Mencari makalah yang lain :

Google
 

Sunday, July 1, 2007

Sudah Jatuh Ketimpa Tangga

Bisri Effendy


Keberhasilan Orde Baru memang sangat tampak dalam politik kebudayaan. Artefakisasi dan museumisasi kebudayaan terjadi di mana-mana, menyusul pembangunan TMII dan berbagai Taman Budaya dan museum di setiap daerah propinsi maupun beberapa kabupaten. Bahkan, tidak puas hanya dengan museum, beberapa daerah seperti Makassar dan Pekanbaru memuat proyek semacam taman mini di Jakarta. Belakangan, tokoh-tokoh Dayak di Kaltim mencanangkan proyek serupa.

Meski gagasan proyek Dayak Center telah muncul sejak beberapa waktu lalu, namun kongres besar, seperti yang diliput Desantara kali ini, telah menuai sepakat bulat untuk segera merealisasi proyek tersebut. Tampaknya, tokoh-tokoh Dayak telah memastikan betapa pentingnya proyek itu setelah melewati pengalaman rutin berbagai kegiatan komodifikasi kebudayaan di banyak tempat di Kaltim selama ini seperti Erau (Kutai Kartanegara), Safari Mamat Bali Akang (Kutai Barat), dan sebagainya. Orang Dayak Kaltim adalah orang-orang yang sangat intens mengalami berbagai aktivitas kebudayaan yang digerakkan pihak luar dengan sejumlah motivasi, kepentingan, dan keuntungan.

Kehadiran Dayak Center memang tampak menguntungkan terutama berkaitan dengan posisi sosial-politik Dayak di tengah kehidupan etnisitas Kaltim yang plural dengan seluruh dinamika dan kompleksitasnya. Akan tetapi, terutama bagi hari depan orang dan kebudayaan Dayak sendiri, paling tidak ada dua masalah penting yang patut dicatat di sini. Pertama, bahwa Dayak Center mau-tak-mau akan berimplikasi pada atau menjadi penanda bagi semakin menguatnya pembakuan (baca: pembekuan), artefakisasi atau museumisasi kebudayaan Dayak. Dalam konteks Dayak yang cair, plural, dan dinamis, proyek tersebut akan menimbulkan kegamangan dan konflik yang sulit dicari pemecahannya, di samping akan mengangakan jarak antara realitas dan keinginan.

Kedua, Dayak Center akan menyebabkan semua hal menyangkut orang dan kebudayaan Dayak memusat pada satu titik yang, seperti pengalaman pusat-pusat yang lain, dikuasai para elite tertentu yang menjadikan titik itu sebagai ‘panggung’ politik untuk melakukan barter berbagai kepentingan dengan pihak luar. Pada saat yang sama, mungkin ini memang naluri sebuah pusat, ia akan mensubordinasi dalam berbagai bentuk terhadap realitas kebudayaan orang Dayak yang beragam. Sebagaimana dalam hal politik, pusat selalu menekan, mengingkari, atau memarjinalisasi setiap bentuk yang tidak sesuai dengannya.

Yang terakhir ini kemudian akan melahirkan problem representasi dan pada tingkat tertentu problem identitas. Representasi, dan seringkali juga identitas, merupakan hal yang amat penting bagi pusat terutama saat berhubungan dengan pihak lain di luar ‘wilayah kekuasaan’nya. Karena legitimasi dan kekuatan pusat itu sendiri amat tergantung pada seberapa jauh ia merepresentasikan unit-unit yang berada dalam rengkuhan kekuasaannya. Problemnya adalah karena pusat yang selalu mengandaikan dirinya tunggal itu tidak akan pernah representatif dalam arti yang sesungguhnya. Semakin kesatuan dibayangkan dan memperoleh prioritas, maka kenyataannya akan semakin terbelah dan terpencar.

Pusat Dayak akhirnya hanya akan mengantarkan warga Dayak kebanyakan yang majemuk dari segi subetnis, ekonomi, agama, dan pendidikan pada dilema dan kemusykilan-kemuskilan hidup. Apa yang diperlukan oleh mereka adalah akses ruang publik sebagai strategi menjaga kelangsungan hidup (survival strategic), bukan permainan politik dan bukan pula pembekuan diri dalam ‘kungkungan’ konstruksi orang lain.

No comments: