Mencari makalah yang lain :

Google
 

Wednesday, April 4, 2007

KEADILAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR`AN

Studi Analitis Penafsiran Sayyid Quthb Dalam Tafir Fi Zhilal al-Qur`an

Subhan*

Abstrak: Keadilan adalah sesuatu yang sangat signifikan dalam kehidupan sehari-hari. Al-Qur`an banyak mengungkapkan ayat-ayat tentang keadilan, term yang digunakan didalam al-Qur`an ketika menyebutkan keadilan adalah al-Adl dan al-Qisht. Melalui tulisan ini penulis mencoba mengungkapkan penafsiran Sayyid Quthb terhadap ayat-ayat keadilan didalam tafsirnya Fi Zhilal al-Qur`an. Bagimana Sayyid Quthb mendefinisikan keadilan, apa tujuan menegakkan keadilan, siapa yang berhak mendapatkan keadilan dan dasar apa yang digunakan untuk menegakkan keadilan. Menurut Sayyid Quthb keadilan itu bersifat mutlak yang bersifat menyeluruh diantara semua manusia. Tujuan menegakkan keadilan itu semata-mata karena Allah bukan karena kebaikan seseorang, golongan atau kelompok, dan yang berhak mendapatkan keadilan adalah semua manusia, muslim atau kafir, teman atau lawan, kaya ataupun miskin. Adapun aturan yang digunakan untuk menegakkan keadilan adalah syari`at Allah.

Kata kunci: Keadilan dan Penafsiran

Pendahuluan

Sejarah telah mencatat bahwa diantara persoalan-persoalan yang diperselisihkan pada hari-hari pertama sesudah wafatnya Rasulullah SAW adalah persoalan politik atau biasa disebut persoalan al-Imamah (Imamah). Meskipun masalah tersebut berhasil diselesaikan dengan diangkatnya Abu bakar (w. 13 H/634 M) sebagai khalifah, namun dalam waktu tidak lebih dari tiga dekade masalah seupa muncul kembali dalam lingkungan umat Islam. Kalau pada pertama kalinya, perselisihan yang terjadi adalah antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar, maka pada kali ini perselisihan yang terjadi adalah antara khalifah Ali bin Abi Thalib (w. 41 H/661 M) dan Mu`awiyah bin Abi Sufyan (w. 64 H/689 M) dan berakhir dengan terbunuhnya khalifah Ali dan bertahtanya Mu`awiyah sebagai khalifah dan pendiri kerajaan Bani Umayyah.[1]

Mencuatnya persoalan-persoalan tersebut dikarenakan al-Qur`an maupun al-Hadis sebagai sumber hukum Islam tidak memberikan penjelasan secara pasti mengenai sistem pemerintahan dalam Islam, konsepsi kekuasaan dan kedaulan serta ide-ide tentang konstitusi.[2] Salah satu persoalan dalam sistem pemerintahan adalah masalah keadilan. Term keadilan ini banyak disebut-sebut dalam al-Qur`an.

Al-Qur`an banyak memerintahkan kepada umat manusia agar memperhatikan dan mempelajari al-Qur`an, salah satunya didalam Surah Muhammad ayat 24. Berdasarkan ayat ini dapat dinyatakan bahwa pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur`an melalui penafsirannya mutlak sangat diperlukan. Maka tulisan ini ingin mengungkapkan penafsiran Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi Zhilal al-Qur`an atas ayat-ayat yang terkait dengan keadilan. Dipilihnya penafsiran Sayyid Quthb karena dia dikenal aktif dalam pergerakan Islam yang pernah mengenyam pendidikan di Barat dan tulisan-tulisannya banyak mempengaruhi kehidupan sosial politik masyarakat Mesir pada waktu itu.

Sayyid Quthb: Lahir, Perjalanan dan Lingkungan Hidupnya

Sayyid Quthb adalah seorang aktivis muslim Mesir termasyhur pada abad ke XX, selain itu dia juga dikenal sebagai kritikus sastra, novelis dan penyair.[3] Dia dilahirkan di Koha, wilayah Asyyuth, pada bulan September 1906.[4] Nama lengkapnya adalah Sayyid bin Quthb bin Ibrahim. Ayahnya al-Haj Quthb Ibrahim adalah seorang anggota Partai Nasional pimpinan Mushtafa Kamil, yang memiliki kesadaran politik dan semangat nasional yang tinggi. Selain itu Quthb bin Ibrahim juga adalah anggota Komisaris partai Nasional di desanya.[5]

Ketika Sayyid Quthb dilahirkan, ekonomi keluarga Quthb sebenarnya sedang merosot, tetapi berkat status pendidikan bapaknya mereka tetap mempunyai martabat tinggi.[6] Dia adalah orang yang taat beribadah dan selalu mendorong anak-anaknya untuk menjadi orang-orang yang taat beragama pula. Setiap hari menjalankan shalat lima waktunya di Masjid secara berjama`ah dengan mengajak serta anak-anaknya.[7]

Ibunya berasal dari keluarga terkemuka dan taat beragama pula. Keluarga ibunya memang dianugerahi dua kelebihan sekaligus; kaya dan berpendidikan tinggi. Ayahnya seorang berpendidikan al-Azhar. Ibunya Sayyid Quthb mempunyai empat saudara, dua diantaranya adalah alumnus-alumnus al-Azhar. Salah seorang diantaranya adalah Ahmad Husain Utsman, meninggalkan pengaruh yang besar pada diri Sayyid Quthb, karena pernah tinggal bersamnya di Kairo.[8]

Sayyid Quthb memperoleh pendidikan dasarnya dari Madrasah di desanya yang dimasukinya ketika dia berusia enam tahun dan diselesaikannya dalam waktu empat tahun. Pada usia sepuluh tahun, dibawah bimbingan ibunya, Sayyid Quthb telah hafal al-Qur`an secara lengkap.[9]

Pada tahun 1921 Sayyid Quthb berangkat ke Kairo untuk melanjutkan pendidikannya di Madrasah Tsanawiyah. Di Kairo, dia tinggal bersama pamannya, Ahmad Husain Utsman yang saat itu telah menyelesaikan pendidikannya di al-Azhar dan bekerja sebagai guru dan penulis. Selesai menamatkan tingkat Tsanawiyah pada tahun 1925, Sayyid Quthb melanjutkan studinya di Madrasah Mu`allimin di Kairo selama tiga tahun. Alumni dari Madrasah tersebut mendapat ijazah yang disebut Kafa`ah (kelayakan mengajar).[10]

Setelah menyelesikan pendidikannya di Madrasah Mu`allimin, Sayyid Quthb melanjutkan pendidikannya di Dar al-Ulum pada tahun 1930 yang ditempuhnya selama tiga tahun dan memperoleh gelar Lisance (S1) dalam bidang sastera sekaligus diploma pendidikan.[11]

Sesudah menyelesaikan pendidikannya di Dar al-Ulum, Sayyid Quthb diangkat menjadi penilik pada Kementerian Pendidikan dan Pengajaran Mesir. Sesudah menjadi penilik, Sayyid beralih tugas menjadi sekretaris Thaha Husein dan Abbas Mahumud al-`Aqqad, dua orang pengikut Muhammad Abduh.[12]

Sewaktu bekerja sebagai penilik Sekolah, pada tahun 1949, Sayyid Quthb mendapat tugas belajar ke Amerika Serikat untuk mempelajari metode pendidikan Barat. Ia menempuh pendidikannya di Wilson`s Collage di Washington, University of Nothern Colorado`s Teacher dengan memperoleh gelar MA di bidang pendidikan dan Stanford University di California.[13]

Dia tinggal di Amerika selama dua setengah tahun, dan hilir mudik antara Washington dan California. Melalui pengamatan langsung terhadap peradaban dan kebudayaan yang berkembang di Amerika, Sayyid Quthb melihat bahwa sekalipun Barat telah berhasil meraih kemajuan pesat dalam sains dan teknologi, namun sesungguhnya ia merupakan peradaban yang rapuh karena kosong dari nilai-nilai spiritual.[14]

Sekembalinya ke Mesir dia bergabung dengan gerakan Islam Ikhwa al-Muslimin, dan ia juga banyak menulis secara terang-terangan tentang masalah ke-Islaman. Dan ternyata kembalinya Sayyid Quthb berbarengan dengan berkembangnya krisis politik Mesir yang kemudian menyebabkan terjadinya kudeta militer pada bulan Juli tahun 1952. Selama periode inilah tulisan Sayyid Quthb lebih diwarnai dengan kritik sosial dan polemik politik, dengan demikian dia dapat mendiagnosis penyakit masyarakat Mesir dan juga dapat memberikan penyembuhan penyakitnya.[15]

Sayyid Quthb memandang Ikhwan al-Muslimin sebagai suatu organisasi yang bertujuan untuk mewujudkan kembali masyarakat politik Islam. Dan juga merupakan medan yang luas untuk menjalankan syari`at Islam secara menyeluruh. Di samping itu ia juga menyakini bahwa gerakan ini merupakan gerakan yang tidak tertandingi dalam hal kesanggupannya menghadang rencana-rencana zionisme, sabilisme dan kolonialisme. [16]

Pada tahun 1954 dia menjadi pemimpin redaksi harian umum al-Ikhwan al-Muslimin, tetapi baru dua bulan terbit, harian itu dibrendel atas perintah Gamal Abdel Nasser, presiden Mesir, karena mengancam perjanjian Mesir-Israel 7 Juli 1954.[17] Pada penghujung tahun 1954, atas tuduhan percobaan pembunuhan terhadap presiden Nasser oleh kelompok Ikhwan al-Muslimin, Sayyid Quthb dijebloskan ke penjara selama sepuluh tahun. Ia menikmati udara bebas pada tahun 1964 tetapi tahun 1965 kembali lagi ia ditahan.[18] Akhirnya pada tanggal 29 Agustus 1966 ia dihukum mati atas tuduhan berkomplot melawan rezim Nasser.[19]

Karya-karya Sayyid Quthb

Dalam situasi ketika dunia Islam dan kaum muslimin berhadapan dengan filsafat dan pandangan Barat, Sayyid Quthb menyadari tentang mendesaknya kebutuhan akan suatu pandangan dunia (world view) yang Islami, yang bisa menjadi pedoman bagi kaum muslimin dalam menghadapi berbagai tantangan. Dengan demikian, Sayyid Quthb ingin menjadikan Islam sebagai landasan perjuangan dengan dua sasaran; pertama, meningkatkan kwalitas pengalaman ajaran Islam dikalangan kaum muslimin, kedua, menghadapi tantangan dari Barat. Karena itu, Sayyid Quthb menaruh perhatian yang tinggi terhadap masalah ketuhanan, hakikat iman dan Islam, keadilan, kedudukan manusia di alam semesta, peranan akal, dan bahkan sstera budaya. Untuk semuanya, sayyid Quthb telah menulis dua puluh lima buku yang telah diterbitkan dengan beberapa kali cetak ulang, salah satunya adalah Fi Zhilal al-Qur`an dalam 30 juz, disamping beberapa naskah yang belum sempat terbit ketika dia meninggal dunia. Sementara itu, makalah-makalah dan puisi-puisinya bertebaran di berbagai media masa.

Karier penulisannya dimulai dengan menulis dua buku mengenai keindahan dalam al-Qur`an, yaitu al-Tashwir al-Fanniy fi al-Qur`an dan Masyahid al-Qiy`mah fi al-Qur`an. Buku lainnya yang sempat ditulis antara lain; al-Adalah al-Ijtimaiyyah fi al-Islam, Hadza al-Din, al-Mustaqbal li Hadza al-Din, Khashaish al-Tashawwur al-Islamiy, Ma`alim fi al-Thariq, al-Salam al-`Alamiy wa al-Islam, Nahwa Mujtama` Islamiy, Ma`rakatuna ma`a al-Yahud, Ma`rakat al-Islam, wa Ra`sumaliyyah, al-Islam wa Muskilat al-hadarah, Dirasah al-Islamiyah, al-Naqd al-Adabiy Ususuhu wa Manahijuhu, dan yang paling monumental adalah tafsir Fi Zhilal al-Qur`an yang sedang dikaji dalam tulisan ini.[20]

Tafsir Fi Zhilal al-Qur`an: Motivasi Penulisan

Sayyid Quthb kembali ke Mesir berbarengan dengan berkembangnya krisis politik Mesir yang kemudian menyebabkan terjadinya kudeta militer pada bulan Juli 1952. Mulai saat itulah tulisan Sayyid Quthb jadi lebih diwarnai kritik sosial dan politik. Diantara karya Sayyid Quthb adalah tafsir Fi Zhilal al-Qur`an yang ditulis pada tahun 1952-1965.[21]

Didalam tafsir ini dibahas tentang logika konsepsi negara Islam menurut Sayyid Quthb. Buku ini juga dijadikan bukti utama dalam sidang Sayyid Quthb yang dituduh bersekongkol hendak menumbangkan rezim.[22] Akibatnya dia diadili dan mendapat hukuman lima belas tahun penjara.[23]

Motivasi Sayyid Quthb untuk menulis tafsir Fi Zhilal al-Qur`an ini diawali atas permintaan rekannya yaitu Said Ramadhan yang menertibkan majalah bulanan al-Muslimun pada bulan Desember 1951, agar berpartisipasi bisa menyumbangkan tulisannya tiap bulan satu kali dengan sajak yang tepat dan tema-tema bersambung.

Sayyid Quthb menyambut baik atas permintaan Said Ramadhan untuk mengasuh rubrik tersebut, dia memberi nama rubrik itu Fi Zhilal al-Qur`an. Tulisan perdana dari Fi Zhilal al-Qur`an adalah Tafsir surah al-Fatihah yang dimuat dalam al-Muslimun edisi ketiga Februari 1952 dan dilanjutkan dengan Tafsir surah al-Baqarah. Pada bagian ketujuh akhir akhir tulisannya Sayyid Quthb mengumumkan bahwa tulisannya dihentikan sampai di situ. Dengan alasan akan menyusun hikmah tafsir tersendiri yang diberi nama Fi Zhilal al-Qur`an yang akan diterbitkan dalam 30 juz berturut-turut setiap juz akan terbit dalam waktu dua bulan, terhitung bulan Desember 1952 yang ditangani oleh penerbit Isa al-Halabi wa Syirkah.[24]

Setiap juz Fi Zhilal al-Qur`an terbit dalam dua bulan sekali, bahkan ada yang kurang dari dua bulan. Enam belas juz Fi Zhilal al-Qur`an telah diterbitkan antara Oktober 1952 hingga Januari 1954. Hanya dalam waktu satu tahun tiga bulan, Sayyid Quthb berhasil menyelesaikan enam belas juz dari tafsirnya itu.[25]

Selama dalam tahanan, Januari sampai dengan Maret 1954, Sayyid Quthb berhasil menyelesaikan dua juz berikutnya, yaitu juz ke tujuh belas dan kedelapan belas, kemudian juz-juz yang masih tersisa diselesaikan pada saat-saat akhir tahanannya.[26]

Metode dan Corak Tafsir Fi Zhilal al-Qur`an

Dengan meminjam klasifikasi metode tafsir al-Qur`an yang dilakukan oleh al-Farmawiy yaitu tahlily, ijmaly muqaran dan maudhu`iy, nampaknya secara metodologis tafsir Fi Zhilal al-Qur`an dapat dikelompokkan ke dalam jenis tafsir tahlily. Artinya penafsir menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur`an dari seluruh aspeknya dengan mengikuti runtutan ayat-ayat sebagaimana yang terdapat dalam mushaf.[27]

Secara lebih rinci metode penafsiran Fi Zhilal al-Qur`an dapat dijabarkan dalam uraian sebagai berikut:

Pertama; Mengidentifikasikan surah-surah yang ditafsirkan antara Makkiyah dan Madaniyah serta membandingkan keduanya dari segi karakteristik dan topik-topik yang dibahasnya.[28] Sebagaimana halnya para ulama ahli ilmu-ilmu al-Qur`an yang menjelaskan bahwa dari segi karakteristik dan topiknya, ayat-ayat dan surah-surah Makkiyah umumnya berisi ajaran-ajaran universal mengenai ketauhidan, hari kiamat, surga dan neraka, sementara ayat-ayat dan surah-surah Madaniyah pada umumnya merupakan pendukung terhadap ajaran-ajaran universal Islam dan berisi masalah hukum dan pranata sosial,[29] Sayyid Quthb pun mengidentifikasi surah-surah Makkiyah dan Madaniyah dari karakteristik semacam itu.

Kedua; Menerangkan korelasi (munasabah) antara surah yang ditafsirkan dengan surah sebelumnya.[30] Misalnya ketika menafsirkan surah al-Nisa, Sayyid Quthb menghubungkan dengan dua surah sebelumnya yakni surah al-Baqarah dan Ali Imran. Surah al-Baqarah dan Ali Imran isinya mencakup perkembangan masyarakat Islam di Madinah, juga menjelaskan tentang karakteristik metode rabbaniy yang menjadi asas perkembangan masyarakat tersebut serta menetapkan kebenaran-kebenaran asasi yang dibangun atasnya angan-angan Islam, surah al-Nisa pun mengarah pada hal-hal seperti itu.[31]

Ketiga; Membagi surah kedalam beberapa fragmen secara tematis yang masing-masing faragmen itu menggambarkan satu tema dan kemudian dipayungi oleh suatu tema pokok yang disebut mihwar.[32] Atau kadang-kadang juga dipakai istilah al-maudhu `al-raisiy sebagaimana yang terdapat dalam surah Yunus.

Keempat; Menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat (asbab al-nuzul).[33] Sayyid Quthb seperti dinyatakan Ahmad `Atiyatullah telah menjadikan asbab al-nuzul sebagai bagian dari metode penafsirannya.[34]

Kelima; Memaparkan kandungan makna ataupun maksud kalimat dalam ayat secara umum dengan penjelasan yang fasih dan isyarat yang bersifat pergerakan dan pendidikan serta terkadang menyebutkan hadis dalam menafsirkan ayat tersebut.[35]

Keenam; Sangat berhati-hati terhadap cerita Israiliyyah dan meninggalkan perbedaan-perbedaan fiqhiyyah, serta tidak bertele-tele dalam membahas masalah bahasa, kalam ataupun filsafat.[36]

Adapun pendekatan penafsiran dalam tafsir Fi Zhilal al-Qur`an tampaknya cenderung kepada pendekatan rasional (bi al-ra`yi) yakni pendekatan yang dilakukan dengan menetapkan rasio sebagai titik tolak.[37] Sejalan dengan penjelasan ini, `Aliy Iyaziy menyebutkan bahwa tafsir Fi Zhilal al-Qur`an menggunakan pendekatan rasional (manhaj fikriy).[38] Disamping itu ia juga menggunakan pendekatan lain yaitu pendekatan tafsir bi al-ma`tsur yaitu suatu penafsiran al-Qur`an dengan al-Qur`an, dengan hadis-hadis Nabi dan dengan perkataan para shabat dan tabi`in.

Ditinjau dari corak tafsirnya, tafsir Fi Zhilal al-Qur`an dapat digolongkan kedalam tafsir al-adabi al-ijtima`i (bercorak sastra, budaya dan kemasyarakatan), yakni corak penafsiran al-Qur`an yang menjelaskan ketelitian ungkapannya dengan menekankan tujuan pokok diturunkannya al-Qur`an kemudian mengaplikasikannya pada tataran sosial seperti pemecahan masalah-masalah umat Islam dan bangsa pada umumnya sejalan dengan perkembangan masyarakat.

Pengertian dan Term-term Keadilan dalam al-Qur`an

Al-Qur`an menggunakan term al-`Adl dan al-Qisht untuk pengertian keadilan.

Dilihat dari akar katanya, term al-`Adl terdiri dari huruf `ain, dal dan lam. Maksud yang terkandung didalamnya ada dua macam, yaitu lurus dan bengkok. Makna ini bertolak belakang antara satu dan lainnya. Intinya ialah persamaan atau al-musawah.[39]

Sementara akar kata al-Qisht terdiri dari tiga huruf yaitu qaf, sin dan tha. Makna yang terkandung dalam struktur ketiga huruf di atas ada tiga macam yaitu keadilan atau al-Qisht, kecenderungan atau al-Qasht dan bengkok atau al-Qasath. Dari pengertian di atas dapat dimunculkan lagi dua makna yang lain yaitu bagian al-Nashib dan neraca atau al-Qisthas.[40]

Term al-Qisht dapat diartikan sebagai memperoleh bagian dan porsi yang adil. Kemudian term al-Qasht dapat diartikan sebagai mengambil porsi orang lain atau curang. Sedangkan term al-Iqsath dapat diartikan sebagai memberikan hak dan porsi seseorang kepada yang bersangkutan.[41] Jadi tampaknya term al-Iqsath ini mengarah kepada pengertian keadilan dalam makna proposional.[42]

Penafsiran Sayyid Quthb atas Ayat-ayat Keadilan

Ada sejumlah ayat al-Qur`an yang berkaitan dengan keadilan dan relevan dengan tema pembahasan, diantaranya adalah:

1. Al-Qur`an secara tegas telah memberikan tuntunan agar berlaku adil kepada semua manusia. Hal ini ditegaskan Allah dalam surah al-Nisa ayat 58: Sesungguhnya Allah telah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhek menerimanya dan (menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-sebaiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat

Sayyid Quthb menafsirkan ayat di atas bahwa keadilan itu bersifat mutlak yang berarti meliputi keadilan yang menyeluruh diantara semua manusia, bukan keadilan diantara sesama kaum muslimin dan terhadap ahli kitab saja. Keadilan merupakan hak setiap manusia mukmin ataupun kafir, teman ataupun lawan, orang berkulit putih ataupun berkulit hitam orang arab ataupun orang ajam (non arab).[43] Dalam menafsirkan ayat di atas, nampak sekali pembelaan Sayyid Quthb terhadap Islam, hal ini bisa dilihat ketika dia mengatakan bahwa memutuskan hukum dengan adil itu sama sekali belum pernah dikenal oleh manusia kecuali hanya di masa kepemimpinan Islam saja.[44]

2. Al-Qur`an memberikan tuntunan agar ketika menegakkan keadilan tidak menggunakan hawa nafsu. Ada beberapa ayat yang menegaskan agar tidak cenderung kepada hawa nafsu, kebencian atau penghormatan ketika memutuskan perkara. Salah satu ayat tersebut adalah Firman Allah SWT: Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemashlahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.(QS. al-Nisa : 135).

Menurut Sayyid Quthb ayat di atas merupakan amanat untuk menegakkan keadilan yang sebenarnya pada semua tempat dan keadaan dan semua manusia baik mukmin ataupun kafir, teman atau musuh, kaya ataupun miskin menurut pandangan Allah memiliki hak yang sama untuk mendapatkan keadilan. Dan menegakkan keadilan itu tidak karena kebaikan seseorang, golongan atau kelompok dan berusaha untuk melepaskan dari semua kecenderungan, hawa nafsu, kemashlahatan dan penghormatan tetapi semata-mata karena Allah.[45]

3. Menegakkan keadilan itu semata-mata karena ketaqwaan kepada Allah. Hal ini dijelaskan Allah dalam surah al-Maidah ayat 8; Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada taqw. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Sayayid Quthb memberikan penafsiran pada ayat ini bahwa berbuat adil itu harus yang mutlak tidak karena cenderung kasih sayang atau kebencian pada seseorang juga tidak karena kerabat, kemashlahatan atau hawa nafsu.[46] Keadilan itu muncul hanya karena ketaqwaan kepada Allah SWT. [47]

4. Para Rasul membawa risah keadilan untuk manusia. Sebagaimana firman Allah SWT; Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan...QS. al-Hadid : 25.

