Mencari makalah yang lain :

Google
 

Friday, December 25, 2009

Cooperative Learning

A. Pendahuluan
Sebuah pembelajaran tentu ada model, perkembangan model pembelajaran dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan. Model-model pembelajaran tradisional sudah jarang yang menggunakan, kecenderungan orang menggunakan model pembelajaran yang lebih modern. Banyak macam dan ragamnya model pembelajaran tersebut, dan salah satu model pembelajaran tersebut adalah Cooperative Learning, model pembelajaran tersebut saat ini banyak mendapat respon karena model ini tidak hanya unggul dalam membantu siswa memahami konsep yang sulit, tetapi juga sangat berguna untuk menumbuhkan kemampuan berpikir siswa, bekerja sama, dan membantu teman.
Berangkat dari teori kontruktivisme, pembelajaran kooperatif merupakan salah satu pembelajaran yang dikembangkan karena mengembangkan struktur kognitif untuk membangun pengetahuan sendiri melalui berpikir rasional (Rustaman et al., 2003: 206).
B. Pengertian Pembelajaran Kooperatif
Cooperative Learning is a relationship in a group of students that requires positive interdependence (a sense of sink or swim together), individual accountability (each of us has to contribute and learn), interpersonal skills (communication, trust, leadership, decision making, and conflict resolution), face-to-face promotive interaction, and processing (reflecting on how well the team is functioning and how to function even better). (Pembelajaran Kooperative adalah suatu hubungan dalam kelompok siswa yang memerlukan saling ketergantungan positif (rasa tenggelam atau berenang bersama-sama), akuntabilitas individu (masing-masing dari kita harus berkontribusi dan belajar), keterampilan antarpribadi (komunikasi, kepercayaan, kepemimpinan, pengambilan keputusan, dan resolusi konflik), tatap muka interaksi promotif, dan pengolahan (merefleksikan bagaimana baik tim berfungsi dan bagaimana berfungsi bahkan lebih baik).
Sistem pembelajaran gotong royong atau cooperative learning merupakan system pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama dengan sesame siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur. Pembelajaran kooperatif dikenal dengan pembelajaran secara berkelompok. Tetapi belajar kooperatif lebih dari sekedar belajar kelompok atau kerja kelompok karena dalam belajar kooperatif ada struktur dorongan atau tugas yang bersifat kooperatif sehingga memungkinkan terjadinya interaksi secara terbukadan hubungan yang bersifat interdepedensi efektif diantara anggota kelompok (Sugandi, 2002: 14).
Dalam pembelajaran kooperative, untuk mencapai hasil yang maksimal, maka harus diterapkan lima unsur model pembelajaran gotong royong, yaitu:
a. Saling ketergantungan positif.
b. Tanggung jawab perseorangan.
c. Tatap muka.
d. Komunikasi antar anggota.
e. Evaluasi proses kelompok

C. Karakteristik Pembelajaran Kooperatif
Ada beberapa karakteristik pembelajaran kooperatif ini, karakteristik tersebut diantaranya adalah :
1. Siswa bekerja dalam kelompok kooperatif untuk menguasai materi akademis.
2. Anggota-anggota dalam kelompok diatur terdiri dari siswa yang berkemampuan rendah, sedang, dan tinggi.
3. Jika memungkinkan, masing-masing anggota kelompok kooperatif berbeda suku, budaya, dan jenis kelamin.
4. Sistem penghargaan yang berorientasi kepada kelompok daripada individu..

D. Teknik Pembelajaran Kooperatif
Banyak sekali teknik yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran kooperatif ini, berikut beberapa teknik yang bisa dijadikan rujukan dalam penggunaan pembelajaran kooperatif, teknik pembelajaran kooperatif di antaranya adalah :
1. Jigsaw
Terdapat kelompok ahli dan kelompok asal. Kelompok asal adalah kelompok awal siswa terdiri dari berapa anggota kelompok ahli yang dibentuk dengan memperhatikan keragaman dan latar belakang. Guru harus trampil dan mengetahui latar belakang siswa agar terciptanya suasana yang baik bagi setiap angota kelompok. Sedangkan kelompok ahli, yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok lain (kelompok asal) yang ditugaskan untuk mendalami topik tertentu untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal.
Para anggota dari kelompok asal yang berbeda, bertemu dengan topik yang sama dalam kelompok ahli untuk berdiskusi dan membahas materi yang ditugaskan pada masing-masing anggota kelompok serta membantu satu sama lain untuk mempelajari topik mereka tersebut. Disini, peran guru adalah mefasilitasi dan memotivasi para anggota kelompok ahli agar mudah untuk memahami materi yang diberikan. Setelah pembahasan selesai, para anggota kelompok kemudian kembali pada kelompok asal dan mengajarkan pada teman sekelompoknya apa yang telah mereka dapatkan pada saat pertemuan di kelompok ahli.Para kelompok ahli harus mampu untuk membagi pengetahuan yang di dapatkan saat melakuakn diskusi di kelompok ahli, sehingga pengetahuan tersebut diterima oleh setiap anggota pada kelompok asal. Kunci tipe Jigsaw ini adalah interdependence setiap siswa terhadap anggota tim yang memberikan informasi yang diperlukan. Artinya para siswa harus memiliki tanggunga jawab dan kerja sama yang positif dan saling ketergantungan untuk mendapatkan informasi dan memecahkan masalah yang biberikan.
2. Bertukar Pasangan
Setiap siswa mendapatkan satu pasangan. Guru memberikan tugas dan siswa mengerjakan tugas dengan pasangannya Setelah selesai, setiap pasangan bergabung dengan pasangan lain. Kedua pasangan tersebut bertukar pasangan kemudian saling menanyakan dan mengukuhkan jawaban. Temuan baru yang diperoleh dari pertukaran pasangan kemudian dibagikan kepada pasangan semula.
3. Kepala Bernomor
Siswa dibagi dalam kelompok dan setiap siswa dalam setiap kelompok mendapat nomor. Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya. Kelompok memutuskan jawaban yang dianggap paling benar dan memastikan setiap anggota kelompok mengetahui jawaban ini. Guru memanggil salah satu nomor. Siswa dengan nomor yang dipanggil melaporkan hasil kerja sama mereka.
4. Keliling Kelompok
Salah satu siswa dalam masing-masing kelompok memulai dengan memberikan pandangan dan pemikirannya mengenai tugas yang sedang dikerjakan. Siswa berikutnya juga ikut memberikan kontribusinya. Demikian seterusnya. Giliran bicara bisa dilaksanakan menurut arah perputaran jarum jam atau dari kiri ke kanan.
5. Kancing Gemerincing
Guru menyipkan satu kotak kecil berisi kancing-kancing. Setiap siswa dalam kelompok mendapatkan dua atau tiga buah kancing. Setiap kali seorang siswa berbicara, dia harus menyerahkan salah satu kancingnya. Jika kancingnya sudah habis, dia tidak boleh berbicara lagi sampai kancing semua rekannya habis.
6. Dua Tinggal Dua Tamu
Siswa bekerja sama dalam kelompok berempat. Setelah selesai, dua orang dari setiap kelompok meninggalkan kelompoknya dan bertamu ke kelompok yang lain.
Dua orang yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan informasi ke tamu mereka. Tamu mohon diri dan kembali ke kelompoknya kemudian melaporkan hasil temuannya. Kelompok mencocokkan dan membahas hasil-hasil kerja mereka.
7. Tipe TGT (Teams Games Tournaments)
Siswa memainkan permainan-permainan dengan anggota-anggota tim lain untuk memperoleh skor bagi tim mereka masing-masing. Permainan dapat disusun guru dalam bentuk kuis berupa pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan materi pelajaran. Kadang-kadang dapat juga diselingi dengan pertanyaan yang berkaitan dengan kelompok (identitas kelompok mereka). Permainan dalam TGT dapat berupa pertanyaan-pertanyaan yang ditulis pada kartu-kartu yang diberi angka. Tiap siswa, misalnya, akan mengambil sebuah kartu yang diberi angka tadi dan berusaha untuk menjawab pertanyaan yang sesuai dengan angka tersebut. Turnamen harus memungkinkan semua siswa dari semua tingkat kemampuan (kepandaian) untuk menyumbangkan poin bagi kelompoknya. Prinsipnya, soal sulit untuk anak pintar, dan soal yang lebih mudah untuk anak yang kurang pintar. Hal ini dimaksudkan agar semua anak mempunyai kemungkinan memberi skor bagi kelompoknya. Permainan yang dikemas dalam bentuk turnamen ini dapat berperan sebagai penilaian alternatif atau dapat pula sebagai reviu materi pembelajaran.

