Mencari makalah yang lain :

Google
 

Sunday, April 8, 2007

Kritik Nalar Arab

Solusi Perseteruan Tiga Nalar Dalam Islam

Oleh: Amir Tajrid, M.Ag.

- Muncunya sebuah kritik wacana ke-Islaman (baik yang datang dari Jabiri, Arkoun), diawali sebuah kegelisahan terhadap alam pikiran umat Islam yang mengalami kebekuan. Kebekuan ini terejawantahkan dalam hampir seluruh pemikiran umat Islam yang terlepas dari akar historisnya sehingga muncul apa yang disebut dengan taqdis al-afkar al-diniyyah. Sehingga horison kajian pemikiran Islam dalam studi Islam (dirasah Islamiyah) mengalami penyempitan.

- Dalam khazanah ilmu-ilmu al-Qur’an terdapat dua cara memahami al-Qur’an, yaitu tafsir dan ta’wil. Yang pertama lebih populer dari pada yang terakhir. Tafsir dikenal sebagai cara untuk menguarai bahasa, konteks, dan pesan-pesan moral yang terkandung dalam teks. Posisi teks sebagai subyek. Paradigma penafsiran ini dapat dikategorikan sebagai yang menggunakan epistemologi bayani. Berbeda dengan tafsir, takwil dipahami sebagai cara untuk memahami teks dengan menjadikannya sebagai obyek kajian. Tradisi baru ini keberadaannya dalam studi Islam konvesional kurang begitu dikenal, karena maenstream studi ke-Islaman telah menganggap Ulum al-Qur’an matang dan baku (nadhaja wa ikhtaraqa). Termasuk salah satu yang dibakukan adalah apa yang dianggap ta’wil tak lain dan tak bukan adalah ta’wil al-bathini, yang agaknya ekuivalen dengan tafsir al-isyari. Dalam ranah ini, yakni menjadikan teks atau pemahaman orang, kelompok, madzhab, aliran, organisasi, kultur, sebagai obyek telaah keilmuan ke-Islaman, maka pendekatan yang dipakai adalah ta’wil al-ilmi sebagai model tafsir alternatif terhadap teks menggunakan jalur lingkar hermeneutik yang mendialogkan secara sungguh-sungguh diantara ketiga epistemologi yang dikenal dalam Islam, epistemologi bayani, irfani, dan burhani. Tetapi gagasan ini pada dataran praksis juga mengalami problem internal akibat sisa-sisa sejarah masa lalu yang menampilkan pesetruan yang tak kunjung berhenti diantara tiga epistem tersubut dalam panggung sejarah pemikiran umat Islam.

- Paralel dengan gagasan-gagasan baru tersebut perbincangan mengenai tiga sistem pengetahuan (epistem) yang sedang ngtrend dalam diskusrsus ke-Islaman kontemporer banyak mengundang perhatian dari berbagai kalangan akademisi. Perhatian ini terutama diberikan oleh mereka yang concern terhadap kajian-kajian tentang system pengetahuan hubungannnya dengan Islam sebagai sebuah agama yang juga mempunyai budaya dan system pengetahuan. Islam, sebagaimana yang telah di tulis oleh Muhammad Abid al-Jabiri mempunyai tiga system pengetahuan. System pengetahuan ini ia sebut dengan epistemologi bayani, burhani, dan irfani. “Sistem pengetahuan” ini kadang juga disebut dengan istilah “Nalar”. Dengan kata lain, kebudayaan Arab Islam terbangun di dasarkan pada pada tiga system pengetahuan sebagaimana berikut: system pengetahuan bayani yang dibangun di atas warisan Islam “murni” yakni bahasa dan agama (yang tereduksi dalam bentuk wahyu) sebagai teks, system pengetahuan irfani yang didasarkan pada irrasionalitas atau ketersingkiran akal dalam tradisis kuno pra Islam khususnya budaya hermetic, dan terakhir adalah system pengetahuan burhani yang dibangun berdasarkan filsafat dan ilmu-ilmu rasional khususnya logika Aristoteles.

- Dua dari ketiga system pengetahuan tersebut, yakni system pengetahuan bayani dan irfani keberadaannya tidak perlu diperdebatkan lagi. Karena system pengetahuan/nalar bayani adalah penopang utama bagi keberadaan kebudayaan Islam yang memang lekat dengan budaya teks. Sehingga Islam pun dikenal atau identik dengan agama teks, yang merupakan bentuk reduksi dari nalar ini. Bahkan nalar bayani (yang terejawantahkan dalam teks) ini marasuki hampir di seluruh pengetahuan Islam. Pengetahuan apapun dalam Islam harus di dasarkan pada teks. Kuatnya budaya teks ini terlihat dalam kedua sumber Islam, yakni al-Qur’an dan al-Hadits. Akibat keterkungkungan nalar Islam yang tereduksi dalam bentuk teks ini menjadikan Islam tidak mudah merespon permasalahan empiris yang terjadi dalam masyarakat. Oleh karena itu, mengandalkan nalar bayani an sich tidaklah cukup, melainkan juga harus memasukkan nalar burhani (akal universal). Nalar yang berangkat dari pemahaman akal terhadap realitas maujud yang dibangun berdasarkan filsafat dan ilmu-ilmu rasional. Keberadaan nalar burhani ini dalam sejarah kebudayaan Arab Islam pernah mengalami ketersingkiran yang cukup lama, walaupun pada akhirnya kembali hadir dalam kebudayaan tersebut. Timbul tenggelamnya nalar burhani (akal universal) ini menarik untuk diadakan pengkajian secara khusus dalam tulisan ini. Sebagaimana nalar bayani, nalar irfani pun menjadi salah satu penopang bagi kebudayaan Islam walaupun diantara keduanya kadang terjadi persaingan dalam mempengaruhi kebudayaan tersebut. Fenomena nalar irfani atau ketersingkiran akal ini terlihat dengan hadirnya konsep imamah dalam tradisi Syi’ah dan walayah dalam tradisi agnostisisme (sufi) yang masih berjalan hingga sekarang.

- Sedangkan nalar burhani mengalami peminggiran secara sistematis akibat pertarungan politik penguasa. Terutama setelah idieologi Mu’tazilah digantikan oleh ideology Sunni. Memang nalar burhani ini pernah mengalami masa keemasan pada saat pemerintahan Khalifah al-Makmun al-Abbasiy. Namun setelah era al-Makmun al-Abbasiy, tepatnya pada masa pemerintahan Khalifah al-Mutawakkil ala Allah yang berideologi sunni, nalar burhani mengalami keterpasungan secara sistematis karena tidak di dukung oleh penguasa. Dan lambat laun nalar ini mulai tergantikan oleh nalar yang lain. Walaupun dalam kondisi tertentu muncul seorang tokoh yang mencoba menghidupkan kembali nalar ini. Tetapi keberadaannya tidak begitu signifikan karena nalar yang lain sudah begitu kuat merasuk dalam alam pikiran dan system budaya Islam yang ada saat itu. Sehingga hal ini pun berakibat pada menguatnya dimensi normative agama. Sebab normativitas agama ini lebih banyak dipahami dengan menggunakan pendekatan nalar bayani (nalar teks). Sedangkan dimensi historisitas agama yang tidak dapat dilepaskan dari aspek ruang dan waktu yang banyak dipahami dengan menggunakan pendekatan nalar burhani menjadi melemah.

- Terjadinya peminggiran nalar burhani, setidaknya memberikan penegasan bahwa dalam epistem kebudayaan Arab Islam terjadi sebuah dialektika diantara ketiga nalar yang dikenal dalam Islam. Dialektika ini mewajibkan adanya sebuah persaingan untuk memperebutkan dominasi cultural untuk mempengaruhi alam pikiran umat Islam. Dialektika dalam memperebutkan dominasi cultural ini pada akhirnya menempatkan sebuah nalar tertentu vis a vis nalar yang lain. Misalnya nalar bayani berhadapan dengan nalar burhani, di satu sisi dan nalar burhani berhadapan dengan nalar irfani, pada sisi yang lain. Atau bahkan terjadi penggabungan diantara kedua nalar tertentu. Misalnya untuk memperkuat nalar irfani, maka harus dilandasi dan berpijak pada nalar bayani (ta’sis al-irfan alal bayan).

- Dari paparan tersebut, jelaslah bahwa ketiga epistem tadi secara historis memang mengalami pertarungan untuk memperebutkan dan menancapkan pengaruhnya dalam alam pikiran umat Islam. Untuk mengembalikan kebekuan alam pikiran umat Islam setidaknya harus ada keterbukaan diantara ketiga epistem tersebut untuk saling megkoreksi kekuarangan masing-masing. Jika dianggap sebagai sebuah solusi. Jika tidak, maka diperluakan sumbangsih pemikiran dari peserta diskusi. Wassalam.

No comments: