Mencari makalah yang lain :

Google
 

Tuesday, October 2, 2007

Orang Dayak dalam Imajinasi Politik Elit

Oleh: Abdullah Naim & Mh. Nurul Huda
Seorang ilmuwan asing pernah bilang bahwa nasib orang Dayak adalah dijajah, bukan memerintah. Itu kata Van Linden, seorang antropolog kolonial kelahiran Belanda.
Catatan serupa juga dibuat oleh Magenda (1991), yang kurang lebih melukiskan betapa orang Dayak selama berabad-abad mengalami marjinalisasi dalam skala yang sangat luas baik oleh kekuatan politik lokal, nasional, maupun kolonial. Citra populernya sebagai kelompok yang “terbelakang”, “primitif” dan “liar” semakin memperparah marjinalisasi politik, ekonomi, dan budaya yang mereka derita.
Barangkali kesan atau nasib semacam itu belakangan ini tak nampak lagi. Di mana-mana, di Kalimantan Timur, dan mungkin di bagian lain pulau Borneo ini, Dayak telah menjadi salah satu ikon utama budaya daerah. Beragam artefak dan penanda kultural Dayak bisa kita saksikan hampir di berbagai tempat mendominasi wajah dunia perkotaan.
Coba cermati berbagai gedung dan bangunan fasilitas publik di kota Samarinda dan Balikpapan, seperti gedung pemerintahan, perguruan tinggi, bangunan pasar, dan bandar udara di sana. Ornamen-ornamen khas Dayak menghiasi hampir semua bangunan. Ukir-ukiran, lukisan dan patung-patung, bahkan rumah jabatan (pendopo) Gubernur Kalimantan Timur menggunakan nama lamin etam sebagai sebutan istimewanya. Selain itu lihat pula di pasar-pasar kota. Mudah sekali ditemukan pernik-pernik, souvenir seperti gantungan kunci, tas, patung dan lainnya yang berornamen Dayak dijual bebas.
Semua gambaran tentang modernitas dan kemajuan itu justeru hadir bersamaan dengan menyoloknya citra etnik Dayak yang tradisional dan dulu dicitrakan primitif itu.
Orang Dayak sudah bangkit. Begitu kesan banyak orang melihat gegap gempitanya representasi identitas Dayak dalam ruang publik itu. Apalagi beragam organisasi yang mengatasnamakan komunitas Dayak juga bermunculan. Kebanyakan para elitnya kalau tidak menduduki jabatan penting di birokrasi, sebagian menempati posisi sentral di partai politik.
Tak bisa dimungkiri semua kenyataan ini memperkuat kesan bahwa ekspresi kultural orang-orang Dayak bukan hanya telah terepresentasikan sepenuhnya dalam ruang publik. Di sisi lain mereka juga seolah memiliki akses kekuasaan yang terbuka atau setidaknya terwakili secara politik.
Dulu adalah peristiwa langka bila orang Dayak yang tinggal di kampung terpencil bisa menghadiri kegiatan partai besar, apalagi mengenal kota Jakarta. Tapi, kini, pengalaman macam itu bukan peristiwa yang mustahil lagi.
Awal September lalu, misalnya, seorang pengurus partai besar di Kaltim membawa serta seorang warga Ritan menuju Jakarta. Si kakek tua, yang masih memelihara daun telinganya yang panjang, diajak mengikuti rakernas partai itu. Di Jakarta, lelaki tua ini menjadi tontonan peserta lainnya dan sibuk melayani ajakan foto bersama. Si politikus partai ini pun tersenyum bangga lantaran dipuji habis karena partainya mampu menembus pelosok-pelosok desa tempat tinggal si kakek tua.
Gebyar budaya Dayak sebagai representasi identitas daerah semacam ini rupanya belakangan juga diramaikan oleh berbagai proyek kebudayaan. Keinginan untuk menggerakkan sektor pariwisata sebagai salah satu ladang penghasil devisa turut mendorong pemerintah untuk melakukan revitalisasi. Ritual-ritual, kesenian dan simbol-simbol budaya Dayak direkonstruksi habis-habisan. Seperti terlihat belakangan ini di mana pemda Kutai Kartanegara merencanakan proyek pembangunan lamin-lamin baru di sejumlah desa berpenghuni komunitas Dayak.
Begitulah. Imajinasi tentang Dayak yang dulu dipandang primitif dan terbelakang itu direkonstruksi kembali. Tidak sekadar lewat himbauan dalam pidato-pidato para pejabat, tapi juga lewat promosi-promosi agen pariwisata.
Siapa diuntungkan?
Kalau dicermati, dinamika semacam ini sebetulnya sudah mulai marak tahun 90-an lalu. Terutama soal upaya pemerintah untuk menggali sumber devisa alternatif di luar migas.
Selain itu, konteks kebutuhan pariwisata internasional yang memburu keotentikan dan keeksotisan budaya “asli” telah mendorong pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk menghidupkan kembali keunikan tradisinya. Dalam konteks inilah kebudayaan Dayak yang barangkali sebagian sudah mulai ditinggalkan lalu direkonstruksi, direvitalisasi.
Lamin-lamin baru dibangun kembali atas fasilitas pemerintah, yang meskipun merujuk pada model lama yang dianggap “asli” namun kini membawa makna dan fungsi-fungsi baru. Demikian pula simbol-simbol budaya Dayak, seperti patung, ukiran, burung Enggang atau tari-tarian yang dulu hanya bisa kita jumpai dalam upacara-upacara ritual, kini ambil bagian dalam proses komodifikasi tersebut.
Belakangan beragam pertanyaan muncul di tengah gegap gempita “perayaan budaya” ini. Kegelisahan justru muncul dari lubuk hati warga komunitas Dayak sendiri yang tetap hidup miskin di kampung-kampung terpencil.
Fakta semacam yang berikut ini tak sedikit dijumpai di kampung-kampung itu di mana warga Dayak mulai mempertanyakan sendiri perubahan-perubahan yang dihadapinya.
Seorang kontraktor pemerintah yang menggarap proyek pembangunan lamin di Desa Sungai Bawang, Kukar, menuai protes keras dari warga lantaran tak sesuai dengan fungsi tradisionalnya. “Lamin yang dibangun itu tidak sesuai, masak dibangun seperti stadion.,” protes Mama Mona salah seorang penduduk Sungai Bawang. Apa yang dinyatakan sebagai “ketaksesuaian” itu sudah jelas tidak hanya berkenaan dengan bangunan lamin yang menurut warga Dayak sangat asing. Tetapi lebih dari itu karena dianggap tak sesuai dengan nilai dan fungsi rumah panjang itu bagi kehidupan warga Dayak.
Dengan lamin model baru itu dipastikan fungsi sosial dan budaya komunitas Dayak itu akan tergusur. Apalagi terdengar sebelumnya bahwa lamin baru itu nantinya hanya akan difungsikan sebagai tempat pertemuan adat, gelar tari-tarian, atau objek wisata belaka.
Respon ini mau tak mau mendorong komunitas Dayak untuk mempertanyakan kembali seberapa besar keuntungan diperoleh dari kecenderungan-kecenderungan baru ini.
Tak sedikit orang Dayak mengeluh terkait gambaran-gambaran negatif yang direproduksi seputar dirinya di dalam poster-poster pariwisata. Banyak pula yang kecewa lantaran mereka tidak banyak mengunduh untung dari artefak, ornamen dan simbol-simbol ke-Dayak-an yang kini dikonsumsi luas oleh orang-orang kota.
“Banyak patung burung Enggang dipasang di dinding dan puncak-puncak gedung pemerintahan. Tetapi tetap saja kami susah dan tidak berkesempatan hidup sejahtera,” ujar Albert, seorang warga Ritan, kecamatan Tabang, Kukar.
Kenyataan yang sama juga nyaris terlihat di pasar-pasar dan toko souvenir. Hampir semua penjual pernik-pernik dan hiasan khas Dayak ini didominasi oleh orang Bugis dan Banjar. Hanya sebagian kecil saja orang Dayak yang menjajakan dan menikmati buah warisan tradisi budayanya itu.
Dilema-dilema macam inilah yang hampir pasti dirasakan oleh sebagian besar orang Dayak. Di satu sisi eksistensi diri dan ekspresi budaya mereka seolah diapresiasi secara luas oleh publik. Namun, di sisi lain, mereka justru menghadapi problem lama yang seolah tak pernah terselesaikan.
Mama Wek dan Yurni, misalnya, mengaku revitalisasi itu tak begitu bermakna bagi hidupnya. Bagi perempuan warga Lung Anai ini, pembangunan desa budaya, lamin, dan revitalisasi seni tradisi Dayak hanyalah pengakuan artifisial terhadap tradisi budaya orang-orang Dayak. Karena yang penting bagi dirinya adalah bagaimana mereka bisa hidup tenang, nyaman dan aman di tanah tempat tinggalnya.
“Kalau mereka mengakui tradisi kami, seharusnya mereka juga mengakui hak atas tanah-tanah kami,” tandas Yurni. Ya, memang menjadi sebuah ironi, bila imajinasi politik warga Dayak justeru berjarak lebar dengan imajinasi para elitnya.[]

POLITIK PENCITRAAN

Dayak, Daya, Daya’, atau Dyak, seperti disebut literatur terbaru, adalah nama-nama antropologis. Dan orang-orang Kayan, Kenyah, Bahau, Tunjung, Benuaq, Bentian, Iban, Klemantan, Ngaju, Maanyan, Lawangan, Murut, Punan, dan seterusnya hanya menerima secara pasif. Victor King (1993) menyebut beberapa kemungkinan asal kata Dayak, bisa dari kata daya (bahasa Kenyah) berarti hulu atau pedalaman, dari kata aja (bahasa Melayu) yang bermakna pribumi, atau dari istilah dalam bahasa Jawa (Tengah) yang berarti tindakan yang tidak sesuai.
Tidak hanya itu. Para antropolog Barat abad ke-19, kolonial, para penginjil, para da’i, dan birokrat hingga kaum terpelajar Indonesia pascakemerdekaan mengonstruksi bahwa Dayak pemburu kepala, pembuat rajah, perampok, penghuni rumah-rumah panjang, masyarakat terasing, tak beragama, dan perambah hutan. Saunders (1993) menegaskan bahwa karya Bock, The Head-hunters of Borneo (terbit 1881 di Inggris) berpengaruh besar terbangunnya citra Dayak seperti itu. Demikian pula bermacam gambar rekaan dari pariwisata yang bisa segera membangun image dan memancing perhatian atau menghadirkan sesuatu yang sebenarnya tidak ada (absent) dalam kenyataan. Persis seperti konstruksi yang dibangun berbagai program pembangunan seperti proyek pemukiman (resetlement) dan kebijakan penambahan departemen perambah hutan dan suatu kabinet di masa Orde Baru.
Selain King dan Saunders, McKinley (1976), Freeman (1979), Coomans (1987), dan Hoffman (1986), dan sejumlah intelektual-aktivis dari Kalimantan sendiri yang sejak lima belas tahun terakhir tumbuh subur di seluruh Kalimantan mengajukan kritik keras terhadap pencitraan tersebut. Citra tentang Dayak yang dibangun atas dasar politik dan kebudayaan si pemandang dan bukan dari sudut pandang orang-orang Dayak sendiri itu dinilai tidak adil, tidak manusiawi, menyesatkan, dan sangat kolonial.
Dayak juga disebut berasal dari Cina. Seluruh dokumen tentang asal mula Dayak selalu menyebut bahwa mereka adalah imigran bergelombang dari Yunnan, daratan Cina Selatan yang menyusur melalui Indo-Cina dan Malaysia hingga berakhir di Kalimantan. Coomans memperkirakan bahwa Dayak yang kini bermukim di Kalimantan Selatan dan tengah menyusur pengembaraannya melalui Sumatera dan Jawa, sementara mereka yang sekarang berdomisili di Kalimantan Barat dan Timur melalui Filipina. Sebuah Mal di Samarinda memajang replika perahu bermotif Cina yang diklaim sebagai “perahu pertama” rombongan Cina pertama yang memasuki Kalimantan.
Bisa jadi asumsi-asumsi historis itu benar. Pembakuan “sejarah asal usul dari Cina” itu sendiri menciptakan citra yang tak menguntungkan bagi masyarakat Dayak. Citra itu menjadikan Dayak sangat rentan dalam konteks sosial-politik Indonesia yang mempersoalkan “pri-nonpri”, WNI-WNA, “peranakan”, “minoritas-mayoritas”, dan problem rasial lain. Sebuah kelompok atau komunitas tertentu, dengan sangat gampang disudutkan hanya karena ia bukan pribumi, bukan WNI, Cina peranakan, dan bukan termasuk mayoritas.
Citra memang bukan yang sesungguhnya, karena ia lebih merupakan proyek politik mereka yang memandang. Tetapi, citra itu pula yang menentukan nasib bangsa Dayak kemarin, hari ini, dan esok hari. Tak mungkinkah kita memberikan ruang bebas sehingga orang Dayak dapat mencitrakan, merumuskan, dan mendefinisikan diri? Hanya arogansi politik dan intelektual yang tidak dapat menyediakan ruang bebas itu.