Friday, December 18, 2009

THEORY OF ORGANISATION OF LEARNING SITUATION

Oleh: Abdul Wahid, Hajriana, Masita, Siti Maulidah, Siti Rahmah

A.Pendahuluan

Pendidikan nasional akan berhasil mencapai tujuan pendidikan jika didukung oleh pelaksanaan pendidikan di lembaga pendidikan. Keberhasilan pelaksanaan pendidikan di sekolahpun didukung oleh komponen- komponen pendidikan yang saling terkait dan terpadu dalam kerja sama yang sistemik.
Salah satu komponen yang memiliki peran penting dalam proses pembelajaran adalah guru (pendidik). Peran guru dalam pembelajaran adalah memberikan bimbingan dan pelayanan pendidikan kepada siswa, baik bimbingan pengetahuan (transfer ilmu pengetahuan dan budaya), maupun bimbingan kepribadian (transfer nilai). Dengan demikian, guru bertanggung jawab menciptakan situasi/suasana yang memungkinkan terjadinya proses pembelajaran yang kondusif.
Kemampuan guru dalam mengorganisasikan situasi pembelajaran sering menjadi permasalahan, tidak jarang guru yang belum mampu mengelola situasi pembelajaran yang kondusif. Terkadang guru tidak mampu mempertahankan kondusifitas situasi pembelajaran yang awalnya sudah baik, namun di tengah pembelajaran perhatian siswa menjadi berkurang, siswa mulai melakukan aktifitas yang tidak sesuai dengan desain pembelajaran, dan lain sebagainya.
Dalam pengorganisasian situasi pembelajaran, guru juga perlu memahami konsep dan teknik pengelolaan kelas yang baik. Karena ruang kelas merupakan salah satu lingkungan pendidikan yang paling dekat dan paling sering dimanfaatkan siswa sebagai tempat belajar, di samping lingkungan belajar di sekolah dan lingkungan masyarakat.
Banyak hal penting yang perlu diperhatikan oleh guru untuk mengorganisasikan situasi pembelajaran. Diantaranya konsep belajar mengajar yang efektif dan efesien, konsep pengorganisasian situasi pembelajaran, termasuk pengelolaan kelas.
Dalam tulisan ini, akan dipaparkan tentang bagaimana konsep belajar mengajar, dan pengorganisasian situasi pembelajaran. Tujuan penulisan makalah ini, yaitu untuk mengulas kembali tentang konsep belajar mengajar dan pengorganisasian situasi pembelajaran, sehingga guru mampu menciptakan situasi pembelajaran yang kondusif yang memungkinkan terciptanya proses pembelajaran yang efektif dan efesien.

B.Pembahasan

1.Teori belajar mengajar
Dalam pembelajaran terjadi proses belajar dan mengajar yang melibatkan guru dan siswa yang saling berinteraksi. Keduanya merupakan subjek pembelajaran yang saling memberi, mengisi, dan memotivasi sehingga tercipta pengalaman belajar bagi siswa dan guru.
a.Teori belajar
Belajar merupakan kegiatan pokok dalam proses pendidikan di sekolah, pencapaian tujuan pendidikan tergantung pada proses belajar yang dialami oleh siswa. Menurut Slameto (2003: 2), belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Adapun ciri-ciri perubahan tingkah laku dalam pengertian di atas, yaitu; perubahan terjadi secara sadar, bersifat kontinu dan fungsional, siswa bersifat positif dan aktif, bukan bersifat sementara, bertujuan atau terarah, dan mencakup seluruh aspek tingkah laku. (Slameto, 2003: 3-4).
Sedangkan jenis-jenis belajar menurut Slameto (2003: 5-8), yakni; belajar bagian (part learning, practioned learning), belajar dengan wawasan (learning by insight), belajar diskriminatif (discriminatif learning), belajar global/keseluruhan (Global whole learning), belajar incidental (incidental learning), belajar instrumental (instrumental learning), belajar intensional (intentional learning), belajar laten (latent learning), belajar mental (mental learning), belajar produktif (productive learning), belajar verbal (verbal learning).
Teori-teori belajar banyak dikemukakan oleh para pakar pendidikan, di antaranya teori Gestalt, teori J. Bruner, teori Piaget, dan teori R. Gagne. Namun secara umum, Slameto (2003: 27-28) memberikan gambaran susunan prinsip-prinsip belajar yang dapat diterapkan dalam situasi dan kondisi yang berbeda, dan oleh setiap siswa secara individual. Prinsip-prinsip belajar tersebut sebagai berikut:
1)Berdasarkan prasyarat yang diperlukan untuk belajar, yakni:
a)dalam belajar setiap siswa harus diusahakan partisipasi aktif, meningkatkan minat dan membimbing untuk mencapai tujuan instruksional;
b)belajar harus dapat menimbulkan reinforcement dan motivasi yang kuat pada siswa untuk mencapai tujuan instruksional;
c)belajar perlu lingkungan yang menantang dimana anak dapat mengembangkan kemampuannya bereksplorasi dan belajar dengan efektif;
d)belajar perlu ada interaksi siswa dengan lingkungannya.
2)Sesuai hakikat belajar, yakni;
a)belajar itu proses kontinyu, maka harus tahap demi tahap menurut perkembangannya;
b)belajar adalah proses organisasi, adaptasi, eksplorasi dan discovery;
c)belajar adalah proses kontinguitas (hubungan antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain) sehingga mendapatkan pengertian yang diharapkan.stimulus yang diberikan menimbulkan response yang diharapkan.
3)Sesuai materi/bahan yang harus dipelajari, yakni;
a)belajar bersifat keseluruhan dan materi itu harus memiliki struktur, penyajian yang sederhana, sehingga siswa mudah menangkap pengertiannya;
b)belajar harus dapat mengembangkan kemampuan tertentu sesuai dengan tujuan instruksional yang harus dicapainya.
4)Syarat keberhasilan belajar, yakni;
a)belajar memerlukan sarana yang cukup, sehingga siswa dapat belajar dengan tenang;
b)repetisi, dalam proses belajar perlu ulangan berkali-kali agar pengertian/keterampilan/sikap itu mendalam pada siswa.

b.Teori mengajar
Mengajar merupakan salah satu kegiatan dalam proses pembelajaran. Menurut J. Mursell dan S. Nasution (2006: 8-9) bahwa mengajar adalah mengorganisasikan hal-hal yang berhubungan dengan belajar dapat dilihat pada segala macam situasi mengajar, yang baik maupun yang buruk. Selain itu, mengajar juga dapat dipandang sebagai menciptakan situasi dimana diharapkan anak-anak akan belajar dengan efektif. Dapat pula mengajar dipandang sebagai menyusun sejumlah kegiatan-kegiatan dalam hidup sekelompok manusia yang belajar.
Slameto (2003: h. 35-39), menjelaskan bahwa ada beberapa prinsip mengajar yang perlu diperhatikan oleh seorang guru. Ada dua pendapat tentang prinsip- prinsip mengajar yang akan diuraikan sebagai berikut:
Pedapat yang pertama menyebutkan sepuluh prinsip mengajar, sebagai berikut:
1)Perhatian. Di dalam mengajar guru harus dapat membangkitkan perhatian siswa kepada pelajaran yang diberikan oleh guru.
2)Aktivitas. Dalam proses belajar mengajar, guru perlu menimbulkan aktivitas siswa dalam berfikir maupun berbuat.
3)Appersepsi. Setiap guru dalam mengajar perlu menghubungkan pelajaran yang akan diberikan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa, ataupun pengalamannya.
4)Peragaan. Waktu guru mengajar di depan kelas, harus berusaha menunjukkan benda-benda yang asli. Bila mengalami kesukaran boleh menunjukkan model, gambar, benda tiruan, atau menggunakan media lainnya seperti radio, tape recorder, TV dan lain sebagainya.
5)Repetisi. Bila guru menjelaskan sesuatu unit pelajaran, itu perlu diulang-ulang.
6)Korelasi. Guru dalam mengajar wajib memperrhatikan dan memikirkan hubungan antar setiap mata pelajaran.
7)Konsentrasi. Hubungan antar mata pelajaran dapat diperluas, mungkin dapat dipusatkan kepada salah satu pusat minat, sehingga siswa memperoleh pengetahuan secara luas dan mendalam.
8)Sosialisasi. Dalam perkembangannya siswa perlu bergaul dengan teman lainnya.
9)Individualisasi. Guru harus menyelidiki dan mendalami perbedaan siswa (secara individual), agar dapat melayani pendidikan yang sesuai dengan perbedaannya itu.
10)Evaluasi. Guru harus memiliki pengertian evaluasi, mendalami tujuan dan kegunaan evaluasi, mengenal fungsi evaluasi dan macam-macam bentuk dan prosedur penilaian.

Pendapat yang kedua dikemukakan oleh Mursel, bahwa terdapat enam prinsip mengajar yang perlu diperhatikan oleh seorang guru, sebagai berikut:
1)Konteks. Dalam belajar sebagian besar tergantung pada konteks belajar itu sendiri. Situasi problematik yang mencakup tugas untuk belajar hendaknya dinyatakan dalam kerangka konteks, yang dianggap penting dan memaksa bagi pelajar dan yang melibatkan dia menjadi peserta yang aktif, justru karena tujuannya sendiri.
2)Fokus. Dalam proses belajar perlu diorganisasikan bahan yang penting artinya belajar yang penuh makna dan efektif harus diorganisasikan di suatu fokus .
3)Sosialisasi. Dalam proses belajar siswa melatih bekerja sama dalam kelompok berdiskusi.
4)Individualisasi. Dalam mengorganisasi belajar mengajar, guru memperhatikan taraf kesanggupan siswa dan merangsangnya untuk menentukan bagi dirinya sendiri apa yang dapat dilakukan sebaik-baiknya.
5)Sequence. Belajar sebagai gejala tersendiri dan hendaknya diorganisasikannya dengan tepat berdasarkan prinsip konteks, fokalisasi, sosialisasi dan individualisasi.
6)Evaluasi. Dilaksanakan untuk meneliti hasil dan proses belajar siswa untuk mengetahui kesulitan-kesulitan yang mlekat pada proses belajar itu.

Dari dua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa guru dalam melaksanakan tugas mengajar perlu memperhatikan prinsip yang berkaitan dengan pengembangan individu dan sosial siswa, mengorganisasi dan menciptakan situasi pembelajaran yang menarik perhatian siswa, sesuai dengan konteks, dan terdapat korelasi antar mata pelajaran, serta memperhatikan teknik pembelajaran dengan melakukan proses repetisi (pengulangan) dan memusatkan perhatian siswa (fokus) pada satu materi atau pusat minat.

2.Pengorganisasian situasi pembelajaran
Pembelajaran merupakan kegiatan yang di dalamnya terjadi proses belajar dan mengajar yang melibatkan guru, siswa, dan sumber belajar lainnya. Menurut Sudarsono Sudirdjo dan Eveline Siregar dalam tulisannya yang berjudul “Media Belajar Sebagai Pilihan dalam Strategi Pembelajaran” (Dewi Salma Prawiradilaga dan Eveline Siregar, 2007: 4) bahwa pembelajaran adalah upaya menciptakan kondisi dengan sengaja agar tujuan pembelajaran dapat dipermudah (facilated) pencapaiannya.
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa salah satu tugas guru dalam proses pembelajaran adalah mengorganisasikan situasi pembelajaran. Hal ini juga dikemukakan Hamzah B. Uno dalam Martinis Yamin dan Maisah (2009: 135) bahwa salah satu dari tiga strategi yang perlu diperhatikan oleh guru dalam pembelajaran adalah pengorganisasian pembelajaran. Untuk itulah guru dapat disebut sebagai organisator pembelajaran.
Berkaitan dengan tugas guru sebagai organisator situasi pembelajaran, Slameto (2003: 74-76) mengemukakan bahwa dalam pembelajaran, ada dua kondisi (situasi) yang perlu diperhatikan oleh seorang guru, yaitu:
a.Kondisi internal, yaitu kondisi (situasi) yang ada di dalam diri siswa itu sendiri, misalnya kesehatannya, kemanannya, ketentramannya, dan sebagainya. Menurut Maslow, ada tujuh (7) kebutuhan primer manusia yang harus dipenuhi, yaitu; 1) kebutuhan fisiologis, 2) kebutuhan akan keamanan, 3) kebutuhan akan kebersamaan dan cinta, 4) kebutuhan akan status, 5) kebutuhan self-actualisation, 6) kebutuhan untuk mengetahui dan mengerti, 7) kebutuhan estetik (kebutuhan akan keteraturan, keseimbangan, dan kelengkapan dari suatu tindakan).
b.Kondisi eksternal, yaitu kondisi (situasi) yang ada di luar diri pribadi manusia, umpamanya kebersihan rumah, penerangan, serta keadaan lingkungan fisik yang lain.

Kedua kondisi (situasi) inilah yang harus diperhatikan dan diorganisasikan guru dalam proses pembelajaran, agar pembelajaran menjadi bermakna, memberikan pengalaman belajar bagi siswa dengan suasana pembelajaran yang menyenangkan serta sesuai dengan kebutuhan dan motivasi siswa.
Proses pengorganisasian situasi pembelajaran tidak terlepas dari tugas guru dalam menciptakan situasi kelas untuk belajar dan membimbing siswa untuk saling belajar membelajarkan serta membawa dampak lahirnya masukan bagi guru. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan pengelolaan kelas yang baik, karena di kelaslah akan terjadi proses organisasi pembelajaran.
Pupuh Fathurrahman dan M. Sobry Sutikno (2007: 105) mengemukakan bahwa pengelolaan kelas merupakan suatu kegiatan yang mewujudkan sistem perencanaan pengajaran dalam setting pembelajaran nyata, dengan evaluasi yang terkontrol secara sistematik dan memberi timbal balik secara langsung. Menurutnya cirri-ciri pengelolaan kelas yakni terjadinya intensitas interaksi antara guru-murid, murid-guru, murid-murid, murid dengan dirinya sendiri, guru dengan jati diri profesinya dan murid-guru dengan komponen belajar lainnya.
Melalui proses pengelolaan kelas, maka akan tercipta kelas dengan karakter sebagai berikut:
a.Speed, artinya anak dapat belajar dalam percepatan proses dan progress, sehingga membutuhkan waktu yang relative singkat.
b.Simple, artinya organisasi kelas dan materi menjadi sederhana, mudah dicerna dan situasi kelas kondusif
c.Self-confidence, artinya anak dapat belajar dengan penuh rasa percaya diri atau menganggap dirinya mampu mengikuti pelajaran dan belajar berprestasi.

Bobbi dePorter dkk. (Pupuh Fathurrahman dan M. Sobry Sutikno, 2007: 106-107) menawarkan beberapa modalitas dalam resep pengelolaan pembelajaran pembelajaran, antara lain:
a.Dari dunia mereka ke dunia kita
Prinsip menjembatani jurang antara siswa dan guru akan memudahkan guru membangun jalinan komunikasi yang baik, menyelesaikan bahan pelajaran lebih cepat, membuat hasil belajar lebih melekat dan memastikan terjadinya pengalihan pengetahuan.
b.Cermati Modalitas V-A-K
Visual modalitas mengakses cara visual yang diciptakan maupun diingatkan. CD Auditorial mengakses segala jenis bunyi dan kata yang diciptakan dan diingatkan. Dan Kinestetik mengakses segala jenis gerak dan emosi yang diciptakan dan diingatkan.
c.Model kesuksesan dari sudut pandang perancang
Guru selalu mengolah secara cermat rencana pengajaran untuk mempersiapkan siswa belajar dengan penuh kehangatan dan antusias.
d.Pertemukan kecerdasan berganda
Prestasi belajar merupakan harmoni dari berbagai kecerdasan, bukan satu kecerdasan, misalnya kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan kreativitas (CQ), dan kecerdasan spiritual (SQ).
e.Penggunaan metafora, perumpamaan, dan sugesti
Metafora dapat menghidupkan konsep-konsep yang dapat terlupakan dan memunculkannya ke dalam otak secara mudah dan cepat dengan asosiasi. Sugesti memberi bayangan yang mudah diingat.

Sementara itu, keterampilan mengelola kelas sangat berkaitan dengan usaha guru untuk mempertahankan kondisi kelas dan mengembangkan iklim kelas. Thomas Gordon (Pupuh Fathurrahman dan M. Sobry Sutikno, 2007: 106-107) memberikan resep mempertahankan kondisi kelas yang baik, yakni; 1) Keterbukaan dan transparan, sehingga memungkinkan terjadinya keterusterangan dan kejujuran siswa dalam pembelajaran; 2) Penuh perhatian, sehingga setiap pihak mengetahui bahwa dirinya dihargai oleh pihak lain; 3) Saling ketergantungan; 4) Keterpisahan, untuk membuka kemungkinan tumbuhnya keunikan, kreativitas dan individualitas masing-masing; 5) Pemenuhan kebutuhan bersama sehingga tidak ada pihak yang merasa dikorbankan untuk memenuhi kepentingan pihak lain.
Jadi pada dasarnya, pengelolaan kelas merupakan upaya penciptaan situasi dan kondisi kelas yang memungkinkan terjadinya proses pembelajaran yang optimal, sehingga mencapai tujuan pembelajaran yang efektif dan efesien.

3.Penataan ruang kelas untuk penciptaan situasi pembelajaran yang kondusif dan menyenangkan
Lingkungan belajar yang kondusif dan menyenangkan akan mendukung keberhasilan proses pembelajaran. Menurut Dhority yang dikutip oleh Bobbi dePorter dkk. (Pupuh Fathurrahman dan M. Sobry Sutikno, 2007: 109) melalui hasil penelitiannya menyebutkan bahwa lingkungan yang ditata secara bagus untuk mendukung belajar harus dilakukan. Ia berkata “Belajar itu segar, hidup penuh semangat atau datang dan jelajahi”.
Hal-hal penting untuk diperhatikan dalam penataan ruang kelas antara lain:
a.Bangku dan meja belajar
b.Pas bunga
c.Hiasan dinding (gambar, jam dinding, mading kelas)
d.Musik
e.Rak buku
Selain dari lingkungan kelas di atas, pengelolaan pembelajaran juga mencakup pengelolaan lingkungan belajar (latar) di luar kelas, seperti pemanfaatan halaman sekolah, kantin sekolah, taman, mushallah/masjid sekolah, dan sebagainya, kemudian pemanfaatan lingkungan masyarakat sebagai sumber belajar, misalnya kebun binatang dan tempat umum lainnya.

C.Penutup
Keberhasilan proses pembelajaran tergantung pada peran seorang guru dalam menciptakan situasi yang memungkinkan siswa dapat belajar dengan efektif. Situasi pembelajaran dapat diorganisasikan dengan memahami dan menerapkan teori-teori belajar dan mengajar, serta memahami konsep dan teknik mengelola kelas yang kondusif dan menyenangkan.


DAFTAR PUSTAKA

Fathurrahman, Pupuh dan Sobry Sutikno. 2007. Strategi Belajar Mengajar; Melalui Penanaman Konsep Umum dan Konsep Islami. Bandung: PT. Refika Aditama

Mursell, J. dan S. Nasution. 2006. Mengajar dengan Sukses (Successful Teaching). Jakarta: Bumi Aksara

Prawiradilaga, Dewi Salma dan Eveline Siregar. 2007. Mozaik Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana

Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT. Rineka Cipta

Yamin, Martinis dan Maisah. 2009. Manajemen Pembelajaran Kelas; Strategi Meningkatkan Mutu Pembelajaran. Jakarta: Gaung Persada

Friday, December 4, 2009

STRATEGI BELAJAR DENGAN ANEKA SUMBER

Oleh:Abdul Wahid, Hajriana, Cici Andri
Pendahuluan
Perkembangan pendidikan dewasa ini telah membawa angin segar bagi para guru, pemerintah telah menetapkan kriteria standar dalam unsur-unsur pendidikan, kebijakan pemerintah tentang sertifikasi dalam rangka pemenuhan standar guru memberikan dampak yang cukup signifikan, guru yang dinyatakan lulus dalam sertifikasi mendapat imbalan sebagai penghargaan atas kompetensinya. Kebijakan pemerintah tentang pendidikan dengan menetapkan 8 kriteria standar pendidikan juga berdampak pada perubahan kurikulum yang terakhir dibuat dengan kebijakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang berisi 2 bagian, bagian satu adalah batang tubuh yang terdiri dari latar belakang, identitas satuan pendidikan, struktur kurikulum dan muatan KTSP, Kalender pendidikan. Sedangkan bagian 2 adalah lampiran yang terdiri dari silabus dan RPP. Perubahan kurikulum ini memberi dampak pada penggunaan sumber belajar
Sumber belajar yang dulunya diseragamkan dengan kebijakan dari pusat saat ini diberikan keleluasaan kepada satuan pendidikan untuk menentukan sendiri yang dirumuskan dari awal waktu penyusunan kurikulum dengan memperhatikan kondisi dan potensi yang dimiliki oleh satuan pendidikan maupun lingkungan sekitar. perubahan tersebut juga diakibatkan karena ada perubahan pandangan tentang pelajar, dari teori botol kosong atau kertas bersih menjadi setiap anak sejak lahir sudah membawa potensi yang berbeda-beda.
Potensi berbeda yang dimiliki oleh anak dengan sistem belajar yang diterapkan di sekolah formal mempengaruhi suasana, proses dan hasil belajar. Bahkan kadang-kadang guru sering mengalami kendala dalam situasi seperti itu.
Untuk meningkatkan gairah siswa dalam belajar, siswa perlu diberi kesempatan untuk mencari data dari berbagai sumber agar dapat belajar dengan sebaik-baiknya. Dengan menggunakan berbagai media pengajaran siswa tidak hanya menggunakan alat pendengaran untuk mendapatkan pelajaran, tetapi dengan melalui pengadaan variasi tampilan dan alat indera lain yang digunakan diharapkan siswa akan semakin terpacu di dalam belajar. Di sinilah pentingnya media dalam pembelajaran.
Untuk menyalurkan pesan dalam proses pembelajaran dengan bantuan media akan mempermudah siswa untuk memahami, mengerti, serta mengingat materi yang disampaikan oleh guru. Namun demikian guru dituntut dapat memiliki, menciptakan, dan menggunakan media sesuai dengan tujuan, jenis materi, dan strategi yang digunakan.
Pengertian Strategi dan Sumber Belajar
1. Pengertian Strategi
Strategi belajar diartikan sebagai tingkah laku dan pemikiran yang dilakukan oleh siswa yang bertujuan untuk mempengaruhi hasil dari sebuah proses (Weinstein & Major 1986:315). Chamot (2004:14) mendefinisikan strategi belajar sebagai pikiran dan tindakan sadar yang dilakukan oleh siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Yang lain mengartikan strategi merupakan pola-pola umum kegiatan anak didik dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah digariskan (Syaiful & Aswan 2006:5)
Pada mulanya strategi belajar berasal dari ilmu pengetahuan kognitif, dengan asumsi dasar bahwa manusia memproses informasi dan belajar termasuk bentuk dari memproses informasi tersebut, strategi ini bisa digunakan dalam belajar dan mengajar apapun. Sehubungan dengan konteks belajar mengajar, Trone (1983) menjelaskan strategi belajar bahasa merupakan usaha untuk meningkatkan kompetensi linguistik dan sosiolinguistik bahasa sasaran.
2. Pengertian Sumber Belajar
Para ahli di bidang pendidikan memaparkan definisi sumber belajar, sebagai berikut:
Dalam pengertian yang sederhana, sumber belajar (learning resources) adalah guru dan bahan-bahan pelajaran/ bahan pengajaran baik buku-buku bacaan atau semacamnya. Namun pengertian sumber belajar sesungguhnya tidak sesempit atau sesederhana itu, bahwa segala daya yang dapat dipergunakan untuk kepentingan proses / aktifitas pengajaran baik secara langsung maupun tidak langsung, di luar diri peserta didik (lingkungan) yang melengkapi diri mereka pada saat pengajaran berlangsung disebut sebagai sumber belajar, jadi pengertian sumber belajar itu sangat luas. (Rohani 2004:161)
Sumber belajar menurut AECT , meliputi semua sumber yang dapat digunakan oleh pelajar baik secara terpisah maupun dalam bentuk gabungan, biasanya dalam situasi informasi, untuk memberikan fasilitas belajar. Sumber itu meliputi pesan, orang, bahan, peralatan, teknik dan tata tempat.
Sumber belajar dibedakan menjadi 2 jenis: a)sumber belajar yang direncanakan, yaitu semua sumber yang secara khusus telah dikembangkan sebagai komponen system instruksional untuk memberikan fasilitas belajar yang terarah dan bersifat formal dan b)sumber belajar karena dimanfaatkan, yaitu sumber-sumber yang tidak secara khusus didisain untuk keperluan pembelajaran namun dapat ditemukan, diaplikasikan dan digunakan untuk keperluan belajar.
Sudjana (1989), menuliskan bahwa pengertian Sumber Belajar bisa diartikan secara sempit dan secara luas. Pengertian secara sempit diarahakan pada bahan-bahan cetak. Sedangkan secara luas tidak lain adalah daya yang bisa dimanfaatkan guna kepentingan proses belajar mengajar, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Menurut Dictionary of Instructional Technology (1986), any resources (people, instructional materials, instructional hardware, etc) which may be used bay a learner to bring about or facilitate learning.
Percival & Ellington (1988) mengatakan bahwa sumber belajar yang dipakai dalam pendidikan atau latihan adalah suatu system yang terdiri dari sekumpulan bahan atau situasi yang diciptakan dengan sengaja dan dibuat agar memungkinkan siswa belajar secara individual. Sumber belajar inilah yang disebut media pendidikan atau media instruksional. Untuk menjamin bahwa sumber belajar adalah sebagai sumber belajar yang cocok, harus memenuhi 3 peryaratan sebagai berikut:
a. harus dapat tersedia dengan cepat
b. harus dapat memungkinkan siswa untuk memacu diri sendiri
c. harus bersifat individual, misalnya harus dapat memenuhi berbagi kebutuhan para siswa dalam belajar mandiri.
Dorrel (1993), learning resources is the phrase that will be used to describe learning materials which includes videos, books, audio cassettes, CBT and IV programs, together with learning packages which combine any of these media. Menurut Seels & Richey (1994), sumber belajar adalah manifestasi fisik dari teknologi – perangkat keras, perangkat lunak dan bahan pembelajaran. Dapat dikategorikan dalam 4 jenis teknologi yaitu teknologi cetak, teknologi audiovisual, teknologi berazaskan komputer, dan teknologi terpadu.
- Teknologi cetak: cara untuk memproduksi atau menyampaikan bahan seperti buku-buku dan bahan-bahan visual yang statis, terutama melalui proses pencetakan mekanis atau fotografis.
- Teknologi Audiovisual : cara memproduksi dan menyampaikan bahan dengan menggunakan peralatan mekanis dan elektronis untuk menyampaikan pesan-pesan audio dan visual
- Teknologi berbasis komputer: cara-cara memproduksi dan menyampaikan bahan dengan menggunakan perangkat yang bersumber pada mikroprosesor.
- Teknologi terpadu: cara untuk memproduksi dan menyampaikan bahan dengan memadukan beberapa jenis media yang dikendalikan komputer

Jenis-Jenis Sumber Belajar
Komponen-komponen sumber belajar yang digunakan di dalam kegiatan belajar mengajar dilihat dari keberadaan sumber belajar yang digunakan dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:
Sumber belajar yang sengaja direncanakan dan sumber belajar yang tidak direncanakan tetapi dapat dimanfaatkan.
1. Sumber belajar yang sengaja direncanakan (by design) yaitu semua sumber yang secara khusus telah dikembangkan sebagai komponen sistem instruksional untuk memberikan fasilitas belajar yang terarah dan bersifat formal.
2. Sumber belajar karena dimanfaatkan (by utilization) atau sumber belajar yang tidak direncanakan yaitu sumber belajar yang tidak secara khusus didesign untuk keperluan pembelajaran namun dapat ditemukan, diaplikasikan dan digunakan untuk keperluan belajar. Sumber belajar yang tidak direncanakan pada dasarnya tidak direncanakan dalam kegiatan pendidikan namun karena keadaan dimungkinkan dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan pendidikan maka keadaan atau situasi tersebut dapat dijadikan sebagai sumber belajar. Contoh Rumah Sakit pada awalnya hanya digunakan untuk kepentingan kesehatan suatu masyarakat, tetapi rumah sakit tersebut dapat digunakan sebagai sumber belajar apabila seseorang sedang membicarakan pokok bahasan tentang kesehatan.
Penggolongan sumber belajar menjadi dua bagian tersebut tidak mutlak. Masing-masing ahli dapat membagi berdasarkan pengetahuannya masing-masing. karyanya “The Definition of Educational Technology (1977) mengklasifikasikan sumber belajar menjadi 6 macam:
- Pesan (Message) ialah informasi yang diteruskan oleh komponen lain dalam bentuk ide atau gagasan, fakta, pengertian dan data.
- Manusia (people) ialah orang yang bertindak sebagai penyimpan informasi sangatlah tepat apabila dikatakan bahwa manusia adalah sumber dari segala sumber belajar.
- Bahan (materials) ialah perangkat lunak yang mengandung pesan disajikan kepada peserta didik dengan menggunakan perantara melalui alat/perangkat keras ataupun oleh dirinya sendiri.
- Peralatan (device) ialah peralatan yang digunakan untuk menyampaikan pesan yang tersimpan dalam bahan (materials).
- Teknik/metode (tecnique) yaitu prosedur atau alur yang dipersiapkan dalam mempergunakan bahan pelajaran, peralatan situasi dan orang untuk menyampaikan pesan. Contoh sumber belajar yang dirancang adalah ceramah, demonstrasi, tanya jawab dan sebagainya.
- Lingkungan (setting) yaitu situasi atau suasana sekitar di mana pesan disampaikan/ditransmisikan baik lingkungan fisik, ruang kelas, gedung sekolah, atau nonofisik.
Menurut Sudjana sumber belajar adalah sebagai berikut:
1. Sumber belajar tercetak, buku, majalah, brosur, koran, poster, denah, ensiklopedi, kamus dan lain-lain.
2. Sumber belajar noncetak, film, slide,video, model, audio, cassete, transparansi, realita obyek.
3. Sumber belajar yang berbentuk fasilitas: perpustakaan, ruangan belajar, lapangan olah raga.
4. Sumber belajar berupa kegiatan: wawancara, kerja kelompok, observasi, simulasi, permainan dan lain-lain.
5. Sumber belajar berupa lingkungan di masyarakat: taman, terminal, pasar, toko, pabrik, musium (Sudjana dan Rivai, (1989)
D. Tahap-Tahap Perkembangan Sumber Belajar
Eric Ashby (1977), seorang pemerhati pendidikan menjelaskan tahap-tahap perkembangan sumber belajar sebagai berikut:
- Sumber belajar pra-guru.
Tahap ini, sumber belajar utama adalah orang dalam lingkungan keluarga atau kelompok. Lahirnya guru sebagai sumber belajar utama. Pada tahap inilah cikal bakal adanya sekolah.
- Sumber belajar bentuk cetak.
Sumber belajar produk teknologi komunikasi. Sumber ini dikenal dengan istilah audio visual aids yaitu sumber belajar dari bahan audio (suara), visual (gambar), atau kombinasi dari keduanya dalam sebuah proses pembelajaran.
E. Hal-Hal yang Harus Diperhatikan ketika Memilih Sumber Belajar
Ada sejumlah pertimbangan yang harus diperhatikan, ketika akan memilih sumber belajar, yaitu:
1. Bersifat ekonomis dan praktis (kesesuaian antara hasil dan biaya).
2. Praktis dan sederhana artinya mudah dalam pengaturannya.
3. Fleksibel dan luwes, maksudnya tidak kaku dalam perencanaan sekaligus pelaksanaannya.
4. Sumber sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dan waktu yang tersedia.
5. Sumber sesuai dengan taraf berpikir dan kemampuan siswa.
6. Guru memiliki kemampuan dan terampil dalam pengelolaannya.
E. Tahap-Tahap Perkembangan Sumber Belajar
Eric Ashby (1977), seorang pemerhati pendidikan menjelaskan tahap-tahap perkembangan sumber belajar sebagai berikut:
1. Sumber belajar pra-guru. Tahap ini, sumber belajar utama adalah orang dalam lingkungan keluarga atau kelompok.
2. Sumber belajar dengan guru sebagai pusat atau sumber belajar.
3. Sumber belajar dengan guru dan media
F. Manfaat Belajar Berbasis Aneka Sumber
Belajar berbasis aneka sumber memberikan berbagai keuntungan antara lain:
Selama pengumpulan informasi terjadi kegiatan berpikir yang kemudian akan menimbulkan pemahaman yang mendalam dalam belajar (McFarlane, 1992)
Mendorong terjadinya pemusatan perhatian terhadap topik sehingga membuat peserta didik menggali lebih banyak informasi dan menghasilkan hasil belajar yang lebih bermutu (Kulthan, 1993)
Meningkatkan ketrampilan berpikir seperti ketrampilan memecahkan Sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi, sumber belajar semakin lama semakin bertambah banyak jenisnya, sehingga memungkinkan orang dapat belajar mandiri secara lebih baik.
Pergeseran dari era industri ke era informasi menuntut perubahan dalam berbagai bidang, termasuk pendidikan. Di era informasi, peserta didik setiap saat dihadapkan pada berbagai informasi dalam jumlah jauh lebih banyak dibandingkan pada masa-masa sebelumnya.
Informasi tersebut disebarkan melalui berbagai media baik cetak maupun elektronik, dari yang berteknologi sederhana sampai yang sudah canggih seperti penggunaan CD-ROM, internet dan sebagainya. Jika peserta didik tidak dipersiapkan untuk dapat memberi makna terhadap informasi, menciptakannya menjadi pengetahuan, menggunakan serta tertinggal. Begitu juga ditempat kerja, Rose & Nicholl (1997) mengemukakan bahwa pengetahuan meningkat dua kali lipat setiap dua atau tiga tahun dalam hampir setiap lapangan pekerjaan. Ini berarti bahwa pengetahuan yang kita miliki juga harus meningkat dua kali lipat setiap dua atau tiga tahun kalau ingin bertahan.
Daftar Pustaka
AECT (1977), Definisi Teknologi Pendidikan, Jakarta:Penerbit CV.Rajawali.
Ahmad Rohani (2004), Pengelolaan Pengajaran Edisi Revisi, Jakarta : PT. Rineka Cipta
Brown, Sally & Brenda Smith (1996), Resource-based Learning,London: Kogan Page Limited.
Dorrell, Julie (1993), Resource Based Learning, London: Mc.Graw-Hill Book Company.
Ellington, Henry & Duncan Harrris (1986), Dictionary of Instructional Technology, London: Kogan Page.
Percival, Fred & Henry Ellington (1988), Teknologi Pendidikan, Jakarta: Penerbit Erlangga
Rose, Collin & Malcolm Nicholl (1997), Accelerated Learning for the 21st Century, London: Judy Piathus.
Seels, Barbara B, & Rita C.Richey (1994), Teknologi Pembelajaran, Definisi dan Kawasannya,Jakarta: Unit Percetakan UNJ.
Syaiful Bahri Djamarah & Aswan Zain (2006), Strategi Belajar Mengajar, Jakarta : PT. Rineka Cipta

Tuesday, October 2, 2007

Orang Dayak dalam Imajinasi Politik Elit

Oleh: Abdullah Naim & Mh. Nurul Huda
Seorang ilmuwan asing pernah bilang bahwa nasib orang Dayak adalah dijajah, bukan memerintah. Itu kata Van Linden, seorang antropolog kolonial kelahiran Belanda.
Catatan serupa juga dibuat oleh Magenda (1991), yang kurang lebih melukiskan betapa orang Dayak selama berabad-abad mengalami marjinalisasi dalam skala yang sangat luas baik oleh kekuatan politik lokal, nasional, maupun kolonial. Citra populernya sebagai kelompok yang “terbelakang”, “primitif” dan “liar” semakin memperparah marjinalisasi politik, ekonomi, dan budaya yang mereka derita.
Barangkali kesan atau nasib semacam itu belakangan ini tak nampak lagi. Di mana-mana, di Kalimantan Timur, dan mungkin di bagian lain pulau Borneo ini, Dayak telah menjadi salah satu ikon utama budaya daerah. Beragam artefak dan penanda kultural Dayak bisa kita saksikan hampir di berbagai tempat mendominasi wajah dunia perkotaan.
Coba cermati berbagai gedung dan bangunan fasilitas publik di kota Samarinda dan Balikpapan, seperti gedung pemerintahan, perguruan tinggi, bangunan pasar, dan bandar udara di sana. Ornamen-ornamen khas Dayak menghiasi hampir semua bangunan. Ukir-ukiran, lukisan dan patung-patung, bahkan rumah jabatan (pendopo) Gubernur Kalimantan Timur menggunakan nama lamin etam sebagai sebutan istimewanya. Selain itu lihat pula di pasar-pasar kota. Mudah sekali ditemukan pernik-pernik, souvenir seperti gantungan kunci, tas, patung dan lainnya yang berornamen Dayak dijual bebas.
Semua gambaran tentang modernitas dan kemajuan itu justeru hadir bersamaan dengan menyoloknya citra etnik Dayak yang tradisional dan dulu dicitrakan primitif itu.
Orang Dayak sudah bangkit. Begitu kesan banyak orang melihat gegap gempitanya representasi identitas Dayak dalam ruang publik itu. Apalagi beragam organisasi yang mengatasnamakan komunitas Dayak juga bermunculan. Kebanyakan para elitnya kalau tidak menduduki jabatan penting di birokrasi, sebagian menempati posisi sentral di partai politik.
Tak bisa dimungkiri semua kenyataan ini memperkuat kesan bahwa ekspresi kultural orang-orang Dayak bukan hanya telah terepresentasikan sepenuhnya dalam ruang publik. Di sisi lain mereka juga seolah memiliki akses kekuasaan yang terbuka atau setidaknya terwakili secara politik.
Dulu adalah peristiwa langka bila orang Dayak yang tinggal di kampung terpencil bisa menghadiri kegiatan partai besar, apalagi mengenal kota Jakarta. Tapi, kini, pengalaman macam itu bukan peristiwa yang mustahil lagi.
Awal September lalu, misalnya, seorang pengurus partai besar di Kaltim membawa serta seorang warga Ritan menuju Jakarta. Si kakek tua, yang masih memelihara daun telinganya yang panjang, diajak mengikuti rakernas partai itu. Di Jakarta, lelaki tua ini menjadi tontonan peserta lainnya dan sibuk melayani ajakan foto bersama. Si politikus partai ini pun tersenyum bangga lantaran dipuji habis karena partainya mampu menembus pelosok-pelosok desa tempat tinggal si kakek tua.
Gebyar budaya Dayak sebagai representasi identitas daerah semacam ini rupanya belakangan juga diramaikan oleh berbagai proyek kebudayaan. Keinginan untuk menggerakkan sektor pariwisata sebagai salah satu ladang penghasil devisa turut mendorong pemerintah untuk melakukan revitalisasi. Ritual-ritual, kesenian dan simbol-simbol budaya Dayak direkonstruksi habis-habisan. Seperti terlihat belakangan ini di mana pemda Kutai Kartanegara merencanakan proyek pembangunan lamin-lamin baru di sejumlah desa berpenghuni komunitas Dayak.
Begitulah. Imajinasi tentang Dayak yang dulu dipandang primitif dan terbelakang itu direkonstruksi kembali. Tidak sekadar lewat himbauan dalam pidato-pidato para pejabat, tapi juga lewat promosi-promosi agen pariwisata.
Siapa diuntungkan?
Kalau dicermati, dinamika semacam ini sebetulnya sudah mulai marak tahun 90-an lalu. Terutama soal upaya pemerintah untuk menggali sumber devisa alternatif di luar migas.
Selain itu, konteks kebutuhan pariwisata internasional yang memburu keotentikan dan keeksotisan budaya “asli” telah mendorong pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk menghidupkan kembali keunikan tradisinya. Dalam konteks inilah kebudayaan Dayak yang barangkali sebagian sudah mulai ditinggalkan lalu direkonstruksi, direvitalisasi.
Lamin-lamin baru dibangun kembali atas fasilitas pemerintah, yang meskipun merujuk pada model lama yang dianggap “asli” namun kini membawa makna dan fungsi-fungsi baru. Demikian pula simbol-simbol budaya Dayak, seperti patung, ukiran, burung Enggang atau tari-tarian yang dulu hanya bisa kita jumpai dalam upacara-upacara ritual, kini ambil bagian dalam proses komodifikasi tersebut.
Belakangan beragam pertanyaan muncul di tengah gegap gempita “perayaan budaya” ini. Kegelisahan justru muncul dari lubuk hati warga komunitas Dayak sendiri yang tetap hidup miskin di kampung-kampung terpencil.
Fakta semacam yang berikut ini tak sedikit dijumpai di kampung-kampung itu di mana warga Dayak mulai mempertanyakan sendiri perubahan-perubahan yang dihadapinya.
Seorang kontraktor pemerintah yang menggarap proyek pembangunan lamin di Desa Sungai Bawang, Kukar, menuai protes keras dari warga lantaran tak sesuai dengan fungsi tradisionalnya. “Lamin yang dibangun itu tidak sesuai, masak dibangun seperti stadion.,” protes Mama Mona salah seorang penduduk Sungai Bawang. Apa yang dinyatakan sebagai “ketaksesuaian” itu sudah jelas tidak hanya berkenaan dengan bangunan lamin yang menurut warga Dayak sangat asing. Tetapi lebih dari itu karena dianggap tak sesuai dengan nilai dan fungsi rumah panjang itu bagi kehidupan warga Dayak.
Dengan lamin model baru itu dipastikan fungsi sosial dan budaya komunitas Dayak itu akan tergusur. Apalagi terdengar sebelumnya bahwa lamin baru itu nantinya hanya akan difungsikan sebagai tempat pertemuan adat, gelar tari-tarian, atau objek wisata belaka.
Respon ini mau tak mau mendorong komunitas Dayak untuk mempertanyakan kembali seberapa besar keuntungan diperoleh dari kecenderungan-kecenderungan baru ini.
Tak sedikit orang Dayak mengeluh terkait gambaran-gambaran negatif yang direproduksi seputar dirinya di dalam poster-poster pariwisata. Banyak pula yang kecewa lantaran mereka tidak banyak mengunduh untung dari artefak, ornamen dan simbol-simbol ke-Dayak-an yang kini dikonsumsi luas oleh orang-orang kota.
“Banyak patung burung Enggang dipasang di dinding dan puncak-puncak gedung pemerintahan. Tetapi tetap saja kami susah dan tidak berkesempatan hidup sejahtera,” ujar Albert, seorang warga Ritan, kecamatan Tabang, Kukar.
Kenyataan yang sama juga nyaris terlihat di pasar-pasar dan toko souvenir. Hampir semua penjual pernik-pernik dan hiasan khas Dayak ini didominasi oleh orang Bugis dan Banjar. Hanya sebagian kecil saja orang Dayak yang menjajakan dan menikmati buah warisan tradisi budayanya itu.
Dilema-dilema macam inilah yang hampir pasti dirasakan oleh sebagian besar orang Dayak. Di satu sisi eksistensi diri dan ekspresi budaya mereka seolah diapresiasi secara luas oleh publik. Namun, di sisi lain, mereka justru menghadapi problem lama yang seolah tak pernah terselesaikan.
Mama Wek dan Yurni, misalnya, mengaku revitalisasi itu tak begitu bermakna bagi hidupnya. Bagi perempuan warga Lung Anai ini, pembangunan desa budaya, lamin, dan revitalisasi seni tradisi Dayak hanyalah pengakuan artifisial terhadap tradisi budaya orang-orang Dayak. Karena yang penting bagi dirinya adalah bagaimana mereka bisa hidup tenang, nyaman dan aman di tanah tempat tinggalnya.
“Kalau mereka mengakui tradisi kami, seharusnya mereka juga mengakui hak atas tanah-tanah kami,” tandas Yurni. Ya, memang menjadi sebuah ironi, bila imajinasi politik warga Dayak justeru berjarak lebar dengan imajinasi para elitnya.[]

POLITIK PENCITRAAN

Dayak, Daya, Daya’, atau Dyak, seperti disebut literatur terbaru, adalah nama-nama antropologis. Dan orang-orang Kayan, Kenyah, Bahau, Tunjung, Benuaq, Bentian, Iban, Klemantan, Ngaju, Maanyan, Lawangan, Murut, Punan, dan seterusnya hanya menerima secara pasif. Victor King (1993) menyebut beberapa kemungkinan asal kata Dayak, bisa dari kata daya (bahasa Kenyah) berarti hulu atau pedalaman, dari kata aja (bahasa Melayu) yang bermakna pribumi, atau dari istilah dalam bahasa Jawa (Tengah) yang berarti tindakan yang tidak sesuai.
Tidak hanya itu. Para antropolog Barat abad ke-19, kolonial, para penginjil, para da’i, dan birokrat hingga kaum terpelajar Indonesia pascakemerdekaan mengonstruksi bahwa Dayak pemburu kepala, pembuat rajah, perampok, penghuni rumah-rumah panjang, masyarakat terasing, tak beragama, dan perambah hutan. Saunders (1993) menegaskan bahwa karya Bock, The Head-hunters of Borneo (terbit 1881 di Inggris) berpengaruh besar terbangunnya citra Dayak seperti itu. Demikian pula bermacam gambar rekaan dari pariwisata yang bisa segera membangun image dan memancing perhatian atau menghadirkan sesuatu yang sebenarnya tidak ada (absent) dalam kenyataan. Persis seperti konstruksi yang dibangun berbagai program pembangunan seperti proyek pemukiman (resetlement) dan kebijakan penambahan departemen perambah hutan dan suatu kabinet di masa Orde Baru.
Selain King dan Saunders, McKinley (1976), Freeman (1979), Coomans (1987), dan Hoffman (1986), dan sejumlah intelektual-aktivis dari Kalimantan sendiri yang sejak lima belas tahun terakhir tumbuh subur di seluruh Kalimantan mengajukan kritik keras terhadap pencitraan tersebut. Citra tentang Dayak yang dibangun atas dasar politik dan kebudayaan si pemandang dan bukan dari sudut pandang orang-orang Dayak sendiri itu dinilai tidak adil, tidak manusiawi, menyesatkan, dan sangat kolonial.
Dayak juga disebut berasal dari Cina. Seluruh dokumen tentang asal mula Dayak selalu menyebut bahwa mereka adalah imigran bergelombang dari Yunnan, daratan Cina Selatan yang menyusur melalui Indo-Cina dan Malaysia hingga berakhir di Kalimantan. Coomans memperkirakan bahwa Dayak yang kini bermukim di Kalimantan Selatan dan tengah menyusur pengembaraannya melalui Sumatera dan Jawa, sementara mereka yang sekarang berdomisili di Kalimantan Barat dan Timur melalui Filipina. Sebuah Mal di Samarinda memajang replika perahu bermotif Cina yang diklaim sebagai “perahu pertama” rombongan Cina pertama yang memasuki Kalimantan.
Bisa jadi asumsi-asumsi historis itu benar. Pembakuan “sejarah asal usul dari Cina” itu sendiri menciptakan citra yang tak menguntungkan bagi masyarakat Dayak. Citra itu menjadikan Dayak sangat rentan dalam konteks sosial-politik Indonesia yang mempersoalkan “pri-nonpri”, WNI-WNA, “peranakan”, “minoritas-mayoritas”, dan problem rasial lain. Sebuah kelompok atau komunitas tertentu, dengan sangat gampang disudutkan hanya karena ia bukan pribumi, bukan WNI, Cina peranakan, dan bukan termasuk mayoritas.
Citra memang bukan yang sesungguhnya, karena ia lebih merupakan proyek politik mereka yang memandang. Tetapi, citra itu pula yang menentukan nasib bangsa Dayak kemarin, hari ini, dan esok hari. Tak mungkinkah kita memberikan ruang bebas sehingga orang Dayak dapat mencitrakan, merumuskan, dan mendefinisikan diri? Hanya arogansi politik dan intelektual yang tidak dapat menyediakan ruang bebas itu.