City><i style=""> of <st1:place st="on">Arabia</st1:place>.</i> Tulisan itu dimuat dalam jurnal <i>Hudson Review</i>, musim dingin 1970-1971. Yang menarik perhatian Said pada diri Lawrence adalah kekuatan tulisannya, terutama yang dimuat dalam <i>Seven Pilards of Wisdom</i> yang menceritakan pengalamannya di kalangan suku-suku Arab di era Perang Dunia I. Lebih dari itu adalah juga keterlibatan Lawrence dalam sekian urusan imperialisme Inggris di Timur Dekat; dan juga deskripsinya setelah kembali ke Inggris yang menulis pengalamannya selama di semenanjung Arabia.<a name="sdfootnote2anc"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote2sym" target="_blank"><span style=""><sup><span style="color: windowtext;">2</span></sup></span></a><span style=""></span> </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><span style="" lang="IT">Dari situ muncul kesimpulan tentang proyek sastra sebagai proyek imperialisme. </span>Dan sejak itu lahirlah ide untuk menulis tentang Orientalisme, sehingga lahirlah <i>Orientalism </i>pada 1978.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Namun, yang mengejutkan, apresiasi awal terhadap Said muncul dari lingkungan studi antropologi. <span style="" lang="FI">Kita tahu pengetahuan antropolog tentang masyarakat primitif dan yang dikatakan “terasing” kini mulai menuai gugatan. </span>Apa yang dilakukan antropolog dan etnolog terhadap orang-orang yang dianggap primitf dan terasing itu? <span style="" lang="FI">Dari sini muncul pandangan tentang pengetahuan sebagai “puisi”, sebagai “fiksi”, dan posisi problematik dari sang antropolog. Seperti ditunjukkan dalam bukunya James Clifford dan George Marcus.</span><a name="sdfootnote3anc"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote3sym" target="_blank"><span style=""><sup><span style="color: windowtext;" lang="FI">3</span></sup></span><span style=""></span></a><span style=""></span><span style="" lang="FI"> <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><span style="" lang="FI">Sementara para sarjana studi Islam, yang lebih banyak berang terhadap Said itu, masih bersikukuh dengan pandangan bahwa mereka punya hak untuk tahu dan bahwa pengetahuan mereka adalah obyektif. </span>Misalnya yang ditulis oleh beberapa sarjana dalam buku <i>Approaches to Islam</i>, yang diedit oleh Richard Martin. </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Perbedaan respons antara kalangan studi antropolgi dan studi Islam ini menarik perhatian saya. Pada yang terakhir ini ada anggapan bahwa Islam adalah agama yang tidak berubah, sebagai sebuah doktrin yang tetap hingga akhir zaman. Kebenarannya juga absolut, tak terbantahkan. Sementara pada yang pertama, studi antropolgi hanya menelaah segenap gerak kehidupan manusia, yang dinamis dan berubah-ubah dari zaman ke zaman. Sehingga dikatakan ada perbedaan dan dinamisasi dalam obyek kajian dan posisi peneliti yang berubah-ubah – meski sama-sama berbicara tentang “yang lain” (<i>Other</i>) itu. Juga diproblematisasi soal siapa yang dimaksud “Yang Lain” itu, bagaimana ia ditempatkan sebagai obyek kajian, dan asumsi-asumsi apa saja yang terkait dengan pendekatan terhadap yang lain itu. </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 14.4pt;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 14.4pt;"><b>Edward Said, Dari Yang Lain (Othered) ke Yang Terasing (Exiled)</b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 14.4pt;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Untuk ini saya mengutip sesuatu yang bagus dari Said sendiri:</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 14.4pt;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 14.4pt;">“Most of my education, and certainly all my basic intellectual formation, are Western; in what I read, in what I write about, even what I do politically, I am profoundly influenced by mainstream Western attitudes ... And yet, because I am an Arab Palestinian, I can also see and feel <i>other things</i>”.<a name="sdfootnote4anc"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote4sym" target="_blank"><span style=""><sup><span style="color: windowtext;">4</span></sup></span></a><span style=""></span> </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Edward Said adalah seorang Palestina, dan pejuang gigih hak-hak rakyat Palestina yang independen dan merdeka dari segenap bentuk imperialisme, kolonialisme dan Zionisme. Tulisan-tulisannya banyak mengkritik kebijakan dan pandangan AS tentang Islam, tentang Timur Tengah, dan lebih khusus lagi, tentang Palestina. Diakui, segenap pendidikan Edward Said adalah di Amerika. Dan khazanah keilmuan yang dikuasainya adalah sepenuhnya Barat. Tetapi, seperti diungkap di atas, “because I am an Arab Palestinian, I can also see and feel <i>other things</i>” (Karena saya orang Arab Palestina, maka saya juga bisa melihat dan merasakan sesuatu yang lain).<a name="sdfootnote5anc"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote5sym" target="_blank"><span style=""><sup><span style="color: windowtext;">5</span></sup></span></a><span style=""></span> Apa artinya ini? </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Said adalah pengagum karya-karya besar dalam dunia sastra dan filsafat Barat. Seperti Conrad, Vico, Gramsci, Auerbach, Renan, Adorno, dan Flaubert. Ia puluhan tahun bermukim di AS, dan sudah melahap habis segenap khazanah peradaban dan kebudayaan Amerika. Tapi, yang justru membuat orang-orang Barat jengkel dan gusar kepada Said, adalah karena <i>ia bersuara lain</i>. Ia sendiri menyebut suaranya “<i>polyphonic</i>” – mirip suara musik dan bunyi HP mutakhir.<a name="sdfootnote6anc"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote6sym" target="_blank"><span style=""><sup><span style="color: windowtext;">6</span></sup></span></a><span style=""></span> Ia belajar Conrad dan Vico, tapi yang muncul adalah suara Palestina. Ia bergumul dengan teori-teori kritik sastra, namun yang keluar dalam tulisan-tulisannya adalah kritik terhadap kolonialisme Eropa dan imperialisme AS.<a name="sdfootnote7anc"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote7sym" target="_blank"><span style=""><sup><span style="color: windowtext;">7</span></sup></span></a><span style=""></span> Jadi, karena Said menulis lain, sebagai orang Palestina, maka ia pun melihatnya dengan cara lain dan dari sudut pandang yang berbeda pula.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Dengan kata lain, kasus Edward Said ini menunjukkan adanya upaya “<i>changing the subject</i>”, mengubah posisi subyek, juga untuk mengganti pokok dan posisi pembicaraan. Pandangan orang-orang yang diuntungkan oleh imperialisme tentu berbeda dengan pandangan orang-orang yang dirugikan. Bagi yang pertama, imperialisme adalah positif. Sementara bagi yang terakhir tentu negatif, sebagai korban. Zionisme dan imperialisme ingin menunjukkan dirinya seragam, dan menampilkan diri satu warna di hadapan orang-orang yang mengalaminya. Imperialisme misalnya tampil sebagai “misi pemberadaban bangsa-bangsa terbelakang”. Tapi, pengalaman orang-orang Palestina dengan imperialisme dan Zionisme justru berlainan. Tanah dan hak-hak mereka direnggut. Mereka dikorbankan. Orang-orang Palestina melihat dirinya berbeda dalam pengalamannya dengan imperialisme. Dan itulah yang dirasakan oleh Edward Said, dan yang juga dilakukannya dalam studi tentang Orientalisme.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 14.4pt;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 14.4pt;"><b>Palestina, Konstruk Orientalisme, dan Sudut Pandang Lain</b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 14.4pt;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Indeed, my real argument is that Orientalism is – and does not simply represent – a considerable dimension of modern political-intellectual culture, and as such has less to do with the Orient than it does with “our” world.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 14.4pt;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 14.4pt;">-- Edward W. Said, <i>Orientalism</i>, h. 12.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 14.4pt;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Jelas, Edward Said bergumul dengan soal Palestina. <st1:city st="on"><st1:place st="on">Ada</st1:place></st1:City> yang menyakitkan: ketika berkunjung kembali ke rumah asalnya di daerah Yerusalem Barat. Yang ternyata sudah dihuni oleh keluarga Kristen militan sayap kanan dan pro Zionis (<i>OP</i>:....). <span style="" lang="SV">Dan juga ketika Netanyahu membenarkan pendudukan Israel atas wilayah Palestina dengan argumen Orientalisme. </span><span style="" lang="FI">Demikian pula laporan-laporan tentang Palestina seperti yang dilakukan Thomas Friedman. Lihat dalam PPC dan PD. Tentang Palestina sebagai tanah kosong, dan penduduk yang terbelakang.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><span style="" lang="FI">Apa artinya bagi Edward Said bagi posisi dirinya sebagai korban ini? </span>Said mengutip Gramsci: “The Starting point of critical elaboration is the consciousness of what one really is, and is ‘knowing thyself’ as a product of the historical process to date, which has deposited in you an infinity of traces, without leaving an inventory”. Dalam versi Itali, Said menemukan tambahan berikut: “therefore it is imperative at the outset to compile such an inventory”.<a name="sdfootnote8anc"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote8sym" target="_blank"><span style=""><sup><span style="color: windowtext;">8</span></sup></span></a><span style=""></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Menurut Said, tugas menghasilkan <i>inventory</i> merupakan yang utama dilakukan ketika “inventory” dari apa yang dialami oleh para korban imperialisme (bukan para penerima manfaat) jarang terekspos ke publik. <span style="" lang="SV">Tentu pandangan orang-orang yang diuntungkan dengan imperialisme berbeda dengan pandangan orang-orang yang dirugikan. </span>Bagi yang pertama, imperialisme adalah positif. Sementara bagi yang terakhir tentu negatif. Pengalaman orang-orang Palestina dengan Zionisme dan imperialisme membuatnya melihat dari sudut pandang yang berbeda; sementara Zionisme dan imperialisme membuat mereka untuk melihatnya secara seragam. <span style="" lang="SV">Dengan cara apapun imperialisme ingin menampilkan dirinya secara homogen, dan tunggal. </span>Tapi orang-orang Palestina justru melihatnya secara berbeda. Demikian pula Edward Said. Said mengatakan demikian: “because I am an Arab Palestinian, I can also see and feel <i>other things</i>”.<a name="sdfootnote9anc"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote9sym" target="_blank"><span style=""><sup><span style="color: windowtext;">9</span></sup></span></a><span style=""></span> </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Seperti dalam satu tulisannya tentang <a name="sdfootnote10anc">Zionisme,</a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote10sym" target="_blank"><span style=""><sup><span style="color: windowtext;">10</span></sup></span></a><span style=""></span> Said sudah memperkenalkan bagaimana cara kerja analisis yang akan ia tawarkan ketika menjadikan imperialisme sebagai obyek kajian. Yang pertama, menurutnya, perlu dianalisis secara genealogis, yakni meneliti asal-usulnya, ikatan kekerabatannya, keturunannya, afiliasinya dengan ide-ide lainnya, dan dengan institusi-institusi politik lainnya. Yang kedua, sebagai sistem praktis untuk sebuah akumulasi (kekuasaan, tanah, legitimasi ideologis), dan <i style="">displacement</i> (manusia, ide-ide lainnya, legitimasi sebelumnya). Dari sini kemudian berbicara tentang sudut pandang diri sebagai korban.<a name="sdfootnote11anc"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote11sym" target="_blank"><span style=""><sup><span style="color: windowtext;">11</span></sup></span></a><span style=""></span> </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Apa arti sudut pandang seorang korban ini? Bagi Said, ini adalah tugas intelektual- politik dan merupakan bagian penting dari perlawanan gobal terhadap imperialisme, teknik-teknik perahasiaan dan dominasi, melawan retorika ahistoris, dan melawan hegemoni liberal (minimal di Amerika Serikat).<a name="sdfootnote12anc"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote12sym" target="_blank"><span style=""><sup><span style="color: windowtext;">12</span></sup></span></a><span style=""></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Dalam satu wawancara dengan <i>Diacritics </i>(1976), ia pernah menggambarkan dirinya “I am an Oriental writing back at the Orientalists, who for so long have thrived upon our silence. I am also writing <i>to</i> them, as it were, by dismantling the structure of their discipline, showing its metahistorical, institutional, anti-empirical, and ideological biases.”<a name="sdfootnote13anc"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote13sym" target="_blank"><span style=""><sup><span style="color: windowtext;">13</span></sup></span></a><span style=""></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Target pertama Said sebagai “Yang Lain” adalah argumen Orientalis tentang perlunya negara <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Israel</st1:place></st1:country-region> dan tentang “<i>a land without people, for a people without land</i>”. Pandangan-pandangan orang-orang <st1:place st="on"><st1:country-region st="on">Israel</st1:country-region></st1:place> tentang tanah yang dihuni orang-orang Palestina, justru dijustifikasi dalam konstruk Orientalis. Benyamin Netanyahu misalnya, dalam bukunya <i>A Place Among the Nations: Israel and the World </i>(1993), mengutip tulisan-tulisan orang-orang Eropa abad 18 dan 19, seperti Lamartine, Twain, Bovet, bahwa tanah itu kosong dan tak berpenghuni.<a name="sdfootnote14anc"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote14sym" target="_blank"><span style=""><sup><span style="color: windowtext;">14</span></sup></span></a><span style=""></span> </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Banyak yang mengatakan bahwa persoalan utama yang diangkat oleh Said dalam <i>Orientalism </i>adalah soal representasi. Yakni sejauhmana representasi orang-orang Barat tentang Timur atau Islam <i>benar </i>dan <i>akurat</i>. Kesimpulan umum yang dibaca orang adalah bahwa Orientalisme keliru, pengetahuan mereka distortif, dan mereka tidak berhak berbicara atau merepresentasikan Timur atau Islam.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Sebetulnya, Edward Said mengawali bukunya dengan mengungkap pengalaman seorang wartawan asal Perancis yang meliput perang saudara di Libanon 1975-1976. “Daerah ini dulunya merupakan Timur-nya Chateaubriand dan Nerval,” demikian ia menulis dengan penuh penyesalan menyaksikan kawasan pusat <st1:city st="on">kota</st1:City> <st1:place st="on"><st1:city st="on">Beirut</st1:City></st1:place> yang porak-poranda.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Apa yang ditulis ini adalah sebuah representasi. Wartawan benar tentang tempat itu. Tetapi tempat itu bukan sesuatu yang sifatnya fisik belaka. <st1:place st="on"><st1:city st="on">Ada</st1:City></st1:place> memori, ada sesuatu yang eksotik dan romantis yang hilang dalam bayangan wartawan ini tentang Timur, yang khas <i>Oriental</i>. Timur ini yang membuatkan bernilai, yang membuatnya eksotik, dan bernilai historis. Ini seperti pengalaman orang Belanda tentang <st1:place st="on"><st1:country-region st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place> yang menyebutnya “sangat Indisch” itu.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Tidak penting dalam soal ini bagaimana nasib dan kehidupan orang-orang Timur, sesuatu yang pernah dialami oleh mereka yang sezaman dengan Chateaubriand dan Nerval, penulis besar Perancis ini, dan kini mereka menderita di masa perang saudara sebagaimana yang disaksikan oleh wartawan ini. Yang penting di sini sebetulnya bagi pelancong atau orang-orang Eropa yang datang ke <st1:place st="on"><st1:city st="on">sana</st1:City></st1:place> adalah soal representasi orang-orang Eropa atas dunia Timur dan nasibnya kini. Kedua soal ini, yang memiliki signifikasi komunal, yang menarik perhatian wartawan ini dan para pembacanya di Perancis.<a name="sdfootnote15anc"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote15sym" target="_blank"><span style=""><sup><span style="color: windowtext;">15</span></sup></span></a><span style=""></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><st1:city st="on"><st1:place st="on">Ada</st1:place></st1:City> beberapa pengertian Orientalisme seperti yang diperkenalkan oleh Edward Said. Namun bagi Said semuanya saling melengkapi. Pengertian pertama merujuk ke pengertian akademis, yakni segenap perbincangan dan kajian tentang hal-hal yang berkaitan dengan dunia Timur; kedua, lebih imaginatif, yakni hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan para penulis, novelis, filsuf, sastrawan, penyair. Yang menerima perbedaan mendasar antara Timur dan Barat sebagai titik awal mereka membangun atau menyusun teori, epik, novel, deskripsi sosial, atau laporan-laporan politik berkenaan dengan dunia Timur, adat-istiadatnya, akalnya, nasibnya, dst. Pengertian ketiga, yang lebih dipakai oleh Edward Said. Karena lebih historis dan materil. Yakni berawal dari akhir abad 18, di mana Orientalisme didefinisikan sebagai sebuah kelembagaan yang berurusan dengan Timur: memberi pernyataan atasnya, mengabsahkan pandangan-pandangan tentang dirinya, melukiskannya, mengajarkannya, mengaturnya, serta menguasainya (<i>making statements about it, authorizing views of it, describing it, by teaching it, setting it, ruling over it</i>). </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Dari sini, yang lebih kontroversial dari Edward Said, pandangan bahwa Orientalisme adalah <st1:place st="on"><st1:city st="on">gaya</st1:City></st1:place> Barat mendominasi, merestrukturiasi, dan membangun otoritas atasnya. Tentu Orientalisme yang dimaksud Said adalah juga mencakup apa yang dikenal kini dengan studi-studi kewilayahan atau <i>area studies</i>. <span style="" lang="SV">Artinya, segenap yang berurusan dengan hal-hal yang serba Timur. </span>Tetapi menyebut Orientalisme sebagai “<st1:place st="on"><st1:city st="on">gaya</st1:City></st1:place> Barat mendominasi, merestrukturiasi, dan membangun otoritas atasnya”, tentu jadi kontroversial. Apakah segenap yang dikatakan orang-orang Barat, misalnya William Liddle atau Robert Hefner, tentang politik atau Islam di Indonesia mencerminkan “<st1:place st="on"><st1:city st="on">gaya</st1:City></st1:place> Barat mendominasi, merestrukturisasi, dan membangun otoritas atasnya”?</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Edward Said punya alasannya sendiri. Mendefinisikan Orientalisme seperti demikian, dipengaruhi oleh bacaannya atas karya Michel Foucault <i>The Archaeology of Knowledge </i>dan <i>Discipline and Punish</i>. Menurut Foucault, pengetahuan dibangun sesuai dengan bidang diskursif yang menciptakan representasi objek pengetahuan, pembentuknya, dan juga batas-batasnya. Penulis manapun harus menyesuaikan dengan bidang diskursif ini untuk bisa berkomunikasi, untuk bisa dipahami, untuk tetap “dalam kebenaran”, dan juga untuk bisa diterima. Edward Said juga menunjukkan bagaimana hal seperti ini juga berlaku dalam kerja-kerja Orientalis yang membangun pengetahuan tentang kebudayaan masyarakat lainnya. Konstruk pengetahuan seperti ini memungkinkan para penulis dan sarjana Eropa berbicara tentang Timur dalam lingkungan diskursif mereka sendiri untuk bisa berkomunikasi, untuk bisa dipahami, untuk tetap “dalam kebenaran”, dan juga untuk bisa diterima.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Seperti halnya Foucault, yang ingin dituju Said adalah membaca Orientalisme sebagai wacana. Dengan strategi semacam ini, Said ingin menelusuri bagaimana Timur diurus, diracik dan diproduksi sebagai politis, sosiologis, saintifik, militer, ideologis dan imajinatif selama periode pasca-Pencerahan. Seperti halnya di Eropa ditemukan obyek pengetahuan baru yang bernama tubuh, seperti dianalisis Foucault, maka pada saat yang sama muncul teknik-teknik pendisiplinan tubuh, secara politis, sosiologis, saintifik, militer, ideologis, dan imajinatif. Dalam disiplin ketentaraan, mulai dikenal disiplin tubuh. Dalam kedokteran dikenal adanya tubuh yang normal dan tidak normal. Dalam hukum, adanya perilaku tubuh yang menyimpang dan mengandung kelainan. Secara ideologis, ada normalisasi atas tubuh yang kecenderungan seksnya heteroseksual atau homoseksual. Demikian pula yang dianalisis Said. Ketika Timur ditemukan, seperti misalnya oleh para penjelajah dari daratan Eropa, maka Timur menjadi obyek baru dari pengetahuan dan segenap teknik-teknik pendisiplinan, seperti yang berlaku dalam tubuh seperti dianalisis Foucault. </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Namun demikian, membaca Orientalisme melalui pendekatan wacana adalah juga berarti berbicara tentang limitasi, batasan-batasan, berbicara tentang batas-batas dan batasan-batasan. Orientalisme bukanlah subyek pemikiran dan bertindak yang bebas. Tetapi bukan dalam arti bahwa Orientalisme menentukan secara harfiah apa yang dipikirkan tentang Timur. Namun ia adalah segenap jejaring kepentingan (<i>whole network of interests</i>) yang tak lepas dari setiap kesempatan berbicara tentang Timur sebagai obyek pengetahuan baru. Namun apa arti segenap jejaring kepentingan atau <i>whole network of interests</i> seperti disebut Said ini? Apakah ini kelanjutan dari tesis lama dalam sosiologi pengetahuan tentang keterpautan antara pengetahuan dan kepentingan, antara ilmu dan politik? Mungkin demikian. Tetapi Said membaca <i>whole network of interests</i> dari sisi <i>culture </i>(<i>O</i>: 12). Apa maksudnya ini?</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Dominannya kata <i>culture</i> dalam <i>Orientalism</i> menunjukkan ada sesuatu yang berbeda ketika Orientalisme dilekatkan dengan sebuah kepentingan, sebuah <i>whole network of interests, </i>yang merupakan imbas dari tesis-tesis yang diajarkan oleh <i>cultural studies</i>, seperti yang ditimba oleh Edward Said. Berikut di antaranya tesis <i>cultural studies</i> itu. <i>Pertama</i>, kebudayaan adalah perkara sesuatu yang dibuat, diracik, yang dibuat(-buat) . Biasanya disebut konstruk atau invensi. Konstruk seperti merujuk kepada kerja-kerja membangun dan meracik, seperti mengkonstruk rumah atau bangunan fisik. Sementara invensi mengacu pada hal yang dibuat baru, namun berasal dari sesuatu yang lama. <span style="" lang="FI">Invensi juga lebih mendekati arti menemukan. Menemukan berarti mendapatkan sebuah pengalaman baru dari dalam kata, meskipun kata itu sudah lama beredar. Pengalaman itu baru – mungkin bertaut dengan sugesti atau asosiasi – karena ia belum ada di kancah orang ramai. Jadi, berbicara tentang Orientalisme berawal dari perbincangan tentang konstruk, invensi atau racikan, seperti akan ditunjukkan nanti. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><span style="" lang="FI">Kedua, <i>cultural studies </i>mengajarkan bahwa kebudayaan adalah segenap keseluruhan kehidupan sosial masyarakat. </span>Seperti yang dikatakan Raymond Williams. Tentu ada yang sinis membacanya sebagai “<i>the British way of life</i>”. </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Ketiga, kebudayaan sebagai hegemoni. <i>Cultural studies </i>adalah satu bentuk penganalisaan – ada yang menyebutnya pula sebagai sebuah gerakan – untuk membaca peta dominasi maupun resistensi. <span style="" lang="FI">Yakni, membaca bagaimana kebudayaan menjadi arena untuk melakukan dominasi, sekaligus sebagai alat untuk memainkan negosiasi ataupun perlawanan. </span><i>Cultural studies </i>melihat kebudayaan sebagai efek hegemoni. Hegemoni berasal dari Gramsci. Menurut intelektual Marxis ini, hegemoni berarti dominasi yang berlangsung tidak dengan paksaan yang kasat mata melainkan dengan persetujuan (<i>consent</i>) dari pihak yang didominasi. Dalam bingkai hegemoni inilah kebudayaan terletak. Kebudayaan merupakan instrumen yang memungkinkan hegemoni berfungsi dalam sistem dominasi. <span style="" lang="FI">Dan bukan sekedar ekspresi sistem nilai suatu komunitas yang mencerminkan identitas kelas.</span><a name="sdfootnote16anc"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote16sym" target="_blank"><span style=""><sup><span style="color: windowtext;">16</span></sup></span></a><span style=""></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Ketiga tesis dari <i>cultural studies </i>ini menjadi pegangan awal Edward Said membahas Orientalisme. <i>Pertama</i>, Orientalisme adalah konstruk. Yakni adanya obyek baru yang bernama Timur, Orient. <span style="" lang="FI">Dan itu bermula dari cerita tentang sebuah tempat yang kemudian dinakaman tempat. Dengan kata lain, Timur bukan sesuatu yang ada dengan sendirinya, yang mewujud begitu saja, yang ada di sana, atau menyebut dirinya sebagai Timur. Ada sesuatu yang membuatnya ia Timur. Seperti halnya ada pula yang membuatnya berbeda dari Barat, sebagaimana Barat adalah juga dimunculkan karena untuk membedakannya dari Barat. Untuk itu Said mengutip dari Vico, yang menyatakan bahwa manusia menciptakan sendiri sejarah mereka. Dan apa yang mereka ketahui adalah apa yang telah mereka buat, yang kemudian melekatkannya pada sebuah geografi.</span><a name="sdfootnote17anc"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote17sym" target="_blank"><span style=""><sup><span style="color: windowtext;">17</span></sup></span></a><span style=""></span> </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Mengapa geografi? Geografi itu sendiri berasal akar kata <i>geo </i>dan <i>graphy</i>. Geo artinya dunia, sedangkan <i>graphy </i>berarti menulis. Jadi, “menulis dunia”.<a name="sdfootnote18anc"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote18sym" target="_blank"><span style=""><sup><span style="color: windowtext;">18</span></sup></span></a><span style=""></span> Biasanya instrumen menulis dunia dilakukan melalui peta atau sketsa-sketsa tentang tempat, lokasi, atau wilayah. Biasanya, kita membuat atau menarik garis batas antara wilayah kita dan wilayah mereka. Wilayah kita adalah wilayah yang aman, familiar, sesuatu yang dekat dan akrab dengan rumah sendiri. <span style="" lang="FI">Sementara wilayah mereka dianggap asing, penuh marabahaya dan semakin jauh dari rumah kita maka semakin menakutkan. </span>Demikian pula yang dibuat tentang Barat dan Timur. Barat identik dengan rumah sendiri, yang familiar dan akrab. Sementara Timur adalah sesuatu yang asing, yang lain, dan identik dengan tempat-tempat menakutkan. </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><st1:place st="on"><st1:city st="on">Ada</st1:City></st1:place> sesuatu yang perlu digarisbawahi lebih lanjut berkaitan dengan pengalaman tentang ruang dan tempat ini. Berbeda dengan pandangan sebelumnya, yang melihat ruang dalam hubungannya dengan kerja, aksi, atau kegiatan (yang bertujuan rasional), ruang kini dilihat sebagai arena tempat diperebutkannya makna-makna di antara kekuatan yang hendak mendominasi dan yang melakukan resistensi. Dulu, tidur misalnya dianggap bukanlah sesuatu yang dilakukan di ruang publik; tapi seharusnya di rumah, <i>home</i>, tenang dan tenteram, dan pasti nyenyak. Tapi kini, tidur dalam satu ruang tertentu tidak lagi bermakna tunggal. Bagaimana misalnya kegiatan tidur di emperan jalan, atau orang yang tidak bisa tidur di rumah, yang jelas tidak bisa lagi dikatakan sebagai sebuah anomali? Korban gusuran yang tidur di jalan adalah sebuah aksi protes, sebagai satu cara pendudukan atas jalanan. <span style="" lang="FI">Coba perhatikan aksi mahasiswa yang tidur di jalan yang menghambat laju pergerakan tentara dan aparat kepolisian yang ingin membubarkan mereka. Yang membedakan pemaknaan itu bukanlah aktifitasnya belaka, tapi aktifitas yang terkait dengan ruang.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Pergeseran makna tentang ruang ini berawal dari Henri Lefebvre yang menulis tentang tiga dimensi produksi ruang. Pertama, praktek ruang material, sebagaimana yang lazim dilakukan dalam kegiatan sehari-hari, seperti “saya turun di jalan raya”. Kedua, representasi ruang yang memungkinkan praktik-praktik ruang materil dibicarakan dan dipahami, baik dalam lingkup percakapan sehari-hari maupun dalam jargon-jargon akademik, seperti “Jalan Sudirman, Jalan Gatot Soebroto”. <span style="" lang="FI">Di sini, jalan merepresentasikan keterkaitan nama jalan dengan dominasi militerisme. Ketiga, ruang sebagai dimensi penciptaan mental dan penerapannya yang membayangkan makna-makna atau kemungkinan-kemungkinan baru bagi praktik-praktik spasial, seperti “Ayo turun ke jalan!”.</span><a name="sdfootnote19anc"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote19sym" target="_blank"><span style=""><sup><span style="color: windowtext;">19</span></sup></span></a><span style=""></span> </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Berkat Lefebvre, ruang bukan lagi sesuatu yang materil, yang statis, mati, <i>immobile</i>, dan tidak dialektis. Ruang adalah sesuatu yang dinamis, yang bisa dimaknai, yang dibuat(-buat), diciptakan, diracik, dan juga dimanipulasi. Ruang adalah sesuatu yang imajiner, simbolik, yang dimaknai, diproduksi, dan dikontestasikan dalam relasi-relasi sosial dan juga dalam relasi-relasi kuasa. Ruang, dengan kata lain, adalah sebuah relasi. Singkatnya, ruang adalah efek dari persilangan kekuatan-kekuatan dominan. Demikian pula halnya dengan suatu ruang geografis yang bernama Timur dan Barat, seperti yang diangkat oleh Edward Said.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><span style="" lang="FI">Walau demikian, ada beberapa diskusi lanjutan yang dikemukakan Said. Menurutnya, adalah keliru untuk menyimpulkan bahwa Timur pada esensinya adalah sebuah ide atau kreasi yang tidak punya kaitan apapun dengan realitasnya. Juga pembahasan atas apa yang dikatakan oleh Disraeli tentang Timur sebagai “kariri”.</span><a name="sdfootnote20anc"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote20sym" target="_blank"><span style=""><sup><span style="color: windowtext;">20</span></sup></span></a><span style=""></span> Juga tentang yang ditunjuk Said, yakni bukan pada korespondensi faktual antara Orientalisme dan Timur itu sendiri, melainkan pada konsistensi internal Orientalisme dengan ide-idenya tentang Timur, yakni pada ide tentang Timur sebagai karir. Diskusi seperti ini akan dilanjutkan nanti.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Yang relevan untuk dibahas adalah soal Orientalisme itu sendiri, yang menarik garis tegas antara Timur dan Barat. Lalu ke mana dikotomi ini melaju?</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Menurut Edward Said, ini merupakan tesis penting berikutnya tentang Orientalisme. Yakni tentang Orientalisme sebagai hegemoni. Tidak cukup hanya menyebut bahwa Timur diciptakan. <st1:place st="on"><st1:city st="on">Ada</st1:City></st1:place> sesuatu yang lebih dari itu. Dan itu menurut Said adalah faktor kuasa. <span style="" lang="FI">Jadi, relasi antara Timur dan Barat adalah relasi kuasa, dominasi. </span>Inilah yang kemudian disebut dengan “orientalisasi Timur” atau “timurisasi Timur”. Timur ditimurkan bukan hanya karena ia ditemukan sebagai sesuatu yang “Timur”, yang “<i>Oriental”</i>, tetapi juga menunjukkan sesuatu yang <i>bisa dibuat menjadi </i>Timur atau <i>Oriental</i>. Said menggambarkan ini dengan jelas dan tampaknya cukup menohok dalam kasus perjumpaan Flaubert dengan Kuchuk Hanem, seorang perempuan pelacur di Kairo, Mesir. Perempuan ini tidaklah pernah berbicara tentang dirinya, ia tidak pernah mengungkap emosi, kehadiran, dan sejarahnya sendiri. Flaubert-lah yang berbicara untuknya, dan yang mewakilinya. Artinya, ia tidak berbicara tetapi dibuat berbicara; atau, suara dan pembicaraannya diatasnamakan, yang direpresentasikan. Flaubert adalah asing, secara ekonomis berpunya, laki-laki. Fakta-fakta dominasi ini memungkinkannya bukan merengkuh tubuh Hanem, tetapi juga berbicara untuk kepentingannya, dan memberitahu kepada pembacanya di Eropa dalam posisi Hanem “secara tipikial sebagai orang Timur”. Dan ini, menurut Said, bukan hanya terjadi antara Flaubert dan Hanem, tetapi juga menggambarkan segenap relasi antara Barat dan Timur, antara yang kuat berhadapan dengan yang lemah, bahkan bisu dan tidak bersuara. </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Gambaran ini seperti yang bisa kita lihat ketika Goenawan Mohammad menulis sebuah esai tahun 1980-an dalam Catatan Pinggir Majalah <i>Tempo</i>, berjudul “The Death of Sukardal”. <st1:city st="on">Gaya</st1:City> tulisan Goenawan mengungkap kisah pengayuh becak di <st1:place st="on"><st1:city st="on">Jakarta</st1:City></st1:place> yang digusur dan becaknya dibawa petugas tramtib, lalu bunuh diri itu, memang mengundang empati bagi pembacanya. Bahkan, saking berlebihannya empati itu, rasa belas kasih terhadap orang-orang miskin dan nasib orang-orang pinggiran yang tergusur. Tetapi relasi simpati itu, antara pembaca dan Sukardal, berlangsung tidak seimbang. Pembaca Tempo adalah kalangan kelas menengah ke atas, dan bukan dari kalangan yang umumnya dikenal dan menjadi lingkungan pergaulan Sukardal. Empati yang dimunculkan oleh tulisan Goenawan muncul karena tulisan itu menempatkan Sukardal betul-betul dalam posisi “tipikal sebagai orang miskin, yang polos, yang menjadi korban penggusuran negara, serta mengakhiri hidupnya dengan tragis”. Orang-orang yang membacanya pun tak perlu langsung berhadapan <i>secara faktual </i>dengan orang-orang miskin, yang menjadi korban penggusuran negara, serta yang mengakhiri hidupnya dengan tragis, yang banyak terjadi di lingkungan mereka di <st1:city st="on"><st1:place st="on">Jakarta</st1:place></st1:City> sehari-hari. Tetapi cukup menikmati tulisan tersebut, yang secara estetis dengan <st1:place st="on"><st1:city st="on">gaya</st1:City></st1:place> evokatifnya, memang pantas dinikmati seperti layaknya benda-benda seni lainnya. Seperti halnya orang-orang Barat tidak perlu berempati dengan orang-orang Timur secara faktual, karena bisa jadi mengkhawatirkan sebagaimana halnya pengalaman mereka dengan segala yang berbau asing dan aneh. Mereka merasakan dan menikmatinya itu dalam tulisan, dalam teks, dalam segenap wacana tentang pemberdayaan Timur oleh Barat.<a name="sdfootnote21anc"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote21sym" target="_blank"><span style=""><sup><span style="color: windowtext;">21</span></sup></span></a><span style=""></span> </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Dari sini, dalam relasi antara Barat dan Timur yang timpang ini, muncul pengertian berikutnya tentang Orientalisme seperti dibaca oleh Edward Said. Yakni, Orientalisme sebagai investasi kultural, yang berfungsi sebagai filter atau penyaring. Ini adalah kelanjutan dari tesis Said tentang Orientalisme sebagai hegemoni. Pengertian hegemoni tentu ditimba dari Gramsci. Gramsci membedakan antara dua wilayah politik, <i>political society </i>dan <i>civil society</i>. <i>Political society </i>atau masyarakat politik adalah kehidupan masyarakat yang terdiri dari </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Sementara <i>civil society </i>atau masyarakat sipil </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Hegemoni ini dibangun berdasar pada strategi superioritas posisional, yang menempatkan orang-orang Barat dalam segenap kemungkinan berhubungan dengan Timur, tanpa mesti kehilangan rasa harga dirinya.<a name="sdfootnote22anc"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote22sym" target="_blank"><span style=""><sup><span style="color: windowtext;">22</span></sup></span></a><span style=""></span> Seperti halnya relasi antara Sukardal dan pembaca dalam “The Death of Sukardal”. </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Maka ia bisa diapakan apa saja, bisa sebagai objek studi di lingkungan akademis, untuk kepentingan <i style="">display</i> di museum, untuk kepentingan rekonstruksi di jajaran birokrasi kolonial, untuk kepentingan ilustrasi teoritis dalam sekian tesis-tesis antropologi, biologi, linguistik, teori ras dan sejarah, tentang umat manusia dan alam semesta, untuk kepentingan membuat contoh-contoh dalam teori-teori ekonomi dan sosiologi tentang pembangunan, revolusi, kepribadian kultural, atau karakter nasional dan religius.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Sebagai investasi “amal” dan “kebaikan”, tentang sesuatu yang masih beradab, bermoral, dan juga berbudaya – bersih-bersih – tanpa mesti kehilangan harga dirinya, bahkan harga diri itu dipupuk dalam investasi budaya tersebut.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Dalam posisi seperti ini, menjadi Timur adalah identik dengan apa yang membedakannya dengan Barat. Sementara menjadi Barat adalah berarti seseorang menjadi bagian dari sebuah kekuasaan yang punya kepentingan khusus dengan Timur, atau lebih penting lagi, menyadari bahwa dirinya terlibat dalam satu bagian dari belahan bumi ini yang punya sejarah tertentu dalam keterlibatannya dengan Timur sejak masa Homer. Singkatnya, menjadi Barat berarti ia datang ke Timur pertama-tama sebagai orang Eropa atau orang Amerika, baru kemudian sebagai individu (<i>O</i>: 11).</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Dengan kata lain, menjadi Barat, menjadi Eropa atau menjadi orang Amerika adalah konstruk kultural, di mana yang memainkan peranan penting adalah kebudayaan. Kebudayaan inilah yang seperti dikatakan Said, memungkinkan diri menciptakan segenap kepentingan, yang secara dinamis bertindak bersama-sama dengan alasan-alasan politik, ekonomi, dan militer. Dari konteks inilah Edward Said berbicara dalam beberapa kesempatan dalam <i>Orientalism </i>tentang hegemoni sebagai <i>cultural strength</i>. </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Selama ini Edward Said sering dikaitkan dengan problem sejauhmana pengetahuan orang Barat tentang Timur, termasuk Islam, valid dan bisa dipertanggungjawabkan secara obyektif. Malah, ada yang mereduksinya menjadi soal bahwa orang Barat tidak tahu akan Islam, maka serahkanlah kepada umat Islam untuk memahami agamanya sendiri. </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Sebetulnya, problem representasi yang diangkat Said berawal dari kutipan dari Balfour: “We know the civilization of <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Egypt</st1:place></st1:country-region> better than we know the civilization of any other country. We know it further back; we know it more intimately; we know more about it” (<i>O</i>: 32). Pejabat tinggi Kerajaan Inggris ini bukan hanya mengatakan tahu, tapi juga mengatakan “lebih tahu”: “<i>We know it better ... further .... more...</i>”. Bandingkan ucapan salah seorang pejabat kolonial Belanda kepada Minke dalam novel Pramoedya seperti saya kutip di atas: “Saya tahu orang-orang ini lebih baik dari anda”. </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Sesuatu yang lebih ini yang mengundang perhatian Said. Mengapa mengatakan “lebih”? Ini mirip kalau Anda mengatakan tentang seseorang, “Saya bukan hanya tahu tentang dia, tapi saya juga lebih tahu tentangnya ... nasibnya”. <span style="" lang="FI">Tahu dan kenal adalah sesuatu yang lumrah dalam lingkungan interaksi antara umat manusia. Tapi, kalau Anda mengklaim mengetahui lebih tentangnya, maka Anda sudah memasang target tertentu kepada orang tersebut: Anda bukan sekedar membuat pernyataan tahu tentang orang itu, tapi juga membuatnya tidak lepas dari apa yang kita tahu itu. Yakni, bahwa nasibnya tergantung pada apa yang kita tahu. Dan itu artinya, Anda punya kuasa atasnya. </span>Mengetahui dengan demikian dalam konteks ini juga berarti menentukan. </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Dari sini bisa dipahami apa yang dikatakan oleh Said, bahwa berurusan dengan Timur berlangsung dengan cara “<i>making statements about it, authorizing views of it, describing it, by teaching it, setting it, ruling over it</i>” (memberi pernyataan atasnya, mengabsahkan pandangan-pandangan tentang dirinya, melukiskannya, mengajarkannya, mengaturnya, serta menguasainya) . </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Dan kerja “mengetahui”, <i>to know</i>, berarti “melacak, menyelidiki, dan mendata suatu peradaban sejak dari awal kemunculannya, ke masa puncaknya, hingga ke masa kejatuhan dan keruntuhannya”. Artinya kemampuan untuk melakukan itu dan menunjukkannya bahwa Timur pernah mengenal masa awal, masa dewasa, dan juga masa kepunahan. Obyek yang disebut peradaban itu dinyatakan sebagai “fakta”, meski berubah dan mengalami transformasi. Fakta ini dinyatakan stabil, secara fundamental dan ontologis. Maksudnya, demikianlah ia <i>pada kenyataannya </i>sejak awal hingga akhir hayatnya. <span style="" lang="SV">Memiliki pengetahuan tentang fakta itu berarti mendominasinya, berkuasa, atau berotoritas atasnya. </span><span style="" lang="FI">Otoritas itu menunjukkan kemampuan “kita” untuk mencabut (hak) otonomi atas “fakta” itu: Karena kita tahu, dan ia pun ada. Artinya, ia ada sebagaimana kita mengetahuinya.</span><a name="sdfootnote23anc"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote23sym" target="_blank"><span style=""><sup><span style="color: windowtext;" lang="FI">23</span></sup></span><span style=""></span></a><span style=""></span><span style="" lang="FI"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><span style="" lang="FI">Dengan menempatkannya dalam satu lokus pengetahuan dalam kondisi <i>facticity</i>-nya (“keberkenyataan”-nya), berarti menempatkannya sebagai obyek belaka dari sejarah. Mengetahui Islam, singkatnya, adalah membuatnya sebagai obyek sejarah, dan bukan sebagai subyek sejarah. Subyeknya adalah sang penemu itu, sang orientalis. Dialah yang membuat sejarah ke dalam Islam dan menempatkannya dalam hirarki sejarah dunia, dan juga dalam hirarki nilai-nilai dan norma-norma kebudayaan.<o:p></o:p></span></p> <p class="Heading28" style="text-align: justify; line-height: 14.4pt;"><span style="font-size: 12pt; color: windowtext;" lang="FI">Edward Said dan Studi Poskolonial<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><span style="" lang="FI">Berbicara tentang pasca-kolonialisme atau poskolonialisme (post-colonialism) adalah berbicara tentang relasi antara “Barat” dan “Timur”. </span>Artinya, ada pihak yang menjajah dan ada pula yang dijajah. Tetapi dalam cerita tentang kolonialisme, yang dimaksud adalah “kolonialisme modern”. Kolonialisme semacam ini berbeda dengan bentuk-bentuk kolonialisme yang pernah muncul di masa kuno seperti kolonialisme Roma terhadap negeri-negeri di sekitarnya, kolonialisme Islam terhadap penduduk Afrika atau kolonialisme Majapahit atas pulau-pulau luar Jawa. Kolonialisme modern adalah kolonialisme yang menggabungkan penaklukan dan eksploitasi terhadap negeri lain dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban. <span style="" lang="SV">Poin yang terakhir inilah yang mengundang minat para teoritisi studi poskolonial. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><span style="" lang="SV">Dengan kata lain, kolonialisme negara-negara Barat punya makna dan signifikasinya di masa modern berkat keunggulannya dalam bidang kebudayaan. </span>Tentu “kebudayaan” dalam pengertian bahasa-bahasa Eropa bukan hanya mencakup kesenian atau agama. Tetapi juga segenap yang merujuk kepada <i>excellency</i>, sebuah keunggulan. Dalam konteks Inggris, kebudayaan identik dengan utilitarianisme, asas kemanfaatan dan kegunaan, yang mendorong tumbuhnya industri, sains dan teknologi. Dalam konteks Perancis, kebudayaan identik dengan racikan politik “hak-hak rakyat” yang mendorong sebuah revolusi. Dengan demikian, dalam bahasa Inggris dan Perancis, sebutan kebudayaan berarti keunggulan peradaban (civilization, civilisastrie). Culture di sini, seperti dirumuskan oleh pakar budaya Matthew Arnold dari Inggris abad 19, adalah “segenap yang terbaik yang dipikirkan dan dihasilkan oleh manusia” (<i>the best that has been said and thought in the world</i>). Sementara dalam konteks Jerman, kebudayaan identik dengan keunggulan masa lalu dan romantisisme yang membakar semangat penulisan karya sastra dan filsafat. Jadi, kebudayaan Jerman berarti “high art”, “high culture” atau “Reason” dalam bahasa Hegel.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Materi kebudayaan seperti inilah yang mendorong, memuluskan, dan memperkaya kolonialisme sehingga ia menjadi “Modern”. Sementara negara-negara yang menggerakkannya mulai mengidentifikasi dirinya sebagai “Imperium” (<i>Empire</i>). Tentu ada bahan-bahan dasar yang memungkinkan materi kebudayaan itu mewujud menjadi Modern dan menjadi Imperium. Pandangan tentang kebudayaan baik sebagai <i>civilization </i>maupun sebagai <i>high culture </i>atau <i>Reason </i>berawal dari racikan tentang “yang lain” (<i>the Other</i>). Pandangan tentang yang lain merupakan akumulasi pengalaman historis selama berabad-abad sejak dari masa Yunani, Romawi hingga di masa Abad Pertengahan. Orang-orang Yunani menyebut diri mereka sebagai bangsa-kota yang beradab (<i>polis</i>) sementara bangsa-bangsa lainnya disebut barbar, pagan, menyembah berhala (<i>heathen</i>). Hingga pada abad 14, kata <i>ethnic </i>yang diperoleh dari bahasa Latin <i>ethnicus </i>masih menunjukkan arti “<i>heathen</i>”. Sementara <i>ethnos </i>berarti “<i>people</i>” atau “<i>nation</i>”. Ketika Columbus menemukan benua Amerika pada 1492, racikan tentang yang lain ini bertambah menjadi yang lain yang tidak beradab (<i>uncivilized</i>), primitif (<i>savage</i>), dan “tidak punya akal”. </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Dari pandangan tentang Yang Lain ini muncul pandangan tentang “Timur” (<i>Orient</i>). Apa yang disebut Timur merupakan kelanjutan dari definisi diri orang-orang Barat. Makin kencang Timur didefinisikan dan disubstansialisasikan, maka kuat pula pencitraan akan hakekat dan jatidiri orang Eropa. <span style="" lang="FI">Awalnya, dalam imajinasi orang-orang Eropa dan juga dalam sejumlah tulisan, “Timur” dan yang lain identik dengan sesuatu yang asing, yang aneh dan menakutkan. Cerita-cerira seram tentang wilayah tak bertuang, banyak menghiasi imajinasi dan bayangan orang-orang Eropa sejak masa Abad Pertengahan. Dan itu selalu diidentikkan dengan yang disebut timur.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><span style="" lang="FI">Beriringan dengan pandangan tentang peradaban itu dan yang lian ini, muncul pula tentang yang savage, yang primitif dan yang buas. </span>Biasanya adalah pandangan tentang masyarakat primitf yang kanibal atau yang seperti monyet.<a name="sdfootnote24anc"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote24sym" target="_blank"><span style=""><sup><span style="color: windowtext;">24</span></sup></span></a><span style=""></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Lama-kelamaan, pandangan tentang “noble savage” muncul, yang melihat yang lain dekat dengan alam, polos (<i>innocence</i>), noble savage, ini yang memungkinkan menjadi target dan obyek kalangan misionaris dan administratur kolonial.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Pandangan berikutnya adalah konstruk tentang “ke-Eropa-an”. Menjadi Eropa berarti menjadi manusia unggul, berperadaban hebat, dan beragama Kristiani. Pandangan ini sudah terpupuk sejak era Renaissance, dan tertanam kuat di era Pencerahan akhir abad 19. Seperti tertuang dalam <i>Ensiklopedia </i>yang ditulis Diderot, “Tidak penting Eropa itu luasnya paling sempit dan kecil dari dunia ini. <span style="" lang="SV">Namun mereka unggul dan hebat dalam bidang perdagangan, maritim, dan tingkat kesuburan tanahnya. </span><span style="" lang="FI">Demikian pula unggul, karena penduduknya yang tercerahkan, menguasai teknologi dan industri, sains, seni dan perangkat peradaban lainnya. Lebih dari itu, adalah juga Agama Kristiani yang menuntun kepada kebahagiaan bagi masyarakat semuanya”.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><span style="" lang="FI">Melalui konstruksi ke-Eropa-an seperti ini, sejak abad 16, para misionaris menilai dan membagi inteligensi dan peradaban manusia dengan mengukur sejauhmana sekelompok manusia itu memiliki “tulisan alfabet”. </span>Ini adalah momen awal terbentuknya satu bentuk pembedaan kolonial (<i>colonial difference</i>), sekaligus awal terwujudnya imajinasi dunia modern/kolonial. Pada abad 16 pembedaan kolonial itu ada dalam ruang. Namun menjelang akhir abad 18 dan permulaan abad 19, perangkat pembedaan kolonial itu adalah sejarah, dan bukan lagi tulisan. “Bangsa tanpa sejarah” berada dalam satu waktu, yakni “sebelum masa kini”. Bangsa yang punya sejarah menulis sejarah bangsa-bangsa lain yang tidak punya sejarah. Dari sini kemudian yang pertama dikenal memiliki pengetahuan, sementara yang terakhir adalah obyek pengetahuan belaka. Yang pertama memiliki ilmu pengetahuan dan peradaban; yang terakhir punya kebudayaan. </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Relasi antara ke-Eropa-an dan yang lain ini pada gilirannya memperkaya konstruksi tentang kebudayaan sebagai sesuatu yang unggul. Tetapi keunggulan ini bukanlah dari arti pasif, tetapi sesuatu yang menyembul keluar, yang mendongak ke luar. Ini karena motor penggeraknya adalah Kristiani. Kalau dalam bahasa agama, ada kewajiban untuk menyebarkan ajaran Tuhan ke seluruh penduduk dunia, maka dalam bahasa Imperium, adalah kehendak untuk memperadabkan bangsa-bangsa lain. <span style="" lang="FI">Itulah awal dari sejarah kolonialisme. Jadi sebuah proses sekularisasi Kristiani atas nama Empire. </span>Tetapi juga terkait dengan imajinasi tentang Imperium Romawi.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;">Berbicara tentang pengaruh Said dalam studi-studi Poskolonial berawal dari bukunya <i>Orientalism</i>. <span style="" lang="FI">Ada dua lahan kajian Poskolonial yang dipengaruhi oleh buku ini: pertama, kajian tentang sastra imperium dan kedua, kajian dan teorisasi tulisan-tulisan perjalanan. Tapi kini kemudian berkembang menjadi kajian lebih luas konstruk pengetahuan Barat tentang Timur.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><span style="" lang="FI">Edward Said misalnya mengawali <i>Orientalism </i>(1978) dengan melihatnya sebagai “wacana”, sebagai “formasi diskursif” menurut model yang digunakan oleh Michel Foucault. Yakni dengan melihat persilangan yang terjadi antara pengetahuan dan kuasa, antara formasi bahasa dan formasi sosial-politik. Kehendak mengetahui (<i>will to know</i>) Timur misalnya direproduksikan menjadi wacana kolonialisme, yakni sebagai kehendak untuk berkuasa (<i>will to power</i>). Dalam kerangka penganalisaan seperti ini, Timur sebagai wacana (<i>discourse</i>) yang dibicarakan, yang dikaji, didiskusikan dan diimajinasi oleh orang-orang Eropa, bukan sekedar tempat berkumpulnya para sarjana, pelancong, pembuat peta, dan penulis imaginatif. Tetapi juga sebagai cara atau moda berkuasa tentang bagaimana Timur diolah, diurai, diracik dan dikendalikan, dan juga dipastikan masa depannya (tentu masa depannya yang kemungkinan masih bisa ditundukkan!). Said mencontohkan, purdah atau hijab yang dikenal oleh orang-orang Eropa. Karena yang diteliti Said adalah purdah sebagai wacana, maka ia bukan sekedar obyek yang dipakai oleh perempuan Timur, seperti di Timur Tengah. Tetapi sebagai cara yang dikenakan oleh para sarjana Eropa untuk menunjukkan bahwa perempuan Timur Tengah adalah perempuan yang terbelakang dan ditundukkan, sehingga perlu dibebaskan oleh orang berkulit putih yang lebih superior dan beradab.***<o:p></o:p></span></p> <span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";"><br /> </span> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; line-height: 14.4pt;" align="center"><a name="sdfootnote1sym"><b style=""><span style="font-size: 14pt;">End Note<o:p></o:p></span></b></a></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 14.4pt;"><span style=""><span style="font-size: 10pt;"><o:p> </o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><span style=""></span><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote1anc" target="_blank"><span style=""><span style="font-size: 10pt; color: windowtext;">1</span></span></a><span style=""></span><span style="font-size: 10pt;">Edward W. Said<i>, Humanism and Democratic Criticism </i>(<st1:place st="on"><st1:state st="on">New York</st1:State></st1:place>: Columbia University Press, 2004), hal. 1-2.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><a name="sdfootnote2sym"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote2anc" target="_blank"><span style=""><span style="font-size: 10pt; color: windowtext;">2</span></span></a><span style=""></span><span style="font-size: 10pt;">Lihat Edward W. Said, <i>Reflections on Exile and Other Essays</i> (<st1:place st="on"><st1:city st="on">Cambridge</st1:City>, <st1:state st="on">Mass.</st1:State></st1:place>: Harvard University Press, 2000), hal. 34-35.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><a name="sdfootnote3sym"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote3anc" target="_blank"><span style=""><span style="font-size: 10pt; color: windowtext;">3</span></span></a><span style=""></span><span style="font-size: 10pt;">Clifford, James, dan George E. Marcus (eds.), <i>Writing Culture: The Poetics and Politics of Ethnography </i>(Berkeley: University of California Press, 1986).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><a name="sdfootnote4sym"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote4anc" target="_blank"><span style=""><span style="font-size: 10pt; color: windowtext;">4</span></span></a><span style=""></span><span style="font-size: 10pt;">Edward W. Said, “Zionism from the Standpoint of its Victims”. <i>Social Text</i>, No. 1 tahun 1979. Dimuat kembali dalam Anne McCkintock, Aamir Mufti & Ella Shohat (eds.), <i>Dangerous Liaisons: Gender, Nation & Postcolonial Perspectives</i> (<st1:city st="on">Minneapolis</st1:City>: <st1:place st="on"><st1:placetype st="on">University</st1:PlaceType> of <st1:placename st="on">Minnesota Press</st1:PlaceName></st1:place>, 2002), cet. 3, hal. 19. Huruf miring dari AB.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><a name="sdfootnote5sym"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote5anc" target="_blank"><span style=""><span style="font-size: 10pt; color: windowtext;">5</span></span></a><span style=""></span><span style="font-size: 10pt;">Edward W. Said, “Zionism from the Standpoint of its Victims”. <i>Social Text</i>, No. 1 tahun 1979. Dimuat kembali dalam Anne McClintock, Aamir Mufti & Ella Shohat (eds.), <i>Dangerous Liaisons: Gender, Nation & Postcolonial Perspectives</i> (<st1:city st="on">Minneapolis</st1:City>: <st1:place st="on"><st1:placetype st="on">University</st1:PlaceType> of <st1:placename st="on">Minnesota Press</st1:PlaceName></st1:place>, 2002), cet. 3, hal. 19 – huruf miring dari teks asli. Bandingkan pula tesis-tesis humanisme Said dari sudut pandang dirinya sebagai orang Arab Palestina dalam karya <i>posthumous</i>-nya, <i>Humanism and Democratic Criticism </i>(<st1:state st="on"><st1:place st="on">New York</st1:place></st1:State>: Columbia University Press, 2004).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><a name="sdfootnote6sym"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote6anc" target="_blank"><span style=""><span style="font-size: 10pt; color: windowtext;">6</span></span></a><span style=""></span><span style="font-size: 10pt;">Lihat Edward W. Said, “Performance as an Extreme Occasion”, dalam <i>The Edward Said Reader </i>(ed. Moustafa Bayoumi dan Andrew Rubin) (<st1:place st="on"><st1:state st="on">New York</st1:State></st1:place>: Vintage Books, 2000), hal. 317-346. Metode “<i>polyvocality</i>” dalam etnografi baru sedikit banyak menimba dari ide Bakhtin dan juga dari Said ini. Lihat Paula Saukko, <i>Doing Research in Cultural Studies </i>(<st1:city st="on"><st1:place st="on">London</st1:place></st1:City>: Sage, 2003). Lihat M.M. Bakhtin, <i>Problems of Dostoevsky’s Poetics </i>(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984). Homi Bhabha melanjutkan pengertian polyphonic ini dalam satu buku kumpulan tulisan rekan-rekan sejawat Said yang dikhususkan untuk melanjutkan percakapan dengan Said setelah wafatnya, dalam Homi Bhabha, “Adagio”, dalam Homi Bhabha dan W.J.T. Mitchell (eds.), <i>Edward Said: Continuing the Conversation </i>(Chicago: The University of Chicago Press, 2005), hal. 7-16. “<i>Polyphony provides us with a figurative vision of the possibilities of fairness and freedom in the midst of complex transitional structures</i>,” tulis Bhabha.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><a name="sdfootnote7sym"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote7anc" target="_blank"><span style=""><span style="font-size: 10pt; color: windowtext;">7</span></span></a><span style=""></span><span style="font-size: 10pt;">Saking jengkelnya orang-orang Amerika terhadap Said, sehingga muncul orang seperti Stanley Kurtz dari Hoover Institute yang mendesak Kongres AS untuk menerapkan kontrol dan pengawasan langsung terhadap pengajaran bahasa dan kebudayaan asing untuk kepentingan menahan laju pengaruh buruk ajaran-ajaran Edward Said. Paul Bové, “Continuing the Conversation” , dalam Bhabha dan Mitchell (eds.), <i>Edward Said</i> , hal. 40. Jadi, kalau di kalangan gerakan Islam ada ketakutan terhadap “<i>al-ghazwul fikri</i>”, hal serupa juga ditemukan pada sebagian orang-orang Amerika yang takut dengan “<i>al-ghazwul fikri</i>”-nya Said!<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><a name="sdfootnote8sym"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote8anc" target="_blank"><span style=""><span style="font-size: 10pt; color: windowtext;" lang="IT">8</span></span><span style=""></span></a><span style=""></span><span style="font-size: 10pt;" lang="IT">Kutipan Gramsci ini sering muncul di beberapa tulisan dan wawancara Said. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><a name="sdfootnote9sym"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote9anc" target="_blank"><span style=""><span style="font-size: 10pt; color: windowtext;">9</span></span></a><span style=""></span><span style="font-size: 10pt;">Edward W. Said, “Zionism from the Standpoint of its Victims”. <i>Social Text</i>, No. 1 tahun 1979. Dimuat kembali dalam Anne McClintock, Aamir Mufti & Ella Shohat (eds.), <i>Dangerous Liaisons: Gender, Nation & Postcolonial Perspectives</i> (<st1:city st="on">Minneapolis</st1:City>: <st1:place st="on"><st1:placetype st="on">University</st1:PlaceType> of <st1:placename st="on">Minnesota Press</st1:PlaceName></st1:place>, 2002), cet. 3, hal. 19. Huruf miring dari AB.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><a name="sdfootnote10sym"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote10anc" target="_blank"><span style=""><span style="font-size: 10pt; color: windowtext;">10</span></span></a><span style=""></span><span style="font-size: 10pt;">Ibid., hal. 15-38.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><a name="sdfootnote11sym"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote11anc" target="_blank"><span style=""><span style="font-size: 10pt; color: windowtext;">11</span></span></a><span style=""></span><span style="font-size: 10pt;">Ibid., hal. 16.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><a name="sdfootnote12sym"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote12anc" target="_blank"><span style=""><span style="font-size: 10pt; color: windowtext;">12</span></span></a><span style=""></span><span style="font-size: 10pt;">Ibid.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><a name="sdfootnote13sym"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote13anc" target="_blank"><span style=""><span style="font-size: 10pt; color: windowtext;">13</span></span></a><span style=""></span><i><span style="font-size: 10pt;">Diacritics</span></i><span style="font-size: 10pt;">, <st1:placename st="on">Cornell</st1:PlaceName> <st1:placetype st="on">University</st1:PlaceType>, <st1:place st="on"><st1:city st="on">Ithaca</st1:City>, <st1:state st="on">New York</st1:State></st1:place>, 1976. Dimuat kembali dalam <i>Power, Politics, and Power</i>: <i>Interviews with Edward W. Said </i>(edited and with introduction by Gauri Viswanathan) (<st1:city st="on">London</st1:City>: <st1:place st="on">Bloomsbury</st1:place>, 2005), hal. 38. Dan dikutip dalam Valerie Kennedy, <i>Edward Said: A Critical Introduction</i> (<st1:place st="on"><st1:city st="on">Cambridge</st1:City></st1:place>: Polity Press, 2000), hal. 10.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><a name="sdfootnote14sym"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote14anc" target="_blank"><span style=""><span style="font-size: 10pt; color: windowtext;">14</span></span></a><span style=""></span><span style="font-size: 10pt;">Kennedy, <i>Edward Said, </i>hal. 52.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><a name="sdfootnote15sym"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote15anc" target="_blank"><span style=""><span style="font-size: 10pt; color: windowtext;">15</span></span></a><span style=""></span><span style="font-size: 10pt;">Edward Said, <i>Orientalism</i>, hal. 1.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><a name="sdfootnote16sym"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote16anc" target="_blank"><span style=""><span style="font-size: 10pt; color: windowtext;">16</span></span></a><span style=""></span><span style="font-size: 10pt;">Lihat Simon During, “Introduction”, dalam Simon During (ed.), <i>The Cultural Studies Reader </i>(London & New York: Routledge, 1993), hal. 1-25.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><a name="sdfootnote17sym"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote17anc" target="_blank"><span style=""><span style="font-size: 10pt; color: windowtext;">17</span></span></a><span style=""></span><span style="font-size: 10pt;">Said, <i>Orientalism</i>, hal. 4-5.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><a name="sdfootnote18sym"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote18anc" target="_blank"><span style=""><span style="font-size: 10pt; color: windowtext;">18</span></span></a><span style=""></span><span style="font-size: 10pt;">Lihat Gayatri Chakravorty Spivak, <i>A Critique of Postcolonial Reason: Toward a History of the Vanishing Present </i>(Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 1999), hal. 30.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><a name="sdfootnote19sym"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote19anc" target="_blank"><span style=""><span style="font-size: 10pt; color: windowtext;">19</span></span></a><span style=""></span><span style="font-size: 10pt;">Tentang kontribusi Lefebvre ini, lihat misalnya dalam Chetan Bhatt, <i>Liberation and Purity: Race, New Religious Movements, and the Ethics of Postmodernity</i>. <st1:city st="on"><st1:place st="on">London</st1:place></st1:City>: UCL Press, 1997, hal. 40-48.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><a name="sdfootnote20sym"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote20anc" target="_blank"><span style=""><span style="font-size: 10pt; color: windowtext;">20</span></span></a><span style=""></span><span style="font-size: 10pt;">Said, <i>Orientalism, </i>hal. 5.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><a name="sdfootnote21sym"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote21anc" target="_blank"><span style=""><span style="font-size: 10pt; color: windowtext;">21</span></span></a><span style=""></span><span style="font-size: 10pt;">Hal seperti ini yang pernah disindir oleh Edward Said, ketika mengomentari satu karya Ernest Hemingway sebagai berikut: “The innocence is gone from such description, except as a recollection of an earlier, purer time when the correspondence between expert and reality was more urgent and equal, and when the writer’s performance was driven by the need for the aesthetic experience of mortality”. Edward W. Said, “How Not to Get Gored”, dalam <i>Reflections, </i>hal. 237. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><a name="sdfootnote22sym"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote22anc" target="_blank"><span style=""><span style="font-size: 10pt; color: windowtext;">22</span></span></a><span style=""></span><span style="font-size: 10pt;">Said, <i>Orientalism</i>, hal. 7.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><a name="sdfootnote23sym"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote23anc" target="_blank"><span style=""><span style="font-size: 10pt; color: windowtext;">23</span></span></a><span style=""></span><span style="font-size: 10pt;">Edward Said, <i>Orientalism</i> (New York: Vintage Books, 1979), hal. 32. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 14.4pt;"><a name="sdfootnote24sym"></a><a href="http://mail.yahoo.com/config/login?/ym/Compose?box=Inbox&Mid=5827_1442646_6702187_2907_5128_0_61917_15414_3912529449&inc=&Search=&YY=52866&y5beta=yes&y5beta=yes&order=down&sort=date&pos=0#sdfootnote24anc" target="_blank"><span style=""><span style="font-size: 10pt; color: windowtext;">24</span></span></a><span style=""></span><span style="font-size: 10pt;">Lihat Gustav Jahoda, <i>Images of Savages: Ancient Roots of Modern Prejudice in Western Culture </i>(London & New York: Routledge, 1999).<o:p></o:p></span></p>bank makalahhttp://www.blogger.com/profile/09527060703496216783noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-874886691578503005.post-6888457246246230062007-07-01T20:41:00.000-07:002007-07-01T20:42:29.571-07:00Hutan Hilang, Agama Melayang<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";">Bisri Effendy </span></b></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Keseimbangan makrokosmos-mikrokosmos menjadi amat penting dalam tradisi komunitas adat kita. <i style="">Gonjang-ganjing </i><st1:place>Yogyakarta</st1:place> beberapa waktu lalu dipahami, oleh sebagian besar warga daerah itu, sebagai kemarahan ‘gunung merapi’ dan ‘ratu selatan’. Maka slametan pun lalu digelar secara kolektif maupun individu, termasuk mbah Marijan sendiri harus bersemedi manjatkan mantra sambil menghunus keris. Mereka meminta agar kemarahan itu berganti ‘kemesraan’. Dalam tradisi masa lalu, keseimbangan itu selalu ‘ditebus’ dengan berbagai ritual yang diselenggarakan secara rutin khusus untuk itu. Bersih desa, sedekah bumi, dan petik laut adalah beberapa ritual membangun keseimbangan yang berlaku di pulau Jawa, dan di tempat lain hal serupa juga terselenggara dengan nama yang berbeda.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=""> </span>Tanah, laut, kuburan, pohon, gunung, goa, burung, sungai, dan kekayaan flora-fauna lain tampaknya menjadi penting bagi warga komunitas kita. Hasil-hasil riset antropologis dari pedalaman <st1:place>Kalimantan</st1:place>, Kanekes, Kajang, dan Tengger mengabarkan bahwa <span style="" lang="IN">komunitas adat dan lingkungannya berupa hutan adalah satu kesatuan integratif. Hutan bagi mereka adalah gantungan hidup (<i>staff of life</i><span style="">)<i>. </i></span>Dari, di dalam, dan kepada hutan mereka merajut tatanan kehidupan dan menyusun <i>survival strategic </i>(strategi kelangsungan) hidup. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style=""> </span></span>Lebih dari itu, tanah, pohon, gunung, goa, burung, dan sungai bagi komunitas seperti Dayak, Kajang, dan Kanekes adalah bagian tak terpisahkan dari agama (bukan dalam arti negara) mereka. Agama ketiga komunitas tersebut adalah paket kesatuan dalam hidup dan kehidupan. <span style="" lang="SV">Tidak ada perbedaan antara aktivitas religius dengan yang non-religius. </span>Aktivitas-aktivitas itu hidup dalam sebuah kesatuan sistem kebudayaan yang<span style=""> </span>mengintegrasikan<span style=""> </span>usaha nafkah hidup dan kegiatan spiritual. Berbeda dengan pandangan modernis dan puritan yang melihat agama dan adat sebagai kategori terpisah, orang Dayak, seperti halnya komunitas-komunitas lokal di daerah lain, tidak mengenal suatu pemisahan antara <i>adat</i> dan <i>agama</i> karena mereka tidak memerlukan pembedaan tersebut.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=""> </span>Oleh sebab itu, kaum modernis dan puritan menyebut mereka sebagai penyembah kayu, batu, air, dan benda-benda lain yang dihakimi sama dengan penyembah berhala. Kepercayaan mereka disebut animisme yang meyakini bahwa benda-benda dan gejala-gejala itu mempunyai kekuatan hidup dan menghidupkan. Sebuah kesimpulan yang amat berbeda dengan kenyataan yang sesungguhnya, karena bagi orang Dayak, misalnya, benda atau gejala tertentu tidak mempunyai daya hidup maupun kekuatan penghidup. Gejala alam itu hanya dilihatnya sebagai hierofani, artinya bahwa roh-roh telah menampakkan diri dalam gejala alam tertentu, dan tempat penampakannya adalah tempat keramat. </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=""> </span>Sebagai bagian integratif dari agama, hutan (tanah, gunung, goa, pohon, sungai, dan burung) adalah sesuatu yang amat penting keberadaannya. Menjaga, merawat, dan melestarikan semua itu adalah keniscayaan yang tak mungkin diingkari, karena tanpa hutan, keber-ada-an dan eksistensi agama itu menjadi suatu yang mustahil. Meski bukan satu-satunya sebab karena modernisasi pendidikan dan agama juga ikut berperan penting, pembabatan hutan seperti di Kalimantan Timur ini mengantarkan agama Dayak sirna nyaris tak berbekas. Kaharingan atau Bungan Malan, juga <i style="">Tamai Tangai, </i>kini melayang dari ingatan individu maupun kolektif orang Dayak, bersama lenyapnya gunung, goa, pohon, dan burung.</p>bank makalahhttp://www.blogger.com/profile/09527060703496216783noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-874886691578503005.post-78736572218555641432007-07-01T20:37:00.000-07:002007-07-01T20:41:19.084-07:00Banjir, Akibat Hilangnya Kearifan Tradisi Lokal<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">Banjir besar yang menggenangi beberapa kawasan di kabupaten Kutai Barat, Kutai Kartanegara, dan <st1:city><st1:place>kota</st1:place></st1:City> Samarinda, Kalimantan Timur mungkin membuat mata kita terbelalak. Ribuan hektar sawah dan kawasan pemukiman penduduk terendam. Banyak warga mengungsi di sejumlah penampungan darurat. Dan dari bilik-bilik tenda itu, terdengar kabar penyakit mulai mengancam. </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">Konon, selain tingginya kerugian yang diderita, banjir kali ini adalah yang terbesar dalam <st1:city><st1:place>lima</st1:place></st1:City> puluh tahun terakhir. Soalnya, bagaimana mungkin wilayah pegunungan nan hijau yang dikelilingi berjuta-juta hektar hutan dan masyarakatnya yang dikenal akrab dengan alam itu menanggung derita banjir itu?</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">“Dulu tiap kampung punya hutan lindung, kini tak mungkin lagi. Hutan-hutan semua gundul,” ujar Pelalung (60 tahun), seorang tetua kampung Likaq Kidau, Sebulu, Kukar. Maraknya pembalakan liar di Kutai Barat dan Kutai Kartanegara beberapa dekade ini memang tampak gencar. Banyak perusahaan lokal maupun asing saling berebut Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Belum lagi pembalakan liar yang menyebabkan kawasan hutan di Kalimantan Timur terus menggundul. Proyek “banjirkap” yang sejak 1970-an memperoleh sokongan pemerintah untuk meningkatkan devisa negara, dalam hal ini, berperan mendorong eksploitasi hutan secara besar-besaran ini. <span style="" lang="DA">Banjirkap pula yang memancing para pendatang turut menambang ”emas hijau” di rimba Kalimantan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="DA">”Semua dikuras habis, keserakahan kita yang membuat alam ini hancur,” ujar Gerigit, seorang <i style="">penyentangis</i> atau pawang adat yang tinggal di Desa Jahab ini tandas. Banjirkap memang ibarat banjir uang, mengubah hidup komunitas lokal yang bercorak subsisten. Walhasil orientasi sosial dan kultural mereka pun berubah, seiring berubahnya alih fungsi lahan dan kawasan hutan yang menghilang. </span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><o:p> </o:p></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style="">Hilangnya kearifan lokal<o:p></o:p></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><o:p> </o:p></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="DA">Bagi masyarakat adat setempat, bencana belakangan ini bukan hanya soal tindakan pembalakan liar. Banjir juga berkaitan dengan hilangnya kearifan lokal dalam tradisi dan hukum adat setempat. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="DA">Baharon Osik, kepala adat Dayak Jahab, misalnya, ikut menyesalkan perubahan ini. Hukum adat, katanya, seperti tak mendapat tempat. ”Para pemimpin membuat keputusan tanpa memperhatikan rakyat, banyak perusahaan yang tak memedulikan nasib masyarakat setempat”, tegasnya. Baharon pun berharap organisasi-organisasi masyarakat adat ikut mendesak pemerintah agar hukum negara dan hukum adat diberlakukan seimbang.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="DA">Komunitas adat Benuaq yang tinggal di beberapa wilayah, seperti Barong Tongkok, Bongan, Tanjung Isuy, dan Jahab misalnya, pernah memiliki konsep tata ruang unik dalam pemanfaatan hutan dan lahan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="DA">Hutan bebas dinamai <i style="">talun luan</i> yang letaknya berada di luar hukum adat mereka. Biasanya kawasan ini dibedakan dengan <i style="">simpung brahan</i>; yakni, hutan cadangan untuk berburu atau memungut hasil non-hutan. Ada pula <i style="">simpung umaq taun</i> yang difungsikan khusus lahan perladangan, <i style="">simpung ramuq</i> atau daerah pemukiman, <i style="">kebon dukuh</i> atau kawasan untuk lahan perkebunan, dan <i style="">simpung munan</i> atau hutan bekas ladang sekitar kampung yang ditanami pohon buah dan tanaman keras. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="DA">Agak berbeda dengan tradisi adat Benuaq, komunitas Dayak Bentian memiliki siklus atau tahapan pemanfaatan hutan adat atau <i style="">alas mentun</i> yang tak kalah mengagumkan<i style="">.</i> Tahun pertama pembukaan ladang disebut <i style="">umeq</i>, tahun kedua <i style="">boak</i>, dan pada tahun kelima dinamai <i style="">kelewako ureq</i>. Selanjutnya disebut <i style="">kelewako tuhaq</i> (usia 10 tahun), <i style="">bateng ureq</i> (usia 20 tahun), <i style="">bateng tuhaq</i> (usia 40 tahun), dan <i style="">alas kererayon</i> (usia 70 tahun). Baru pada usia 100 tahun, ladang <i style="">(umeq)</i> kembali menjadi <i style="">alas mentun</i>. Keuntungan dari siklus ini keseimbangan alam dan tingkat kesuburan tanah bisa dipertahankan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="DA">Kearifan kultural ini memperlihatkan betapa eratnya kesatuan masyarakat lokal dengan alam sekitar. Terdengar mustahil pula bila masyarakat adat melakukan pembabatan hutan sembarangan seperti yang pernah dituduhkan oleh sejumlah pihak. Sistem ladang berpindah kerap dijadikan kambing hitam.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="DA">Harmoni dengan alam seolah sudah menjadi prinsip kehidupan. Seperti yang nampak dalam ritual-ritual mereka, seperti upacara <i style="">lali ugal</i> yang dilangsungkan warga Dayak Bahau saat menanam bibit padi di ladang. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="DA">”Bagi kami hutan adalah pasar,” ujar Baharuddin yang kerap dipanggil Abang oleh warga Muara Gusik, Kabupaten Kutai Barat, ini. Artinya, bagi warga sekitar<span style=""> </span>hutan berimba itu menyediakan segala kebutuhan hidup. Dan, bermula dari situ pula hubungan antara masyarakat Dayak dan alam sekitar terjalin harmonis, bahkan bercorak religius-magis. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="DA"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><span style="" lang="DA">Marginalisasi ekonomi dan budaya<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">Eksploitasi hutan besar-besaran dan industri pertambangan serta munculnya banyak pemukiman transmigrasi, secara langsung telah menciptakan perubahan-perubahan sosio-kultural di pedalaman Kalimantan Timur. </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;">Pengelolaan hutan tradisional yang dulu berlaku dan mampu menghidupi masyarakat lokal, kini sulit dijalankan lantaran kawasan hutan tempat mereka hidup telah terkapling-kapling dalam HPH milik para investor. Dan pemerintah pun tak tinggal diam, karena takut kehilangan pendapatan ia pun berlomba membuat perda soal pungutan hasil hutan. </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="DA">Kampung-kampung warga tergusur. Pola hidup komunal dalam rumah panjang <i style="">(lamin)</i>, misalnya, harus bubar akibat proyek <i style="">reseatlement</i> yang kerap disponsori pemerintah. Warga pun tercerabut dari akar kulturalnya semula. Runtuhnya <i style="">lamin</i> menandai pula runtuhnya nilai-nilai egalitarian, komunalitas, dan gotong royong yang amat dijunjung tinggi masyarakat setempat.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="DA">Namun celakanya, seperti sebuah opera, masyarakat Dayak hanya bisa menonton drama pembabatan hutan yang semena-mena. Sebuah drama yang berarti juga hilangnya tempat-tempat keramat dan terhormat, serta terkikisnya kepercayaan religius-magis yang mengikat mereka dengan kehidupan sekelilingnya. Hutan kini telah menjadi belukar. Begitu pula lubang-lubang raksasa nampak menganga karena usai pembabatan digali pula batubaranya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="DA">Tidak heran bila Lukas Kapung, Panglima Komando Pertahanan Adat Dayak Kalimantan, tiba-tiba berucap singkat: ”Kalau dulu kami disebut bangsa yang suka memangsa, kini kamilah yang sedang dimangsa.” <span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="DA">Keberadaan lembaga-lembaga adat berbasis etnis di era otonomi daerah barangkali bisa menjadi sinyal munculnya kesadaran komunitas lokal. Betapa hak-hak sosial dan kultural mereka selama ini telah tergusur dan terampas. Namun begitu, situasi ini nampaknya perlu juga disikapi secara hati-hati oleh komunitas sendiri. Masyarakat adat bisa saja jatuh ke dalam konflik bila mereka larut ke dalam logika investor yang berebut untung dengan menjual hak kelola yang sebagian kecil kini mulai dinikmati. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="DA">Ada satu problemnya: operasi HPH telah mengajarkan hal serupa agar masyarakat melakukan eksploitasi hutan. Sementara kearifan tradisional dan pengetahuan lokal masyarakat sudah semakin ditinggalkan. Warga yang dulunya pemelihara hutan bisa terjebak dalam logika penebangan hutan secara liar. Seperti yang terdengar di koran-koran, ketika masyarakat berbondong-bondong turut menebas hutan maka tuduhan <i style="">illegal logging</i> dihembuskan. Mereka pun diburu Tim Wana Laga yang bergerak ibarat hantu malam hari dan di siang bolong. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="DA"><span style=""> </span>Banjir besar yang menenggelamkan daratan Kalimantan mungkin bukan sekadar kebetulan, bisa jadi hukuman. Sebuah harga yang mesti dibayar oleh sebuah kelalaian terhadap kearifan tradisi nenek moyang. []<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p>bank makalahhttp://www.blogger.com/profile/09527060703496216783noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-874886691578503005.post-42980583975653805202007-07-01T20:33:00.000-07:002007-07-01T20:34:42.419-07:00Sudah Jatuh Ketimpa Tangga<span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";">Bisri Effendy</span> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br /></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Keberhasilan Orde Baru memang sangat tampak dalam politik kebudayaan. Artefakisasi dan museumisasi kebudayaan terjadi di mana-mana, menyusul pembangunan TMII dan berbagai Taman Budaya dan museum di setiap daerah propinsi maupun beberapa kabupaten. Bahkan, tidak puas hanya dengan museum, beberapa daerah seperti <st1:place>Makassar</st1:place> dan Pekanbaru memuat proyek semacam taman mini di Jakarta. Belakangan, tokoh-tokoh Dayak di Kaltim mencanangkan proyek serupa. </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=""> </span>Meski gagasan proyek <st1:place><st1:placename>Dayak</st1:PlaceName> <st1:placetype>Center</st1:PlaceType></st1:place> telah muncul sejak beberapa waktu lalu, namun kongres besar, seperti yang diliput <i style="">Desantara</i> kali ini, telah menuai sepakat bulat untuk segera merealisasi proyek tersebut. Tampaknya, tokoh-tokoh Dayak telah memastikan betapa pentingnya proyek itu setelah melewati pengalaman rutin berbagai kegiatan komodifikasi kebudayaan di banyak tempat di Kaltim selama ini seperti Erau (Kutai Kartanegara), Safari Mamat Bali Akang (Kutai Barat), dan sebagainya. Orang Dayak Kaltim adalah orang-orang yang sangat intens mengalami berbagai aktivitas kebudayaan yang digerakkan pihak luar dengan sejumlah motivasi, kepentingan, dan keuntungan.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=""> </span><st1:place><st1:placename>Kehadiran</st1:PlaceName> <st1:placename>Dayak</st1:PlaceName> <st1:placetype>Center</st1:PlaceType></st1:place> memang tampak menguntungkan terutama berkaitan dengan posisi sosial-politik Dayak di tengah kehidupan etnisitas Kaltim yang plural dengan seluruh dinamika dan kompleksitasnya. Akan tetapi, terutama bagi hari depan orang dan kebudayaan Dayak sendiri, paling tidak ada dua masalah penting yang patut dicatat di sini. Pertama, bahwa <st1:place><st1:placename>Dayak</st1:PlaceName> <st1:placetype>Center</st1:PlaceType></st1:place> mau-tak-mau akan berimplikasi pada atau menjadi penanda bagi semakin menguatnya pembakuan (baca: pembekuan), artefakisasi atau museumisasi kebudayaan Dayak. Dalam konteks Dayak yang cair, plural, dan dinamis, proyek tersebut akan menimbulkan kegamangan dan konflik yang sulit dicari pemecahannya, di samping akan mengangakan jarak antara realitas dan keinginan. </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=""> </span>Kedua, Dayak Center akan menyebabkan semua hal menyangkut orang dan kebudayaan Dayak memusat pada satu titik yang, seperti pengalaman pusat-pusat yang lain, dikuasai para elite tertentu yang menjadikan titik itu sebagai ‘panggung’ politik untuk melakukan barter berbagai kepentingan dengan pihak luar. Pada saat yang sama, mungkin ini memang naluri sebuah pusat, ia akan mensubordinasi dalam berbagai bentuk terhadap realitas kebudayaan orang Dayak yang beragam. Sebagaimana dalam hal politik, pusat selalu menekan, mengingkari, atau memarjinalisasi setiap bentuk yang tidak sesuai dengannya. </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=""> </span>Yang terakhir ini kemudian akan melahirkan problem representasi dan pada tingkat tertentu problem identitas. Representasi, dan seringkali juga identitas, merupakan hal yang amat penting bagi pusat terutama saat berhubungan dengan pihak lain di luar ‘wilayah kekuasaan’nya. Karena legitimasi dan kekuatan pusat itu sendiri amat tergantung pada seberapa jauh ia merepresentasikan unit-unit yang berada dalam rengkuhan kekuasaannya. Problemnya adalah karena pusat yang selalu mengandaikan dirinya tunggal itu tidak akan pernah representatif dalam arti yang sesungguhnya. Semakin kesatuan dibayangkan dan memperoleh prioritas, maka kenyataannya akan semakin terbelah dan terpencar. </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style=""> </span>Pusat Dayak akhirnya hanya akan mengantarkan warga Dayak kebanyakan yang majemuk dari segi subetnis, ekonomi, agama, dan pendidikan pada dilema dan kemusykilan-kemuskilan hidup. Apa yang diperlukan oleh mereka adalah akses ruang publik sebagai strategi menjaga kelangsungan hidup (<i style="">survival strategic</i>), bukan permainan politik dan bukan pula pembekuan diri dalam ‘kungkungan’ konstruksi orang lain.<span style=""> </span></p>bank makalahhttp://www.blogger.com/profile/09527060703496216783noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-874886691578503005.post-89739925284026965782007-07-01T20:31:00.000-07:002007-07-01T20:33:16.849-07:00Mubes Kepala Adat Dayak se-Kaltim, Memperkuat Lembaga Adat<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="IN">Musyawarah Besar Kepala Adat Dayak telah berakhir. Kamis lalu, 21 Juni, Wakil Bupati Kukar, Samsuri Aspar, menutup acara yang berlangsung 18-21 Juni 2007 itu. Empat hari sebelumnya, kegiatan para kepala adat Dayak se-Kalimantan Timur ini juga dibuka seorang pejabat. Kepala Biro Sosial Setprov. Kaltim, Paini Hariyono, memberi sambutan mewakili Plt. Gubernur Kaltim, Yurnalis Ngayoh, di Pendopo Wabup Kukar. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style=""> </span>Banyaknya pejabat yang hadir dalam mubes ini tak urung menimbulkan banyak kecurigaan. Sempat beredar kabar, acara mubes ini terkait dengan makin kencangnya aroma persaingan politik menjelang Pilkada Kaltim 2008 yang akan datang. Mengingat, dua kandidat Gubernur Kaltim berasal dari putra Dayak, Yurnalis Ngayoh dan Martin Billa yang kini masih duduk sebagai Bupati Malinau. Kecurigaan misalnya datang dari sekretaris Majelis Adat Dayak Nasional. “MADN menegaskan Mubes itu ilegal,” ujar Sony Sebilang yang mengaku menirukan kata kepala adat besar Dayak Kaltim,<i style=""> </i>Yurnalis Ngayoh.<i style=""><o:p></o:p></i></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style=""> </span>Namun begitu, buru-buru kabar ini dibantah Samuel Robert Djukuw. ”Pertemuan ini tidak ilegal, jika ilegal tidak mungkin dihadiri pejabat pemerintah,” kata Ketua PDKT Kukar ini yang didampingi Wakil Ketua Panitia Musyawarah, Laoda Hupadding, dan Panglima Komando Pertahanan Adat Dayak Kalimantan, Lukas Kapung.<i style=""><o:p></o:p></i></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style=""> </span>Lebih lanjut, menurut Samuel, musyawarah ini dilatari peristiwa yang dialami komunitas Dayak Benuaq Jahab, Kutai Kartanegara, Februari lalu. Ketika itu upacara adat <i style="">ngugu taun</i> yang disertai dengan <i style="">botor buyang</i> dicap aparat keamanan sebagai praktek perjudian. Dari sini, masyarakat lalu menuntut agar peristiwa ini dibahas dalam musyawarah di tingkat propinsi. Dan, masih kata Samuel, karena masalah-masalah yang dihadapi masyarakat Dayak amat kompleks seperti kasus tanah (hutan) adat, denda ganti rugi, dan upacara-upacara adat. Maka disepakati pertemuan melibatkan para kepala adat se Kalimantan Timur.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><span style="" lang="IN">Membentuk perangkat organisasi <o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><span style="" lang="IN"><o:p> </o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="IN">Ada sekitar 423 orang pengurus dan kepala adat Dayak se-Kalimantan Timur yang hadir dalam pertemuan selama empat hari di rumah retret Bukit Rahmat Putak, Loa Duri, Kukar itu. Berdasarkan pokok-pokok acuan yang dibagikan kepada para peserta, kegiatan ini bertujuan ”agar para kepala adat mampu menegaskan kembali dan mengejawentahkan nilai adat-istiadat dan hukum adat Dayak Kalimantan Timur.” <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="IN">Draf materi-materi juga nampak telah dipersiapkan matang yang dibahas dalam komisi-komisi. Seperti materi hukum adat mengenai hutan tanah pada masyarakat adat Dayak Kalimantan Timur, hukum adat perkawinan, hukum adat mengenai masuknya kegiatan dari luar, hukum adat tentang upacara adat, hukum adat mengenai subtitusi nilai benda yang bernilai hukum adat, dan hukum adat mengenai kedudukan kepala adat.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="IN">Sayangnya, draf-draf yang seharusnya menghasilkan ketetapan dan menjadi cermin aspirasi komunitas adat yang mandiri ini urung dibahas dalam komisi. Alasannya, selain keterbatasan waktu, ada keterbatasan pemahaman para kepala adat atas hukum positif yang berlaku, sehingga draf-draf tersebut dipercayakan pembahasannya kepada sebuah tim khusus. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="IN">Mengenai pembahasan draf ini, Andreas Lawing membenarkannya. ”Membahas draf-draf ini harus disertai pemahaman yang mendalam dan juga tinjauan yang lebih kompleks atas hukum positif kita yang berlaku, karena ini mendialogkan hukum adat dan hukum positif,” papar Sekretaris Kepala Adat Dayak Besar Kutai Timur ini yang merangkap sekretaris pimpinan sidang pleno Mubes.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style=""> </span>Gagal membahas draf hukum adat yang disusun oleh Elisason yang pimpinan sidang Mubes ini, musyawarah akhirnya menyepakati dibentuknya tiga perangkat organisasi yang telah dibentuk para kepala adat. Perangkat ini meliputi: Komisi Perlindungan Hak Adat Masyarakat Hukum Adat Dayak Kalimantan Timur, komisi yang bertanggung menangani konflik yang melibatkan masyarakat Dayak dengan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah mereka; Barisan Pemuda Adat Dayak Kalimantan Timur, perangkat serupa laskar ini dibentuk untuk membantu dan memperlancar kerja-kerja Komisi Perlindungan Hak Adat Masyarakat Hukum Adat Dayak Kaltim; dan Forum Kepala Adat Dayak Kalimantan Timur yang akan difungsikan sebagai forum untuk menjaga kesinambungan komunikasi antar para kepala adat. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="IN">”Perangkat-perangkat ini dibentuk untuk mempercepat proses akomodasi hukum adat dalam hukum positif kita, bahkan bisa berfungsi menekan,” kata Andreas Lawing tandas. Tapi, persoalannya, bagaimana kita hendak mendialogkan hukum adat dengan hukum positif dan menegosiasikannya, sementara rumusan hukum adat yang berpihak pada komunitas adat sendiri belum terbentuk?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="IN"><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><span style="" lang="IN">Dayak Centre<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="IN">Persoalan lain yang memperoleh sorotan dalam Mubes ini adalah wacana <i style="">Dayak Centre.</i> <i style="">Dayak Centre</i> ini dianggap penting lantaran, menurut beberapa tokoh adat, belum ada kampung yang dinilai bisa merepresentasikan seluruh keragaman budaya Dayak di Kaltim. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="IN">”Pampang yang sering disebut kampung Dayak itu hanya mewakili suku Kenyah saja, bahkan sub-etnik <i style="">Lepoq Bam </i>saja,” ujar Indra Bengeh yang juga Kepala adat Dayak Besar Kutai Timur asal suku Bahau ini. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="" lang="IN">”<i style="">Dayak Centre</i> ini bukan wacana baru, sudah sejak lama kami perjuangkan. Saat ini kami sedang negosiasi dengan PT. MHU. Kami minta lahan kepada mereka di Tenggarong Seberang seluas 1.000 hektar,“ papar Elisason, Ketua Pimpinan Sidang Musyawarah Kepala Adat Kaltim. Bahkan Elisason yang mewakili komunitasnya ini mengaku bertekad akan membangun sendiri <i style="">Dayak Centre</i> ini.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><i style=""><span style="" lang="IN">Dayak Centre</span></i><span style="" lang="IN">, yang dibayangkan sejumlah perwakilan komunitas Dayak itu semacam kompleks perumahan yang di dalamnya terdapat lamin dari seluruh sub-etnis Dayak di Kaltim. Wilayah ini konon akan didukung fasilitas pendukung seperti rumah dinas para kepala adat, tempat ibadah, fasilitas olahraga, dan sebagainya. <o:p></o:p></span></p> <span style="font-size: 12pt; font-family: "Times New Roman";" lang="IN">Keinginan untuk memperkuat lembaga adat Dayak, itulah kesan kita untuk sementara. Namun apakah musyawarah ini benar hendak mengangkat nasib dan martabat warga komunitas Dayak yang sudah lama marginal itu? Jelas masih kita tunggu buktinya.<span style=""> </span>[] </span>bank makalahhttp://www.blogger.com/profile/09527060703496216783noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-874886691578503005.post-19761157741380428182007-05-15T21:28:00.000-07:002007-05-15T21:30:51.652-07:00PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM HUMANIS( Kajian Normatif Teks al Qur`an tentang Humanisme)<br />Subhan<a title="" href="http://wonk-educationnetwork.blogspot.com/2007/03/paradigma-pendidikan-islam-humanis.html#_ftn1" name="_ftnref1">*</a><br />Abstrak: Tulisan ini membahas tentang Paradigma Pendidikan Islam Humanisme.(<a href="http://wonk-educationnetwork.blogspot.com/2007/03/paradigma-pendidikan-islam-humanis.html">selengkapnya</a>)bank makalahhttp://www.blogger.com/profile/09527060703496216783noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-874886691578503005.post-75048964282259006542007-05-15T21:25:00.000-07:002007-05-15T21:27:16.426-07:00Pendidikan Agama Islam(Sebagai Transformasi Potensialitas ke Aktualitas)<br />Subhan<a title="" href="http://wonk-educationnetwork.blogspot.com/2007/03/pendidikan-agama-islam.html#_ftn1" name="_ftnref1">*</a><br />Abstrak: Tulisan ini membahas tentang transpormasi potensialitas yang dimiliki manusia (<a href="http://wonk-educationnetwork.blogspot.com/2007/03/pendidikan-agama-islam.html">selengkapnya</a>)bank makalahhttp://www.blogger.com/profile/09527060703496216783noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-874886691578503005.post-7322999682220141612007-05-15T21:21:00.000-07:002007-05-15T21:22:06.937-07:00Islam dan Gerakan Pemberantasan KorupsiMengulas dan Mensosialisasikan Pikiran KH. Sahal Mahfudz<br /><br />Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. (<a href="http://ansorkaltim.blogspot.com/2007/05/islam-dan-gerakan-pemberantasan-korupsi.html">selengkapnya</a>)bank makalahhttp://www.blogger.com/profile/09527060703496216783noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-874886691578503005.post-65776213736733857822007-05-15T21:09:00.000-07:002007-05-15T21:16:29.532-07:00Kampus dan KekuasaanOleh : Abdullah Naim*<br />Universitas yang selama ini dianggap sebagai tempat membicarakan ilmu pengetahuan untuk kepentingan dalam memandang dunia,(<a href="http://ansorkaltim.blogspot.com/2007/04/kampus-dan-kekuasaan.html">selengkapnya</a>)bank makalahhttp://www.blogger.com/profile/09527060703496216783noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-874886691578503005.post-28479218493204580432007-05-15T21:06:00.000-07:002007-05-15T21:15:50.512-07:00Kaum Muda dan Geliat PembaharuanOleh: Syaparuddin, J. S.Sos*)<br />Kalau kita mau jujur, bahwa ketika negeri ini berada dibawah kendali kepemimpinan otoriter, sentralistik dan hegemonik, ( <a href="http://ansorkaltim.blogspot.com/2007/04/kaum-muda-dan-geliat-pembaharuan.html">selengkapnya</a>)bank makalahhttp://www.blogger.com/profile/09527060703496216783noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-874886691578503005.post-91741563282300445162007-04-26T17:09:00.000-07:002007-04-26T17:11:58.247-07:00Kebudayaan: Arena Pertarungan Kelas<p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style="font-family: Tahoma;">Oleh: Merah Johansyah Ismail *<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style="font-family: Tahoma;"><o:p> <br /></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style="font-family: Tahoma;">Di Sore hari yang teduh, Setelah sholat ashar dan ketika matahari telah condong ke barat. Mak Kumala seorang wanita setengah baya beserta suaminya, Pak Masdar nampak sibuk menganyam sebuah keranjang kecil yang terbuat dari bambu tipis. mereka biasa menyebutnya <i>kelengkang.</i> sebuah keranjang tempat beras empat warna, sebutir telur ayam kampung ditambah sebilah dupa Cina. Semua perkakas tersebut merupakan perlengkapan ritual “melepas ayam”, sebuah ritual yang dipercayai oleh masyarakat kampung nyerakat untuk “bernegosiasi” dengan makhluk gaib berupa jin dan makhluk halus penunggu kampung mereka. Nyerakat adalah nama kampung halaman mak kumala dan pak masdar. Sebuah kampung yang terletak di Bontang Selatan yang daerahnya mulai dihuni tahun 1942-an. dahulu menurut tradisi lisan yang berkembang, daerah ini disebut “sekambing”. Namun kini diganti oleh walikota dengan sebutan yang menurut pemerintah lebih “sopan” dan lebih enak didengar di telinga yaitu “bontang Lestari”. Menurut pemerintah sebutan itu lebih pas ketimbang “sekambing” yang <span style="">ketinggalan zaman.</span> <o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style="font-family: Tahoma;"><o:p> </o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText"><span style="font-family: Tahoma;">Mak kumala bercerita bahwa tadi siang, sebelum dzuhur ada seorang kontraktor penambangan dan pengangkut pasir yang punya proyek pembangunan jalan raya di santan datang. Mereka meminta bantuan mak kumala untuk memberikan sesajen atau ritual adat yang dipercaya warga sekitar dapat mencegah hal-hal yang nantinya dapat mengganggu aktivitas proyek yang selama ini ‘kesohor’ terjadi, berupa gangguan makhluk halus, jin, penunggu hutan dllnya. Kampung nyerakat memang terkenal angker bagi aktivitas pembangunan dan proyek baik pemerintah dan perusahaan yang lalu lalang tanpa permisi dengan sang penunggu kampung yakni makhluk halus dan jin, yang menurut mereka “kehadirannya” sudah terlebih dahulu ada bahkan sebelum manusia hadir. Mulai dari truk yang terbalik hingga kendaraan berat proyek yang mogok tanpa sebab seringkali menjadi tumbalnya.<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText"><span style="font-family: Tahoma;"><o:p> </o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText"><b style=""><span style="font-family: Tahoma;">Mitos dan Subkultur<o:p></o:p></span></b></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText"><span style="font-family: Tahoma;"><o:p> </o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText"><span style="font-family: Tahoma; color: black;" lang="IN">Dunia metafisik semacam itu hanya bisa lahir dari kehidupan yang mengenal ‘misteri’ dan ‘pesona’, dari masyarakat yang masih hidup dalam kosmos yang “<i>mysterium, tremendum, fascinans</i>” [“yang misterius, agung, mempesona” -- sebutan ini berasal dari Rudolf Otto, teolog Protestan asal Jerman abad 20]. titik menarik dari fenomena nyerakat adalah pada proses persentuhan antara ritual dengan modernisasi tersebut. Mak kumala dan komunitas kampung nyerakat justru menggunakan “kosmologi dan mitos dunia mereka” untuk melakukan perlawanan tertutup atas modernitas. Perlawanan ini dalam kajian <i style="">Cultural Studies</i>, dapat berupa siasat atau negoisasi, antara komunitas nyerakat sebagai subkultur terhadap negara dan perusahaan sebagai kultur dominan! <span style=""> </span></span><span style="font-family: Tahoma;"><o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style="font-family: Tahoma;"><o:p> </o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText"><span style="font-family: Tahoma;">“kehadiran” mak kumala ketika melakukan ritual tersebut di lokasi penambangan pasir sore itu bak pahlawan yang ditunggu-tunggu. dengan segala “kesaktian”nya,<span style=""> </span>Posisi mak kumala dan komunitas nyerakat sebagai subkultur tiba-tiba setara bahkan dominan ketika mereka dapat menciptakan mitos tandingan tersebut [<i style="">Hebdige; From Culture to Hegemony, 2004 </i>] mitos tandingan ini yang memaksa kultur dominan untuk ikut melibatkan dan berkompromi dengan komunitas lokal atau subkultur, sesuatu apa yang disebut Hebdige sebagai <i>de-mistifikasi</i>. begitulah siasat atau negosiasi komunitas lokal atau subkultur bertahan dari serangan modernitas dan segala turunannya.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style="font-family: Tahoma;"><o:p> </o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText"><span style="font-family: Tahoma;">Pergunjingan genit tentang pertarungan kelas [<i>class war]</i> memang lebih banyak macet di perdebatan tentang basis dan superstruktur versi marxisme klasik yaitu determinasi ekonomi yang materialistik dan positivistik. Kebudayaan sebagai basis dan superstruktur yang lebih luas dan penting seolah-olah tergeser. Jauh-jauh gramsci seorang marxis kritis dari italia sudah memperingatkan ini lewat konsep hegemoni. Gramsci mengkritik dogma sejarah kaum marxis klasik tentang akan tibanya masa krisis kapitalisme yang digantikan secara alamiah oleh masa komunisme [revolusi pasif], bagi gramsci hegemoni adalah determinan non ekonomi dari sejarah. Determinan kebudayaan inilah yang menentukan, melembagakan dan melanggengkan kepemimpinan dengan cara melemahkan potensi lawan lewat kepatuhan aktif.<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style="font-family: Tahoma;"><o:p> </o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText"><span style="font-family: Tahoma;">Hebdige mengacu dan meramu pengertian “mitos”nya dari barthes, “ideologi”nya althusser dan “hegemoni”nya gramsci untuk membangun teori subkultur. Dalam batas-batas tertentu teorinya tentang subkultur memacu dan membuka kran diskusi tentang gejala kepatuhan sehari-hari dan perlawanan dalam hidup sehari-hari.<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style="font-family: Tahoma;"><o:p> </o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText"><span style="font-family: Tahoma;">Modernitas dan segala turunannya memang terlalu kuat, bagaikan gurita dengan karunia lengan yang lebih banyak, modernitas menjulurkan lengannya yang lain lewat subsistem kebudayaan lain yang sangat ampuh dan mujarab yaitu Agama. Agama yang didomplengi modernitas ini, menyerang<span style=""> </span>dan menuding subkultur seperti praktik tradisi ritual dan “agama” rakyatnya<span style=""> </span>mak kumala sebagai praktik dengan label “Musyrik” dan “Syirik” dan melawan ajaran agama. <o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText"><span style="font-family: Tahoma;"><o:p> </o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText"><b><span style="font-family: Tahoma;">Budaya Perlawanan<o:p></o:p></span></b></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText"><span style="font-family: Tahoma;"><o:p> </o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText"><span style="font-family: Tahoma;">Dalam sejarah bangsa ini <i>singkretisme</i> sebagai subkultur dan budaya perlawanan telah tercatat walaupun sering diabaikan. Diantaranya perlawanan lewat perang petani di banten 1888 yang melibatkan kaum tarekat, para haji dan petani singkretis terhadap represi imperialisme belanda. Yang menarik menurut catatan Baso dalam karyanya Islam Pasca-Kolonial, pada tahun-tahun setelah itu belanda menciptakan lembaga bernama <i>Kantoor voor</i> <i>indlandsche zaken</i> yang merupakan embrio departemen agama sebagai strategi politik pengawasan agama-agama [Baso; 2005], bahkan kala itu ada aturan dan pasal yang dikeluarkan belanda tentang larangan menggunakan jimat. <o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText"><span style="font-family: Tahoma;"><o:p> </o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoBodyText"><span style="font-family: Tahoma;">Kultur dominan seperti agama modern memang selalu ingin menyingkirkan subkultur seperti agama rakyat berupa tradisi, ritual yang tradisional, mistis dan irasional. Pertarungan kelas zaman sekarang memang seharusnya tidak melulu merujuk pada pertarungan kelas masa lampau seperti di zaman industrial eropa yang memiliki konteksnya sendiri. Saat ini “Tanda” [baca; kebudayaan] telah menjadi ruang terbuka bagi pertarungan kelas yang sesungguhnya.[]<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style="font-family: Tahoma;"><o:p><br /></o:p></span><span style="font-size: 6pt; font-family: Tahoma;"><o:p> </o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify;"><b><span style="font-size: 11pt; font-family: Tahoma;">*Penulis sedang bergiat di NALADWIPA <o:p></o:p></span></b></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify;"><b><i><span style="font-size: 11pt; font-family: Tahoma;">Institute for Social and Cultural Studies</span></i></b><b><span style="font-size: 11pt; font-family: Tahoma;"> Samarinda<o:p></o:p></span></b></p><div style="text-align: justify;"> </div><h2 style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt;">Email:merahjoe@yahoo.co.id<o:p></o:p></span></h2>bank makalahhttp://www.blogger.com/profile/09527060703496216783noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-874886691578503005.post-58201685424971668902007-04-23T19:06:00.000-07:002007-04-23T19:14:32.039-07:00How to Start Video Blogging?<div style="text-align: justify;">by: <b class="author">Kanicen Nichathavan</b><br />Videoblogging is the next generation of posting ideas and products over the internet. Everybody knows about textblogging. Now they use videos for a better way of expression. This form of communication may entail a lot of resources, but it is all worth it. If pictures say a thousand words, videoblogging exceeds that by far.<br /><br />A videoblog requires larger disk spaces on websites, a faster server, and a whole new set of programs to support it. Videoblogs can be fed through RSS. This is technology of syndicating your website to other RSS aggregators.<br /><br />Videoblogging works with people on the internet expressing their selves. Now if you put this on a business prospective, you are up to a lot of benefits. Think of it as a powerful tool in making showing your prospective customers your line of products or your services. It’s just like showing a commercial all for free. And if you videoblog through RSS, then most probably you are getting your target market.<br /><br />People like to see what they are going to buy. Some would like to see proof and be sure that they are getting their money’s worth before shelving their dimes on it. All of us know the influence of a thirty second commercial. The effect of videoblogging is similar to that. You show your product, people watch it. If they like it, they buy it. If you present it good enough, they’ll buy the product even if they don’t need it.<br /><br />Now on the web, things are pretty much static, unlike in television in which all are moving. If you post something that is mobile, it would most likely catch attention. Now imaging your product parading in all it’s royalty through videoblog. You’ll get phone call orders in no time.<br /><br />If your business is just starting up, you can create a videoblog right at your own home. All you need is your web camera, microphone, video software, and lights. For as long as you know how to use your camera, then you can create a videoblog.<br /><br />Invest in a good web camera. The higher its resolution is the better the output. And you like to present your goods in the optimum way so get the best one possible. Make a short story, or just capture your goods in one go. Just make sure you are getting the best profile for each. Get those creativity juices flowing.<br /><br />Lights are important in a production. Make sure you illuminate entirely the area you are going to use to create videoblog. The brighter the area, the crispier the images will be. You can also use lighting effects for added appeal to the presentation.<br /><br />Should you require sounds for your videoblog, you need a microphone. Record you voice as a voice over for promoting the product and its benefit to consumers. Sounds are as important as videos on a videoblog. It is advisable to make your sound effects as enticing as the video.<br /><br />Your video editing software can be any program. You need this to finalize your work. You can add sounds, delete some bad angles, or insert some still pictures in there too. Some programs are user-friendly and can be used even with zero knowledge on video editing. Even simple video editing programs should do the trick. Select your background carefully too. The light affects the presentation so make sure that the background and the light complements each other.<br /><br />Videoblogging is a great tool but it also has it downside. It may slow down the computer so other may steer clear of it. Download time may also be time consuming especially if customer is still on a dial- up connection.<br /><br />But don’t let those stop you. Let videoblogging be an alternative for you, though it is best to still keep the text and pictures present in your presentation to accommodate all possible viewers of your site.<br /><br />Nowadays, the more creative you are in presenting your product to the market, they more you are likely to succeed. Videoblogging offers an interactive way of selling. You involve the customers. You instill in them the advantage of your goods. And at times, those are enough to make a sale.<br /></div>bank makalahhttp://www.blogger.com/profile/09527060703496216783noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-874886691578503005.post-86970837215029527062007-04-15T19:49:00.000-07:002007-04-15T19:50:07.344-07:00MLM Marketing the Perfect Home Businessby Kozan Huseyin<br /><p>MLM Marketing is an amazing model of business to consider as your new Home Business. MLM Marketing allows you to free your time, schedule your own time, run your own business while also having the added benefit of having a proven system set out in front of you.</p><p> Get ready for a new lifestyle.</p><p> I was doing research at a salary research site today, and found the average person in MLM Marketing earns on average $120,000.</p><p> So it's something to consider, especially as more millionaires in the United States became a millionaire due to MLM Marketing and Network Marketing.</p><p> MLM Marketing is a way of business or business model which primarily operates its marketing through independent business people such as you and me, showing the product to other people.</p><p> Now if your looking at "Get Rich Quick" or don't want to meet people and share, show, introduce them into something then you will not be successful with MLM Marketing and I would strongly suggest you don't get in or you will only become one of the failures who says it doesn't work.</p><p> Right now we cleared that up, and you are still reading. Be prepared for an amazing extraordinary journey. A journey of a new lifestyle, success, and everything you could ever want. And also you get to meet like minded positive people who are going for there goals and outcomes.</p><p> Just wait for the conventions, usually in some nice place, which when you achieve going will give you even more confidence.</p><p> MLM Marketing is a great choice for a home business, as it gives you the ability of joining a company who is committed for your success. They have the road map, and the recipe for success. And with that recipe, you can do the same thing and you will get the same results or similar.</p><p> An even bigger reason to consider MLM Marketing as your new home business is you don't have to quit your job, and I suggest you stay in your job, till you see you are earning similar or more money from your MLM Marketing business.</p><p> A recent study showed that 85% of self employed people earn less than if they where working for someone else. MLM Marketing with its working system allows you to achieve much more and be a success.</p><p> One warning I have to give you is understand this is NOT overnight success. It does take time, and effort. It took me 4 months before getting any results. And you may have to go through several companies till you find the one that's right for you.</p><p> One suggestion I offer you is to research. Look at what is on offer. Don't just dive into the first MLM Marketing organisation you find. Find one which you really like the product/service. And that if you was to sell one million units you would still have a smile.</p><p> That's why I love the MLM Marketing organisation I work with at the min. It's a product I use myself ~ Self development. And I have the satisfaction that the person who joins gains major benefit also. And much more then the face value of the product.</p><p> Remember that last point.</p><p> Do what you love. If you're focused simply on making money, you won't make it. People who make it in MLM Marketing are the ones who care the most.</p><p> Look at the MLM Marketing organisation see if there is anyone who is at the level of incomes you want to achieve. Speak to them, see if they are willing to help you.</p><p> Try to get into companies where you are more closer to the top. A bit risky, but it means that you've got much more chance of success with the MLM Marketing company. The reason being is that whenever you speak to someone about the MLM Marketing company, you don't want everyone who's heard about it. You want to be the first. Microsoft became #1 due to coming to market first.</p><p> MLM Marketing is also a business which usually you can start with very small amount of investment, to get into the business. You still may need to factor in other costs, such as marketing, phone costs, car costs, etc... Though it's much easier to start in MLM Marketing then many other businesses. Treat it like a business, and success is assured, as long as you keep doing and adjusting, till you reach your goals.</p><p> I hope this information has been of great benefit to you. Make sure you know what you want out of it, your goals, and intentions for getting in. And if you need help I am always here to help you succeed.</p><p> In my next article to you I will be speaking about the steps to starting in your new MLM Marketing home business.</p><p> Till then...</p><p> As always, to your greatest success,</p> Kozan Huseyin.bank makalahhttp://www.blogger.com/profile/09527060703496216783noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-874886691578503005.post-76569181762440926542007-04-15T19:48:00.001-07:002007-04-15T19:48:34.716-07:00Marketing Revolutionby Aurelio Aranda<br /><br /><br />***NEWS FLASH*** Have you heard? We are in a new revolution in 2007 when it comes to internet marketing. So, how can you get your piece of the pie? what trends and niches are out there that have the potential to make you a millionaire? Well, you wanted more than 6 figures right... Let me explain more about this internet revolution. You see, if you have been looking for a way to make your million or even supplement your income you've probably run into information about Network Marketing. I know many people have negative interpretations of this industry but guess what, it's no longer on trial. No, in fact it is said to be the best way for the average person to reach above average levels of achievement and income and ultimately true wealth. Don't take my word for it, just read work from top authors and billionaires, Guy Kiosaki and Donald Trump. OK so whats the revolution? Well, as you may know the average person in any industry can fail miserably and this industry is no different. One thing though that you may not have heard, the success rate for a network marketer is much higher than that of a traditional business. It's true and now we have a system before us that really can automate your business.bank makalahhttp://www.blogger.com/profile/09527060703496216783noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-874886691578503005.post-51948562292818856562007-04-15T19:44:00.000-07:002007-04-15T19:47:13.329-07:00How to reduce your Adwords costs?by ivan juras<br /><br /><p>No matter how many gurus you ask, you will always get a different answer to this question: how do I reduce my Adwords campaigns and max out earning potential?</p><p> Some experts will say that the best way to optimize your campaigns is to bid on high amounts of keywords in hope to get many clicks. This is a totally false direction, and will definitely break your budget. The optimal way that's always working for me is to research my keywords for 90% of my daily "work" time, and then use the 10% to set up a campaign.</p><p> You see, I never have more than 5-6 keywords which I bid on, and it always works. Why ? Because of the impressions. By eliminating the keywords which don't have the earning potential, or the keywords which are not highly relevant to the product or service you are selling, you are eliminating "bad impressions" and raising your CTR (click-through-rate). This way your ads will get higher on search engine rankings, and you will be able to lower your bid amounts.</p><p> Make sure that the keywords you pick are highly relevant and targeted. If you're just starting, you probably don't have thousands of dollars for your campaigns, and that's what gurus alway forget to tell you, because they do have that. Even to this day, I rarely set my daily budget over $10 for 1 campaign. By targeting specific keywords you will reduce the cost of your clicks, which will increase the chance of you selling something. Just be sure to laser-target the keywords you want to bid on.</p> Don't just stuff in keywords. It can cost you alot of money by getting untargeted visitors. By applying these simple principles, you'll be able to reduce your advertising costs and get more targeted visitors which results in more sales.bank makalahhttp://www.blogger.com/profile/09527060703496216783noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-874886691578503005.post-77256920820931700582007-04-12T00:10:00.000-07:002007-04-12T00:11:31.590-07:00The Colonial Look Returns You to a Simpler Time<h1><em>by James Allen</em></h1>The Colonial look is steeped in tradition, but with distinctly American undertones. Here are some tips and guidelines to make this look a reality in your home. <p> You have a bit of elbow room to play with when orchestrating your color scheme. Using distinctive colors like vermilion, indigo, and olive mimics the colors found in affluent homes of the time. Mellow, earthy hues like brown, yellow and green gives you a color palette used by modest families of the period.</p><p> Candles and lanterns were a signature lighting instrument during the Colonial era, and it's easy to get that same look today. Simulated tapers, with a tiny bulb replacing a flame, are a common design in today's lighting market. Find chandeliers and sconces that implement the same wrought iron or brass metal finishes that were found in the fixtures of the time. If you want a more opulent style, concentrate on glass chandeliers embellished with dangling crystals.</p><p> A colonial room mixes Queen Anne and Chippendale styles with classic American elements. Characteristics of Queen Anne furniture include the elegantly feminine cabriole leg that curves from chair to floor, and the "S" scrolls that shape the pieces. Besides chairs, select tables and chests that feature cabriole legs for a cohesive look that runs throughout the entire room. Chippendale chairs are another possibility, with straight front legs and bowed or pierced slat backs. To transition from English traditional to American Colonial, simply insert some American design staples like a secretary desk, a handsome and functional fixture that adds charm to living spaces. Chest-on-chests, dining tables with drop leaves, highboys and matching lowboys and Windsor chairs will also do nicely.</p> Dig out any heirloom samplers from your family attic and break out the silver or pewter service ware for display on your sideboard. Colonial style focuses on the hearth, so if you have one, make it the focus of your design and enhance it with molding and carved mantels. You can draw attention to your fireplace by hanging large paintings or prints over it if you don't have a mantel. Another signature accessory, the grandfather clock, complements dignified furniture like secretary desks, and varieties can be found with lacquers, broken pediments and finials. Lastly, tie in your windows with drapes them with festoon blind and French draw curtains.bank makalahhttp://www.blogger.com/profile/09527060703496216783noreply@blogger.com0