Mencari makalah yang lain :

Google
 

Sunday, March 25, 2007

MENYEIMBANGKAN TAUHID INDIVIDUAL DAN TAUHID SOSIAL


Oleh: Amir Tajrid, M.Ag.

(Alumni Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, sekarang Staf pengajar di STAIN Samarinda, direktur kajian pada Pusat Pengembangan Masyarakat Indonesia (BARNEA Center) Kalimantan Timur).

“Wama khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun”.

Artinya: “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk menyembah-Ku”.

Cuplikan ayat di atas, menegaskan bahwa manusia sebagai hamba Allah SWT. mempunyai tugas utama menyambah kepada-Nya. Substansi ayat tersebut sayogjanya tidak dianggap sebagai sebuah slogan saja, yang kosong dari perilaku nyata. Sebab ibadah yang kita lakukan kepada sang Khalik merupakan sebuah bentuk kepatuhan hamba kepada Tuhannya. Kepatuhan hanya kepada sang Khalik (bukan kepada yang lain) ini, menunjukkan tidak adanya sekutu baginya. Ini berarti dalam segala tindakan dan perilaku yang kita lakukan harus selalu mencerminkan nilai-nilai tauhid sebagaimana yang diajarkan oleh baginda Rasulillah SAW.

Sebagaimana diketahui bahwa diutusnya Rasulullah SAW. di muka bumi ini adalah untuk menyampaikan risalah tauhid. Yakni pengakuan terhadap keesaan Allah. Risalah tauhid ini diturunkan karena dilatarbelakangi oleh budaya paganisme (budaya musyrik) yang telah merusak risalah tauhid yang telah dibawa oleh rasul-rasul sebelumnya. Risalah tauhid (yang bernama Islam ini) yang dibawa oleh Rasulullah SAW. secara garis besarnya memuat dua dimensi. Dimensi pertama adalah apa yang disebut dengan hablun minallah. Yakni hubungan antara makhluq dan Khaliqnya atau yang dikenal dengan tauhid individual. Hubungan langsung antara makhluq dan khaliqnya ini dalam Islam juga disebut dengan ibadah makhdhah, ibadah murni. Yakni ibadah-ibadah yang tidak dapat dinalar oleh akal manusia. Hubungan antara manusia sebagai makhluk dengan Allah SWT sebagai Sang Khaliq diatur melalui bidang ilmu tertentu yang disebut dengan fiqh ibadah. Yakni sekumpulan aturan yang digunakan untuk mengatur cara bagaimana manusia berhubungan dengan Allah SWT. Bagaimana cara berwudlu, bagaimana cara shalat, dan lain sebagainya. Tata hubungan yang dilakukan oleh manusia dengan Sang Khaliq dalam rangka menjaga kwalitas keimanan dan nilai-nilai tauhid ini dikenal dengan tauhid individual.

Dimensi kedua adalah apa yang disebut dengan hablun minannas. Yakni hubungan antara makhluq satu dengan makhluq yang lain. Antara manusia satu dengan manusia yang lainnya. Hubungan antar manusia sebagai makhluk sosial. Hubungan ini dikenal dengan istilah tauhid sosial. Penggunaan istilah tauhid sosial dalam konteks ini lebih disebabkan oleh adanya alasan bahwa apapun yang diperbuat manusia dalam hubungannya dengan sesama makhluk lainnya harus bermuara pada nilai-nilai tauhid. Ini berarti tujuan akhir dari apa yang dilakukan oleh manusia adalah kepada Yang Satu. Yakni, demi dan karena Allah bukan karena yang lain.

Sebagaimana halnya tauhid individual, tauhid sosial dalam arti hubungan sosial juga membutuhkan aturan-aturan yang mengatur hubungan tersebut. Dalam istilah fiqh dikenal dengan fiqh mu’amalah atau fiqh sosial, yakni sekumpulan aturan yang mengatur cara bagaimana manusia melakukan interaksi sosial. Berkaitan dengan fiqh mu’amalah atau fiqh sosial ini, terdapat pemahaman yang salah di kalangan masyarakat kita. Selama ini mereka memandang bahwa fiqh mu’amalah atau fiqh sosial hanya menyangkut soal-soal yang berhubungan dengan perdagangan. Padahal tidak demikian, fiqh sosial mengatur seluruh hubungan sosial manusia tidak hanya sebatas perdagangan, tetapi juga mengatur berbagai bentuk hubungan yang lain. Bagiamana cara berhubungan, berperilaku, dan bersikap dengan keluarga, tetangga, alam lingkungannya dan lain-lainnya. Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang harmonis, maka harus ada upaya pembaharuan pemahaman yang keliru tersebut.

Keberadaan tauhid individual dan tauhid sosial (yang sudah diatur dalam fiqh individual dan sosial) harus berjalan secara bergandengan dan bersama-sama. Di sana harus terjadi sebuah keseimbangan dalam tata kehidupan seorang muslim. Sebab tidak bisa dikatakan sebagai seorang muslim yang sempurna jika salah satu hubungan tersebut tidak berjalan secara baik dan seimbang. Misalnya, seseorang baik dalam tauhid individualnya, tetapi tauhid sosialnya kurang baik. Atau sebaliknya tauhid sosialnya baik, tapi tauhid individualnya masih dipertanyakan. Jika demikian, maka di sana akan terjadi sebuah ketidakseimbangan. Mungkin di mata manusia ia dikenal sebagai seorang yang baik dan dermawan. Tetapi di mata Allah SWT ia bukanlah orang yang baik. Atau sebaliknya ia di mata Allah SWT. adalah baik, tetapi lantaran hubungan sosialnya kurang baik maka ia dicap masyarakat sebagai orang yang tidak baik. Yang pada akhirnya dapat menimbulkan prasangka buruk yang berujung pada perbuatan dosa. Untuk menghindarinya, sudah barang tentu mereka yang mempunyai pikiran sehat dapat dipastikan memilih baik pada kedua dimensi tersebut. Yakni baik di sisi Allah dan juga baik di sisi sesamanya.

Penegasan mengenai keseimbangan tauhid individual dan tauhid sosial ini, dapat kita analisa melalui teks al-Qur’an. Di dalam teks sakral al-Qur’an banyak sekali kita temukan kata amanu yang digandeng dengan kata amilussalihat. Diantaranya adalah ayat:

“Walladzina amanu waamilussalihati ulaika ashabul jannati hum fiha khalidun”.

Artinya: “Dan orang-orang yang telah beriman dan telah berbuat kabijan, mereka itu adalah ahli surga, dan mereka kekal di dalamnya”.

Ayat lainnya adalah:

“Walladzina amanu waamilussalihati sanudhiluhum jannatin tajri mintahtihal anharu khalidina fiha abada lahum fiha azwajun mutahharatun wanudkhiluhum dhillan dhalila”.

Artinya: “Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan akan Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir dari bawahnya sungai-sungai kekal dan abadi di dalamnya. Baginya di dalamnya isteri-isteri yang disucikan dan Aku akan memasukkan mereka ke dalam perlindungan-Ku”.

Berdasarkan kedua ayat di atas ditemukan dua kata yang selalu bergandengan. Yaitu kata amanu yang berarti berkaitan dengan persoalan keimanan yang bersifat individual. Sebab hakekat keimanan ini hanya seseorang mukmin dan Allah SWT. yang tahu. Hanya Allah saja yang mengetahui gerak hati seseorang. Dan kata amilussalihat : berbuat kebajikan, yang berarti berkaitan dengan berbuat baik dan menjaga keharmonisan alam, terutama melakukan hubungan dengan sesama manusia sebagai makhluk sosial.

Sebagaimana diketahui bahwa Islam sangat menjujung tinggi nilai-nilai universal diantaranya adalah nilai balancing. Nilai balancing atau keseimbangan ini juga berlaku pada kedua hubungan tersebut, yakni hubungan tauhid sosial dan tauhid individul. Urgensi (arti penting) balancing ini, terutama yang menyangkut hubungan sosial sangat ditekankan oleh Islam. Sebab terciptanya hubungan sosial yang harmonis merupakan pilar utama terbentuknya masyarakat yang berperadaban. Islam tidak saja mengatur hubungan antar masyarakat sesama muslim, tetapi Islam juga mengatur hubungan masyarakat muslim dengan masyarakat non muslim. Bahkan Islam juga mengatur hubungan internasional. Yakni hubungan negara Islam dangan negara yang lain. Sebagaimana yang terlihat dalam dinasti Abbasiyah Islam yang berpusat di Baghdad.

Hubungan sosial antar sesama muslim sebagaimana yang tergambar dalam sabda Rasulullah SAW dikatakan, bahwa seorang muslim adalah saudara bagi seorang muslim lainnya, ibarat sebuah bangunan atau seperti satu jasad. Jika salah satu anggotanya tersakiti maka anggota yang lain pun ikut merasa sakit. Ibarat bangunan rumah maka peran yang dimainkan oleh umat Islam sebagai makhluk sosial tentunya tidak sama. Masing-masing mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda dan tidak seragam. Masing-mesing berperan sesuai dengan status yang dimilikinya. Perbedaan status dan peran ini disebabkan oleh perbedaan kemampuan yang dimiliki oleh mereka. Oleh karena itu masing-masing harus taat dan patuh sesuai dengan tanggungjawab yang diembannya. Mereka yang menjadi pedagang, silahkan menjadi pedagang yang baik dan jujur. Mereka yang menjadi guru silahkan melakukan tugas mengajarnya dengan baik dan bertanggung jawab. Mereka yang menjadi nelayan silahkan menjadi nelayan yang baik. Demikian juga mereka yang menjadi DPR silahkan menjadi anggota dewan yang baik. Tidak hanya sekedar menuntut haknnya saja tetapi juga menjalankan kewajibannya. Yakni memperjuangkan hak-hak dan aspirasi masyarakat yang diwakilinya.

Namun demikian, dari berbagai macam latar belakang yang berbeda-beda ini harus tetap kompak menjalankan kwajibannya masing-masing. Sehingga tercipta sebuah tatanan masyarakat yang harmonis.

Hubungan sosial selanjutnya adalah hubungan sosial antara masyarakat nuslim dengan masyarakat non muslim. Dalam sejarah Islam sebagai yang ditulis oleh penulis-penulis muslim ternama, seperti Ahmad Amin dalam kitabnya Dhuha al-Islam dan Fajrul Islam atau penulis orientalis, seperti Marshall G.S Hodgson dalam bukunya The Venture of Islam, atau Ira M. Lapidus dalam bukunya Sejarah Sosial Umat Islam, dikatakan bahwa, di sana telah terjadi adanya hubungan yang harmonis antara masyarakat muslim dan non muslim dengan terwujudnya jaminan kesalamatan pada jiwa atau harta benda masyarakat non muslim. Bahkan mereka diberi kebebasan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya masing-masing. Mereka dijaga keselamatannya berdasarkan undang-undang yang berlaku. Tidak ada pemaksaan dan perampasan hak asasi mereka. Oleh karenanya berdasarkan fakta-fakta sejarah ini, kita sebagai umat Islam harus berjiwa besar dengan memberikan pengayoman pada saudara-saudara kita yang beda agama dan pada saudara-saudara kita yang minoritas dalam masyarakat kita. Sebagai kelompok mayoritas umat Islam senantiasa harus menebarkan kenyamanan dan kedamaian dalam masyarakat.

Hubungan sosial selanjutnya adalah hubungan internasional. Islam belasan abad yang lalu telah merumuskan sistem hubungan ini. Dalam sejarah dikatakan bahwa ulama yang pertama kali merumuskan sistem hubungan internasional ini adalah Imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah merumuskan dasar-dasar hubungan internasional ini dengan mendiktekan pemikiran-pemikirannya kepada murid-murid utamanya seperti Imam Abu Yusuf, Muhammad Ibnul Hasan al-Syaibany, dan lain sebagainya. Salah satu usaha pembukuan dasar-dasar hubungan internasional ini, kemudian dilakukan oleh kedua murid tersebut. Diantara buku yang sampai kepada kita yang mengatur hubungan internasional ini adalah kitab al-Radd ala Siyar al-Awza’I yang ditulis oleh Imam Abu Yusuf yang diangkat sebagai hakim agung (qadhi al-qudhat) pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Buku ini mejelaskan secara mendetail sikap-sikap yang dimiliki oleh negara muslim hubungannnya dengan negara tetangganya, disertai dengan bebarapa pemikiran para pakar hukum Islam pada saat itu seperti Imam Abdurrahman al-Awza’i seorang Jurist berkebangsaan Syam, sekarang Syiria atau Suriah. Diantara aturan-aturan yang harus dijunjung tinggi adalah aturan yang berkaitan dengan permasalahan etika dalam berperang, memperlakukan tawanan musuh, akad perjanjian dengan negara lain, perdagangan, kerjasama politik, mematuhi kesepakatan bersama, perjanjian tukar menukar tawanan, dan lain sebagainya.

Dengan melihat beberapa uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa Islam sebagai agama samawi terakhir telah memuat aturan yang diperlukan oleh manusia baik dalam hubungannnya dengan Tuhan atau dalam hubungannya dengan sesama manusia sebagai makhluk sosial, yang disebut dengan fiqh sosial dan fiqh individual. Aturan-aturan ini diciptakan sebagai upaya membimbing manusia menuju kebahagian dunia dan akherat. Berpijak pada aturan-aturan tersebut, dapat dijadikan sebagai masukan dan motivasi pada segenap individu untuk selalu berupaya menebarkar rasa aman dan kedamaian hidup dalam masyarakat Indonesia yang majmuk. Upaya ini dapat di mulai dari kelompok yang paling kecil, seperti keluarga, kemudian meningkat pada kelompok masyarakat yang lebih besar.

Sebagai kesimpulan dari tulisan yang pendek ini, dengan melihat uraian yang telah disampaikan di atas dan untuk mewujudkan masyarakat yang harmonis, kiranya sangat penting bagi kita untuk senantiasa sadar dan menjaga keseimbangan hubungan, baik hubungan dengan Tuhan maupun hubungan sesama manusia dan alam lingkungannya. Dangan kata lain mari kita jaga keseimbangan tauhid sosial dan tauhid individual untuk meraih kebahagian dunia dan akherat. Wallahu a’lam bi al-shawab.

2 comments:

sayank said...

ASS.Pak,saya salah satu mahasiswa bapak,kebetulan juga bapak sebagai dosen penasehat saya sekarang.Artikel bapak yang ada di internet ini kalau saya telaah dari pemikiran saya yang masih minim bagi sebagian orang adalah merupakan kajian yang lugas, karena merupakan kajian yang belum tentu bisa dimengerti bagi sebagian orang awam. Oleh karena itu, saya cukup suka dengan isi dari artikel bapak. Dari saya semoga buat bapak makin sukses saja dengan karyanya.amien.

Unknown said...

TAPI SAYANG KENAPA BANYAK GAMBAR TIDAK SENONOH MENYERTAI ARTIKEL ANDA PAK