Mencari makalah yang lain :

Google
 

Wednesday, March 21, 2007

AKAL UNIVERSAL DALAM ISLAM

Oleh : Amir Tajrid, M.Ag.

Prologue

Perbincangan mengenai teori atau system pengetahuan (epistem) yang sedang ngtrend dalam diskusrsus ke-Islaman kontemporer banyak mengundang perhatian dari berbagai kalangan akademisi. Perhatian ini terutama diberikan oleh mereka yang concern terhadap kajian-kajian tentang system pengetahuan hubungannnya dengan Islam sebagai sebuah agama yang juga mempunyai budaya dan system pengetahuan. Islam, sebagaimana yang telah di tulis oleh Muhammad Abid al-Jabiri mempunyai tiga system pengetahuan. System pengetahuan ini ia sebut dengan epistemologi bayani, burhani, dan irfani. “Sistem pengetahuan” ini kadang juga disebut dengan istilah “Nalar”. Dengan kata lain, kebudayaan Arab Islam terbangun di dasarkan pada pada tiga system pengetahuan sebagaimana berikut: system pengetahuan bayani yang dibangun di atas warisan Islam “murni” yakni bahasa dan agama (yang tereduksi dalam bentuk wahyu) sebagai teks, system pengetahuan irfani yang didasarkan pada irrasionalitas atau ketersingkiran akal dalam tradisis kuno pra Islam khususnya budaya hermetic, dan terakhir adalah system pengetahuan burhani yang dibangun berdasarkan filsafat dan ilmu-ilmu rasional khususnya logika Aristoteles.

Dua dari ketiga system pengetahuan tersebut, yakni system pengetahuan bayani dan irfani keberadaannya tidak perlu diperdebatkan lagi. Karena system pengetahuan/nalar bayani adalah penopang utama bagi keberadaan kebudayaan Islam yang memang lekat dengan budaya teks. Sehingga Islam pun dikenal atau identik dengan agama teks, yang merupakan bentuk reduksi dari nalar ini. Bahkan nalar bayani (yang terejawantahkan dalam teks) ini marasuki hampir di seluruh pengetahuan Islam. Pengetahuan apapun dalam Islam harus di dasarkan pada teks. Kuatnya budaya teks ini terlihat dalam kedua sumber Islam, yakni al-Qur’an dan al-Hadits. Akibat keterkungkungan nalar Islam yang tereduksi dalam bentuk teks ini menjadikan Islam tidak mudah merespon permasalahan empiris yang terjadi dalam masyarakat. Oleh karena itu, mengandalkan nalar bayani an sich tidaklah cukup, melainkan juga harus memasukkan nalar burhani (akal universal). Nalar yang berangkat dari pemahaman akal terhadap realitas maujud yang dibangun berdasarkan filsafat dan ilmu-ilmu rasional. Keberadaan nalar burhani ini dalam sejarah kebudayaan Arab Islam pernah mengalami ketersingkiran yang cukup lama, walaupun pada akhirnya kembali hadir dalam kebudayaan tersebut. Timbul tenggelamnya nalar burhani (akal universal) ini menarik untuk diadakan pengkajian secara khusus dalam tulisan ini. Sebagaimana nalar bayani, nalar irfani pun menjadi salah satu penopang bagi kebudayaan Islam walaupun diantara keduanya kadang terjadi persaingan dalam mempengaruhi kebudayaan tersebut. Fenomena nalar irfani atau ketersingkiran akal ini terlihat dengan hadirnya konsep imamah dalam tradisi Syi’ah dan walayah dalam tradisi agnostisisme (sufi) yang masih berjalan hingga sekarang.

Sedangkan nalar burhani mengalami peminggiran secara sistematis akibat pertarungan politik penguasa. Terutama setelah idieologi Mu’tazilah digantikan oleh ideology Sunni. Memang nalar burhani ini pernah mengalami masa keemasan pada saat pemerintahan Khalifah al-Makmun al-Abbasiy. Namun setelah era al-Makmun al-Abbasiy, tepatnya pada masa pemerintahan Khalifah al-Mutawakkil ala Allah yang berideologi sunni, nalar burhani mengalami keterpasungan secara sistematis karena tidak di dukung oleh penguasa. Dan lambat laun nalar ini mulai tergantikan oleh nalar yang lain. Walaupun dalam kondisi tertentu muncul seorang tokoh yang mencoba menghidupkan kembali nalar ini. Tetapi keberadaannya tidak begitu signifikan karena nalar yang lain sudah begitu kuat merasuk dalam alam pikiran dan system budaya Islam yang ada saat itu. Sehingga hal ini pun berakibat pada menguatnya dimensi normative agama. Sebab normativitas agama ini lebih banyak dipahami dengan menggunakan pendekatan nalar bayani (nalar teks). Sedangkan dimensi historisitas agama yang tidak dapat dilepaskan dari aspek ruang dan waktu yang banyak dipahami dengan menggunakan pendekatan nalar burhani menjadi melemah.

Terjadinya peminggiran nalar burhani, setidaknya memberikan penegasan bahwa dalam epistem kebudayaan Arab Islam terjadi sebuah dialektika diantara ketiga nalar yang dikenal dalam Islam. Dialektika ini mewajibkan adanya sebuah persaingan untuk memperebutkan dominasi cultural untuk mempengaruhi alam pikiran umat Islam. Dialektika dalam memperebutkan dominasi cultural ini pada akhirnya menempatkan sebuah nalar tertentu vis a vis nalar yang lain. Misalnya nalar bayani berhadapan dengan nalar burhani, di satu sisi dan nalar burhani berhadapan dengan nalar irfani, pada sisi yang lain. Atau bahkan terjadi penggabungan diantara kedua nalar tertentu. Misalnya untuk memperkuat nalar irfani, maka harus dilandasi dan berpijak pada nalar bayani (ta’sis al-irfan alal bayan).

Berdasarkan ketersingkiran nalar burhani (akal universal) dalam budaya Islam sebagaimana dijelaskan di atas, tulisan ini akan coba menelusuri kembali keberadaan akal universal yang pernah mendominasi dalam kebudayaan Arab Islam dengan mengungkapkan fakta-fakta sejarah masuknya nalar tersebut dalam kebudayaan Arab Islam. Upaya ini dilakukan untuk memberikan pandangan yang seimbang tehadap adanya polemik seputar campur tangan akal universal sebagai sebuah system pengetahuan dalam menentukan dan menilai tentang kebenaran agama. Dengan kata lain antara agama dan akal universal sebenarnya saling berhubungan. Keberadaannya saling menguatkan dan tidak bertolak belakang, karena tujuannya sama. Yakni untuk mencari sebuah kebenaran tertinggi (Tuhan) walaupun cara dan prosedurnya berbeda. Sedangkan kedua system pengetahuan yang lain tidak difokuskan dalam tulisan ini, walaupun tidak menutup kemungkinan akan disinggung juga dalam tulisan ini walaupun secara sekilas.

Masuknya akal Universal dalam kebudayaan Islam

Masuknya akal universal (baca:nalar burhani) secara histories menempati posisi yang terakhir dibandingkan dengan dua nalar yang lain, yakni nalar bayani dan nalar irfani. Walaupun embrio nalar universal ini pada masa-masa awal Islam sudah dikenal dalam dunia Arab. Tetapi sebatas hanya berupa pengetahuan yang masih bersifat umum dalam arti belum dikenal secara sistematis dan terpelajar. Karena nalar ini diketahui tidak menggunakan cara dan prosedur atau teori pengetahuan. Sedangkan nalar bayani dan irfani sudah dikenal secara terpelajar pada masa-masa awal, bahkan nalar yang kedua (irfani) sudah dikenal jauh sebelum Islam datang.

Artikel akan datang dari penulis yang sama :

- Formulator Madzab Hanafi

- Menyeimbangkan Tauhid Sosial dan Tauhid Individual

- Fenomena Jilbab dalam Konstruksi Fiqh

- Kritik Nalar Arab : Solusi Perseteruan Tiga Nalar Dalam Islam

- Mahasiswa dan Tanggung Jawab Sosial

- Peran Muhammad Ali Pasa dan M. Abduh Terhadap Modernisasi Pendidikan di Mesir

- Pendekatan Sejarah Dalam Studi Islam

No comments: