Mencari makalah yang lain :

Google
 

Saturday, March 17, 2007

DEKONSTRUKSI DAN SUMBANGAN TERHADAP PLURALISME ERA POSTMODERN

Oleh: Merah Johansyah ismail[i]

Perbincangan awal mengenai posmodern sebagai era baru pasca era modern, memang teramat jauh dari hiruk pikuk kita khususnya masyarakat pengetahuan di Indonesia. Hingga hari ini pun sesungguhnya perbincangan mengenai posmodernisme[ii] sebagai identitas alur fikir di era posmodern masih juga belum usai, apalagi akan di usaikan. Untuk itu menurut penulis amatlah penting bagi kita untuk juga bisa ikut memperbincangkan, mengkritisi bahkan mencari tahu lebih dalam tentang diskursus posmodernisme ini. Wa bil khusus, mengkomparasikan serta mendialogkan-nya dengan khasanah klasik Islam (turats) guna mencari signifikansinya dalam melakukan revitalisasi tradisi agar memiliki super-fungsi dalam memecahkan teka-teki serta tantangan zaman (sholih likulli zaman wal makan).

Ada beberapa kata kunci dalam tulisan ini, pertama adalah Dekonstruksi, kedua adalah Pluralisme dan yang ketiga adalah Posmodern dan Posmodernisme. Sedangkan kalimat kuncinya adalah: “ bagaimana dekonstruksi memberikan sumbangan terhadap wacana pluralisme yang hangat dan menjadi santapan sehari-hari kita, khususnya pluralisme agama yang menjadi akar tradisi Islam dan menjadi hidangan siap saji dalam studi studi Islam di indonesia seperti di UIN, IAIN serta STAIN atau dilembaga universitas lainnya, di era posmodern dimana humanisme dan HAM menjadi teramat berharga”.


DEKONSTRUKSI FOR BEGINNER

Istilah dekonstruksi awalnya diperkenalkan oleh Heidegger dan Husserl[iii] dengan istilah retorik ‘Destruksi’ sebagai lawan dari istilah ‘Konstruksi’. Selanjutnya di populerkan dan di radikalkan lebih jauh oleh Jacques Derrida[iv] kecenderungan yang muncul dari radikalisasi ini adalah untuk mengatasi segala bentuk pandangan dunia modern yang sama sekali anti pandangan dunia. Dekonstruksi yang dipopulerkan oleh Derrida merupakan bentuk afirmasi (penerimaan) terhadap yang lain (the other), yang berbeda. Tujuan utama dekonstruksi adalah membiarkan ‘berserakan’ dengan kebenaran-nya masing-masing, lebih jauh bahkan melampau destruksi milik Heiddeger. Afirmasi sebagai ciri dekonstruksi bukanlah filsafat nihilistik seperti yang banyak dituduhkan[v] hingga berujung pada titik klimaks yaitu tindakan protes dan boikot oleh beberapa ilmuwan di Universitas Cambridge pada tahun 1992, untuk memberikan gelar Doctor Honoris Causa kepada Derrida walaupun akhirnya keputusan itu dirubah dan ia (Derrida) menerimanya dengan santun. Alasan penolakan mereka karena karya Derrida tersebut dianggap tidak memenuhi standar yang diterima untuk kejelasan dan ketekunan (rigor).

Begitulah Derrida menancapkan diri sebagai filsuf yang mempopulerkan dekonstruksi sebagai alat baca dalam dunia filsafat. Dekonstruksi akhir-akhir ini marak kita temukan dalam tesis-tesis serta hasil penelitian dan karya ilmiah bahkan sudah ratusan, ribuan peneliti dan pemikir yang meneliti tentang dekonstruksi. Dalam dunia Islam kontemporer akhir-akhir ini dekonstruksi pun tidak luput untuk dijadikan alat baca dalam memenuhi tantangan zaman. Beberapa pemikir dari dunia muslim tersebut diantaranya adalah Abdullah Ahmed An-Naim lewat magnum opusnya “Dekonstruksi Syariah” (LKiS; 2000). Serta masih banyak karya lainnya.

Seperti yang telah diulas diatas secara singkat penulis akan coba memaparkan cara kerja dekonstruksi. Hal yang paling mendasar dalam dekonstruksi adalah afirmasi (penerimaan), dekonstruksi secara motorik berbeda dengan destruksi sebagai lawan dari konstruksi, apabila konstruksi adalah upaya membangun maka destruksi adalah upaya meruntuhkan, berbeda lagi dengan dekonstruksi, dekonstruksi adalah membiarkan ‘berserakan’, membebaskan kebenaran dari kungkungan tafsir kepentingan aktor pembangun (konstruktor) serta kepentingan aktor peruntuh (destruktor) sekaligus. Maka dekonstruksi adalah afirmasi, penerimaan terhadap semua kebenaran yang berserak, sebuah perayaan terhadap hak privat, melihat kebenaran sebagai butir-butir atom walau kecil ia tetaplah sebuah atom atau kebenaran, maka dekonstruksi hakikatnya adalah sebuah pluralisme kebenaran bukan nihilistik karena kebenaran tetap ada walaupun berserak dan diakui keberadaan-nya. Habermas mengatakan bahwa pada hakikatnya dekonstruksi Derrida adalah praksis, karena hakikatnya adalah ‘laku’ bukan ‘tahu’[vi]. Maka orang bisa mengambil keputusan dengan tidak disertai oleh pengetahuan sekalipun. Justru dalam keadaan yang berserak, merayakan hak privat, tanpa pusat yang mengatur dan menentukan. Dalam keadaan dimana ukuran tidak diketahui, langkah manusia ditentukan oleh apa yang disebut oleh Kant sebagai ‘hukum moral’ (meta-science) yang ada dalam hati—yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, secara positivistik ala ilmuwan atau filsuf era modern yang identik dengan arogansi rasionalisme-positivistik dalam dunia filsafat. Inilah yang membuat Kant tak henti-hentinya takjub.

Nasib Pluralisme Hari Ini

Di dunia hari ini yang disesaki oleh klaim kebenaran, serta klaim penyalahan (takfir), maka pluralisme harus tetap menerima takdirnya ketika berhadapan dengan kondisi dunia dan zaman. Dalam kecenderungan global pun pluralisme seringkali diperalat sebagai kultur yang menguntungkan para penjaja demokrasi sebagai ‘ibu kandung’ dari pluralisme. Atas nama demokrasi dan pluralisme ‘kepatutan’ dan ‘ketidakpatutan’ diciptakan tentu saja sekali lagi atas dasar kepentingan. Kasus HAMAS di palestina bisa diambil contoh sebagai salah satu bentuk ambivalensi, standar ganda dan politik ’dua wajah’ para penjaja demokrasi tersebut yakni Amerika Serikat Cs. Belum lagi apalagi bila kita berbicara dalam konteks yang lebih kecil di Indonesia misalnya pluralisme hanya menjadi slogan kosong dan seringkali di plintir oleh penafsirnya (kostruktor), berbagai tindakan amoral lewat kekerasan dan klaim kebenaran muncul sebagai takdir yang harus dihadapi oleh pluralisme yang juga kehadiran-nya sebagai takdir pula. Amoralitas terhadap jemaat minoritas Ahmadiyah, kekerasan antar suku dan ras seperti tragedi Sampit, Ambon dan Poso hingga yang paling anyar ‘bentrok’ wacana pendukung dan penolak RUU APP[vii].

Untuk itu dekonstruksi sebagai diskursus menemukan relevansi dan signifikansinya dalam melihat dan mencoba menjawab problem kebangsaan bahkan krisis kemanusiaan dunia hari ini. Dekonstruksi dalam pluralisme menjadi tawaran yang diharapkan mujarab dan manjur mengatasi penyakit-penyakit umat manusia yaitu kesombongan, arogansi, dan klaim veto akan kebenaran. Usaha ini sudah banyak dirintis oleh banyak pemikir dunia kontemporer. Begitu juga dalam dunia timur yang seringkali di cap sebagai Negara Dunia Ketiga oleh arogansi Barat. Pemikir-pemikir dari dunia Timur yang banyak menyumbang jasa tersebut diantaranya seperti Ali Harb lewat karyanya Naqd al-Haqiqah (Kritik Kebenaran), Muhammad Arkoun lewat magnum opusnya Naqd al-Aql al-Islamy (Kritik Nalar Islam), Hassan Hanafi lewat Al-Yasar al Islamy, Min al-Aqidah Ila at-Tsaurah (Islam Kiri, Oksidentalisme dan Dari Akidah Ke Revolusi) dan Dr. Millad Hanna (Menebar Toleransi Membela Pluralisme; Edisi Indonesia, JIL: 2005). Hanya yang harus ditegaskan adalah reformulasi dengan memasukkan dekonstruksi dalam diskursus pluralisme memungkinkan lahirnya suatu pe-makna-an baru akan pluralisme. Dalam hal ini pluralisme akan lebih generik menerima makna yang dibebankan pada-nya, guna melawan tantangan yang lebih berat di era pasca modern (posmodern) di mana rasio yang ‘serius’ sudah tidak di buru lagi, masa posmodern adalah masa di mana filsafat juga harus menerima pemaknaan yang selama ini jauh darinya serta mengeliminir arogansi filsafat era modern yaitu rasionalisme-positivistik. Begitu juga dengan ‘epistimogi’ yang harus runtuh dengan ‘meta-epistimologi’ yang biasa disebut oleh bapak Posmodernisme Jean Francis Lyotard sebagai ‘meta-narasi’. Dimana ‘cara’ atau landasan kita membuat kriteria benar-salah harus di bongkar, akhirnya rasionalisme harus digantikan oleh meta-rasionalisme dan epistimologi arus digusur oleh meta-epistimologi[viii].


Agama Dan Dekonstruksi

Sebenarnya sudah jauh-jauh Islam dan agama-agama lain – baik secara definisi maupun secara ideologis sudah menyatakan kehadirannya sebagai bentuk afirmasi (penerimaan) terhadap segala bentuk perbedaan. Hal tersebut dapat ditemukan dalam khasanah klasik Islam yang bertebaran dalam teks-teks suci al-Qur’an, penulis ingin mengatakan bahwa Islam secara sosial hadir dan berperan sebagai ‘dekonstruksionis’ serta berpihak pada Pluralisme. Hal itu secara tegas di sebutkan dalam banyak nash seperti la ikraha fi din (tidak ada paksaan dalam beragama), ikhtilafu fi ummati rahmah (Perbedaan dalam umat adalah rahmat; Sabda Nabi) dan masih banyak yang lainnya. Begitulah Islam mengambil posisi yang amat penting yaitu merayakan perbedaan, dan memberikan kebebasan bagi siapa saja untuk memeluk keyakinan sesuai dengan keinginan.

Dekonstruksi dalam Islam meniscayakan lahirnya sebuah kegairahan akan pluralisme dan perbedaan yang dirayakan. Tentu saja dekonstruksi bukanlah ajakan untuk bersikap nihilistik terhadap makna kebenaran. Dekonstruksi melampaui nihilisme yang dengan naif dan membabi buta mempercayi tak ada lagi kebenaran yang dapat di pegang, demikian pula dekonstruksi melampaui dogmatisme tradisional yang lebih memilih percaya bahwa hanya ada satu kebenaran. Dekonstruksi lebih merupakan sebuah rangsangan untuk tidak melihat kebenaran yang kita yakini sebagai satu-satunya kebenaran. Ada banyak kebenaran, bahkan terlalu banyak, dan kita kita dapat memilih kebenaran itu sejauh yang kita butuhkan. “there are as many truths as one needs, too many truths, a surfeit”[ix]. Pluralisme dalam Islam adalah sebuah afirmasi penerimaan akan kehadiran yang lain, dalam sebuah karyanya Hassan Hanafi pemikir muslim asal Mesir pernah berujar bahwa Islam teramat mengagungkan konsep tauhid, walaupun banyak diterjemahkan secara konvensional sebagai ‘ke-Esa-an Tuhan di hadapan manusia’ tetapi bagiku tauhid adalah kebalikannya yakni simbolisasi dan terjemahan dari ‘ke-Esa-an manusia di hadapan Tuhan’[x]. Bagi penulis komentar mengenai definisi tauhid yang di lontarkan oleh Hassan Hanafi adalah sebuah definisi unik sekaligus paling menarik. bagi beliau, Islam menjunjung tinggi ke-Esa-an manusia dihadapan Tuhan, kesetaraan (al-musawwah) antar manusia, antar agama dan keyakinan di hadapan Tuhan. Tidak satu pun yang memiliki derajat dan merasa ‘berhak’ paling unggul dan memiliki otoritas lebih. Tentu saja bagi penulis pernyataan Hassan Hanafi ini sangatlah dekonstruksionis dan merupakan penegasan akan visi Islam yang rahmatan lil alamiin.

Daftar Pustaka

The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, kondisi Posmodern, edisi terjemahan, J.F.

Lyotard, Pantha Rei Book, jogyakarta, 2003.

Derrida, Jacques, Spurs: Nietzsche’s Styles, Terj. Barbara Harlow, Chicago Press, 1979. baca juga

Muhammad Al Fayyadl, Derrida, Lkis, Jogyakarta, 2005, Hal.174.

Hanafi, Hassan, Min al-aqidah ila Ats-Tsaurah (Dari Akidah Ke Revolusi) edisi terjemahan,

Paramadina, 1999.

Sugiharto, Bambang; Posmodernisme; Tantangan Bagi Filsafat, (Yogyakarta: kanisius, 1996), hal. 27.

Gunawan Muhammad, Sebuah Rekomendasi Untuk La Survie, pada karya Muhammad al-Fayyadl, Derrida, LkiS, Jogyakarta, 2005, baca pengantar.



[i] Penulis adalah Presiden BEM STAIN Samarinda 2005-2006, Masih tercatat sebagai Mahasiswa Jurusan Syari’ah STAIN Samarinda, aktif pula di NALA DWIPA (Institute for Social and Cultural Studies) Kal-Tim, Juga aktif sebagai Koordinator Program Jaringan Islam Emansipatoris (JIE) kal-Tim, berdomisili di Balikpapan.

[ii] Posmodernisme diidentikkan sebagai ciri khas alur fikir di era postmodern sebagai alur sejarahnya. Perbedaannya adalah apabila postmodern adalah zaman yang diidentifikasi sebagai zaman pasca modern, sedangkan posmodernisme merupakan trend dan variasi pemikiran yang muncul pada era postmodern. Sebenarnya para pemikir postmodern pun masih belum sepakat mengenai definisi posmodernisme itu sendiri, disoal bagaimana menafsirkan kata ‘pos’ itu sendiri, apakah itu berarti pemutusan hubungan total seprti yang diungkapkan Gellner atau Lyotard? Atau jangan-jangan bentuk lain dari modernisme yang telah sadar diri? seprti yang dilontarkan oleh Giddens, atau tahap modernisme yang belum usai, seperti kata Habermas. Baca lebih lanjut I. Bambang Sugiharto; Posmodernisme; Tantangan Bagi Filsafat, (Yogyakarta: kanisius, 1996), hal. 27.

[iv] Nama lengkapnya adalah Jacques Derrida, seorang filsuf postmodern, Bapak dekonstruksionisme, keturunan Yahudi lahir di El Biar—salah satu wilayah Aljazair pada 15 Juli 1930. Aljazair adalah Negara poskolonial dimana Derrida melihat dengan mata telanjang perlakuan dan tindak-tanduk penjajah mencengkram rakyat. Pada 1949 pindah ke Prancis, untuk bersekolah dan mengajar di Hussrl Archive dan unversitas Sorbonne. Pada tahun 1980 Derrida mempertahankan tesis doktoral-nya dan pada 1989 di angkat sebagai guru besar humaniora di Universitas California, Irvine. Pada tahun 2001 ia memperoleh anugerah adorno-preis, sebuah anugerah prestisius di Jerman. Pada tahun 2003 Derrida di vonis menderita kanker, dan wafat serta di makamkan di Paris pada musim gugur 2004 lalu.

[v] Karena cenderung anti teori atau anti metode, kemunculan dekonstruksi mendapat tanggapan yang serius dari sebagian ilmuwan, terutama dari mereka yang masih memegang teguh positivisme sebagai trend pemikir modernis, maka mereka mengklaim bahwa dekonstruksi adalah filsafat relativis-nihilistik yang tidak layak mendapat penghargaan dalam dunia ilmiah yang didominasi oleh positivisme-rasionalisme. Seperti yang kita tahu bahwa modernisme lewat filsafat rasionalisme-positivistik-nya menancapkan ‘arogansi’-nya dalam filsafat dengan menyingkirkan sama sekali metafisika, arogansi ini akhirnya pada akhirnya menemukan lawannya ketika posmodernisme di ‘deklarasikan’ sebagi tantangan terbuka bagi rasionalisme-positivisme dalam dunia filsafat. Pendekar-pendekar posmodernisme itu diantaranya adalah Paul De Man, Lyotard, Heiddegger, Husserl, Habermas dan Derrida serta para pendahulunya yang sudah lebih dulu menancapkan tonggak awal yaitu Nietsczhe.

[vi] Derrida sendiri mengakui ada kesejajaran antara dekonstruksi dan pragmatisme (Praktis). Dalam Pengantar panjang Gunawan Muhammad, Sebuah Rekomendasi Untuk La Survie, pada karya Muhammad al-Fayyadl, Derrida, LkiS, Jogyakarta, 2005, baca pengantar.

[vii] Beberapa kawan mengatakan bahwa pendukung RUU APP seringkali disetir oleh ahistorisme, lupa akan asal-usul bangsa yang majemuk dengan mendukung upaya penyeragaman etika dan estetika bangsa, mereka juga lupa akan semboyan negeri ini ‘Bhnneka tunggal Ika’ krisis RUU APP ini menyeret pada kemungkinan disintegrasi bangsa dan mengkaburkan nasionalisme sebagai identitas bangsa

[viii]The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, kondisi Posmodern, edisi terjemahan, J.F. Lyotard, Pantha Rei Book, jogyakarta, 2003.

[ix]Jacques Derrida, Spurs: Nietzsche’s Styles, Terj. Barbara Harlow, Chicago Press, 1979. baca juga Muhammad Al Fayyadl, Derrida, Lkis, Jogyakarta, 2005, Hal.174.

[x] Hassan Hanafi, Min al-aqidah ila Ats-Tsaurah (Dari Akidah Ke Revolusi) edisi terjemahan, Paramadina, 1999.

No comments: