Mencari makalah yang lain :

Google
 

Monday, April 2, 2007

FENOMENA JILBAB DALAM KONSTRUKSI FIQH

Oleh : Amir Tajrid, M.Ag.

Iftitah.

Sebenarnya saya sudah jenuh menanggapi diskursus tentang jilbab yang akhir-akhir ini marak di berbagai belahan dunia, terutama jika dikaitkan dengan upaya penegakan syari’at Islam. Soal jilbab dalam pandangan saya bukanlah merupakan inti dari ajaran Islam. Tetapi hanya merupakan sebuah pilihan yang bersifat pernak-pernik (furu’iyah) ajaran Islam yang tidak perlu diperdebatkan. Karena jilbab sendiri masuk dalam kategori yang bersifat furu’iyah. Masalah jilbab yang saat ini menghabiskan banyak energi kita hakekatnya terfokus pada pertanyaan: Apakah jilbab merupakan sebuah ekspresi kultural Arab ataukah substansi ajaran agama; Apakah ia sebuah simbol kesalehan dan ketaatan seseorang terhadap otoritas agama ataukah simbol perlawanan dan pengukuhan identitas seseorang? Banyak feminis “beraliran” Barat memandangnya sebagai sebuah bias kultur patriarkhi serta tanda keterbelakangan, subordinasi dan penindasan terhadap perempuan. Fatima Mernissi, misalnya, menggugat bahwa jilbab hanya menjadi penghalang yang menyembunyikan kaum wanita dari ruang publik (Pemberontakan Wanita: 1996). Tapi di sisi lain, jilbab dianggap sebagai pembebas dan ruang negosiasi perempuan.

Jilbab, dalam focus ini, sebenarnya masuk pada arena kontestasi —sebuah permainan makna dan tafsir. Relasi-kuasa bermain dan saling tarik antara kalangan agamawan normatif dan feminis liberal; antara atas nama kepentingan norma (tabu, aurat, kesucian, dan privasi) dan atas nama kebebasan perempuan (ruang gerak, persamaan dll).

Sejarah jilbab.

Jilbab berasal dari akar kata jalaba, yang berarti menghimpun dan membawa. Jilbab pada masa Nabi Muhammad SAW ialah pakaian luar yang menutupi segenap anggota badan dari kepala hingga kaki perempuan dewasa.

Jilbab dalam arti penutup kepala hanya dikenal di Indonesia. Di beberapa negara Islam, pakaian sejenis jilbab dikenal dengan beberapa istilah, seperti chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak, charshaf di Turki, hijâb di beberapa negara Arab-Afrika seperti di Mesir, Sudan, dan Yaman. Hanya saja pergeseran makna hijâb dari semula berarti tabir, berubah mak-na menjadi pakaian penutup aurat perem-puan semenjak abad ke-4 H.

Terlepas dari istilah yang dipakai, sebenarnya konsep hijab bukanlah ‘milik’ Islam. Misalnya dalam kitab Taurat, kitab suci agama Yahudi, sudah dikenal beberapa istilah yang semakna dengan hijâb seperti tif’eret. Demiki-an pula dalam kitab Injil yang merupakan kitab suci agama Nasrani juga ditemukan isti-lah semakna. Misalnya istilah zammah, re’alah, zaif dan mitpahat.

Menurut penelitian Stern (1939a: 108), “Nabi Muhammad tak memperkenalkan kebiasaan berjilbab.” Hansen juga berpendapat (1967: 71), “pemingitan dan jilbab merupakan fenomena asing bagi masyarakat Arab dan tak diketahui pada masa Nabi.” Asal-usul jilbab dibahas oleh banyak orang pada tahun 1970-an dan 1980-an (lihat misalnya Marsot 1978: 261-276; Dengler 1978: 229-244; El Guindi 1983: 79-89). Jilbab telah umum diakui keberadaannya di wilayah Mesopotamia/Mediterania. (Fadwa el-Guindi: 1996). Al-Zarkasyi juga telah mengemukakan bukti bahwa beberapa kota penting di zaman Romawi dan Yunani sudah menggunakan kostum yang menutupi seluruh anggota badan, kecuali satu bola mata untuk melihat (al-Zarkasyi: 1970).

Pandangan yang lebih moderat lahir dari seorang penulis Iran, Navabakhsh: “Semula Alquran sendiri tak menetapkan kapan wanita harus dihijab dari lingkungan laki-laki. Tak dikenal sebagai suatu fenomena sosial historis pada masa Nabi. Hijab ketika itu lebih sering diasosiasikan dengan gaya hidup kelas atas di kalangan masyarakat petani dan para pendatang, yang merupakan tradisi pra-Islam di Syria dan adat di kalangan orang-orang Yahudi, Kristen, dan Sasania.” (Mustafa Hashem Sherif: 157).

Bahkan kata Eipstein sebagaimana yang dikutip oleh Nasaruddin Umar dalam tulisannya yang pernah dimuat di Ulumul Quran,konsep hijâb dalam arti penutup kepala sudah dikenal sebelum adanya agama-agama Samawi (Yahudi dan Nasrani). Bahkan kata pak Nasar, pakaian seperti ini sudah menjadi wacana dalam Code Bilalama (3.000 SM), kemudian berlanjut di dalam Code Hammurabi (2.000 SM) dan Code Asyiria (1.500 SM). Ketentuan penggunaan jilbab sudah dikenal di beberapa kota tua seperti Mesopotamia, Babilonia, dan Asyiria. (Kompas, 25/11/02).

Tradisi penggunaan kerudung pun sudah dikenal dalam hukum kekeluargaan Asyiria. Hukum ini mengatur bahwa isteri, anak perempuan dan janda bila bepergian ke tempat umum harus menggunakan kerudung. Dan kalau merunut lebih jauh mengenai konsep ini, ketika Adam dan Hawa diturunkan ke bumi, maka persoalan pertama yang mereka alami adalah begaimana menutup kemaluan mereka (aurat) (QS. Thaha/20: 121).

Karena itu tak heran, dalam literatur Yahudi ditemukan bahwa penggunaan hijâb berawal dari dosa asal. Yaitu dosa Hawa yang menggoda suaminya, Adam. Dosa itu adalah membujuk Adam untuk memakan buah terlarang. Akibatnya, Hawa beserta kaumnya mendapat kutukan. Tidak hanya kutukan untuk memakai hijab tetapi juga mendapat siklus menstruasi dengan segala macam aturannya.

Nah, berbeda dengan konsep hijâb dalam tradisi Yahudi dan Nasrani, dalam Islam, hijâb tidak ada keterkaitan sama sekali dengan kutukan atau menstruasi. Dalam konsep Islam, hijâb dan menstruasi pada perem-puan mempunyai konteksnya sendiri-sendiri. Aksentuasi hijâb lebih dekat pada etika dan estetika dari pada ke persoalan substansi ajaran. Pelembagaan hijâb dalam Islam di-dasarkan pada dua ayat dalam Alqur’an yaitu QS. Al-Ahzab/ 33: 59 dan QS. An-Nur/24: 31.

Kedua ayat ini saling menegaskan tentang aturan berpakaian untuk perempuan Islam. Pada surat An-Nur, kata khumur meru-pakan bentuk pulral dari khimar yang artinya kerudung. Sedangkan kata juyub merupakan bentuk plural dari dari kata jaib yang artinya adalah ash-shadru (dada). Jadi kalimat hendakl-ah mereka menutupkan kain kerudung ke dada-nya ini merupakan reaksi dari tradisi pakaian perempuan Arab Jahiliyah.

Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir di dalam tafsirnya: “Perempuan pada zaman jahiliyah biasa melewati laki-laki dengan keadaan telanjang dada tanpa ada selimut sedikitpun. Bahkan kadang-kadang mereka memperlihatkan lehernya untuk memperlihatkan semua perhiasannya”.

Sementara Imam Zarkasyi memberikan komentarnya mengenai keberadaan perempuan pada masa jahiliyah: “Mereka mengenakan pakaian yang membuka leher bagian dadanya, sehingga tampak jelas selu-ruh leher dan urat-uratnya serta anggota sekitarnya. Mereka juga menjulurkan keru-dungnya mereka ke arah belakang, sehingga bagian muka tetap terbuka. Oleh karena itu, maka segera diperintahkan untuk mengulur-kan kerudung di bagian depan agar bisa menutup dada mereka”.

Pakaian yang memperlihatkan dadanya ini pernah dilakukan Hindun binti Uthbah ketika memberikan semangat perang kaum kafir Mekah melawan kaum muslim pada perang Uhud. Dan ini biasa dilakukan perempuan jahiliyah dalam keterlibatannya berperang untuk memberikan semangat juang.

Selain karena faktor kondisional seperti yang digambarkan di atas, kedua ayat ini juga turunnya lebih bersifat politis, diskriminatif dan elitis. Surat Al-Ahzab yang didalamnya terdapat ayat hijab turun setelah perang Khandaq (5 Hijriyah). Sedangkan surat An-Nur turun setelah al-Ahzab dan kondisinya saat itu sedang rawan. Bersifat politis sebab ayat-ayat di atas turun untuk menjawab serangan yang dilancarkan kaum munafik, dalam hal ini Abdullah bin Ubay dan konco-konconya, terhadap umat Islam. Serangan kaum munafik ini “memakai” perempuan Islam dengan cara memfitnah isteri-isteri Nabi, khususnya Siti Aisyah. Peristiwa terha-dap Siti Aisyah ini disebut peristiwa peristiwa al-ifk. Peristiwa al-ifk terjadi ketika Aisyah tertinggal dari rombongan di salah satu medan perang karena ia mencari kalung permatanya yang hilang. Ketika sampai di kemah, tak lagi dijumpai seorangpun. Seluruh pasukan sudah meningalkan lokasi. Di saat Aisyah sendirian di kemah, datanglah Safwan ibn Mu’attal al-Sulami dengan untanya lalu membawanya ke Madinah. Pecahlah isu yang tidak enak dalam masyarakat. Dan ini dimanfaatkan oleh kaum munafik dengan koordinator Abdullah bin Ubay. Akibat peristiwa ini, Nabi membentuk tim khusus untuk menyelediki kasus ini.

Pada saat itu, peristiwa ini sangat menghebohkan sehingga untuk mengakhiri-nya harus ditegaskan dengan diturun-kannya lima ayat yaitu QS. An-Nur/23: 11-16.

Ayat-ayat ini juga turun di saat kondisi sosial pada saat itu tidak aman seperti yang diceritakan di atas. Gangguan terhadap perempuan-perempuan Islam sangat gencar. Semua ini dalam rangka menghancurkan agama Islam. Maka ayat itu ingin melindungi perempuan Islam dari pelecehan itu.

Sejak peristiwa itu turun ayat lain yang cenderung membatasi ruang gerak keluarga Nabi, khususnya dalam Q.s al-Nur dan al-Ahzab di mana ayat-ayat jilbab itu ditemukan. Dilihat dari konteks ayat-ayat jilbab, hijab dan kecenderungan pembatasan perempuan, khususnya kepada keluarga Nabi, seolah merupakan refleksi dari suatu situasi khusus yang terjadi di Madinah ketika itu.

Riwayat lain mengukuhkan bahwa suasana masyarakat Madinah ketika itu tak tentram, dalam situasi perang berkepanjangan. Apalagi, umat Islam saat itu baru saja mengalami kekalahan dalam perang Uhud, yang membengkakkan populasi janda dan anak yatim. Janda dan anak-yatim-perempuan ketika itu sering kali menjadi objek pelecehan seksual dari laki-laki nakal. Hanya kaum perempuan bangsawanlah yang terhindar dari pelecehan itu karena mereka mengunakan jilbab. Maka, seruan untuk berjilbab pada saat itu adalah salah satu srategi budaya atau tindakan preventif atas terjadinya pelecehan terhadap perempuan.

Menurut Abu Syuqqah, perintah untuk mengulurkan jilbab pada ayat di atas, mengandung kesempurnaan pembedaan dan kesempurnaan keadaan ketika keluar. Dan Allah Swt telah menyebutkan alasan perintah berjilbab dan pengulurannya. Firman-Nya, Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dalam hal ini, untuk membedakan perempuan merdeka dan
perempuan budak.

Inilah yang dipahami bersifat elitis dan diskriminatif. Karena dengan ayat ini, ingin membedakan status perempuan Islam yang merdeka dan budak. Di sini dapat dilihat am-biguitas Islam dalam melihat posisi budak. Satu sisi ingin menghancurkan perbudakan, di sisi lain, masih mempertahankannya dalam strata masyarakat Islam misalnya dalam perbedaan berpakaian di atas.

Namun menurut saya, untuk menghindari penafsiran ambigu tersebut, maka titik tekan penafsiran itu adalah etika moral ayat itu. Yaitu tidak hanya sebagai aturan dalam berpakaian saja. Sehingga tidak ada perbedaan antara perempuan merdeka dengan budak, tetapi lebih pada suruhan untuk sopan dan bersahaja (modesty) yang bisa dilakukan siapa saja.

Dalam dunia Islam, banyak buku tentang tentang hijâb ditulis, yang dalam pengertian luasnya menyebutkan pakaian perempuan Islam yang baik, pemisahan perempuan dan pembatasan kontak perempuan dengan laki-laki yang bukan keluarganya. Ayat-ayat di atas yang berkenaan dengan isu ini tidak memberikan perintah yang tersurat bagi perempuan Islam. Ini hanya membicarakan kesopanan perempuan pada umumnya dan menetapkan peraturan bagi isteri-isteri Nabi.

Seperti pernah dikemukakan Fatima Mernissi dalam buku Wanita dalam Islam, dalam masa-masa awal kehidupan Islam, ruang yang diciptakan Nabi sepertinya tidak ada dikotomi antara ruang privat Nabi dan isteri-isterinya dengan kaum muslimin lainnya. QS. Al-Ahzab/33:53 menegaskan akan ruang privat Nabi dan isteri-isterinya yang berarti diduga sebelumnya tidak ada dikotomi publik dan privat.

Pelembagaan jilbab dan pemisahan perempuan mengkristal ketika dunia Islam bersentuhan dengan peradaban Hellenisme dan Persia di kedua kota penting tersebut. Pada periode ini, jilbab yang tadinya merupa-kan pakaian pilihan (occasional costume) mendapatkan kepastian hukum (institutionalized), pakaian wajib bagi perempuan Islam. Kedua kota tersebut juga punya andil besar dalam kodifikasi kitab-kitab standard seperti hadis, tafsir, fikih, tarekh, termasuk pem-bakuan standar penulisan (rasm) dan bacaan (qira’at) Alqur’an. Disadari atau tidak, unsur Hellinisme-Persia ikut berpengaruh di dalam kodifikasi dan standardisasi tersebut. Sebagai contoh, riwayat Israiliyat ikut mempertebal jilid kitab Tafsir al-Thabary yang kemudian menjadi rujukan ulama pada kitab-kitab tafsir sesudahnya.

Menurut Ruth Rodded dalam bukunya Kembang Peradaban, sampai sekarang masih terjadi perbedaan pendapat mengenai makna dan penerapan praktis ayat-ayat hijâb. Perbedaan pendapat ini juga berkisar pada definisi-definisi yang tepat mengenai kata-kata tertentu (termasuk istilah hijâb), konteksnya dan apakah peraturan yang ditetapkan untuk isteri-isteri Nabi harus menjadi norma bagi semua perempuan Islam. Namun seperti yang dikatakan Harun Nasution, “Pendapat yang mengatakan hijâb itu wajib, bisa dikatakan ya. Dan yang mengatakan tidak wajib pun bisa dijawab ya. Tapi batasan-batasan aturan yang jelas mengenai hijâb ini tidak ada dalam Alqur’an dan hadits-hadits mutawatir.” (Islam Rasional, h.332).

Hukum jilbab dalam konstruksi fiqh dan wacana kekinian di berbagai negara.

Selanjutnya, bagaimanakah jilbab dalam konstruksi fiqh? Pertama-tama harus dibedakan antara syari’ah dan fiqh. Walaupun istilah ini sebenarnya telah mengalami penyempitan dan perluasan makna. Syari’ah selama ini dipahami sebagai sesuatu yang universal dan bersifat kekal. Ia berasal dari Tuhan. Sedangkan fiqh adalah sesuatu yang bersifat lokal dan temporal. Ia bersumber dari ijtihad/pemikiran para ahli hukum. Sebagaimana sifat fiqh yang lokal dan temporal, maka saya mengutip pendapat al-Asymawi berkaitan dengan topik yang kita diskusikan kali ini. Al-Asymawi dengan lantang berkata bahwa hadis-hadis yang menjadi rujukan tentang pewajiban jilbab atau hijâb itu adalah Hadis Ahad yang tak bisa dijadikan landasan hukum tetap. Bila jilbab itu wajib dipakai perempuan, dampaknya akan besar. Seperti kutip-annya: “Ungkapan bahwa rambut perempuan adalah aurat karena merupakan mahkota mereka. Setelah itu, nantinya akan diikuti dengan pernyataan bahwa mukanya, yang merupakan singgasana, juga aurat. Suara yang merupakan kekuasaannya, juga aurat; tubuh yang merupakan kerajaannya, juga aurat. Akhirnya, perempuan serba-aurat.” Implikasinya, perempuan tak bisa melakukan aktivitas apa-apa sebagai manusia yang diciptakan Allah karena serba aurat.

Kesimpulan di atas diperkuat dengan fenomena jilbab dalam konteks kekinian yang terjadi diberbagai negara. Jilbab menjadi simbol identitas, status, kelas dan kekuasaan. Menurut Crawley, misalnya, pakaian adalah ekspresi yang paling khas dalam bentuk material dari berbagai tingkatan kehidupan sosial sehingga jilbab menjadi sebuah eksistensi sosial, dan individu dalam komunitasnya (Al Guindi 117). Di Afrika Utara, jilbab menjadi pembungkam perempuan dalam wilayah publik secara umum. Namun, kadangkala juga kerap digunakan oleh perempuan pedesaan bepergian di luar wilayah mereka.” (Sharma 1978: 223-4).

Di Yaman, jilbab sebagai simbol status yang terstratifikasi. Bagi perempuan bangsawan memakai syarsyaf, jenis jilbab yang terbuat dari sutera. Sementara perempuan dari status ekonomi yang lebih rendah cenderung memakai sitara. Makhlouf menyatakan bahwa “jilbab, walaupun jelas-jelas merupakan pembatasan komunikasi … [dia juga merupakan sebuah simbol] alat komunikasi … [dan] berjilbab tentunya menciptakan suatu perintang bagi ekspresi bebas wanita sebagai seorang pribadi … [tapi jilbab juga meningkatkan] ekspresi diri dan femininitas” (Makhlouf 1979: 31-32).

Lebih dari itu, jilbab juga menjadi simbol pembebasan dan resistensi. Sebagai gerakan resistensi, ia tak hanya berhenti pada masyarakat Timur Tengah, melainkan terejawantah dalam masyarakat muslim modern di berbagai belahan dunia. Resistensi adalah sebuah perlawanan atau strategi untuk mengukuhkan eksistensi seseorang atau suatu komunitas. Cudjoe dan Harlow mendefinisikan resistensi sebagai sebuah tindakan yang dirancang untuk membebaskan masyarakat dari penindasnya, dan ia sepenuhnya memasukkan pengalaman hidup dibawah penindasan itu, yang kemudian menjadi prinsip estetik yang otonom (Cudjoe dan Harlow: 2000).

Di Aljazair, misalnya, jilbab mempunyai peran penting dalam proses kemerdekaan negara ini. Kolonial Perancis tidak hanya mengontrol hukum Islam —perkara-perkara pidana tapi juga menghancurkan kebudayaan mereka— memberangus adat setempat, dan melarang warga mempelajari bahasa mereka sendiri. Para pendatang Perancis mendominasi wilayah Aljazair dan memegang posisi-posisi fungsionaris publik, dan mengontrol pos-pos subordinat di bawahnya. Strategi lainnya adalah mem-Perancis-kan wanita Aljazair dengan mencabut akar budayanya. Jilbab menjadi target kolonial untuk mengontrol dan melepaskan— untuk mempengaruhi wanita Aljazair agar melepaskan jilbabnya dengan alasan untuk memodernisir Aljazair. Namun, budaya tradisional Arab–Aljazair memandang keluarga adalah pusat di mana dunia sosial moral itu berada; wanita adalah pusat identitas sakral keluarga dan penjaga harga diri dan reputasi keluarga Arab. Keibuan dipandang sakral. Maka, menyerang wanita Muslim, berarti mendestabilisasikan inti sistem sosial-spiritual dan memperkosa secara literal maupun figuratif akar budaya mereka. Dan salah satu bentuk perlawanan Aljazair terhadap apa yang dilakukan oleh Perancis itu adalah memperkuat jilbab sebagai bagian dari simbol nasional dan kultural perjuangan wanita Aljazair (El Guindi: 1996).

Di tanah air, jilbab tidak hanya dipakai orang tua, tapi juga para remaja, pekerja di kantor, instansi maupun pemerintahan, para artis, bahkan para pelacur sekalipun. Tentu, ia pun sarat makna. Di satu sisi, jilbab menjadi simbol pakaian muslimah santri, terutama yang berasal dari pesantren. Di sisi lain, ia dijadikan busana yang lazim dikenakan hanya pada momen-momen kerohanian —salat, pengajian, berkabung, bahkan saat menghadiri pesta pernikahan; sebaliknya tak dipakai pada berbagai aktivitas kesehariannya.

Pada akhir 1980-an, ribuan mahasiswi dan pelajar berjilbab membanjiri jalanan di berbagai kota besar. Mereka memprotes kebijakan Mendikbud yang melarang jilbab di sekolah-sekolah umum. Mereka ingin mengukuhkan identitas kemuslimahannya dengan mentradisikan berjilbab. Jilbab lebih dari sekadar kewajiban, tapi simbol kultural yang membedakan komunitas mereka (santri) dengan komunitas lainnya (abangan dan non-muslim).

Kalangan selebritis sibuk menutupi kepalanya yang biasa terbuka itu dengan jilbab di bulan Ramadhan. Jelas pemakaian jilbab tak ada hubungan dengan kesalehan maupun ketaatan beragama. Sebab, begitu bulan suci itu usai, jilbabnya pun dilepas. Bagi mereka, berjilbab hanyalah tuntutan pasar; strategi untuk meraup keuntungan material dengan penampakan spiritual.

Begitu pula para pelacur. Di Nangroe Aceh Darussalam, mereka menyembunyikan identitasnya dengan memakai jilbab (Lily Munir, 2002). Mengingat posisinya sebagai pekerja seks dalam ruang sosial dianggap hina, kotor, dan melecehkan moralitas, mereka harus mencari simbol sebagai alibi stereotip itu. Dengan memakai jilbab, mereka ingin eksistensi dan identitas mereka diakui dan dihormati di tengah-tengah masyarakat.

Dengan demikian, tidaklah layak jika kita menggeneralisir bahwa perempuan berjilbab itu berarti suci, sopan, dan saleh. Begitu pula sebalikya, perempuan tidak berjilbab dicitrakan sebagai perempuan kotor, kurang sopan, dan tidak taat beragama.

Pendek kata, jilbab secara historis mempunyai banyak makna. Jilbab lebih dari sekadar cita rasa berbusana religius. Jilbab terkadang tampil sebagai simbol ideologis dari suatu komunitas tertentu, menjadi fenomena bagi suatu lapisan elit sosial, menjadi simbol segregasi jender, menjadi simbol komunitas patriarki, menjadi simbol “keterbatasan” peran wanita, dan lain-lain. Jilbab adalah sebuah fenomena majemuk, memiliki tingkat-tingkat makna dan beragam konteks. Persoalan jilbab tak lagi wajib-mubah, haram-halal, etis-tidak etis. Ia menyiratkan simbol sarat makna dan kepentingan, tergantung siapa pemakainya.

Ikhtitam.

Kita tidak perlu terburu-buru melakukan justifikasi terhadap hukum jilbab. Tetapi kita harus berani membuka ruang perbedaan dan berdiskusi secara arif. Sebab jika kita tidak menyikapinya secara arif, tidak menutup kemungkinan pertikaian pandangan ini memicu adanya perpecahan dikalangan anak bangsa. Marilah kita dudukkan perbedaan pendapat sesuai dengan semboyan Ikhtilafu Ummati Rahmatun, sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh para tokoh klasik. Sehingga wacana keislaman dalam berbagai bidang mengalami perkembangan yang signifikan. Ini semua karena mereka sangat menghargai sebuah perbedaan, demi kemashlahatan bersama, tidak saling memaksakan kehendak. Demikian semoga bermanfaat.

1 comment:

May luph said...

sipp banget postingannya.
boleh ni saya jadiin referensi buat mading sekolah :D