Mencari makalah yang lain :

Google
 

Sunday, July 1, 2007

Banjir, Akibat Hilangnya Kearifan Tradisi Lokal

Banjir besar yang menggenangi beberapa kawasan di kabupaten Kutai Barat, Kutai Kartanegara, dan kota Samarinda, Kalimantan Timur mungkin membuat mata kita terbelalak. Ribuan hektar sawah dan kawasan pemukiman penduduk terendam. Banyak warga mengungsi di sejumlah penampungan darurat. Dan dari bilik-bilik tenda itu, terdengar kabar penyakit mulai mengancam.

Konon, selain tingginya kerugian yang diderita, banjir kali ini adalah yang terbesar dalam lima puluh tahun terakhir. Soalnya, bagaimana mungkin wilayah pegunungan nan hijau yang dikelilingi berjuta-juta hektar hutan dan masyarakatnya yang dikenal akrab dengan alam itu menanggung derita banjir itu?

“Dulu tiap kampung punya hutan lindung, kini tak mungkin lagi. Hutan-hutan semua gundul,” ujar Pelalung (60 tahun), seorang tetua kampung Likaq Kidau, Sebulu, Kukar. Maraknya pembalakan liar di Kutai Barat dan Kutai Kartanegara beberapa dekade ini memang tampak gencar. Banyak perusahaan lokal maupun asing saling berebut Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Belum lagi pembalakan liar yang menyebabkan kawasan hutan di Kalimantan Timur terus menggundul. Proyek “banjirkap” yang sejak 1970-an memperoleh sokongan pemerintah untuk meningkatkan devisa negara, dalam hal ini, berperan mendorong eksploitasi hutan secara besar-besaran ini. Banjirkap pula yang memancing para pendatang turut menambang ”emas hijau” di rimba Kalimantan.

”Semua dikuras habis, keserakahan kita yang membuat alam ini hancur,” ujar Gerigit, seorang penyentangis atau pawang adat yang tinggal di Desa Jahab ini tandas. Banjirkap memang ibarat banjir uang, mengubah hidup komunitas lokal yang bercorak subsisten. Walhasil orientasi sosial dan kultural mereka pun berubah, seiring berubahnya alih fungsi lahan dan kawasan hutan yang menghilang.

Hilangnya kearifan lokal

Bagi masyarakat adat setempat, bencana belakangan ini bukan hanya soal tindakan pembalakan liar. Banjir juga berkaitan dengan hilangnya kearifan lokal dalam tradisi dan hukum adat setempat.

Baharon Osik, kepala adat Dayak Jahab, misalnya, ikut menyesalkan perubahan ini. Hukum adat, katanya, seperti tak mendapat tempat. ”Para pemimpin membuat keputusan tanpa memperhatikan rakyat, banyak perusahaan yang tak memedulikan nasib masyarakat setempat”, tegasnya. Baharon pun berharap organisasi-organisasi masyarakat adat ikut mendesak pemerintah agar hukum negara dan hukum adat diberlakukan seimbang.

Komunitas adat Benuaq yang tinggal di beberapa wilayah, seperti Barong Tongkok, Bongan, Tanjung Isuy, dan Jahab misalnya, pernah memiliki konsep tata ruang unik dalam pemanfaatan hutan dan lahan.

Hutan bebas dinamai talun luan yang letaknya berada di luar hukum adat mereka. Biasanya kawasan ini dibedakan dengan simpung brahan; yakni, hutan cadangan untuk berburu atau memungut hasil non-hutan. Ada pula simpung umaq taun yang difungsikan khusus lahan perladangan, simpung ramuq atau daerah pemukiman, kebon dukuh atau kawasan untuk lahan perkebunan, dan simpung munan atau hutan bekas ladang sekitar kampung yang ditanami pohon buah dan tanaman keras.

Agak berbeda dengan tradisi adat Benuaq, komunitas Dayak Bentian memiliki siklus atau tahapan pemanfaatan hutan adat atau alas mentun yang tak kalah mengagumkan. Tahun pertama pembukaan ladang disebut umeq, tahun kedua boak, dan pada tahun kelima dinamai kelewako ureq. Selanjutnya disebut kelewako tuhaq (usia 10 tahun), bateng ureq (usia 20 tahun), bateng tuhaq (usia 40 tahun), dan alas kererayon (usia 70 tahun). Baru pada usia 100 tahun, ladang (umeq) kembali menjadi alas mentun. Keuntungan dari siklus ini keseimbangan alam dan tingkat kesuburan tanah bisa dipertahankan.

Kearifan kultural ini memperlihatkan betapa eratnya kesatuan masyarakat lokal dengan alam sekitar. Terdengar mustahil pula bila masyarakat adat melakukan pembabatan hutan sembarangan seperti yang pernah dituduhkan oleh sejumlah pihak. Sistem ladang berpindah kerap dijadikan kambing hitam.

Harmoni dengan alam seolah sudah menjadi prinsip kehidupan. Seperti yang nampak dalam ritual-ritual mereka, seperti upacara lali ugal yang dilangsungkan warga Dayak Bahau saat menanam bibit padi di ladang.

”Bagi kami hutan adalah pasar,” ujar Baharuddin yang kerap dipanggil Abang oleh warga Muara Gusik, Kabupaten Kutai Barat, ini. Artinya, bagi warga sekitar hutan berimba itu menyediakan segala kebutuhan hidup. Dan, bermula dari situ pula hubungan antara masyarakat Dayak dan alam sekitar terjalin harmonis, bahkan bercorak religius-magis.

Marginalisasi ekonomi dan budaya

Eksploitasi hutan besar-besaran dan industri pertambangan serta munculnya banyak pemukiman transmigrasi, secara langsung telah menciptakan perubahan-perubahan sosio-kultural di pedalaman Kalimantan Timur.

Pengelolaan hutan tradisional yang dulu berlaku dan mampu menghidupi masyarakat lokal, kini sulit dijalankan lantaran kawasan hutan tempat mereka hidup telah terkapling-kapling dalam HPH milik para investor. Dan pemerintah pun tak tinggal diam, karena takut kehilangan pendapatan ia pun berlomba membuat perda soal pungutan hasil hutan.

Kampung-kampung warga tergusur. Pola hidup komunal dalam rumah panjang (lamin), misalnya, harus bubar akibat proyek reseatlement yang kerap disponsori pemerintah. Warga pun tercerabut dari akar kulturalnya semula. Runtuhnya lamin menandai pula runtuhnya nilai-nilai egalitarian, komunalitas, dan gotong royong yang amat dijunjung tinggi masyarakat setempat.

Namun celakanya, seperti sebuah opera, masyarakat Dayak hanya bisa menonton drama pembabatan hutan yang semena-mena. Sebuah drama yang berarti juga hilangnya tempat-tempat keramat dan terhormat, serta terkikisnya kepercayaan religius-magis yang mengikat mereka dengan kehidupan sekelilingnya. Hutan kini telah menjadi belukar. Begitu pula lubang-lubang raksasa nampak menganga karena usai pembabatan digali pula batubaranya.

Tidak heran bila Lukas Kapung, Panglima Komando Pertahanan Adat Dayak Kalimantan, tiba-tiba berucap singkat: ”Kalau dulu kami disebut bangsa yang suka memangsa, kini kamilah yang sedang dimangsa.”

Keberadaan lembaga-lembaga adat berbasis etnis di era otonomi daerah barangkali bisa menjadi sinyal munculnya kesadaran komunitas lokal. Betapa hak-hak sosial dan kultural mereka selama ini telah tergusur dan terampas. Namun begitu, situasi ini nampaknya perlu juga disikapi secara hati-hati oleh komunitas sendiri. Masyarakat adat bisa saja jatuh ke dalam konflik bila mereka larut ke dalam logika investor yang berebut untung dengan menjual hak kelola yang sebagian kecil kini mulai dinikmati.

Ada satu problemnya: operasi HPH telah mengajarkan hal serupa agar masyarakat melakukan eksploitasi hutan. Sementara kearifan tradisional dan pengetahuan lokal masyarakat sudah semakin ditinggalkan. Warga yang dulunya pemelihara hutan bisa terjebak dalam logika penebangan hutan secara liar. Seperti yang terdengar di koran-koran, ketika masyarakat berbondong-bondong turut menebas hutan maka tuduhan illegal logging dihembuskan. Mereka pun diburu Tim Wana Laga yang bergerak ibarat hantu malam hari dan di siang bolong.

Banjir besar yang menenggelamkan daratan Kalimantan mungkin bukan sekadar kebetulan, bisa jadi hukuman. Sebuah harga yang mesti dibayar oleh sebuah kelalaian terhadap kearifan tradisi nenek moyang. []

No comments: