Mencari makalah yang lain :

Google
 

Tuesday, April 10, 2007

METODOLOGI MEMAHAMI HADIS AHKAM

(Kajian atas Hadis-hadis Kontradiksi)

Subhan*


Abstrak:
Tulisan ini membahas tentang hadis-hadis yang dianggap kontradiksi (mukhtalaf al-hadis). Dalam beberapa kitab hadis sering ditemukan antara hadis yang satu dengan yang lainnya secara tekstual nampaknya bertentangan. Disinilah peran ilmu mukhtalaf al-hadis. Dalam studi mukhtalaf al-hadis hendaknya merujuk pada studi keilmuan lainnya seperti fiqh, ushul fiqh, dan asbab al-wurud. Penyelesaiannya dengan dikompromikan (al-jam`u) yaitu menggabungkan pengertian keduanya sehingga masing-masing hadis tetap dipergunakan sebagai hujjah, nasakh yaitu hadis yang terdahulu dihapus oleh hadis yang belakangan dan hadis yang dijadikan hujjah hanya satu yaitu yang menasakh, tarjih yaitu mengunggulkan salah satu hadis dari hadis yang berlawanan maksudnya atau tawaquf yaitu ditangguhkan dan terus dilakukan pengkajian terhadap hadis-hadis yang kontradiksi sehingga statusnya dapat meningkat apakah dapat ditarjih atau dinasakh.

Kata Kunci: Mukhtalaf al-Hadis, al-Jam`u, Naskh, dan Tarjih.

PENDAHULUAN

Nabi Muhammad SAW selain sebagai Rasulullah juga sebagai manusia biasa[1] yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Komunikasi dengan masyarakat terjadi tidak hanya satu arah saja yakni Nabi kepada umatnya, tetapi juga dua arah secara timbal balik. Tidak jarang Nabi menerima pertanyaan dari para sahabat, bahkan pada kesempatan tertentu Nabi memberi komentar terhadap peristiwa yang sedang terjadi. Dengan demikian sangat wajar jika terdapat beberapa hadis yang nampaknya kontradiksi antara satu hadis dengan hadis yang lainnya. Disinilah peran ilmu mukhtalaf al-hadis (hadis-hadis kontradiksi).

Ilmu mukhtalaf al-hadis merupakan salah satu cabang ulum al-hadis yang sangat urgen untuk dipelajari karena dapat mengetahui hadis-hadis yang kelihatannya bertentangan tetapi masih bisa dikompromikan, dinasakh atau ditarjih, sehingga seseorang tidak dengan mudah menuduh suatu hadis itu palsu hanya karena ia tidak memahami makna hadis baik secara tekstual maupun kontekstual.

Ilmu mukhtalaf al-hadis ini terkait dengan ilmu-ilmu lainnya seperti ilmu gharib al-hadis, asbab wurud al-hadis, nasakh mansukh, ilmu fiqih dan ushul fiqh. Maka dalam tulisan ini penulis mencoba untuk memaparkan pembahasan tentang hadis-hadis ikhtilaf yang meliputi, pengertian mukhtalaf al-hadis, metodologi penyelesaian mukhtalaf al-hadis serta contoh-contoh hadis-hadis ikhtilaf.

MUKHTALAF AL-HADIS

Secara etimologi kata mukhtalaf merupakan isim fa`il dari al-ikhtilaf artinya lawan dari kesesuaian.[2] Mukhtalaf al-hadis dari segi bahasa adalah hadis-hadis yang berlawanan maknanya antara satu hadis dengan yang lainnya.[3] Adapun secara terminologi para ulama memberikan definisi dengan beragam.

Al-Suyuthi mendefinisikan mukhtalaf al-hadis dalam kitabnya Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi; “Dua hadis yang saling bertentangan pada makna lahirnya (namun makna sebenarnya bukanlah bertentangan, untuk mengetahui makna sebenarnya), maka keduanya dikompromikan atau ditarjih (untuk mengetahui mana yang kuat diantara keduanya)”.[4]

Namun dari definisi tersebut mengandung kelemahan, yakni kekurangtegasan dalam rumusannya, karena rumusan definisi tersebut mencakup semua hadis yang secara lahirnya tampak saling bertentangan antara satu dengan lainnya, baik hadis tersebut termasuk kategori maqbul (memenuhi persyaratan untuk diterima dan dijadikan hujjah), atau yang mardud (tidak memenuhi persyaratan untuk diterima dan dijadikan hujjah) tanpa ada batasan, padahal tidak semua yang tampak saling bertentangan perlu dikaji untuk dapat dikompromikan penyelesaiannya, yang perlu dikompromikan hanyalah apabila hadis-hadis tersebut sama-sama dalam kategori maqbul. Tetapi jika salah satu maqbul dan yang lain mardud, maka cukup yang jadi pegangan yang maqbul dan yang mardud ditinggalkan.[5]

Sebagian ulama hadis menambahkan kategori hadis maqbul dalam mendefinisikan mukhtalaf al-hadis, seperti yang dipaparkan Ali al-Rajihi; “Dua hadis yang maqbul saling kontradiksi dari segi makna dzahirnya dan dimungkinkan untuk dikompromikan antara keduanya sebagai dalil tanpa dibaut-buat”.[6]

Dari definisi yang dipaparkan Ali al-Rajihi di atas, memberikan batasan atas hadis-hadis maqbul yang saling bertentangan dan memenuhi persyaratan untuk diterima karena berkualitas shahih dan hasan. Pendapat ini sesuai dengan mayoritas ulama.

Sementara Ibnu Hajar menyatakan bahwa mukhtalaf al-hadis itu sama dengan musykil al-hadis, beliau mendefinisikan; “Hadis yang secara dzahirnya bertentangan dengan kaidah-kaidah dan mengangan-angankan pada makna yang bathil, atau yang bertentangan dengan nash syar`i yang lain”.[7]

Tetapi dari definisi tersebut belum mencakup kesempurnaan definisi mukhtalaf al-hadis. Definisi mukhtalaf al-hadis yang mudah dipahami adalah sebagaimana disampaikan oleh Mushthafa Ali Ya`qub; “Hadis shahih yang bertentangan dzahirnya dengan nash al-qur`an atau hadis lain yang sama nilainya atau bertentangan dengan nalar serta kemungkinan dikompromikan antara keduanya atau dinasakh atau ditarjih”.[8]

Dari definisi diatas memberikan pemahaman bahwa mukhtalaf al-hadis (hadis-hadis kontradiksi) akan terjadi apabila ada suatu hadis berlawanan maksudnya dengan nash syar`i (baik dengan ayat-ayat al-Qur`an atau dengan hadis yang nilainya sama) atau berlawanan dengan nalar. Dan dalam penyelesaian hadis-hadis mukhtalaf para ulama memberikan rumusan-rumusan sebagai metode agar tidak adanya kesan bahwa hadis-hadis mukhtalaf sebagai dalil-dalil yang kontradiktif (ta`arrudh al-adillah) yang dipandang surut didalam istinbath hukum.

Mukhtalaf al-hadis merupakan salah satu disiplin ilmu yang penting untuk dipelajari terutama bagi yang ingin memahami hadis-hadis ahkam. Imam Syafi`i (w. 204 H) adalah ulama yang mempelopori munculnya disiplin ilmu mukhtalaf al-hadis. Hal ini terlihat dalam karya besarnya “al-Umm”, meskipun beliau tidak secara khusus mengarang kitab mukhtalaf al-hadis tetapi didalam kitab al-Umm beliau mencantumkan pembahasan khusus tentang mukhtalaf al-hadis.[9]

Pasca al-Syafi`i, penulisan kitab yang membahas mukhtalaf al-hadis dilakukan oleh Abdullah bin Muslim bin Qutaibah yang lebih dikenal dengan Ibn Qutaibah (213-276 H) . Beliau mengarang kitab ta`wil mukhtalif al-hadis, kitab ini dicetak di Mesir tahun 1326 H. Dalam kitabnya ini Ibn Qutaibah memberikan beberapa penjelasan, diantaranya bahwa jika keberadaan suatu hadis lebih bagus dari satu segi dan terdapat kejelekan pada segi yang lain, maka dibatasinya dan didatangkan hadis yang lain yang dianggap lebih unggul dan kuat.[10]

Selain Imam Syafi`i dan Ibn Qutaibah ada beberapa ulama yang menulis kitab dengan pembahasan tentang mukhtalaf al-hadis, diantaranya adalah; Abu Yahya Zakaria bin Yahya al-Saji (w. 307 H), Abi Ja`far Ahmad bin Salamah al-Thahawi (239-321 H) dengan karyanya Musykil al-Atsar, [11] Abu Bakar Muhammad bin al-Hasan bin Faurak (w. 406 H) dengan karyanya Musykil al-Hadis wa Bayanuh, Ibnu al-Jauzi (w. 597 H), dan masih banyak kitab-kitab lainnya dalam studi mukhtalaf al-hadis.[12]

METODE DALAM PENYELESAIAN MUKHTALAF AL-HADIS

Perlu diingat bahwasanya secara hakekat tidak terjadi kontradiksi antara nash (antara dua ayat atau antara dua hadis yang shahih, atau antara ayat dan hadis shahih). Dan jika hal itu terjadi, maka sebenarnya bukan kontradiksi secara hakikat, tetapi hanya dalam dzhairnya saja, dan diwajibkan bagi mujtahid untuk berijtihad agar dapat menghilangkan anggapan tentang kontradiksi dari kedua nash tersebut dengan tujuan untuk mensucikan Allah yang membuat syari`at.[13] Bila dimungkinkan kedua nash tersebut secara dzahir dikompromikan (jam`u) keduanya dan menetapkan hakikat atau maksud dari keduanya tersebut.

Al-Qasimi dengan mengutip pendapat Imam Syafi`i dalam Risalahnya mengatakan bahwa dalam hadis-hadis yang dianggap kontradiksi, maka kami tidak mengambil pendapat salah satunya kecuali ada sebab yang menunjukkan kepada yang lebih kuat dari hadis yang akan ditinggalkan.[14]

Ketelitian Imam al-Syafi`i dalam menyeleksi hadis-hadis yang dianggap kontradikasi antara keduanya, memberikan dua rumusan; (1) Jika keadaan salah satu dari dua hadis menyerupai kitabullah (dari segi makna), maka yang dijadikan hujjah adalah hadis yang menyerupai kitabullah, (2) Jika dalam hadis tidak ada yang menyerupai (dari segi makna) dengan teks kitabullah, maka kami menetapkan salah satunya dengan cara diantaranya; (a) Keadaan rawi lebih dikenal dari segi sanad dan lebih masyhur keilmuan, hafalan dan imla`, (b) Keadaan rawi hadis yang kami pilih adalah yang sanad periwayatan dari dua jalur atau lebih banyak dan kami meninggalkan yang satu jalur periwayatan, (c) Hadis yang kami pilih adalah hadis yang menyerupai makna kitabullah atau menyerupai sunnah Rasulullah SAW yang lain, dan yang diunggulkan adalah hadis yang diketahui oleh pakar ilmu hadis dan menggunakan qiyas dalam penjelasannya.[15]

Sementara al-Suyuthi membagi tiga bagian dalam merumuskan hadis-hadis yang mukhtalaf yaitu; (a) Keduanya dikompromikan (al-jam`u), jika bisa dikompromikan, dan dengan cara ini tidak akan terjadi kontradiktif dan nasakh, dan tentu wajib untuk mengamalkan antara keduanya, (b) Jika tidak mungkin dikompromikan, maka mengamalkan salah satunya, yaitu mendahulukan yang nasikh, (c) Jika tidak terjadi nasikh mansukh, maka mengamalkan dengan cara mentarjih (mengunggulkan) salah satunya.[16]

Dalam hal mentarjih harus mengetahui faktor-faktor pengunggul (wujuh al-tarjih) dan faktor ini bervariatif dikalangan para ulama, seperti al-Hazami dalam kitabnya al-I`tibar menyebutkan ada 50 faktor, al-Iraqi dalam syarahnya Ibnu Shalah menambahkan menjadi 110 faktor, akan tetapi al-Suyuthi meringkasnya menjadi 7 faktor.[17]

Dari rumusan-rumusan di atas, dapat dipahami menjadi sebuah metode dalam memahami hadis yang dianggap kontradiksi, baik dengan nash al-Qur`an, hadis shahih atau dengan nalar. Metode tersebut adalah sebagai berikut:

1). Metode al-Jam`u (mengkompromikan), maksudnya menggabungkan pengertian keduanya sehingga masing-masing dalil tetap dipergunakan sebagai hujjah.

2). Metode al-Nasakh (penghapusan masa berlakunya hadis), maksudnya hadis yang terdahulu di nasakh oleh hadis yang belakangan dan hadis yang dipakai sebagai dalil hanya satu. Jika metode kedua ini tidak dapat ditempuh dan tidak diketahui sejarahnya, maka ditempuh dengan jalan tarjih.

3). Metode tarjih (mengunggulkan salah satu hadis dari hadis yang berlawanan maksudnya), dalam metode ini harus disertai dengan pengetahuan faktor-faktor pengunggul (wujuh al-tarjih). Dan jika metode ini tidak dapat ditempuh maka sebagai alternatif adalah al-tawaquf (ditangguhkan) dan lebih dahulu terus dilakukan pengkajian terhadap hadis-hadis yang kontroversial sehingga statusnya dapat meningkat apakah dapat ditarjih atau dinasakh.[18]

HADIS-HADIS MUKHTALAF

Kategori hadis-hadis mukhtalaf adalah masalah tanawwu` al-ibadah yakni hadis yang menerangkan praktek ibadah tertentu yang dilakukan atau diajarkan Rasulullah SAW, tetapi antara satu dengan yang lain terdapat perbedaan sehingga menggambarkan adanya keberagaman ajaran dalam pelaksanaan ibadah.

Diantara contoh hadis-hadis mukhtalaf adalah tentang buang hajat dengan posisi menghadap atau membelakangi kiblat (ka`bah), hadis tersebut adalah:

عن ابى هريرة رضى الله عنه عن النبى صلى الله عليه وسلم قال اذا جلس احدكم على حاجته فلا يستقبل القبلة ولا يستدبرها (رواه مسلم).

Diriwayatkan dari Abu Hirairah ra dari Rasulullah SAW bersabda; apabila seseorang diantara kamu duduk untuk buang hajat maka hendaklah jangan menghadap dan membelakangi arah qiblat. (HR. Muslim).[19]

عن ابن عمر رضى الله عنه قال رقيت على بيت اختى حفصة فرايت رسول الله صلى الله عليه وسلم قاعدا لحجته مستقبل الشام مستدبر القبلة (رواه مسلم).

Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra berkata; Aku datang ke rumah saudari perempuanku Hafshah dan aku melihat Rasulullah SAW dalam keadaan duduk untuk buang hajat menghadap kearah Syam dan membelakangi qiblat. (HR. Muslim).[20]

Kalu diteliti kedua hadis ini tampak adanya perbedaan antara qaul (ucapan) Nabi SAW dengan af`alnya (perbuatannya). Dalam hal ini al-Syaukani mengutip pendapat Ibnu Rusyd; “bahwa hukum dalam perbuatan Rasulullah SAW seperti hukum dalam qaul-qaulnya”.[21]

Dan menurut pendapatnya jika terjadi kontradiksi antara qaul Nabi SAW dan af`alnya maka diambil beberapa sikap sebagai berikut; pertama, mendahulukan qaul daripada af`al, kedua, mendahulukan af`al daripada qaul, ketiga, mendahulukan yang diketahui sejarahnya.[22] Imam al-Qurthubi sebagaimana dikutip oleh al-Syaukani berpendapat bahwa perbuatan Nabi SAW menunjukkan pada wajib (ketetapan) dan jika diketahui faktor sejarah maka yang datang terakhir dinasakh dan jika yang datang terakhir juga diketahui sejarahnya maka keduanya ditarjih dan tetap diantara keduanya tidak terjadi kontradiksi, boleh jadi menunjukkan pada nadab atau ibadah diantara perbedaan qaul dan af`al.[23]

Contoh hadis lain yang dianggap berlawanan adalah hadis tentang jumlah basuhan dalam berwudhu. Hadis tersebut adalah sebagai berikut:

عن ابن عباس رضى الله عنه قال توضأ رسول الله صلى الله عليه وسلم مرة مرة .

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra berkata; Rasulullah SAW telah berwudhu satu kali-satu kali basuhan.[24]

عن عبد الله ابن زيد ان رسول الله صلى الله عليه وسلم توضأ مرتين مرتين (رواه أحمد والبخارى)

Diriwayatkan dari Abdullah Ibn Zaid, bahwasanya Rasulullah SAW berwudhu dua kali-dua kali basuhan.[25]

عن عثمان رضى الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم توضأ ثلاثا ثلاثا (رواه أحمد ومسلم)

Diriwayatkan dari Utsman ra, bahwa Nabi SAW berwudhu tiga kali-tiga kali basuhan.[26]

Contoh hadis lain yang dianggap berlawanan adalah hadis tentang puasa ramadhan bagi orang yang bepergian. Hadis tersebut adalah sebagai berikut:

عن عبد الله ابن موسى عن أسامه بن زيد عن ابن شهاب عن ابى سلمه عن أبيه قال رسول الله صلى الله عليه وسلم صيام رمضان فى السفر كفطرة فى الحضر

Diriwayatkan dari Abdullah bin Musa dari Usamah bin Zaid dari Ibnu Syihab dari Abi Salmah dari ayahnya, Rasulullah SAW bersabda; Puasa ramadhan bagi orang yang dalam perjalanan berbukanya seperti orang yang menetap.[27]

عن حمزة ابن عمرو الأسلمى قال يا رسول الله صلى الله عليه وسلم إنى اجد قوة على الصيام فى السفر قال ان شئت فافطر

Diriwayatkan dari Hamzah bin Amr al-Aslami beliau berkata; Ya Rasulullah SAW sesungguhnya aku mampu menjalankan puasa dalam perjalanan, Rasulullah menjawab; jika kamu sanggup berpuasa maka berpuasalah dan jika kamu menghendaki berbuka maka berbukalah.[28]

Ibnu Qutaibah berpendapat bahwa kedua hadis tersebut bisa dikompromikan. Yang berpegang pada hadis pertama adalah kelompok yang tidak menyenangi rukhshah dari Allah SWT. Mereka beranggapan bahwa berdosa orang yang bepergian kemudian berbuka puasa di bulan Ramadhan dan dosanya sama dengan orang yang tidak bepergian kemudian berbuka puasa. Kelompok ini meninggalkan rukhshah dari Allah, karena bagi mereka ada hadis Nabi SAW:

قال : من صام الدهر ضيقت عليه جهنم

Adapun bagi orang yang bepergian di musim dingin atau bepergian beberapa hari dan puasa bagi orang tersebut memberatkan maka Nabi SAW memberikan pilihan untuk berpuasa atau berbuka, sebagaimana sabda Nabi SAW:[29]

PENUTUP

Dalam studi mukhtalaf al-hadis hendaknya merujuk pada studi keilmuan lainnya seperti fiqh, ushul fiqh, asbab a-wurud dan lain-lain, agar dapat memberikan pemahaman yang sempurna dan tidak rancu, sehingga dapat dipahami bahwa hadis-hadis mukhtalaf yang secara lahir tampak saling bertentangan dengan hadis shahih atau hadis hasan, namun makna yang dimaksud oleh hadis-hadis tersebut tidaklah bertentangan karena hadis yang satu dengan yang lainnya dapat dikompromikan atau dicari penyelesaiannya dalam bentuk nasakh, tarjih atau tawaquf.


DAFTAR PUSTAKA

Ali Habillah, Ushul al-Tasyri` al-Islami, Mesir : Dar al-Ma`arif, 1976, Cet. V, hal. 210.

Ali Mushtafa Ya`qub, Catatan Sari Kuliah Metode Memahami Hadis, Jakarta : Pascasarjana IIQ (Institut Ilmu al-Qur`an), 13 Februari 2004.

Ahmad Muuhammad Syakir, al-Bahits al-Hatsis Syarh Ikhtishar `Ulum al-Hadis, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.

Abd al-Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, Kairo : Dar al-Ilmi, 1978.

Jamal al-Din al-Qasimi, Qawaid al-Tahdis min Funun Mushthalah al-Hadis, t.tp : Dar al-Nukhasy, t.th.

Ali Mushtafa Ya`qub, Peran Ilmu Hadis dalam Pembinaan Hukum Islam, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1999, Cet. I.

Al-Nasa`i, Sunan al-Nasa`i bi Syarh Jalal al-Din al-Suyuthi, Semarang : Toha Putra, 1930, Cet. I, Jilid 9.

Abi Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah, Ta`wil Mukhtalaf al-Hadis, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.th.

Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy al-Naisaburi, Shahih Muslim, Beirut : Dar al-Fikr, 1988, Cet. I, Jilid 1.

Ibn Hajar al-Asqalani, Nuzhat al-Nadzar fi Taudhih Nukhbab al-Fikr fi Mushthalah Ahli al-Atsar, Damsyiq : Matba`ah al-Shabah, 1992.

Jalaluddin al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, Beirut : Dar al-Kutub, t.th., Jilid II, hal. 115.

Mahmud al-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadis, Beirut : Dar al-Tsaqafah al-Islamiah, 1985, hal. 59.

Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul Ila Tahqiq al-Haq min Ulum al-Ushul, Beirut : Dar al-Fikr, t.th.

Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Nail alAuthar Syarh Muntaqa al-Akhbar min Ahadis Sayid al-Akhyar, Beirut : Dar al-Fikr, 1982, Cet. I, Jilid 1.

Nur al-Din `Its, Manhaj al-Naqad fi Ulum al-Hadis, Suriyah : Dar al-Fikr, 1997.

Pembahasan tentang mukhtalaf al-hadis oleh Imam Syafi`i bisa dilihat di dalam karyanya “al-Umm” juz ke-VII.

Sarf al-Din Ali al-Rajihi, Mushthalah al-Hadis wa Atsaruh `ala al-Dars al-Lughawi Inda al-Arab, Beirut : Dar al-Nahdhah al-Arabiyah, t.th., hal. 217.

Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadis wa Mushthalahuh, Beirut : Dar al-Ilmi Lilmalayin, 1959.



* Penulis adalah dosen STAIN Samarinda dan kini tengah menyelesaikan Program Doktor (S3) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

[1] Lihat QS. Ali Imran (18): 110.

[2] Mahmud al-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadis, Beirut : Dar al-Tsaqafah al-Islamiah, 1985, hal. 59.

[3] Ibid.

[4] Jalaluddin al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, Beirut : Dar al-Kutub, t.th., Jilid II, hal. 115.

[5] Ali Habillah, Ushul al-Tasyri` al-Islami, Mesir : Dar al-Ma`arif, 1976, Cet. V, hal. 210.

[6] Sarf al-Din Ali al-Rajihi, Mushthalah al-Hadis wa Atsaruh `ala al-Dars al-Lughawi Inda al-Arab, Beirut : Dar al-Nahdhah al-Arabiyah, t.th., hal. 217.

[7] Ibn Hajar al-Asqalani, Nuzhat al-Nadzar fi Taudhih Nukhbab al-Fikr fi Mushthalah Ahli al-Atsar, Damsyiq : Matba`ah al-Shabah, 1992, hal. 73.

[8] Ali Mushtafa Ya`qub, Catatan Sari Kuliah Metode Memahami Hadis, Jakarta : Pascasarjana IIQ (Institut Ilmu al-Qur`an), 13 Februari 2004.

[9] Pembahasan tentang mukhtalaf al-hadis oleh Imam Syafi`i bisa dilihat di dalam karyanya “al-Umm” juz ke-VII. Lihat juga Ahmad Muhammad Syakir, al-Bahits al-Hatsis Syarh Ikhtishar `Ulum al-Hadis, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th., hal. 169.

[10] Ahmad Muhammad Syakir, op. cit., hal 170.

[11] Ibn Hajar al-Asqalani, op. cit., hal. 74.

[12] Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadis wa Mushthalahuh, Beirut : Dar al-Ilmi Lilmalayin, 1959, hal. 112, Nur al-Din `Its, Manhaj al-Naqad fi Ulum al-Hadis, Suriyah : Dar al-Fikr, 1997, hal. 341.

[13] Abd al-Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, Kairo : Dar al-Ilmi, 1978, hal. 230.

[14] Jamal al-Din al-Qasimi, Qawaid al-Tahdis min Funun Mushthalah al-Hadis, t.tp : Dar al-Nukhasy, t.th., hal. 318.

[15] Ibid.

[16] Al-Suyuthi, op. cit., hal. 115.

[17] Ahmad Musthafa Syakir, op. cit., hal. 171.

[18] Ali Mushtafa Ya`qub, Peran Ilmu Hadis dalam Pembinaan Hukum Islam, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1999, Cet. I, hal. 31-32.

[19] Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy al-Naisaburi, Shahih Muslim, Beirut : Dar al-Fikr, 1988, Cet. I, Jilid 1, hal. 137.

[20] Ibid, hal. 138.

[21] Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul Ila Tahqiq al-Haq min Ulum al-Ushul, Beirut : Dar al-Fikr, t.th., hal. 38

[22] Ibid, hal. 39.

[23] Ibid.

[24] Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Nail alAuthar Syarh Muntaqa al-Akhbar min Ahadis Sayid al-Akhyar, Beirut : Dar al-Fikr, 1982, Cet. I, Jilid 1, hal. 213.

[25] Ibid, hal. 214.

[26] Ibid, hal. 215.

[27] Al-Nasa`i, Sunan al-Nasa`i bi Syarh Jalal al-Din al-Suyuthi, Semarang : Toha Putra, 1930, Cet. I, Jilid 9, hal. 158.

[28] Ibid.

[29] Abi Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah, Ta`wil Mukhtalaf al-Hadis, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.th., hal. 242.

No comments: