Keberhasilan Orde Baru memang sangat tampak dalam politik kebudayaan. Artefakisasi dan museumisasi kebudayaan terjadi di mana-mana, menyusul pembangunan TMII dan berbagai Taman Budaya dan museum di setiap daerah propinsi maupun beberapa kabupaten. Bahkan, tidak puas hanya dengan museum, beberapa daerah seperti
Meski gagasan proyek
Kedua, Dayak Center akan menyebabkan semua hal menyangkut orang dan kebudayaan Dayak memusat pada satu titik yang, seperti pengalaman pusat-pusat yang lain, dikuasai para elite tertentu yang menjadikan titik itu sebagai ‘panggung’ politik untuk melakukan barter berbagai kepentingan dengan pihak luar. Pada saat yang sama, mungkin ini memang naluri sebuah pusat, ia akan mensubordinasi dalam berbagai bentuk terhadap realitas kebudayaan orang Dayak yang beragam. Sebagaimana dalam hal politik, pusat selalu menekan, mengingkari, atau memarjinalisasi setiap bentuk yang tidak sesuai dengannya.
Yang terakhir ini kemudian akan melahirkan problem representasi dan pada tingkat tertentu problem identitas. Representasi, dan seringkali juga identitas, merupakan hal yang amat penting bagi pusat terutama saat berhubungan dengan pihak lain di luar ‘wilayah kekuasaan’nya. Karena legitimasi dan kekuatan pusat itu sendiri amat tergantung pada seberapa jauh ia merepresentasikan unit-unit yang berada dalam rengkuhan kekuasaannya. Problemnya adalah karena pusat yang selalu mengandaikan dirinya tunggal itu tidak akan pernah representatif dalam arti yang sesungguhnya. Semakin kesatuan dibayangkan dan memperoleh prioritas, maka kenyataannya akan semakin terbelah dan terpencar.
Pusat Dayak akhirnya hanya akan mengantarkan warga Dayak kebanyakan yang majemuk dari segi subetnis, ekonomi, agama, dan pendidikan pada dilema dan kemusykilan-kemuskilan hidup. Apa yang diperlukan oleh mereka adalah akses ruang publik sebagai strategi menjaga kelangsungan hidup (survival strategic), bukan permainan politik dan bukan pula pembekuan diri dalam ‘kungkungan’ konstruksi orang lain.
No comments:
Post a Comment