Setiap rasul itu datang untuk menetapkan keadilan di muka bumi untuk memperbaiki perbuatan-perbuatan dan rasa aman dari hawa nafsu. Maka mizan (keadilan) itu menjadi pegangan yang tetap bagi manusia, karena mereka menemukan di dalamnya sesuatu yang haq (kebenaran).[48]

Dari beberapa penafsiran Sayyid Quthb di atas dapat diambil kesimpulan sementara bahwa keadilan itu halus sebagaimana timbangan yang lurus, keseimbangan hak-hak manusia dan kebebasan. Dalam hal ini Sayyid Quthb mengidentifikasikan kepada Islam sebagai ajaran, karena dalam setiap pembahasannya tentang keadilan selalu merujuk pada al-Qur`an dan tidak bebas nilai. Sebagaimana yang dia katakan bahwa Islam datang dengan keadilan yang menanggung setiap pribadi dan kelompok yang merupakan undang-undang mutlak untuk dilaksanakan, tidak cenderung kepada hawa nafsu, tidak mengutamakan cinta kasih dan kebencian, tidak pula membedakan kaya, miskin, kuat dan lemah dalam menegakkannya.[49]

Jadi apa yang dimaksud Sayyid Quthb tentang keadilan merupakan suatu yang agung, keadilan yang tidak dipengaruhi oleh ruang dan waktu, nafsu dan kecenderungan-kecenderungan lain. Keadilan yang menuntut perlakuan sama terhadap semua manusia tanpa terkecuali.

Adapun tujuan penegakkan keadilan menurut Sayyid Quthb adalah untuk memberi rasa aman dari kekacauan hawa nafsu dan berbenturannya kemashlahatan dan kemadharatan.[50] Dan yang paling penting adalah bertujuan untuk menuju ketaqwaan dan keridhaan Allah SWT.[51]

Sedangkan yang berhak untuk mendapatkan keadilan menurut penafsiran Sayyid Quthb adalah semua manusia berdasarkan manhaj rabbani baik yang mukmin maupun non mukmin, teman atau lawan kaya atau miskin, arab atau `ajam. Dan yang perlu diperhatikan lanjut Sayyid adalah menegakkan keadilan itu berdasarkan syari`at Allah, karena jika menegakkan keadilan itu tidak berdasarkan syari`at Allah, maka hal itu tidak berlangsung lama dalam kehidupan manusia dan hal itu merupakan kekacauan yang dihembuskan oleh orang-orang jahiliyah dan berdasarkan hawa nafsu.[52]

Penutup

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keadilan itu merupakan sesuatu yang sangat di tegaskan dalam Islam yang menuntut perlakuan yang sama terhadap semua manusia tanpa terkecuali. Adapun tujuan penegakan keadilan itu untuk menuju ketaqwaan dan keridhaan Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA

Abu al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim bin Abi Bakar Ahmad al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Mesir : Mushtafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1387 H.

Al-Usymawi Ahmad Sulaiman, al-Syahid Sayyid Quthb, Kairo : Dar al-Da`wah, 1969.

`Adil Nuwaihid, Mu`jam al-Mufassirin, t.tp : Muassasah Nuwaihid al-Saqafiyyah, 1403 H/1983 M, Jilid I.

Ahmad `Atiyatullah, al-Qamus al-Islamiy, Kairo : Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, 1390 H/1970 M, Jilid III.

Al-Sayyid Muhammad `Aliy Iyaziy, al-Mufassirun Hayatuhum wan Manhajuhum, Teheran : Wizarah al-Saqafah wa al-Irsyad al-Islamiy, 1373 H.

Ali Rahnema, Para Perintis Zaman Baru Islam, Bandung : Mizan, Cet. I, 1416 H/1995 M.

Abi al-Husain Ahmad Ibn Faris Ibn Zakariyya, Mu`jam Maqayis al-Lughah, Juz V, t.tp : Dar al-Fikr, 1979.

Al-Raghib al-Ashfahani, Mufradat Alfadz al-Qur`an, Damsyik : Dar al-Qalam, 1992.

Abu Abdullah Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz IV, Bandung : Maktabah Dahlan, t.t.

Afif Muhammad, Studi Tentang Corak Pemikiran Sayyid Quthb, Bandung : Mizan, 1996.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, Vol. IV.

Ditpertais Departemen Agama, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta : Depag, 1992/1993.

M. Sirajuddin Syamsuddin, Pemikiran Politik (Aspek yang Terlupakan dalam Sistem Pemerintahan Islam) dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam, Jakarta : LSAF, 1989.

Muhammad Quthb, Sukhriyyah Shaghirah, Beirut : Dar Lubnan, t.t.

Malise Ruthven, Modern Trends in Islam, dalam Trevor Mostyn (ed.) The Cambridge Encyclopedia of the Middle East and North Africa, Cambridge : Cambridge University Press, 1988.

M. Quraish Shihab Sejarah dan `Ulum al-Qur`an, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2000.

Manna` al-Qattan, Mabahis fi `Ulum al-Qur`an, t.tp: Mansyurah al-`Asr al-Hadits, t.t.

Muhammad Ibn Muhammad Abu Syuhbab, al-Madkhal li Dirasat al-Qur`an al-Karim, Kairo : Maktabah al-Sunnah, 1412 H/1992 M.

Shahrough Akhvi, “Sayyid Quthb”, dalam John L. Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia of The Modern islamic World, Oxford University Press, 1995.

Shalah Abd al-Fattah al-Khalidi, Sayyid Quthb al-Syahid al-Hayy, `Amman : Maktabat al-Aqsha, 1981.

Shalah Abd al-Fattah al-Khalidi, Madkhal Ila Zhilal al-Qur`an, Jeddah : Dar al-Manarah, 1986.

Subhi Shalih, Mabahis fi `Ulum al-Qur`an, Beirut : Dar al-`Ilm li al-Malayin, 1988.

Sayyid Quthb, al-`Adalah al-Ijtimaiyyah fi al-Islam, Beirut : Dar al-Kutub al-`Arabi, 1952.

____________, Sayyid Quthb di Amerika, Bandung : Mizan, 1986.

____________, Thifl Min al-Qaryah, hal. 37.

____________, Fi Zhilal al-Qur`an, Jilid II, Kairo : Dar al-Syuruq, Cet. XVII, 1412 H/1992 M.

____________, Fi Zhilal al-Qur`an, Jilid II, Kairo : Dar al-Syuruq, Cet. XVII, 1412 H/1992 M.



* Penulis adalah Dosen STAIN Samarinda dan tercatat sebagai Mahasiswa Program Doktor Konsentrasi Tafsir Hadis di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

[1] Abu al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim bin Abi Bakar Ahmad al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Mesir : Mushtafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1387 H, hal. 24.

[2] M. Sirajuddin Syamsuddin, Pemikiran Politik (Aspek yang Terlupakan dalam Sistem Pemerintahan Islam) dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam, Jakarta : LSAF, 1989, hal. 252.

[3] Shahrough Akhvi, “Sayyid Quthb”, dalam John L. Esposito (ed.), The Oxford Ensyclopedia of The Modern Islamic World, Oxford University Press, 1995, hal. 400.

[4] Al-Usymawi Ahmad Sulaiman, al-Syahid Sayyid Quthb, Kairo : Dar al-Da`wah, 1969, hal. 9. Lihat juga Shalah Abd al-Fattah al-Khalidi, Sayyid Quthb al-Syahid al-Hayy, `Amman : Maktabat al-Aqsha, 1981, hal. 46.

[5] Sayyid Quthb, Thifl Min al-Qaryah, hal. 37.

[6] Shahrough Akhavi, loc. cit.

[7] Sayyid Quthb, op. cit., hal. 120.

[8] Al-Khalidi, op. cit., hal. 59.

[9] Shalah Abd al-fattah al-Khalidi, Madkhal Ila Zhilal al-Qur`an, Jeddah : Dar al-Manarah, 1986, hal. 18-19.

[10] Al-Khalidi, Sayyid Quthb al-Syahid al-Hayy, hal. 88.

[11] Al-Khalidi, Madkhal Ila Zhilal al-Qur`an, hal. 20.

[12] Muhammad Quthb, Sukhriyyah Shaghirah, Beirut : Dar Lubnan, t.t., hal. 8.

[13] Shahrough Akhavi, op. cit., hal. 401, Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, Vol. IV, hal. 145.

[14] Sayyid Quthb, al-`Adalah al-Ijtimaiyyah fi al-Islam, Beirut : Dar al-Kutub al-`Arabi, 1952, hal. 286-288.

[15] Sayyid Quthb, Sayyid Quthb di Amerika, Bandung : Mizan, 1986, hal. 1617.

[16] Ibid.

[17] Shahrough Akhavi, op. cit., hal. 401. `Adil Nuwaihid, Mu`jam al-Mufassirin, t.tp : Muassasah Nuwaihid al-Saqafiyyah, 1403 H/1983 M, Jilid I, hal. 219.

[18] Ibid.

[19] Malise Ruthven, Modern Trends in Islam, dalam Trevor Mostyn (ed.) The Cambridge Encyclopedia of the Middle East and North Africa, Cambridge : Cambridge University Press, 1988, hal. 180.

[20] Ibid, Lihat juga Ahmad `Atiyatullah, al-Qamus al-Islamiy, Kairo : Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, 1390 H/1970 M, Jilid III, hal. 589. dan al-Sayyid Muhammad `Aliy Iyaziy, (selanjutnya disebut `Aliy Iyaziy) al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, Teheran : Wizarah al-Saqafah wa al-Irsyad al-Islamiy, 1373 H, hal. 512.

[21] Ali Rahnema, Para Perintis Zaman Baru Islam, Bandung : Mizan, Cet. I, 1416 H/1995 M, hal. 158.

[22] Ibid.

[23] Ditpertais Departemen Agama, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta : Depag, 1992/1993, hal. 1040.

[24] Afif Muhammad, Studi Tentang Corak Pemikiran Sayyid Quthb, Bandung : Mizan, 1996, hal. 84.

[25] Al-Khalidi, Sayyid Quthb al-Syahid al-Hayy, hal. 240-241.

[26] Ibid, hal. 242.

[27] Dalam menafsirkan al-Qur`an secara tahlily (analisis) ini, biasanya mufassir melakukan hal-hal sebagai berikut; a. menerangkan hubungan (munasabah) baik antara satu ayat dengan ayat lainnya ataupun stu surah dengan surah lainnya; b. menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat (asbab al-nuzul); c. Menganalisis mufradat (kosa kata) dan lafal dari sudut pandang bahas Arab. Untuk menguatkan pendapatnya, terutama dalam menjelaskan bahasa ayat yang bersangkutan, mufassir kadang-kadang juga mengutip syair-syair yang berkembang sebelum dan pada masanya; d. Memaparkan kandungan dan maksud ayat secara umum; e. menerangkan unsur-unsur fashahah, bayan dan i`jaznya bila dianggap perlu, khususnya bila ayat-ayat yang ditafsirkan mengandung keindahan balaghah; f. menjelaskan hukum yang dapat ditarik dari ayat yang dibahas, khususnya apabila ayat-ayat yang ditafsirkan adalah ayat-ayat ahkam; g. menerangkan makna dan maksud syara` yang terkandung dalam ayat bersangkutan. Sebagai sandarannya, mufassir mengambil manfaat dari ayat-ayat lainnya, hadis Nabi SAW, pendapat para sahabat dan tabi`in disamping ijtihad mufassir sendiri. Lihat M. Quraish Shihab et. al., Sejarah dan `Ulum al-Qur`an, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2000, hal. 173.

[28] `Aliy Iyaziy, loc. cit.

[29] Penjelasan lebih luas tentang masalah ini dapat dilihat dalam Manna` al-Qattan, Mabahis fi `Ulum al-Qur`an, t.tp: Mansyurah al-`Asr al-Hadits, t.t., hal. 374; Subhi Shalih, Mabahis fi `Ulum al-Qur`an, Beirut : Dar al-`Ilm li al-Malayin, 1988, hal. 181-194; Muhammad Ibn Muhammad Abu Syuhbah, al-Madkhal li Dirasat al-Qur`an al-Karim, Kairo : Maktabah al-Sunnah, 1412 H/1992 M, hal. 205-208.

[30] `Aliy Iyaziy, loc. cit.

[31] Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur`an, Jilid II, Kairo : Dar al-Syuruq, Cet. XVII, 1412 H/1992 M, hal. 204-205.

[32] `Aliy Iyaziy, op. cit., hal. 517.

[33] Ibid., hal. 515.

[34] Ahmad `Atiyatullah, loc. cit.

[35] `Aliy Iyaziy, loc. cit.

[36] Ibid.

[37] Tentang pengertian ini, lihat Quraish Shihab, et. al., op. cit., hal. 176.

[38] `Aliy Iyaziy, loc. cit.

[39] Abi al-Husain Ahmad Ibn Faris Ibn Zakariyya, (Selanjutnya disebut Ibn Faris) Mu`jam Maqayis al-Lughah, Juz V, t.tp : Dar al-Fikr, 1979, hal. 246.

[40] Ibid, hal. 86.

[41] Al-Raghib al-Ashfahani, Mufradat Alfadz al-Qur`an, Damsyik : Dar al-Qalam, 1992, hal. 670.

[42] Ibn Faris, op. cit., hal. 87.

[43] Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur`an, Jilid II, Kairo : Dar al-Syuruq, Cet. XVII, 1412 H/1992 M, hal. 690.

[44] Ibid.

[45] Ibid, hal. 776.

[46] Berkaitan dengan keadilan ini, Rasulullah menjelaskan dalam hadisnya; Wahai sekalian manusia, sesungguhnya orang-orang yang sebelum kamu telah sesat disebabkan mereka itu melaksanakan hukum atas orang-orang yang hina dan memaafkan orang-orang yang terhormat. Aku bersumpah, demi Allah, sekiranya Fatimah puteri Rasulullah mencuri sesuatu, niscaya kupotong tangannya. Lihat Abu Abdullah Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz IV, Bandung : Maktabah Dahlan, t.t., h. 2856.

[47] Ibid, hal. 852.

[48] Ibid, Jilid VI, hal. 3494.

[49] Ibid, Jilid IV, hal. 2190.

[50] Ibid, Jilid VI, hal. 3494.

[51] Ibid, hal. 3344.

[52] Ibid, Jilid VI, hal. 3495.

No comments: