Mencari makalah yang lain :

Google
 

Tuesday, October 2, 2007

Orang Dayak dalam Imajinasi Politik Elit

Oleh: Abdullah Naim & Mh. Nurul Huda
Seorang ilmuwan asing pernah bilang bahwa nasib orang Dayak adalah dijajah, bukan memerintah. Itu kata Van Linden, seorang antropolog kolonial kelahiran Belanda.
Catatan serupa juga dibuat oleh Magenda (1991), yang kurang lebih melukiskan betapa orang Dayak selama berabad-abad mengalami marjinalisasi dalam skala yang sangat luas baik oleh kekuatan politik lokal, nasional, maupun kolonial. Citra populernya sebagai kelompok yang “terbelakang”, “primitif” dan “liar” semakin memperparah marjinalisasi politik, ekonomi, dan budaya yang mereka derita.
Barangkali kesan atau nasib semacam itu belakangan ini tak nampak lagi. Di mana-mana, di Kalimantan Timur, dan mungkin di bagian lain pulau Borneo ini, Dayak telah menjadi salah satu ikon utama budaya daerah. Beragam artefak dan penanda kultural Dayak bisa kita saksikan hampir di berbagai tempat mendominasi wajah dunia perkotaan.
Coba cermati berbagai gedung dan bangunan fasilitas publik di kota Samarinda dan Balikpapan, seperti gedung pemerintahan, perguruan tinggi, bangunan pasar, dan bandar udara di sana. Ornamen-ornamen khas Dayak menghiasi hampir semua bangunan. Ukir-ukiran, lukisan dan patung-patung, bahkan rumah jabatan (pendopo) Gubernur Kalimantan Timur menggunakan nama lamin etam sebagai sebutan istimewanya. Selain itu lihat pula di pasar-pasar kota. Mudah sekali ditemukan pernik-pernik, souvenir seperti gantungan kunci, tas, patung dan lainnya yang berornamen Dayak dijual bebas.
Semua gambaran tentang modernitas dan kemajuan itu justeru hadir bersamaan dengan menyoloknya citra etnik Dayak yang tradisional dan dulu dicitrakan primitif itu.
Orang Dayak sudah bangkit. Begitu kesan banyak orang melihat gegap gempitanya representasi identitas Dayak dalam ruang publik itu. Apalagi beragam organisasi yang mengatasnamakan komunitas Dayak juga bermunculan. Kebanyakan para elitnya kalau tidak menduduki jabatan penting di birokrasi, sebagian menempati posisi sentral di partai politik.
Tak bisa dimungkiri semua kenyataan ini memperkuat kesan bahwa ekspresi kultural orang-orang Dayak bukan hanya telah terepresentasikan sepenuhnya dalam ruang publik. Di sisi lain mereka juga seolah memiliki akses kekuasaan yang terbuka atau setidaknya terwakili secara politik.
Dulu adalah peristiwa langka bila orang Dayak yang tinggal di kampung terpencil bisa menghadiri kegiatan partai besar, apalagi mengenal kota Jakarta. Tapi, kini, pengalaman macam itu bukan peristiwa yang mustahil lagi.
Awal September lalu, misalnya, seorang pengurus partai besar di Kaltim membawa serta seorang warga Ritan menuju Jakarta. Si kakek tua, yang masih memelihara daun telinganya yang panjang, diajak mengikuti rakernas partai itu. Di Jakarta, lelaki tua ini menjadi tontonan peserta lainnya dan sibuk melayani ajakan foto bersama. Si politikus partai ini pun tersenyum bangga lantaran dipuji habis karena partainya mampu menembus pelosok-pelosok desa tempat tinggal si kakek tua.
Gebyar budaya Dayak sebagai representasi identitas daerah semacam ini rupanya belakangan juga diramaikan oleh berbagai proyek kebudayaan. Keinginan untuk menggerakkan sektor pariwisata sebagai salah satu ladang penghasil devisa turut mendorong pemerintah untuk melakukan revitalisasi. Ritual-ritual, kesenian dan simbol-simbol budaya Dayak direkonstruksi habis-habisan. Seperti terlihat belakangan ini di mana pemda Kutai Kartanegara merencanakan proyek pembangunan lamin-lamin baru di sejumlah desa berpenghuni komunitas Dayak.
Begitulah. Imajinasi tentang Dayak yang dulu dipandang primitif dan terbelakang itu direkonstruksi kembali. Tidak sekadar lewat himbauan dalam pidato-pidato para pejabat, tapi juga lewat promosi-promosi agen pariwisata.
Siapa diuntungkan?
Kalau dicermati, dinamika semacam ini sebetulnya sudah mulai marak tahun 90-an lalu. Terutama soal upaya pemerintah untuk menggali sumber devisa alternatif di luar migas.
Selain itu, konteks kebutuhan pariwisata internasional yang memburu keotentikan dan keeksotisan budaya “asli” telah mendorong pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk menghidupkan kembali keunikan tradisinya. Dalam konteks inilah kebudayaan Dayak yang barangkali sebagian sudah mulai ditinggalkan lalu direkonstruksi, direvitalisasi.
Lamin-lamin baru dibangun kembali atas fasilitas pemerintah, yang meskipun merujuk pada model lama yang dianggap “asli” namun kini membawa makna dan fungsi-fungsi baru. Demikian pula simbol-simbol budaya Dayak, seperti patung, ukiran, burung Enggang atau tari-tarian yang dulu hanya bisa kita jumpai dalam upacara-upacara ritual, kini ambil bagian dalam proses komodifikasi tersebut.
Belakangan beragam pertanyaan muncul di tengah gegap gempita “perayaan budaya” ini. Kegelisahan justru muncul dari lubuk hati warga komunitas Dayak sendiri yang tetap hidup miskin di kampung-kampung terpencil.
Fakta semacam yang berikut ini tak sedikit dijumpai di kampung-kampung itu di mana warga Dayak mulai mempertanyakan sendiri perubahan-perubahan yang dihadapinya.
Seorang kontraktor pemerintah yang menggarap proyek pembangunan lamin di Desa Sungai Bawang, Kukar, menuai protes keras dari warga lantaran tak sesuai dengan fungsi tradisionalnya. “Lamin yang dibangun itu tidak sesuai, masak dibangun seperti stadion.,” protes Mama Mona salah seorang penduduk Sungai Bawang. Apa yang dinyatakan sebagai “ketaksesuaian” itu sudah jelas tidak hanya berkenaan dengan bangunan lamin yang menurut warga Dayak sangat asing. Tetapi lebih dari itu karena dianggap tak sesuai dengan nilai dan fungsi rumah panjang itu bagi kehidupan warga Dayak.
Dengan lamin model baru itu dipastikan fungsi sosial dan budaya komunitas Dayak itu akan tergusur. Apalagi terdengar sebelumnya bahwa lamin baru itu nantinya hanya akan difungsikan sebagai tempat pertemuan adat, gelar tari-tarian, atau objek wisata belaka.
Respon ini mau tak mau mendorong komunitas Dayak untuk mempertanyakan kembali seberapa besar keuntungan diperoleh dari kecenderungan-kecenderungan baru ini.
Tak sedikit orang Dayak mengeluh terkait gambaran-gambaran negatif yang direproduksi seputar dirinya di dalam poster-poster pariwisata. Banyak pula yang kecewa lantaran mereka tidak banyak mengunduh untung dari artefak, ornamen dan simbol-simbol ke-Dayak-an yang kini dikonsumsi luas oleh orang-orang kota.
“Banyak patung burung Enggang dipasang di dinding dan puncak-puncak gedung pemerintahan. Tetapi tetap saja kami susah dan tidak berkesempatan hidup sejahtera,” ujar Albert, seorang warga Ritan, kecamatan Tabang, Kukar.
Kenyataan yang sama juga nyaris terlihat di pasar-pasar dan toko souvenir. Hampir semua penjual pernik-pernik dan hiasan khas Dayak ini didominasi oleh orang Bugis dan Banjar. Hanya sebagian kecil saja orang Dayak yang menjajakan dan menikmati buah warisan tradisi budayanya itu.
Dilema-dilema macam inilah yang hampir pasti dirasakan oleh sebagian besar orang Dayak. Di satu sisi eksistensi diri dan ekspresi budaya mereka seolah diapresiasi secara luas oleh publik. Namun, di sisi lain, mereka justru menghadapi problem lama yang seolah tak pernah terselesaikan.
Mama Wek dan Yurni, misalnya, mengaku revitalisasi itu tak begitu bermakna bagi hidupnya. Bagi perempuan warga Lung Anai ini, pembangunan desa budaya, lamin, dan revitalisasi seni tradisi Dayak hanyalah pengakuan artifisial terhadap tradisi budaya orang-orang Dayak. Karena yang penting bagi dirinya adalah bagaimana mereka bisa hidup tenang, nyaman dan aman di tanah tempat tinggalnya.
“Kalau mereka mengakui tradisi kami, seharusnya mereka juga mengakui hak atas tanah-tanah kami,” tandas Yurni. Ya, memang menjadi sebuah ironi, bila imajinasi politik warga Dayak justeru berjarak lebar dengan imajinasi para elitnya.[]

POLITIK PENCITRAAN

Dayak, Daya, Daya’, atau Dyak, seperti disebut literatur terbaru, adalah nama-nama antropologis. Dan orang-orang Kayan, Kenyah, Bahau, Tunjung, Benuaq, Bentian, Iban, Klemantan, Ngaju, Maanyan, Lawangan, Murut, Punan, dan seterusnya hanya menerima secara pasif. Victor King (1993) menyebut beberapa kemungkinan asal kata Dayak, bisa dari kata daya (bahasa Kenyah) berarti hulu atau pedalaman, dari kata aja (bahasa Melayu) yang bermakna pribumi, atau dari istilah dalam bahasa Jawa (Tengah) yang berarti tindakan yang tidak sesuai.
Tidak hanya itu. Para antropolog Barat abad ke-19, kolonial, para penginjil, para da’i, dan birokrat hingga kaum terpelajar Indonesia pascakemerdekaan mengonstruksi bahwa Dayak pemburu kepala, pembuat rajah, perampok, penghuni rumah-rumah panjang, masyarakat terasing, tak beragama, dan perambah hutan. Saunders (1993) menegaskan bahwa karya Bock, The Head-hunters of Borneo (terbit 1881 di Inggris) berpengaruh besar terbangunnya citra Dayak seperti itu. Demikian pula bermacam gambar rekaan dari pariwisata yang bisa segera membangun image dan memancing perhatian atau menghadirkan sesuatu yang sebenarnya tidak ada (absent) dalam kenyataan. Persis seperti konstruksi yang dibangun berbagai program pembangunan seperti proyek pemukiman (resetlement) dan kebijakan penambahan departemen perambah hutan dan suatu kabinet di masa Orde Baru.
Selain King dan Saunders, McKinley (1976), Freeman (1979), Coomans (1987), dan Hoffman (1986), dan sejumlah intelektual-aktivis dari Kalimantan sendiri yang sejak lima belas tahun terakhir tumbuh subur di seluruh Kalimantan mengajukan kritik keras terhadap pencitraan tersebut. Citra tentang Dayak yang dibangun atas dasar politik dan kebudayaan si pemandang dan bukan dari sudut pandang orang-orang Dayak sendiri itu dinilai tidak adil, tidak manusiawi, menyesatkan, dan sangat kolonial.
Dayak juga disebut berasal dari Cina. Seluruh dokumen tentang asal mula Dayak selalu menyebut bahwa mereka adalah imigran bergelombang dari Yunnan, daratan Cina Selatan yang menyusur melalui Indo-Cina dan Malaysia hingga berakhir di Kalimantan. Coomans memperkirakan bahwa Dayak yang kini bermukim di Kalimantan Selatan dan tengah menyusur pengembaraannya melalui Sumatera dan Jawa, sementara mereka yang sekarang berdomisili di Kalimantan Barat dan Timur melalui Filipina. Sebuah Mal di Samarinda memajang replika perahu bermotif Cina yang diklaim sebagai “perahu pertama” rombongan Cina pertama yang memasuki Kalimantan.
Bisa jadi asumsi-asumsi historis itu benar. Pembakuan “sejarah asal usul dari Cina” itu sendiri menciptakan citra yang tak menguntungkan bagi masyarakat Dayak. Citra itu menjadikan Dayak sangat rentan dalam konteks sosial-politik Indonesia yang mempersoalkan “pri-nonpri”, WNI-WNA, “peranakan”, “minoritas-mayoritas”, dan problem rasial lain. Sebuah kelompok atau komunitas tertentu, dengan sangat gampang disudutkan hanya karena ia bukan pribumi, bukan WNI, Cina peranakan, dan bukan termasuk mayoritas.
Citra memang bukan yang sesungguhnya, karena ia lebih merupakan proyek politik mereka yang memandang. Tetapi, citra itu pula yang menentukan nasib bangsa Dayak kemarin, hari ini, dan esok hari. Tak mungkinkah kita memberikan ruang bebas sehingga orang Dayak dapat mencitrakan, merumuskan, dan mendefinisikan diri? Hanya arogansi politik dan intelektual yang tidak dapat menyediakan ruang bebas itu.

Tuesday, September 18, 2007

Sejarah Bisa Berulang

Mungkin sudah tidak diingat, bahkan oleh orang Dayak sendiri, bahwa pada pertengahan 50-an abad ke-20 pernah terjadi hiruk-pikuk politik berkaitan dengan agama dan etnisitas di Kalimantan. Separoh pulau milik Indonesia itu pada 1956 dibagi menjadi 3 propinsi. Kalimantan Barat mencakup batas perairan dari sungai Kapuas dan sungai-sungai lain yang mengalir ke arah barat; Kalimantan Timur mencakup batas perairan dari sungai Mahakam dan seluruh sungai lain yang mengalir ke timur; dan Kalimantan Selatan meliputi batas perairan dari seluruh sungai yang mengalir ke selatan, seperti sungai Barito dan sungai Kahayan. Daerah yang kini disebut Kalimantan Tengah termasuk ke dalam wilayah Kalimantan Selatan.
Bagi propinsi Kalimantan Timur dan Barat perbedaan topografis masih dianggap cocok, namun tidak demikian pada kasus batas perairan dari sungai-sungai yang mengalir ke arah selatan. Kelompok Muslim Banjar, yang secara kuantitatif dan politik superior, mendominasi propinsi Kalimantan Selatan. Masyarakat Dayak di wilayah itu yang merasa terdesak segera melangkahkan berbagai upaya ke pemerintah pusat di Jakarta untuk memperoleh pengakuan Dayak Besar dengan propinsi yang terpisah dari kekuasaan Banjar muslim Kalimantan Selatan. Tetapi seluruh upaya itu menemui kegagalan; pemerintah pusat tak mengabulkan permohonan mereka.
Tak puas dengan itu, sebagian masyarakat Dayak menegaskan perlawanan fisik, sebuah gerakan (disebut pemberontakan) mengikuti garis agama dan etnis berkobar. Kelompok utama Dayak Ngaju pada 1956 mulai menyerang berbagai bangunan pemerintah terutama di Banjarmasin. Tujuan utama gerakan tersebut adalah untuk memperoleh pengakuan terhadap eksistensi Dayak Besar dalam putaran politik pemerintahan dengan mendirikan propinsi otonom terpisah dari Kalimantan Selatan. Sadar bahwa ini persoalannya sudah menyangkut persoalan mengancam persatuan dan kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Presiden Soekarno akhirnya (1957) mengabulkan permohonan Dayak untuk mendirikan propinsi sendiri bernama Kalimantan Tengah (Miles, 1976). Sebuah kebijakan yang sebelumnya diberikan kepada Daerah Istimewa Aceh.
Kenyataan Kalimantan Timur sekarang memang tidak persis sama dengan kenyataan Kalimantan Selatan waktu itu. Dominasi agama tertentu di Kalimantan Timur kini tidak terlihat sebagaimana di Kalimantan Selatan tempo dulu. Akan tetapi membanjirnya migrasi orang-orang Jawa, Bugis, Mandar, Banjar, dan Madura yang memperoleh sambutan dari kalangan muslim Kutai (haloq) tidaklah mustahil jika akan melahirkan dominasi sebagaimana yang terjadi di Kalimantan Selatan tempo dulu. Sebuah dominasi yang melebar dalam berbagai hal dan sektor; sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan.
Laporan-laporan yang disiarkan, hutan dibabat, jalan sungai diubah menjadi darat, industrialisasi yang hanya menimbang skill dan pengetahuan digelar, migrasi berlangsung deras, peng-agama-an meluas, dan orang-orang Dayak terkena re-setlement tanpa ujung. Semua itu menghasilkan orang-orang Dayak semakin tersudut dari “pentas” ekonomi, politik, dan budaya.
Memang benar bahwa banyak dari penduduk Dayak yang beralih profesi (Weinstock dan Sunito, 1989; Eghenter, 1995). Tetapi, akses Dayak terhadap berbagai sumber ekonomi masih sebatas di wilayah pinggir. Perdagangan di kota maupun di desa didominasi oleh para pendatang (Bugis, Banjar, dan Jawa). Begitu pula partai politik, birokrasi, dan kebudayaan, posisi pentingnya didominasi non Dayak.
Tampaknya, kita harus melawan lupa.
Bisri Effendy

Kesadaran Kewargaan Bisa Atasi Konflik Komunal

Oleh : Asman Azis & Mh. Nurul Huda
Menjamurnya berbagai organisasi berbasis etnis di Kaltim belakangan ini dirasakan amat merisaukan. Berbagai kalangan menilai hal ini bukan hanya rawan manipulasi politik, tetapi juga konflik antar komunitas dan lembaga. Kesadaran kewargaan dibutuhkan untuk meminimalisir konflik itu.
Elisason, pria berumur lebih setengah abad itu adalah salah seorang yang risau itu. Ia resah bercampur sedih. Sebagai putra asli Dayak, dirinya bangga kesadaran masyarakatnya mulai bangkit menuntut kembali hak-hak budaya dan ekonominya yang tergusur oleh derap modernisasi. Tapi di sisi lain, orientasi organisasi ini semakin kabur lantaran, katanya, sudah keluar dari rel-rel yang disepakati bersama.
“Banyaknya organisasi itu menunjukkan kami sudah bangkit. Tapi juga bisa jadi petanda kemunduran bila keberadaannya hanya diperalat demi target politik atau ekonomi kelompok elit saja,” ujar tokoh lokal Dayak yang masih memegang jabatan Ketua Persatuan Dayak Kalimantan Timur (PDKT) Ranting Tenggarong Seberang ini. Konflik Dayak-Madura di Kalbar dan Kalteng, serta konflik antara Dayak dan Bugis di Nunukan baru-baru ini memperkuat kekhawatiran itu.
Sebagai fungsionaris organisasi, meski hanya di tingkat ranting, Elisason rasanya bukan asal omong. Setiap tahun organisasi tempat dirinya bernaung itu menggelar kongres. Dan di setiap kongres pula ia menjumpai pengalaman yang dirasakan sebagai kemunduran itu. Persaingan, konflik dan saling sikut yang biasanya terus menguat apalagi bila event pilkada menjelang. Apalagi pada peristiwa yang terakhir ini Elisason tak jarang bersinggungan keras dengan organisasi etnis yang lain.
Ya, memang, tak sedikit organisasi berbasis etnis Dayak di seantero Kalimantan Timur sekarang ini. Bahkan konon hingga ratusan jumlahnya. Selain organisasi-organisasi yang sudah mapan macam PDKT (Persatuan Dayak Kalimantan Timur) yang memiliki kepengurusan dari tingkat propinsi hingga ranting kecamatan, paguyuban-paguyuban berbasis subetnis juga amat berbilang jumlahnya.
Para pengurusnya tak terbatas para sesepuh, tokoh, dan ketua adat di komunitas masing-masing. Organisasi yang memiliki payung hingga tingkat kabupaten atau propinsi bahkan dipimpin oleh pejabat birokrasi atau tokoh partai politik.
Perbedaan kepentingan kerapkali menyulut pertikaian elit yang tajam. Akibatnya bukan hanya mengancam solidaritas komunitas secara keseluruhan, tapi juga tergelincir dalam konflik internal antar komunitas Dayak sendiri.
Kekhawatiran Elisason dan sejumlah tokoh masyarakat di Kaltim belakangan ini sebenarnya bisa ditarik lebih luas.
Gejala menguatnya politik identitas sebagai ekspresi semangat kekuatan lokal yang mulai marak sejak reformasi dan puncaknya sejak diberlakukannya otonomi daerah, telah mengentalkan sentimen komunal yang terkotak-kotak. Karena itu persaingan dan konflik bukan hanya mungkin terjadi dalam internal komunitas, tapi juga melebar ke arah antar kelompok yang berbeda-beda.
Keragaman etnis
Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2000, Kalimantan Timur sebenarnya memperlihatkan wajah yang berwarna-warni. Selain kebudayaan penduduknya yang amat heterogen, wilayah seluas 245.237,80 km2 atau sekitar satu setengah kali Pulau Jawa dan Madura ini juga bersifat multietnik: Dayak dan berbagai variannya, Bugis, Banjar, Mandar, Madura, dan Jawa.
Sebagaimana kota-kota lain yang bersumber daya melimpah, Kaltim layaknya kota kosmopolitan. Migrasi penduduk dari satu daerah ke daerah lain berlangsung cepat dan terbuka. Apalagi dengan pesatnya perkembangan sarana komunikasi dan transportasi, perjumpaan-perjumpaan antar komunitas yang berlatar belakang berbeda sulit dihindari.
Di Kaltim, kelompok-kelompok etnis ini juga membentuk organisasi atau paguyuban-paguyuban.
Orang-orang Sulawesi Selatan, misalnya, membentuk Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS). Begitu pula orang Banjar, mereka berkumpul dalam komunitas Kerukunan Keluarga Bubuhan Banjar (KKBB) Kaltim. Sementara orang Jawa yang merantau dan akhirnya memutuskan menetap dan tinggal di Kalimantan Timur, mereka mendirikan Ikapakarti (Ikatan Paguyuban Keluarga Tanah Jawi) dan mengklaim memayungi 35 jenis paguyuban. Sebagaimana halnya Dayak, organisasi-organisasi ini juga memiliki anggota yang duduk di birokrasi dan partai politik.
Tak ada yang ganjil dengan tumbuhnya berbagai organisasi dan paguyuban berbasis etnis semacam ini. Setiap orang memiliki keterikatan kultural dan mengidentifikasikan dengan identitas kulturalnya.
Hanya saja warna-warni keragaman etnis ini terancam hilang bila politik identitas – yang sejak awal dikonstruksi secara politis dan direpresentasikan melalui paguyuban-paguyuban ini--menegasikan eksistensi komunitas yang berbeda.
Dengan kata lain, paguyuban yang awalnya sebagai wadah silaturahmi dan persaudaraan bersama pada gilirannya dimanfaatkan demi kepentingan politik atau ekonomi kelompok elit tertentu. Kenyataannya konflik-konflik komunal acapkali bersumber dari situasi semacam ini.
“Kalau organisasi etnis ini hanya menjadi kendaraan untuk meraih posisi politik tertentu, maka bukannya menjadi pereda konflik, sebaliknya akan menyulut konflik,“ tandas Abdul Rahman Daeng Sikki, wakil Rata Kiri Kanansekretaris Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan.
Penuturan Daeng Sikki ini memperlihatkan betapa mudahnya konflik komunal tersulut. Sumbernya bisa pertikaian politik, perebutan sumber daya ekonomi atau persaingan elit dalam birokrasi.
Kesadaran Kewargaan
Lantas bagaimana cara menghentikan gesekan antar etnis dan konflik berlatar belakang politik identitas semacam ini?
Muhammad Arifin yang juga Ketua Prodi Sosiologi Universitas Mulawarwan, Samarinda, menegaskan pendekatan keamanan, pengerahan massa dan premanisme bukanlah jalan penyelesaian. Menurut dia, organisasi-organisasai berbasis etnis ini seyogyanya menanamkan kesadaran perbedaan kepada anggota komunitasnya. Tujuannya agar berbagai kelompok budaya dan etnis ini bisa saling memahami dan menghargai satu sama lain.
“Selain berbagai organisasi berbasis etnis ini harus introspeksi, negara juga harus memulihkan kelompok-kelompok marginal seperti etnis Dayak agar memperoleh lagi kesempatan dan hak-hak mereka kembali,” ujarnya.
”Pemberian HPH (Hak Pengelolaan Hutan) dan KP (Kuasa Pertambangan) yang sangat merugikan masyarakat Dayak dilakukan oleh pemerintah, juga kebijakan-kebijakan pemerintah seperti re-setlement penduduk sangat berperan dalam proses-proses marginalisasi tersebut.”
Selain itu, Arifin juga menambahkan agar pemerintah, birokrasi dan wakil rakyat memberi perlindungan dan perlakuan yang sama dan adil bagi semua masyarakat sebagai warga, bukan sebagai penduduk etnis tertentu saja.
Dengan kebijakan semacam ini diharapkan konflik-konflik komunal yang kerapkali dipicu oleh marginalisasi budaya, diskriminasi ekonomi maupun politik, tak akan terulang lagi. []

Kategori

Dulu, pesisir dan pedalaman di Jawa pernah dirumuskan sebagai dua kategori penting yang selalu paradoks atau diperlawankan. Dalam hal politik pemerintahan Mataram, pedalaman sebagai pusat kekuasaan dengan legitimasi penguasa laut selatan, dan pesisir utara sebagai pusat oposisi dan perlawanan. Pangeran Puger di zaman Sultan Agung yang mengungsi ke utara ketika ia mendeklarasikan diri sebagai oposan terhadap Mataram merupakan contoh menarik.

Dari segi kebudayaan, banyak orang menulis bahwa kebudayaan pesisir dan kebudayaan pedalaman di selatan Jawa merupakan dua entitas budaya yang sangat berbeda dan sah untuk dikategori secara terpisah. Bentuk-bentuk kesenian maupun ritual di kedua wilayah itu amatlah tidak sama di mana pesisir lebih melahirkan ekspresi yang terbuka bahkan vulgar, sementara pedalaman lebih merupakan persemayaman simbolisme dan kehalusan. Jaipong pesisir utara (Karawang dan Subang) yang terkenal dengan ‘goyang kerawang’ (erotis) selalu dibedakan dari jaipong pedalaman (Bandung dan sekitarnya) yang ‘estetis’ bahkan keduanya pernah ‘bertabrakan’ dan saling bertentangan. Dalam soal keagamaan pun kedua wilayah geografis tersebut juga menciptakan dua corak yang berbeda; pesisir yang santri dan pedalaman yang sinkretis (kejawen).

Ketegori serupa juga terjadi di Lampung. Penduduk asli daerah itu juga terbelah ke dalam pesisir dan pedalaman. Penduduk pesisir menganggap bahwa Raden Intan, seorang pejuang di zaman Belanda, adalah pahlawan yang hebat, sedangkan penduduk pedalaman menganggapnya sebagai penjahat. Pandangan serupa juga terjadi di Riau dalam memandang pejuang Pangeran Tambusai. Penduduk Riau darat (pulau Sumatera) memandang pangeran itu sebagai pahlawan dan amat getol mengusulkannya menjadi pahlawan nasional, sementara Riau pulau memandangnya sebagai penjahat.

Pemilahan (kategori) di kedua daerah itu ternyata tidak hanya menyangkut soal kebudayaan, melainkan berimbas pada perkara politik. Berulang kali pemilihan gubernur atau pejabat tertentu lainnya kandas hanya karena persoalan dari mana asal calon yang bersangkutan; dugaan paling kuat bahwa hal itu memang yang dikehendaki Jakarta. Oleh sebab itu, dalam rentang waktu panjang (masa orde baru), kepala daerah di kedua wilayah itu selalu dimonopoli Jakarta dan yang menjadi adalah dari Jawa.

Kategori geografis rupanya juga sempat mempengaruhi perkembangan keilmuan sosial terutama antropologi. Hingga tahun 90-an, bahkan sampai kini pun masih terlihat sisa-sisanya, kita ‘tercekoki’ oleh pendekatan (perspektif) geografis yang memandang seolah wilayah geografi masih berpengaruh pada pembentukan corak atau karakter kebudayaan. Sulit mengikuti perspektif ini ketika ternyata perkembangan komunikasi dan transportasi menghasilkan mobilitas sosial dan pengerucutan pada pusat politik, ekonomi, dan kebudayaan yang tunggal. Dan dalam kasus Indonesia pusat itu adalah Jakarta yang bukan pesisir dan bukan pula pedalaman, tetapi metropolitan. Dalam soal agama pun juga sama, menuju ke pusat bernama “bukit puritan”.

Begitu banyak hasil-hasil riset sosial berkesimpulan bahwa kecenderungan kebudayaan (dari gaya hidup sampai ekonomi, politik, dan keberagamaan) paling menonjol penduduk wilayah pedalaman (kota dan desa) metropolis, kapitalistik, dan puritan, hal yang sama juga dapat disaksikan di wilayah pesisir. Otonomi daerah yang antara lain menggemakan lokalitas, ternyata hanya menghasilkan pengkaplingan tahta politik dan tidak membentuk corak subtansi yang beraneka-ragam.

Menegaskan kembali identitas lokal berdasarkan geografi, selain identitas itu sendiri selalu merupakan proyek politik, akan berseberangan dengan kenyataan. Bahkan akan berbahaya ketika penanda yang dipilih adalah sesuatu yang krusial dan ‘rawan konflik’ seperti agama.

Bisri Effendy

Ketika Kategori Kultural Semakin Cair

Belum lama ini sejumlah aktifis dan seniman mendatangi gedung DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara. Dalam hearing bersama wakil rakyat itu, seorang seniman dari LPKK (Lembaga Pembinaan Kebudayaan Kutai) Tenggarong melontarkan usulan yang mengundang tanya. Katanya, bila Kutai Barat dan Kutai Timur telah mengembangkan kesenian (kebudayaan) pedalaman (Dayak), maka Kutai Kartanegara harus mengambil kesenian pesisir, Melayu/Islam, agar memiliki kekhasan dari wilayah kabupaten lainnya.

Entah apa sebenarnya yang ada di benak sang aktifis ini. Mirip keyakinan dan nalar para pengambil kebijakan kita di masa Orde Baru, seolah-olah kebudayaan pesisir dan pedalaman berbeda secara esensial, begitu pula identitas orang-orang di dalamnya selalu tetap dan tak berubah. Padahal kenyataan sosial selalu berkembang dan berjalan dinamis sehingga tak mungkin dikotak-kotakkan dalam kategori tunggal semata.

Produk festival

Pembagian kategoris kesenian pedalaman dan pesisir di Kaltim sebenarnya belum lama terdengar. Istilah ini baru diperkenalkan oleh Dinas Pariwisata Kalimantan Timur dalam acara festival kesenian tahun 2001. Selanjutnya ia dipertegas dalam perhelatan Festival Kemilau Seni Budaya Etam, Desember 2006, yang mem-festival-kan musik pesisir/pedalaman, busana pesisir/pedalaman, dan tari pesisir/pedalaman. Kegiatan ini diprakarsai Dinas Pariwisata dan Taman Budaya Kalimantan Timur dan diikuti oleh 13 kabupaten/kota se-Kaltim.

Namun ada hal menarik dari berbagai festival ini. Kendati tema festival mengusung kesenian pesisir dan pedalaman, berbagai pertunjukan justeru melampaui angan-angan penyelenggaranya. Apa yang dianggap kesenian pedalaman yang khas ternyata memiliki unsur-unsur kesenian pesisir. Demikian pula sebaliknya, jenis musik yang sering dikategorikan khas pesisir justeru menampilkan perpaduan unik antara musik yang dianggap Islami itu dengan musik tradisional masyarakat Dayak.

Darmo, misalnya, mengaku gerakan tarian grupnya biasa dimainkan oleh komunitas adat di hulu sungai Mahakam. Namun demikian tarian yang dimainkannya juga memuat unsur yang dianggap khas pesisir itu. “Lihat saja alat musiknya, selain sampeq kami juga menggunakan tingkilan yang sering dikategorikan alat musik pesisir, bahkan Islam,” papar peserta festival yang dari namanya saja barangkali orang tak menyangka dirinya berasal dari suku Dayak Benuaq, Kutai Barat.

Pengakuan ini juga diamini Indra Bengeh yang menjabat kepala adat Dayak Besar, Kutai Timur. Ia menuturkan tidak semua warga Dayak tinggal di pedalaman, banyak di antara mereka yang tinggal di pesisir yang sebagian menetap di sepanjang pesisir Sangkulirang. Hal ini juga berlaku bagi masyarakat Kutai dan Melayu yang tidak seluruhnya tinggal di pesisir. ”Makanya tidak tepat jika pedalaman itu hanya disebut Dayak dan pesisir itu Kutai dan Melayu,” tandas Indra Bengeh usai menampilkan musik dan tari Dayak Modang dari Kutai Timur itu.

Pandangan kategoris bahwa pedalaman merepresentasikan Kristen sementara pesisir Islam juga dipatahkan oleh masyarakat sendiri. Bagi Darmo, persepsi demikian itu, setidaknya dalam kesenian, sangat menyesatkan dan bisa berakibat serius terhadap hubungan sosial dalam masyarakat. ”Tidak ada hubungan langsung antara tarian baik pedalaman maupun pesisir dengan agama tertentu secara kaku,” demikian tegasnya. Pendapat serupa juga keluar dari mulut seorang seniman teater asal Samarinda, Lita. ”Jika ada orang Dayak masuk Islam biasanya disebut Melayu atau Kutai, padahal itu bisa membuat seseorang kehilangan hak kulturalnya sebagai Dayak,” tandasnya.

Problematis

Ya, bagi Darmo dan juga Lita di atas, identifikasi agama dengan etnisitas atau kategori-kategori tertutup lainnya bukan hanya membingungkan dari segi nalar sehat tapi juga problematis dalam realitas sosial. Berbagai macam ritual yang dijalankan komunitas Dayak Benuaq dan Tunjung di Kaltim, seperti ngugu taun (bersih desa), ritual kewangkey (ritus kematian untuk balas jasa terhadap arwah-arwah leluhur), dan juga ritual belian (upacara penyembuhan khas komunitas Tunjung dan Benuaq), barangkali bisa membuyarkan kotak-kotak kategorial semacam itu. Dalam setiap ritual tersebut, terdapat berbagai tarian yang dimainkan tanpa mengenal batas agama. Bahkan bisa dikatakan, dalam satu ritual ada beragam agama. Di Jahab, Kutai Kartanegara, misalnya, kepala adatnya beragama Katolik, belian-nya Muslim, ada juga yang Kristen, dan lainnya beragama Kaharingan.

Dalam ranah kesenian, gugatan terhadap identifikasi agama dan etnis atau budaya itu kenyataannya jauh lebih kuat dan semarak. Meski dewan juri festival telah mengelompokkan berbagai kesenian dalam kategori pedalaman dan pesisir, kenyataannya banyak grup musik dan tari tradisi yang mengawinkannya dengan gambus yang konon khas pesisir (dan juga Islami) dan sampeq yang pedalaman. Lagu mayanyo dari suku Tidung, misalnya, dimainkan secara apik dan padu dengan iringan musik sampeq, gambus serta tingkilan sekaligus. Demikian pula kelompok musik pedalaman Kutai Barat yang diiringi alat musik tingkilan yang tampil memikat. Realitas ini memperlihatkan betapa identitas, kategori-kategori, dan kebudayaan begitu cair, plural dan amat dinamis.

Begitulah, kenyataan bahwa kesenian dan kebudayaan di Kaltim tumbuh beragam memang harus diterima akibat keragaman sosialnya. Namun, menentukan kategori kebudayaan itu secara tertutup apalagi didorong oleh kepentingan eksternal (politik dan pariwisata) tentu tidaklah tepat. Adalah kekeliruan bila kebudayaan diandaikan seperti pakem yang bisa dikotakkan berdasar batas-batas wilayah geografis, teritorial atau kelompok etnis tertentu. Begitu pula mengandaikan identitas kebudayaan yang selalu tunggal, tanpa menyadari bahwa ia selalu dikonstruksi secara sosial dan politis.

Bukankah cara pandang semacam itu hanya mengkopi angan-angan sentralisme kekuasaan Orde Baru yang mendirikan TMII (Taman Mini Indonesia Indah) sebagai representasi tunggal identitas budaya daerah?.

Monday, July 2, 2007

MEMPERKENALKAN EDWARD SAID PASCA 11 SEPTEMBER

Oleh Ahmad Baso

“I am an Oriental writing back at the Orientalists, who for so long have thrived upon our silence. I am also writing to them, as it were, by dismantling the structure of their discipline, showing its metahistorical, institutional, anti-empirical, and ideological biases.”

--- Edward W. Said, “Beginning: Interview” (1976)

Arus Balik, “Menulis-Balik” , Dekolonisasi: Mengapa Edward Said?

Edward W. Said berawal dari sebuah kerja “menulis-balik”, sebuah dekolonisasi. Dan Said memang dikenal identik dengan gugatan atas segala sesuatu yang dianggap mapan dan lepas dari kritik. Tapi, Said bukan hanya mewakili diri seorang pribadi yang biasa dijargonkan “sok asal berbeda”, seperti kata pepatah Arab “khalif tu’raf”, berbedalah maka kamu akan terkenal. Said justru merepresentasikan semangat zaman yang kini sedang bergerak secara global dalam bahasa “resistensi” atas kapitalisme global. Anti-globalisasi, gerakan lingkungan, gerakan masyarakat adat (indigeneous peoples), gerakan perempuan dunia ketiga, gerakan petani melawan WTO, hingga gerakan anti neo-lib, anti-IMF dan Bank Dunia, adalah di antara sekian resistensi global tersebut. Beberapa bulan sebelum meninggal, Said sempat menyebut identitasnya: “I grew up in a non-Western culture, and, as someone who is amphibious or bicultural, I am especially aware, I think, of perspectives and traditions other than those commonly thought of as uniquely American or “Western”. This perhaps gives me a slightly peculiar angle”.1 (HDC: 1-2).

Ada pengalaman menarik yang harus saya tulis di sini. Salah seorang peneliti bule menganggap bahwa naskah buku saya, Islam Pasca Kolonial (2005), perlu diedit, seperti layaknya seorang profesor yang mengedit naskah mahasiswanya. Soalnya dalam buku itu, seperti dibacanya, terlalu banyak nama Edward Said disebut. Padahal peneliti itu menyenangi buku saya Civil Society versus Masyarakat Madani (1999). Buku itu sangat dipuji dan sering dikutip. Ada kesan saya menyerang Nurcholish Madjid, dan itu kayaknya paling disukai. Namun, ketika dalam buku Islam Pasca Kolonial, saya menyerang (istilah Said, writing back) otoritas keilmuan mereka, dan meragukan superioritas pengetahuan mereka, itu langsung direspon dengan perlunya diedit kata per kata, kalimat per kalimat, seperti halnya seorang profesor mengedit dan mendisiplinkan pikiran mahasiswanya.

Pengalaman ini menarik perhatian saya kepada adanya ketimpangan dalam produksi pengetahuan, seperti halnya yang dialami seorang genius dari Jawa yang pernah diledek oleh C. Snouck Hurgronje “tidak berpengetahuan dan tidak mengerti”, seperti saya ungkap dalam buku saya Islam Pasca Kolonial. Masalahnya, bagaimana jadinya seandainya kalangan pribumi punya pengetahuan tentang etnografi dan menerapkannya ke dalam masyarakat Eropa. Artinya, sebagai kebalikan dari para etnolog Eropa yang datang ke dunia Timur, dan menerapkan teorinya untuk meneliti masyarakat Timur yang dianggap primitif dan tidak beradab. Maka, kesimpulan pengetahuan pribumi ini bisa merontokan supremasi peradaban Barat.

Mengapa peneliti bule ini menyangkal dengan cara “perlu diedit” seperti itu, dan tidak menganggapnya sebagai “pengetahuan tandingan” atau “wacana alternatif” terhadap hegemoni pengetahuan Barat?. Soalnya, baginya, mungkin, konklusi dari buku itu sangat berbahaya bagi misi pemberadaban Barat yang membenarkan kolonialisme atas dunia Timur. Segenap pembenaran dan legitimasi kehadiran Barat mengkolonisasi Timur itu dengan sendirinya akan rontok. Sehingga dilihat mengancam dan berbahaya, serta mengganggu stabilitas hirarkis rasial dan pengetahuan antara penjajah dan yang dijajah, antara Barat yang pintar dan Timur yang bodoh.

Selama ini karya-karya penulis berkulit putih dari Barat sudah menjadi bagian sehari-hari dari para pelajar, mahasiswa, dan para peneliti dalam kerja-kerja. Hampir setiap saat sejumlah peneliti dari negara-negara Barat yang kaya datang ke sini untuk mengenal lebih jauh situasi negeri ini. Namun disayangkan, sejumlah asumsi-asumsi dominan yang mereka gunakan, sadar atau tidak, masih bersifat etnosentris.

Tulisan ini dengan menunjukkan kekuatan kritik Edward Said, bagaimana organisasi keterpelajaran dan akademik menempatkan obyeknya bersama-sama, dengan cara apa dan kemana arah yang mereka bawa, dan bagaimana ouput dari yang mereka hasilkan itu dalam segenap karya dan tulisan mereka.

Di sinilah alasan mengapa Edward Said menjadi penting. Kelebihan Said dari sekian sarjana yang kritis, adalah pada kemampuannya mengkombinasikan kritik sastra dan kritik imperialis dalam konteks studi-studi Islam seperti yang diangkat oleh kalangan Orientalis, dan juga dalam konteks ilmu-ilmu sosial lainnya yang berbicara dan merepresentasikan Dunia Ketiga.

Edward Said, Pengalaman Pribadi

Ketika saya menulis artikel ini, September 2006, genap sudah dua tahun sejak wafatnya Edward Said. Meski tidak pernah bersua, namun ia tetaplah hadir dalam segenap untaian kata dan kalimat yang terjalin dalam buku ini. Kabar meninggalnya Said baru saya terima seminggu kemudian dalam satu perjalanan ke arena muktamar anak muda NU di Situbondo, Jawa Timur, awal Oktober 2003. Pikiran pun berkecamuk: Apa yang akan saya presentasikan dalam forum muktamar pemikiran anak muda itu? Kritik tradisi atau kritik imperialisme? NU sebagai obyek kritik atau subyek kritik? Sebuah proses panjang dari proyek kritik imperial Said kini menghadang saya dalam keragu-raguan di tengah hiruk-pikuk hadirin yang tersengat oleh heroisme-fundamentalis Ulil-Abshar Abdallah yang meluap-luap mengkritik tradisi NU yang dianggap tradisional, konservatif, dan regresif.

Saya berkenalan dengan Said, seperti halnya saya berkenalan dengan Muhammad Abed al-Jabiri – melalui teks. Awalnya adalah terjemahan buku Said Orientalisme yang pada 1991 sudah mengundang perhatian kawan-kawan peminat studi posmodernisme di Jakarta. Adalah Ulil Abshar-Abdallah sendiri yang memperkenalkan buku ini, yang waktu itu sedang didiskusikan di Kajian 164 yang dibentuk oleh anak-anak PMII, dan di Formaci, Ciputat. Maklum, Said mengundag perhatian karena ia memperkenalkan pendekatan Michel Foucault. Foucault sebagai metodologi waktu itu belum diperkenalkan. Munculnya buku Orientalisme yang waktu itu diterjemahkan oleh Penerbit Pustaka Bandung, diharapkan nantinya akan memperkaya kajian ilmu-ilmu sosial. Apalagi dalam studi-studi Islam.

Said pun kemudian menggema di wilayah ini. Tapi sayangnya waktu itu muncul buku Culture and Imeprialism pada 1993, yang mendapat apresiasi besar di kalangan muslim urban di Jakarta. Bahkan mendapat perhatian khusus dalam koran Republika pada tahun 1995, yang waktu itu dimiliki oleh para petinggi ICMI. Sehingga, yang tampak ke permukaan, adalah pembalikan esensialisasi Barat menjadi esensialisasi Islam. Seperti halnya buku Orientalism yang mendapat banyak pujian dan sambutan hangat dari kalangan Islam fundamentalis, yang ternyata dipakai untuk membenarkan politisasi Islam menghadapi segenap yang berbau Barat.

Selain itu, gaung Said juga terdengar dalam kajian sastra. Terutama dalam jurnal Kalam, yang mengangkat tema Sastra dan Pascakolonialisme. Tapi, belakangan komunitas Utan Kayu yang membidani jurnal tersebut sudah tidak tertarik lagi dengan kajian postkolonial, apalagi Said, kecuali hanya sebagai kutipan di sana sini dalam Catatan Pinggir-nya Goenawan Mohamad. Mungkin ini karena bersamaan dengan menguatnya wacana anti-intelektual- fundamrentalis “Islam liberal” yang hanya mencukupkan diri dengan iklan-iklan “setuju kenaikan harga BBM”.

Edward Said sebagai kritikus pengetahuan imperialis akhirnya tidak atau setidaknya kurang mendapatkan perhatian. Memang banyak orang yang merasa tersengat dengan kritikan Said. Terutama orang-orang yang selama ini mengklaim punya hak untuk tahu tentang “Islam” – dengan argumen obyektifitas dan imparsialitas.

Edward Said awalnya dikenal sebagai kritikus sastra, yang terpengaruh oleh tradisi narasi Joseph Conrad. Tapi kemudian mengembangkan dirinya juga sebagai kritik imperial. Pengalaman awal dengan kritik imperial muncul ketika menulis tentang T.E. Lawrence, yang dikenal juga dengan Lawrence of Arabia. Tulisan itu dimuat dalam jurnal Hudson Review, musim dingin 1970-1971. Yang menarik perhatian Said pada diri Lawrence adalah kekuatan tulisannya, terutama yang dimuat dalam Seven Pilards of Wisdom yang menceritakan pengalamannya di kalangan suku-suku Arab di era Perang Dunia I. Lebih dari itu adalah juga keterlibatan Lawrence dalam sekian urusan imperialisme Inggris di Timur Dekat; dan juga deskripsinya setelah kembali ke Inggris yang menulis pengalamannya selama di semenanjung Arabia.2

Dari situ muncul kesimpulan tentang proyek sastra sebagai proyek imperialisme. Dan sejak itu lahirlah ide untuk menulis tentang Orientalisme, sehingga lahirlah Orientalism pada 1978.

Namun, yang mengejutkan, apresiasi awal terhadap Said muncul dari lingkungan studi antropologi. Kita tahu pengetahuan antropolog tentang masyarakat primitif dan yang dikatakan “terasing” kini mulai menuai gugatan. Apa yang dilakukan antropolog dan etnolog terhadap orang-orang yang dianggap primitf dan terasing itu? Dari sini muncul pandangan tentang pengetahuan sebagai “puisi”, sebagai “fiksi”, dan posisi problematik dari sang antropolog. Seperti ditunjukkan dalam bukunya James Clifford dan George Marcus.3

Sementara para sarjana studi Islam, yang lebih banyak berang terhadap Said itu, masih bersikukuh dengan pandangan bahwa mereka punya hak untuk tahu dan bahwa pengetahuan mereka adalah obyektif. Misalnya yang ditulis oleh beberapa sarjana dalam buku Approaches to Islam, yang diedit oleh Richard Martin.

Perbedaan respons antara kalangan studi antropolgi dan studi Islam ini menarik perhatian saya. Pada yang terakhir ini ada anggapan bahwa Islam adalah agama yang tidak berubah, sebagai sebuah doktrin yang tetap hingga akhir zaman. Kebenarannya juga absolut, tak terbantahkan. Sementara pada yang pertama, studi antropolgi hanya menelaah segenap gerak kehidupan manusia, yang dinamis dan berubah-ubah dari zaman ke zaman. Sehingga dikatakan ada perbedaan dan dinamisasi dalam obyek kajian dan posisi peneliti yang berubah-ubah – meski sama-sama berbicara tentang “yang lain” (Other) itu. Juga diproblematisasi soal siapa yang dimaksud “Yang Lain” itu, bagaimana ia ditempatkan sebagai obyek kajian, dan asumsi-asumsi apa saja yang terkait dengan pendekatan terhadap yang lain itu.

Edward Said, Dari Yang Lain (Othered) ke Yang Terasing (Exiled)

Untuk ini saya mengutip sesuatu yang bagus dari Said sendiri:

“Most of my education, and certainly all my basic intellectual formation, are Western; in what I read, in what I write about, even what I do politically, I am profoundly influenced by mainstream Western attitudes ... And yet, because I am an Arab Palestinian, I can also see and feel other things”.4

Edward Said adalah seorang Palestina, dan pejuang gigih hak-hak rakyat Palestina yang independen dan merdeka dari segenap bentuk imperialisme, kolonialisme dan Zionisme. Tulisan-tulisannya banyak mengkritik kebijakan dan pandangan AS tentang Islam, tentang Timur Tengah, dan lebih khusus lagi, tentang Palestina. Diakui, segenap pendidikan Edward Said adalah di Amerika. Dan khazanah keilmuan yang dikuasainya adalah sepenuhnya Barat. Tetapi, seperti diungkap di atas, “because I am an Arab Palestinian, I can also see and feel other things” (Karena saya orang Arab Palestina, maka saya juga bisa melihat dan merasakan sesuatu yang lain).5 Apa artinya ini?

Said adalah pengagum karya-karya besar dalam dunia sastra dan filsafat Barat. Seperti Conrad, Vico, Gramsci, Auerbach, Renan, Adorno, dan Flaubert. Ia puluhan tahun bermukim di AS, dan sudah melahap habis segenap khazanah peradaban dan kebudayaan Amerika. Tapi, yang justru membuat orang-orang Barat jengkel dan gusar kepada Said, adalah karena ia bersuara lain. Ia sendiri menyebut suaranya “polyphonic” – mirip suara musik dan bunyi HP mutakhir.6 Ia belajar Conrad dan Vico, tapi yang muncul adalah suara Palestina. Ia bergumul dengan teori-teori kritik sastra, namun yang keluar dalam tulisan-tulisannya adalah kritik terhadap kolonialisme Eropa dan imperialisme AS.7 Jadi, karena Said menulis lain, sebagai orang Palestina, maka ia pun melihatnya dengan cara lain dan dari sudut pandang yang berbeda pula.

Dengan kata lain, kasus Edward Said ini menunjukkan adanya upaya “changing the subject”, mengubah posisi subyek, juga untuk mengganti pokok dan posisi pembicaraan. Pandangan orang-orang yang diuntungkan oleh imperialisme tentu berbeda dengan pandangan orang-orang yang dirugikan. Bagi yang pertama, imperialisme adalah positif. Sementara bagi yang terakhir tentu negatif, sebagai korban. Zionisme dan imperialisme ingin menunjukkan dirinya seragam, dan menampilkan diri satu warna di hadapan orang-orang yang mengalaminya. Imperialisme misalnya tampil sebagai “misi pemberadaban bangsa-bangsa terbelakang”. Tapi, pengalaman orang-orang Palestina dengan imperialisme dan Zionisme justru berlainan. Tanah dan hak-hak mereka direnggut. Mereka dikorbankan. Orang-orang Palestina melihat dirinya berbeda dalam pengalamannya dengan imperialisme. Dan itulah yang dirasakan oleh Edward Said, dan yang juga dilakukannya dalam studi tentang Orientalisme.

Palestina, Konstruk Orientalisme, dan Sudut Pandang Lain

Indeed, my real argument is that Orientalism is – and does not simply represent – a considerable dimension of modern political-intellectual culture, and as such has less to do with the Orient than it does with “our” world.

-- Edward W. Said, Orientalism, h. 12.

Jelas, Edward Said bergumul dengan soal Palestina. Ada yang menyakitkan: ketika berkunjung kembali ke rumah asalnya di daerah Yerusalem Barat. Yang ternyata sudah dihuni oleh keluarga Kristen militan sayap kanan dan pro Zionis (OP:....). Dan juga ketika Netanyahu membenarkan pendudukan Israel atas wilayah Palestina dengan argumen Orientalisme. Demikian pula laporan-laporan tentang Palestina seperti yang dilakukan Thomas Friedman. Lihat dalam PPC dan PD. Tentang Palestina sebagai tanah kosong, dan penduduk yang terbelakang.

Apa artinya bagi Edward Said bagi posisi dirinya sebagai korban ini? Said mengutip Gramsci: “The Starting point of critical elaboration is the consciousness of what one really is, and is ‘knowing thyself’ as a product of the historical process to date, which has deposited in you an infinity of traces, without leaving an inventory”. Dalam versi Itali, Said menemukan tambahan berikut: “therefore it is imperative at the outset to compile such an inventory”.8

Menurut Said, tugas menghasilkan inventory merupakan yang utama dilakukan ketika “inventory” dari apa yang dialami oleh para korban imperialisme (bukan para penerima manfaat) jarang terekspos ke publik. Tentu pandangan orang-orang yang diuntungkan dengan imperialisme berbeda dengan pandangan orang-orang yang dirugikan. Bagi yang pertama, imperialisme adalah positif. Sementara bagi yang terakhir tentu negatif. Pengalaman orang-orang Palestina dengan Zionisme dan imperialisme membuatnya melihat dari sudut pandang yang berbeda; sementara Zionisme dan imperialisme membuat mereka untuk melihatnya secara seragam. Dengan cara apapun imperialisme ingin menampilkan dirinya secara homogen, dan tunggal. Tapi orang-orang Palestina justru melihatnya secara berbeda. Demikian pula Edward Said. Said mengatakan demikian: “because I am an Arab Palestinian, I can also see and feel other things”.9

Seperti dalam satu tulisannya tentang Zionisme,10 Said sudah memperkenalkan bagaimana cara kerja analisis yang akan ia tawarkan ketika menjadikan imperialisme sebagai obyek kajian. Yang pertama, menurutnya, perlu dianalisis secara genealogis, yakni meneliti asal-usulnya, ikatan kekerabatannya, keturunannya, afiliasinya dengan ide-ide lainnya, dan dengan institusi-institusi politik lainnya. Yang kedua, sebagai sistem praktis untuk sebuah akumulasi (kekuasaan, tanah, legitimasi ideologis), dan displacement (manusia, ide-ide lainnya, legitimasi sebelumnya). Dari sini kemudian berbicara tentang sudut pandang diri sebagai korban.11

Apa arti sudut pandang seorang korban ini? Bagi Said, ini adalah tugas intelektual- politik dan merupakan bagian penting dari perlawanan gobal terhadap imperialisme, teknik-teknik perahasiaan dan dominasi, melawan retorika ahistoris, dan melawan hegemoni liberal (minimal di Amerika Serikat).12

Dalam satu wawancara dengan Diacritics (1976), ia pernah menggambarkan dirinya “I am an Oriental writing back at the Orientalists, who for so long have thrived upon our silence. I am also writing to them, as it were, by dismantling the structure of their discipline, showing its metahistorical, institutional, anti-empirical, and ideological biases.”13

Target pertama Said sebagai “Yang Lain” adalah argumen Orientalis tentang perlunya negara Israel dan tentang “a land without people, for a people without land”. Pandangan-pandangan orang-orang Israel tentang tanah yang dihuni orang-orang Palestina, justru dijustifikasi dalam konstruk Orientalis. Benyamin Netanyahu misalnya, dalam bukunya A Place Among the Nations: Israel and the World (1993), mengutip tulisan-tulisan orang-orang Eropa abad 18 dan 19, seperti Lamartine, Twain, Bovet, bahwa tanah itu kosong dan tak berpenghuni.14

Banyak yang mengatakan bahwa persoalan utama yang diangkat oleh Said dalam Orientalism adalah soal representasi. Yakni sejauhmana representasi orang-orang Barat tentang Timur atau Islam benar dan akurat. Kesimpulan umum yang dibaca orang adalah bahwa Orientalisme keliru, pengetahuan mereka distortif, dan mereka tidak berhak berbicara atau merepresentasikan Timur atau Islam.

Sebetulnya, Edward Said mengawali bukunya dengan mengungkap pengalaman seorang wartawan asal Perancis yang meliput perang saudara di Libanon 1975-1976. “Daerah ini dulunya merupakan Timur-nya Chateaubriand dan Nerval,” demikian ia menulis dengan penuh penyesalan menyaksikan kawasan pusat kota Beirut yang porak-poranda.

Apa yang ditulis ini adalah sebuah representasi. Wartawan benar tentang tempat itu. Tetapi tempat itu bukan sesuatu yang sifatnya fisik belaka. Ada memori, ada sesuatu yang eksotik dan romantis yang hilang dalam bayangan wartawan ini tentang Timur, yang khas Oriental. Timur ini yang membuatkan bernilai, yang membuatnya eksotik, dan bernilai historis. Ini seperti pengalaman orang Belanda tentang Indonesia yang menyebutnya “sangat Indisch” itu.

Tidak penting dalam soal ini bagaimana nasib dan kehidupan orang-orang Timur, sesuatu yang pernah dialami oleh mereka yang sezaman dengan Chateaubriand dan Nerval, penulis besar Perancis ini, dan kini mereka menderita di masa perang saudara sebagaimana yang disaksikan oleh wartawan ini. Yang penting di sini sebetulnya bagi pelancong atau orang-orang Eropa yang datang ke sana adalah soal representasi orang-orang Eropa atas dunia Timur dan nasibnya kini. Kedua soal ini, yang memiliki signifikasi komunal, yang menarik perhatian wartawan ini dan para pembacanya di Perancis.15

Ada beberapa pengertian Orientalisme seperti yang diperkenalkan oleh Edward Said. Namun bagi Said semuanya saling melengkapi. Pengertian pertama merujuk ke pengertian akademis, yakni segenap perbincangan dan kajian tentang hal-hal yang berkaitan dengan dunia Timur; kedua, lebih imaginatif, yakni hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan para penulis, novelis, filsuf, sastrawan, penyair. Yang menerima perbedaan mendasar antara Timur dan Barat sebagai titik awal mereka membangun atau menyusun teori, epik, novel, deskripsi sosial, atau laporan-laporan politik berkenaan dengan dunia Timur, adat-istiadatnya, akalnya, nasibnya, dst. Pengertian ketiga, yang lebih dipakai oleh Edward Said. Karena lebih historis dan materil. Yakni berawal dari akhir abad 18, di mana Orientalisme didefinisikan sebagai sebuah kelembagaan yang berurusan dengan Timur: memberi pernyataan atasnya, mengabsahkan pandangan-pandangan tentang dirinya, melukiskannya, mengajarkannya, mengaturnya, serta menguasainya (making statements about it, authorizing views of it, describing it, by teaching it, setting it, ruling over it).

Dari sini, yang lebih kontroversial dari Edward Said, pandangan bahwa Orientalisme adalah gaya Barat mendominasi, merestrukturiasi, dan membangun otoritas atasnya. Tentu Orientalisme yang dimaksud Said adalah juga mencakup apa yang dikenal kini dengan studi-studi kewilayahan atau area studies. Artinya, segenap yang berurusan dengan hal-hal yang serba Timur. Tetapi menyebut Orientalisme sebagai “gaya Barat mendominasi, merestrukturiasi, dan membangun otoritas atasnya”, tentu jadi kontroversial. Apakah segenap yang dikatakan orang-orang Barat, misalnya William Liddle atau Robert Hefner, tentang politik atau Islam di Indonesia mencerminkan “gaya Barat mendominasi, merestrukturisasi, dan membangun otoritas atasnya”?

Edward Said punya alasannya sendiri. Mendefinisikan Orientalisme seperti demikian, dipengaruhi oleh bacaannya atas karya Michel Foucault The Archaeology of Knowledge dan Discipline and Punish. Menurut Foucault, pengetahuan dibangun sesuai dengan bidang diskursif yang menciptakan representasi objek pengetahuan, pembentuknya, dan juga batas-batasnya. Penulis manapun harus menyesuaikan dengan bidang diskursif ini untuk bisa berkomunikasi, untuk bisa dipahami, untuk tetap “dalam kebenaran”, dan juga untuk bisa diterima. Edward Said juga menunjukkan bagaimana hal seperti ini juga berlaku dalam kerja-kerja Orientalis yang membangun pengetahuan tentang kebudayaan masyarakat lainnya. Konstruk pengetahuan seperti ini memungkinkan para penulis dan sarjana Eropa berbicara tentang Timur dalam lingkungan diskursif mereka sendiri untuk bisa berkomunikasi, untuk bisa dipahami, untuk tetap “dalam kebenaran”, dan juga untuk bisa diterima.

Seperti halnya Foucault, yang ingin dituju Said adalah membaca Orientalisme sebagai wacana. Dengan strategi semacam ini, Said ingin menelusuri bagaimana Timur diurus, diracik dan diproduksi sebagai politis, sosiologis, saintifik, militer, ideologis dan imajinatif selama periode pasca-Pencerahan. Seperti halnya di Eropa ditemukan obyek pengetahuan baru yang bernama tubuh, seperti dianalisis Foucault, maka pada saat yang sama muncul teknik-teknik pendisiplinan tubuh, secara politis, sosiologis, saintifik, militer, ideologis, dan imajinatif. Dalam disiplin ketentaraan, mulai dikenal disiplin tubuh. Dalam kedokteran dikenal adanya tubuh yang normal dan tidak normal. Dalam hukum, adanya perilaku tubuh yang menyimpang dan mengandung kelainan. Secara ideologis, ada normalisasi atas tubuh yang kecenderungan seksnya heteroseksual atau homoseksual. Demikian pula yang dianalisis Said. Ketika Timur ditemukan, seperti misalnya oleh para penjelajah dari daratan Eropa, maka Timur menjadi obyek baru dari pengetahuan dan segenap teknik-teknik pendisiplinan, seperti yang berlaku dalam tubuh seperti dianalisis Foucault.

Namun demikian, membaca Orientalisme melalui pendekatan wacana adalah juga berarti berbicara tentang limitasi, batasan-batasan, berbicara tentang batas-batas dan batasan-batasan. Orientalisme bukanlah subyek pemikiran dan bertindak yang bebas. Tetapi bukan dalam arti bahwa Orientalisme menentukan secara harfiah apa yang dipikirkan tentang Timur. Namun ia adalah segenap jejaring kepentingan (whole network of interests) yang tak lepas dari setiap kesempatan berbicara tentang Timur sebagai obyek pengetahuan baru. Namun apa arti segenap jejaring kepentingan atau whole network of interests seperti disebut Said ini? Apakah ini kelanjutan dari tesis lama dalam sosiologi pengetahuan tentang keterpautan antara pengetahuan dan kepentingan, antara ilmu dan politik? Mungkin demikian. Tetapi Said membaca whole network of interests dari sisi culture (O: 12). Apa maksudnya ini?

Dominannya kata culture dalam Orientalism menunjukkan ada sesuatu yang berbeda ketika Orientalisme dilekatkan dengan sebuah kepentingan, sebuah whole network of interests, yang merupakan imbas dari tesis-tesis yang diajarkan oleh cultural studies, seperti yang ditimba oleh Edward Said. Berikut di antaranya tesis cultural studies itu. Pertama, kebudayaan adalah perkara sesuatu yang dibuat, diracik, yang dibuat(-buat) . Biasanya disebut konstruk atau invensi. Konstruk seperti merujuk kepada kerja-kerja membangun dan meracik, seperti mengkonstruk rumah atau bangunan fisik. Sementara invensi mengacu pada hal yang dibuat baru, namun berasal dari sesuatu yang lama. Invensi juga lebih mendekati arti menemukan. Menemukan berarti mendapatkan sebuah pengalaman baru dari dalam kata, meskipun kata itu sudah lama beredar. Pengalaman itu baru – mungkin bertaut dengan sugesti atau asosiasi – karena ia belum ada di kancah orang ramai. Jadi, berbicara tentang Orientalisme berawal dari perbincangan tentang konstruk, invensi atau racikan, seperti akan ditunjukkan nanti.

Kedua, cultural studies mengajarkan bahwa kebudayaan adalah segenap keseluruhan kehidupan sosial masyarakat. Seperti yang dikatakan Raymond Williams. Tentu ada yang sinis membacanya sebagai “the British way of life”.

Ketiga, kebudayaan sebagai hegemoni. Cultural studies adalah satu bentuk penganalisaan – ada yang menyebutnya pula sebagai sebuah gerakan – untuk membaca peta dominasi maupun resistensi. Yakni, membaca bagaimana kebudayaan menjadi arena untuk melakukan dominasi, sekaligus sebagai alat untuk memainkan negosiasi ataupun perlawanan. Cultural studies melihat kebudayaan sebagai efek hegemoni. Hegemoni berasal dari Gramsci. Menurut intelektual Marxis ini, hegemoni berarti dominasi yang berlangsung tidak dengan paksaan yang kasat mata melainkan dengan persetujuan (consent) dari pihak yang didominasi. Dalam bingkai hegemoni inilah kebudayaan terletak. Kebudayaan merupakan instrumen yang memungkinkan hegemoni berfungsi dalam sistem dominasi. Dan bukan sekedar ekspresi sistem nilai suatu komunitas yang mencerminkan identitas kelas.16

Ketiga tesis dari cultural studies ini menjadi pegangan awal Edward Said membahas Orientalisme. Pertama, Orientalisme adalah konstruk. Yakni adanya obyek baru yang bernama Timur, Orient. Dan itu bermula dari cerita tentang sebuah tempat yang kemudian dinakaman tempat. Dengan kata lain, Timur bukan sesuatu yang ada dengan sendirinya, yang mewujud begitu saja, yang ada di sana, atau menyebut dirinya sebagai Timur. Ada sesuatu yang membuatnya ia Timur. Seperti halnya ada pula yang membuatnya berbeda dari Barat, sebagaimana Barat adalah juga dimunculkan karena untuk membedakannya dari Barat. Untuk itu Said mengutip dari Vico, yang menyatakan bahwa manusia menciptakan sendiri sejarah mereka. Dan apa yang mereka ketahui adalah apa yang telah mereka buat, yang kemudian melekatkannya pada sebuah geografi.17

Mengapa geografi? Geografi itu sendiri berasal akar kata geo dan graphy. Geo artinya dunia, sedangkan graphy berarti menulis. Jadi, “menulis dunia”.18 Biasanya instrumen menulis dunia dilakukan melalui peta atau sketsa-sketsa tentang tempat, lokasi, atau wilayah. Biasanya, kita membuat atau menarik garis batas antara wilayah kita dan wilayah mereka. Wilayah kita adalah wilayah yang aman, familiar, sesuatu yang dekat dan akrab dengan rumah sendiri. Sementara wilayah mereka dianggap asing, penuh marabahaya dan semakin jauh dari rumah kita maka semakin menakutkan. Demikian pula yang dibuat tentang Barat dan Timur. Barat identik dengan rumah sendiri, yang familiar dan akrab. Sementara Timur adalah sesuatu yang asing, yang lain, dan identik dengan tempat-tempat menakutkan.

Ada sesuatu yang perlu digarisbawahi lebih lanjut berkaitan dengan pengalaman tentang ruang dan tempat ini. Berbeda dengan pandangan sebelumnya, yang melihat ruang dalam hubungannya dengan kerja, aksi, atau kegiatan (yang bertujuan rasional), ruang kini dilihat sebagai arena tempat diperebutkannya makna-makna di antara kekuatan yang hendak mendominasi dan yang melakukan resistensi. Dulu, tidur misalnya dianggap bukanlah sesuatu yang dilakukan di ruang publik; tapi seharusnya di rumah, home, tenang dan tenteram, dan pasti nyenyak. Tapi kini, tidur dalam satu ruang tertentu tidak lagi bermakna tunggal. Bagaimana misalnya kegiatan tidur di emperan jalan, atau orang yang tidak bisa tidur di rumah, yang jelas tidak bisa lagi dikatakan sebagai sebuah anomali? Korban gusuran yang tidur di jalan adalah sebuah aksi protes, sebagai satu cara pendudukan atas jalanan. Coba perhatikan aksi mahasiswa yang tidur di jalan yang menghambat laju pergerakan tentara dan aparat kepolisian yang ingin membubarkan mereka. Yang membedakan pemaknaan itu bukanlah aktifitasnya belaka, tapi aktifitas yang terkait dengan ruang.

Pergeseran makna tentang ruang ini berawal dari Henri Lefebvre yang menulis tentang tiga dimensi produksi ruang. Pertama, praktek ruang material, sebagaimana yang lazim dilakukan dalam kegiatan sehari-hari, seperti “saya turun di jalan raya”. Kedua, representasi ruang yang memungkinkan praktik-praktik ruang materil dibicarakan dan dipahami, baik dalam lingkup percakapan sehari-hari maupun dalam jargon-jargon akademik, seperti “Jalan Sudirman, Jalan Gatot Soebroto”. Di sini, jalan merepresentasikan keterkaitan nama jalan dengan dominasi militerisme. Ketiga, ruang sebagai dimensi penciptaan mental dan penerapannya yang membayangkan makna-makna atau kemungkinan-kemungkinan baru bagi praktik-praktik spasial, seperti “Ayo turun ke jalan!”.19

Berkat Lefebvre, ruang bukan lagi sesuatu yang materil, yang statis, mati, immobile, dan tidak dialektis. Ruang adalah sesuatu yang dinamis, yang bisa dimaknai, yang dibuat(-buat), diciptakan, diracik, dan juga dimanipulasi. Ruang adalah sesuatu yang imajiner, simbolik, yang dimaknai, diproduksi, dan dikontestasikan dalam relasi-relasi sosial dan juga dalam relasi-relasi kuasa. Ruang, dengan kata lain, adalah sebuah relasi. Singkatnya, ruang adalah efek dari persilangan kekuatan-kekuatan dominan. Demikian pula halnya dengan suatu ruang geografis yang bernama Timur dan Barat, seperti yang diangkat oleh Edward Said.

Walau demikian, ada beberapa diskusi lanjutan yang dikemukakan Said. Menurutnya, adalah keliru untuk menyimpulkan bahwa Timur pada esensinya adalah sebuah ide atau kreasi yang tidak punya kaitan apapun dengan realitasnya. Juga pembahasan atas apa yang dikatakan oleh Disraeli tentang Timur sebagai “kariri”.20 Juga tentang yang ditunjuk Said, yakni bukan pada korespondensi faktual antara Orientalisme dan Timur itu sendiri, melainkan pada konsistensi internal Orientalisme dengan ide-idenya tentang Timur, yakni pada ide tentang Timur sebagai karir. Diskusi seperti ini akan dilanjutkan nanti.

Yang relevan untuk dibahas adalah soal Orientalisme itu sendiri, yang menarik garis tegas antara Timur dan Barat. Lalu ke mana dikotomi ini melaju?

Menurut Edward Said, ini merupakan tesis penting berikutnya tentang Orientalisme. Yakni tentang Orientalisme sebagai hegemoni. Tidak cukup hanya menyebut bahwa Timur diciptakan. Ada sesuatu yang lebih dari itu. Dan itu menurut Said adalah faktor kuasa. Jadi, relasi antara Timur dan Barat adalah relasi kuasa, dominasi. Inilah yang kemudian disebut dengan “orientalisasi Timur” atau “timurisasi Timur”. Timur ditimurkan bukan hanya karena ia ditemukan sebagai sesuatu yang “Timur”, yang “Oriental”, tetapi juga menunjukkan sesuatu yang bisa dibuat menjadi Timur atau Oriental. Said menggambarkan ini dengan jelas dan tampaknya cukup menohok dalam kasus perjumpaan Flaubert dengan Kuchuk Hanem, seorang perempuan pelacur di Kairo, Mesir. Perempuan ini tidaklah pernah berbicara tentang dirinya, ia tidak pernah mengungkap emosi, kehadiran, dan sejarahnya sendiri. Flaubert-lah yang berbicara untuknya, dan yang mewakilinya. Artinya, ia tidak berbicara tetapi dibuat berbicara; atau, suara dan pembicaraannya diatasnamakan, yang direpresentasikan. Flaubert adalah asing, secara ekonomis berpunya, laki-laki. Fakta-fakta dominasi ini memungkinkannya bukan merengkuh tubuh Hanem, tetapi juga berbicara untuk kepentingannya, dan memberitahu kepada pembacanya di Eropa dalam posisi Hanem “secara tipikial sebagai orang Timur”. Dan ini, menurut Said, bukan hanya terjadi antara Flaubert dan Hanem, tetapi juga menggambarkan segenap relasi antara Barat dan Timur, antara yang kuat berhadapan dengan yang lemah, bahkan bisu dan tidak bersuara.

Gambaran ini seperti yang bisa kita lihat ketika Goenawan Mohammad menulis sebuah esai tahun 1980-an dalam Catatan Pinggir Majalah Tempo, berjudul “The Death of Sukardal”. Gaya tulisan Goenawan mengungkap kisah pengayuh becak di Jakarta yang digusur dan becaknya dibawa petugas tramtib, lalu bunuh diri itu, memang mengundang empati bagi pembacanya. Bahkan, saking berlebihannya empati itu, rasa belas kasih terhadap orang-orang miskin dan nasib orang-orang pinggiran yang tergusur. Tetapi relasi simpati itu, antara pembaca dan Sukardal, berlangsung tidak seimbang. Pembaca Tempo adalah kalangan kelas menengah ke atas, dan bukan dari kalangan yang umumnya dikenal dan menjadi lingkungan pergaulan Sukardal. Empati yang dimunculkan oleh tulisan Goenawan muncul karena tulisan itu menempatkan Sukardal betul-betul dalam posisi “tipikal sebagai orang miskin, yang polos, yang menjadi korban penggusuran negara, serta mengakhiri hidupnya dengan tragis”. Orang-orang yang membacanya pun tak perlu langsung berhadapan secara faktual dengan orang-orang miskin, yang menjadi korban penggusuran negara, serta yang mengakhiri hidupnya dengan tragis, yang banyak terjadi di lingkungan mereka di Jakarta sehari-hari. Tetapi cukup menikmati tulisan tersebut, yang secara estetis dengan gaya evokatifnya, memang pantas dinikmati seperti layaknya benda-benda seni lainnya. Seperti halnya orang-orang Barat tidak perlu berempati dengan orang-orang Timur secara faktual, karena bisa jadi mengkhawatirkan sebagaimana halnya pengalaman mereka dengan segala yang berbau asing dan aneh. Mereka merasakan dan menikmatinya itu dalam tulisan, dalam teks, dalam segenap wacana tentang pemberdayaan Timur oleh Barat.21

Dari sini, dalam relasi antara Barat dan Timur yang timpang ini, muncul pengertian berikutnya tentang Orientalisme seperti dibaca oleh Edward Said. Yakni, Orientalisme sebagai investasi kultural, yang berfungsi sebagai filter atau penyaring. Ini adalah kelanjutan dari tesis Said tentang Orientalisme sebagai hegemoni. Pengertian hegemoni tentu ditimba dari Gramsci. Gramsci membedakan antara dua wilayah politik, political society dan civil society. Political society atau masyarakat politik adalah kehidupan masyarakat yang terdiri dari

Sementara civil society atau masyarakat sipil

Hegemoni ini dibangun berdasar pada strategi superioritas posisional, yang menempatkan orang-orang Barat dalam segenap kemungkinan berhubungan dengan Timur, tanpa mesti kehilangan rasa harga dirinya.22 Seperti halnya relasi antara Sukardal dan pembaca dalam “The Death of Sukardal”.

Maka ia bisa diapakan apa saja, bisa sebagai objek studi di lingkungan akademis, untuk kepentingan display di museum, untuk kepentingan rekonstruksi di jajaran birokrasi kolonial, untuk kepentingan ilustrasi teoritis dalam sekian tesis-tesis antropologi, biologi, linguistik, teori ras dan sejarah, tentang umat manusia dan alam semesta, untuk kepentingan membuat contoh-contoh dalam teori-teori ekonomi dan sosiologi tentang pembangunan, revolusi, kepribadian kultural, atau karakter nasional dan religius.

Sebagai investasi “amal” dan “kebaikan”, tentang sesuatu yang masih beradab, bermoral, dan juga berbudaya – bersih-bersih – tanpa mesti kehilangan harga dirinya, bahkan harga diri itu dipupuk dalam investasi budaya tersebut.

Dalam posisi seperti ini, menjadi Timur adalah identik dengan apa yang membedakannya dengan Barat. Sementara menjadi Barat adalah berarti seseorang menjadi bagian dari sebuah kekuasaan yang punya kepentingan khusus dengan Timur, atau lebih penting lagi, menyadari bahwa dirinya terlibat dalam satu bagian dari belahan bumi ini yang punya sejarah tertentu dalam keterlibatannya dengan Timur sejak masa Homer. Singkatnya, menjadi Barat berarti ia datang ke Timur pertama-tama sebagai orang Eropa atau orang Amerika, baru kemudian sebagai individu (O: 11).

Dengan kata lain, menjadi Barat, menjadi Eropa atau menjadi orang Amerika adalah konstruk kultural, di mana yang memainkan peranan penting adalah kebudayaan. Kebudayaan inilah yang seperti dikatakan Said, memungkinkan diri menciptakan segenap kepentingan, yang secara dinamis bertindak bersama-sama dengan alasan-alasan politik, ekonomi, dan militer. Dari konteks inilah Edward Said berbicara dalam beberapa kesempatan dalam Orientalism tentang hegemoni sebagai cultural strength.

Selama ini Edward Said sering dikaitkan dengan problem sejauhmana pengetahuan orang Barat tentang Timur, termasuk Islam, valid dan bisa dipertanggungjawabkan secara obyektif. Malah, ada yang mereduksinya menjadi soal bahwa orang Barat tidak tahu akan Islam, maka serahkanlah kepada umat Islam untuk memahami agamanya sendiri.

Sebetulnya, problem representasi yang diangkat Said berawal dari kutipan dari Balfour: “We know the civilization of Egypt better than we know the civilization of any other country. We know it further back; we know it more intimately; we know more about it” (O: 32). Pejabat tinggi Kerajaan Inggris ini bukan hanya mengatakan tahu, tapi juga mengatakan “lebih tahu”: “We know it better ... further .... more...”. Bandingkan ucapan salah seorang pejabat kolonial Belanda kepada Minke dalam novel Pramoedya seperti saya kutip di atas: “Saya tahu orang-orang ini lebih baik dari anda”.

Sesuatu yang lebih ini yang mengundang perhatian Said. Mengapa mengatakan “lebih”? Ini mirip kalau Anda mengatakan tentang seseorang, “Saya bukan hanya tahu tentang dia, tapi saya juga lebih tahu tentangnya ... nasibnya”. Tahu dan kenal adalah sesuatu yang lumrah dalam lingkungan interaksi antara umat manusia. Tapi, kalau Anda mengklaim mengetahui lebih tentangnya, maka Anda sudah memasang target tertentu kepada orang tersebut: Anda bukan sekedar membuat pernyataan tahu tentang orang itu, tapi juga membuatnya tidak lepas dari apa yang kita tahu itu. Yakni, bahwa nasibnya tergantung pada apa yang kita tahu. Dan itu artinya, Anda punya kuasa atasnya. Mengetahui dengan demikian dalam konteks ini juga berarti menentukan.

Dari sini bisa dipahami apa yang dikatakan oleh Said, bahwa berurusan dengan Timur berlangsung dengan cara “making statements about it, authorizing views of it, describing it, by teaching it, setting it, ruling over it” (memberi pernyataan atasnya, mengabsahkan pandangan-pandangan tentang dirinya, melukiskannya, mengajarkannya, mengaturnya, serta menguasainya) .

Dan kerja “mengetahui”, to know, berarti “melacak, menyelidiki, dan mendata suatu peradaban sejak dari awal kemunculannya, ke masa puncaknya, hingga ke masa kejatuhan dan keruntuhannya”. Artinya kemampuan untuk melakukan itu dan menunjukkannya bahwa Timur pernah mengenal masa awal, masa dewasa, dan juga masa kepunahan. Obyek yang disebut peradaban itu dinyatakan sebagai “fakta”, meski berubah dan mengalami transformasi. Fakta ini dinyatakan stabil, secara fundamental dan ontologis. Maksudnya, demikianlah ia pada kenyataannya sejak awal hingga akhir hayatnya. Memiliki pengetahuan tentang fakta itu berarti mendominasinya, berkuasa, atau berotoritas atasnya. Otoritas itu menunjukkan kemampuan “kita” untuk mencabut (hak) otonomi atas “fakta” itu: Karena kita tahu, dan ia pun ada. Artinya, ia ada sebagaimana kita mengetahuinya.23

Dengan menempatkannya dalam satu lokus pengetahuan dalam kondisi facticity-nya (“keberkenyataan”-nya), berarti menempatkannya sebagai obyek belaka dari sejarah. Mengetahui Islam, singkatnya, adalah membuatnya sebagai obyek sejarah, dan bukan sebagai subyek sejarah. Subyeknya adalah sang penemu itu, sang orientalis. Dialah yang membuat sejarah ke dalam Islam dan menempatkannya dalam hirarki sejarah dunia, dan juga dalam hirarki nilai-nilai dan norma-norma kebudayaan.

Edward Said dan Studi Poskolonial

Berbicara tentang pasca-kolonialisme atau poskolonialisme (post-colonialism) adalah berbicara tentang relasi antara “Barat” dan “Timur”. Artinya, ada pihak yang menjajah dan ada pula yang dijajah. Tetapi dalam cerita tentang kolonialisme, yang dimaksud adalah “kolonialisme modern”. Kolonialisme semacam ini berbeda dengan bentuk-bentuk kolonialisme yang pernah muncul di masa kuno seperti kolonialisme Roma terhadap negeri-negeri di sekitarnya, kolonialisme Islam terhadap penduduk Afrika atau kolonialisme Majapahit atas pulau-pulau luar Jawa. Kolonialisme modern adalah kolonialisme yang menggabungkan penaklukan dan eksploitasi terhadap negeri lain dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban. Poin yang terakhir inilah yang mengundang minat para teoritisi studi poskolonial.

Dengan kata lain, kolonialisme negara-negara Barat punya makna dan signifikasinya di masa modern berkat keunggulannya dalam bidang kebudayaan. Tentu “kebudayaan” dalam pengertian bahasa-bahasa Eropa bukan hanya mencakup kesenian atau agama. Tetapi juga segenap yang merujuk kepada excellency, sebuah keunggulan. Dalam konteks Inggris, kebudayaan identik dengan utilitarianisme, asas kemanfaatan dan kegunaan, yang mendorong tumbuhnya industri, sains dan teknologi. Dalam konteks Perancis, kebudayaan identik dengan racikan politik “hak-hak rakyat” yang mendorong sebuah revolusi. Dengan demikian, dalam bahasa Inggris dan Perancis, sebutan kebudayaan berarti keunggulan peradaban (civilization, civilisastrie). Culture di sini, seperti dirumuskan oleh pakar budaya Matthew Arnold dari Inggris abad 19, adalah “segenap yang terbaik yang dipikirkan dan dihasilkan oleh manusia” (the best that has been said and thought in the world). Sementara dalam konteks Jerman, kebudayaan identik dengan keunggulan masa lalu dan romantisisme yang membakar semangat penulisan karya sastra dan filsafat. Jadi, kebudayaan Jerman berarti “high art”, “high culture” atau “Reason” dalam bahasa Hegel.

Materi kebudayaan seperti inilah yang mendorong, memuluskan, dan memperkaya kolonialisme sehingga ia menjadi “Modern”. Sementara negara-negara yang menggerakkannya mulai mengidentifikasi dirinya sebagai “Imperium” (Empire). Tentu ada bahan-bahan dasar yang memungkinkan materi kebudayaan itu mewujud menjadi Modern dan menjadi Imperium. Pandangan tentang kebudayaan baik sebagai civilization maupun sebagai high culture atau Reason berawal dari racikan tentang “yang lain” (the Other). Pandangan tentang yang lain merupakan akumulasi pengalaman historis selama berabad-abad sejak dari masa Yunani, Romawi hingga di masa Abad Pertengahan. Orang-orang Yunani menyebut diri mereka sebagai bangsa-kota yang beradab (polis) sementara bangsa-bangsa lainnya disebut barbar, pagan, menyembah berhala (heathen). Hingga pada abad 14, kata ethnic yang diperoleh dari bahasa Latin ethnicus masih menunjukkan arti “heathen”. Sementara ethnos berarti “people” atau “nation”. Ketika Columbus menemukan benua Amerika pada 1492, racikan tentang yang lain ini bertambah menjadi yang lain yang tidak beradab (uncivilized), primitif (savage), dan “tidak punya akal”.

Dari pandangan tentang Yang Lain ini muncul pandangan tentang “Timur” (Orient). Apa yang disebut Timur merupakan kelanjutan dari definisi diri orang-orang Barat. Makin kencang Timur didefinisikan dan disubstansialisasikan, maka kuat pula pencitraan akan hakekat dan jatidiri orang Eropa. Awalnya, dalam imajinasi orang-orang Eropa dan juga dalam sejumlah tulisan, “Timur” dan yang lain identik dengan sesuatu yang asing, yang aneh dan menakutkan. Cerita-cerira seram tentang wilayah tak bertuang, banyak menghiasi imajinasi dan bayangan orang-orang Eropa sejak masa Abad Pertengahan. Dan itu selalu diidentikkan dengan yang disebut timur.

Beriringan dengan pandangan tentang peradaban itu dan yang lian ini, muncul pula tentang yang savage, yang primitif dan yang buas. Biasanya adalah pandangan tentang masyarakat primitf yang kanibal atau yang seperti monyet.24

Lama-kelamaan, pandangan tentang “noble savage” muncul, yang melihat yang lain dekat dengan alam, polos (innocence), noble savage, ini yang memungkinkan menjadi target dan obyek kalangan misionaris dan administratur kolonial.

Pandangan berikutnya adalah konstruk tentang “ke-Eropa-an”. Menjadi Eropa berarti menjadi manusia unggul, berperadaban hebat, dan beragama Kristiani. Pandangan ini sudah terpupuk sejak era Renaissance, dan tertanam kuat di era Pencerahan akhir abad 19. Seperti tertuang dalam Ensiklopedia yang ditulis Diderot, “Tidak penting Eropa itu luasnya paling sempit dan kecil dari dunia ini. Namun mereka unggul dan hebat dalam bidang perdagangan, maritim, dan tingkat kesuburan tanahnya. Demikian pula unggul, karena penduduknya yang tercerahkan, menguasai teknologi dan industri, sains, seni dan perangkat peradaban lainnya. Lebih dari itu, adalah juga Agama Kristiani yang menuntun kepada kebahagiaan bagi masyarakat semuanya”.

Melalui konstruksi ke-Eropa-an seperti ini, sejak abad 16, para misionaris menilai dan membagi inteligensi dan peradaban manusia dengan mengukur sejauhmana sekelompok manusia itu memiliki “tulisan alfabet”. Ini adalah momen awal terbentuknya satu bentuk pembedaan kolonial (colonial difference), sekaligus awal terwujudnya imajinasi dunia modern/kolonial. Pada abad 16 pembedaan kolonial itu ada dalam ruang. Namun menjelang akhir abad 18 dan permulaan abad 19, perangkat pembedaan kolonial itu adalah sejarah, dan bukan lagi tulisan. “Bangsa tanpa sejarah” berada dalam satu waktu, yakni “sebelum masa kini”. Bangsa yang punya sejarah menulis sejarah bangsa-bangsa lain yang tidak punya sejarah. Dari sini kemudian yang pertama dikenal memiliki pengetahuan, sementara yang terakhir adalah obyek pengetahuan belaka. Yang pertama memiliki ilmu pengetahuan dan peradaban; yang terakhir punya kebudayaan.

Relasi antara ke-Eropa-an dan yang lain ini pada gilirannya memperkaya konstruksi tentang kebudayaan sebagai sesuatu yang unggul. Tetapi keunggulan ini bukanlah dari arti pasif, tetapi sesuatu yang menyembul keluar, yang mendongak ke luar. Ini karena motor penggeraknya adalah Kristiani. Kalau dalam bahasa agama, ada kewajiban untuk menyebarkan ajaran Tuhan ke seluruh penduduk dunia, maka dalam bahasa Imperium, adalah kehendak untuk memperadabkan bangsa-bangsa lain. Itulah awal dari sejarah kolonialisme. Jadi sebuah proses sekularisasi Kristiani atas nama Empire. Tetapi juga terkait dengan imajinasi tentang Imperium Romawi.

Berbicara tentang pengaruh Said dalam studi-studi Poskolonial berawal dari bukunya Orientalism. Ada dua lahan kajian Poskolonial yang dipengaruhi oleh buku ini: pertama, kajian tentang sastra imperium dan kedua, kajian dan teorisasi tulisan-tulisan perjalanan. Tapi kini kemudian berkembang menjadi kajian lebih luas konstruk pengetahuan Barat tentang Timur.

Edward Said misalnya mengawali Orientalism (1978) dengan melihatnya sebagai “wacana”, sebagai “formasi diskursif” menurut model yang digunakan oleh Michel Foucault. Yakni dengan melihat persilangan yang terjadi antara pengetahuan dan kuasa, antara formasi bahasa dan formasi sosial-politik. Kehendak mengetahui (will to know) Timur misalnya direproduksikan menjadi wacana kolonialisme, yakni sebagai kehendak untuk berkuasa (will to power). Dalam kerangka penganalisaan seperti ini, Timur sebagai wacana (discourse) yang dibicarakan, yang dikaji, didiskusikan dan diimajinasi oleh orang-orang Eropa, bukan sekedar tempat berkumpulnya para sarjana, pelancong, pembuat peta, dan penulis imaginatif. Tetapi juga sebagai cara atau moda berkuasa tentang bagaimana Timur diolah, diurai, diracik dan dikendalikan, dan juga dipastikan masa depannya (tentu masa depannya yang kemungkinan masih bisa ditundukkan!). Said mencontohkan, purdah atau hijab yang dikenal oleh orang-orang Eropa. Karena yang diteliti Said adalah purdah sebagai wacana, maka ia bukan sekedar obyek yang dipakai oleh perempuan Timur, seperti di Timur Tengah. Tetapi sebagai cara yang dikenakan oleh para sarjana Eropa untuk menunjukkan bahwa perempuan Timur Tengah adalah perempuan yang terbelakang dan ditundukkan, sehingga perlu dibebaskan oleh orang berkulit putih yang lebih superior dan beradab.***


End Note

1Edward W. Said, Humanism and Democratic Criticism (New York: Columbia University Press, 2004), hal. 1-2.

2Lihat Edward W. Said, Reflections on Exile and Other Essays (Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 2000), hal. 34-35.

3Clifford, James, dan George E. Marcus (eds.), Writing Culture: The Poetics and Politics of Ethnography (Berkeley: University of California Press, 1986).

4Edward W. Said, “Zionism from the Standpoint of its Victims”. Social Text, No. 1 tahun 1979. Dimuat kembali dalam Anne McCkintock, Aamir Mufti & Ella Shohat (eds.), Dangerous Liaisons: Gender, Nation & Postcolonial Perspectives (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2002), cet. 3, hal. 19. Huruf miring dari AB.

5Edward W. Said, “Zionism from the Standpoint of its Victims”. Social Text, No. 1 tahun 1979. Dimuat kembali dalam Anne McClintock, Aamir Mufti & Ella Shohat (eds.), Dangerous Liaisons: Gender, Nation & Postcolonial Perspectives (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2002), cet. 3, hal. 19 – huruf miring dari teks asli. Bandingkan pula tesis-tesis humanisme Said dari sudut pandang dirinya sebagai orang Arab Palestina dalam karya posthumous-nya, Humanism and Democratic Criticism (New York: Columbia University Press, 2004).

6Lihat Edward W. Said, “Performance as an Extreme Occasion”, dalam The Edward Said Reader (ed. Moustafa Bayoumi dan Andrew Rubin) (New York: Vintage Books, 2000), hal. 317-346. Metode “polyvocality” dalam etnografi baru sedikit banyak menimba dari ide Bakhtin dan juga dari Said ini. Lihat Paula Saukko, Doing Research in Cultural Studies (London: Sage, 2003). Lihat M.M. Bakhtin, Problems of Dostoevsky’s Poetics (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984). Homi Bhabha melanjutkan pengertian polyphonic ini dalam satu buku kumpulan tulisan rekan-rekan sejawat Said yang dikhususkan untuk melanjutkan percakapan dengan Said setelah wafatnya, dalam Homi Bhabha, “Adagio”, dalam Homi Bhabha dan W.J.T. Mitchell (eds.), Edward Said: Continuing the Conversation (Chicago: The University of Chicago Press, 2005), hal. 7-16. “Polyphony provides us with a figurative vision of the possibilities of fairness and freedom in the midst of complex transitional structures,” tulis Bhabha.

7Saking jengkelnya orang-orang Amerika terhadap Said, sehingga muncul orang seperti Stanley Kurtz dari Hoover Institute yang mendesak Kongres AS untuk menerapkan kontrol dan pengawasan langsung terhadap pengajaran bahasa dan kebudayaan asing untuk kepentingan menahan laju pengaruh buruk ajaran-ajaran Edward Said. Paul BovĂ©, “Continuing the Conversation” , dalam Bhabha dan Mitchell (eds.), Edward Said , hal. 40. Jadi, kalau di kalangan gerakan Islam ada ketakutan terhadap “al-ghazwul fikri”, hal serupa juga ditemukan pada sebagian orang-orang Amerika yang takut dengan “al-ghazwul fikri”-nya Said!

8Kutipan Gramsci ini sering muncul di beberapa tulisan dan wawancara Said.

9Edward W. Said, “Zionism from the Standpoint of its Victims”. Social Text, No. 1 tahun 1979. Dimuat kembali dalam Anne McClintock, Aamir Mufti & Ella Shohat (eds.), Dangerous Liaisons: Gender, Nation & Postcolonial Perspectives (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2002), cet. 3, hal. 19. Huruf miring dari AB.

10Ibid., hal. 15-38.

11Ibid., hal. 16.

12Ibid.

13Diacritics, Cornell University, Ithaca, New York, 1976. Dimuat kembali dalam Power, Politics, and Power: Interviews with Edward W. Said (edited and with introduction by Gauri Viswanathan) (London: Bloomsbury, 2005), hal. 38. Dan dikutip dalam Valerie Kennedy, Edward Said: A Critical Introduction (Cambridge: Polity Press, 2000), hal. 10.

14Kennedy, Edward Said, hal. 52.

15Edward Said, Orientalism, hal. 1.

16Lihat Simon During, “Introduction”, dalam Simon During (ed.), The Cultural Studies Reader (London & New York: Routledge, 1993), hal. 1-25.

17Said, Orientalism, hal. 4-5.

18Lihat Gayatri Chakravorty Spivak, A Critique of Postcolonial Reason: Toward a History of the Vanishing Present (Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 1999), hal. 30.

19Tentang kontribusi Lefebvre ini, lihat misalnya dalam Chetan Bhatt, Liberation and Purity: Race, New Religious Movements, and the Ethics of Postmodernity. London: UCL Press, 1997, hal. 40-48.

20Said, Orientalism, hal. 5.

21Hal seperti ini yang pernah disindir oleh Edward Said, ketika mengomentari satu karya Ernest Hemingway sebagai berikut: “The innocence is gone from such description, except as a recollection of an earlier, purer time when the correspondence between expert and reality was more urgent and equal, and when the writer’s performance was driven by the need for the aesthetic experience of mortality”. Edward W. Said, “How Not to Get Gored”, dalam Reflections, hal. 237.

22Said, Orientalism, hal. 7.

23Edward Said, Orientalism (New York: Vintage Books, 1979), hal. 32.

24Lihat Gustav Jahoda, Images of Savages: Ancient Roots of Modern Prejudice in Western Culture (London & New York: Routledge, 1999).