Mencari makalah yang lain :

Google
 

Friday, March 23, 2007

KEPEMIMPINAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR`AN

(Analisis atas Penafsiran Para Ulama Tentang Ayat-ayat Kepemimpinan)
Subhan*

Abstrak: Tulisan ini membahas tentang kepemimpinan dalam al-Qur`an. Term yang digunakan al-Qur`an untuk menjelaskan tentang kepemimpinan adalah khalifah, ulu al-amr, imam dan malik. Keempat term tersebut terkait dengan makna pemimpin sesuai dengan konteks ayatnya. Dari ayat-ayat tentang kepemimpinan, para ulama memberikan penafsiran tentang konsep kepemimpinan bahwa makna kepemimpinan dalam al-Qur`an itu mencakup seluruh pengertian pemimpin meliputi pemimpin risalah, pemimpin kekhalifahan, pemimpin shalat dan semua imamah atau kepemimpinan. Adapun tugas para pemimpin adalah menyeru kebajikan, menegakkan keadilan dan mencegah kedzaliman.

Kata Kunci: Kepemimpinan, khalifah, ulu al-amr, imam dan malik.

PENDAHULUAN

Sejarah telah mencatat bahwa diantara persoalan-persoalan yang diperselisihkan pada hari-hari pertama sesudah wafatnya Rasulullah SAW adalah persoalan politik atau yang biasa disebut persoalan al-Imamah (kepemimpinan).[1] Meskipun masalah tersebut berhasil diselesaikan dengan diangkatnya Abu Bakar (w. 13 H/634 M) sebagai khalifah, namun dalam waktu tidak lebih dari tiga dekade masalah serupa muncul kembali dalam lingkungan umat Islam. Kalau pada pertama kalinya, perselisihan yang terjadi adalah antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar, maka pada kali ini perselisihan yang terjadi adalah antara khalifah Ali bin Abi Thalib (w. 41 H/661 M) dan Mu`awiyah bin Abi Sufyan (w. 64 H/689 M) dan berakhir dengan terbunuhnya khalifah Ali dan bertahtanya Mu`awiyah sebagai khalifah dan pendiri kerajaan Bani Umayyah.[2]

Mencuatnya persoalan-persoalan tersebut dikarenakan al-Qur`an maupun al-Hadis sebagai sumber hukum Islam tidak memberikan penjelasan secara pasti mengenai sistem pemerintahan dalam Islam, konsepsi kekuasaan dan kedaulatan serta ide-ide tentang konstitusi.[3]

Term bahasa Arab yang secara eksplisit bermakna negara atau pemerintahan (Daulah dan Hukumah) tidak pernah disebut-sebut oleh al-Qur`an dengan pasti. Selain itu Nabi sendiri tidak memberikan konsep pemerintahan yang baku dan mapan. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pemerintahan memiliki peluang yang besar untuk dikembangkan. Demikian pula bentuk negara dalam Islam bukan merupakan hal yang essensial, karena yang essensial adalah unsur-unsur, sendi-sendi, dan prinsip-prinsip dalam menjalankan pemerintahan.[4]

Perkembangan yang baru, terjadi dalam abad XIX akibat terjadinya kontak peradaban dengan dunia Barat. Kaum pembaru dalam dunia Islam berusaha melakukan pembaruan dengan menerapkan nilai-nilai Barat atau dengan menggali dan mengkaji ulang ajaran-ajaran Islam ataupun dengan memadu kedua unsur-unsur tersebut. Gerakan pembaruan ini berdampak antara lain dalam kehidupan politik. Kerajaan Turki Usmani yang dipandang sebagai khilafah dan pemerintahan Islam sedunia tidak dapat mempertahankan eksistensinya, ia dibubarkan pada bulan Maret 1924 setelah pembentukan Negara nasional sekuler Republik Turki tanggal 29 Oktober 1923.[5] Dengan demikian institusi yang dipandang sebagai lambang supremasi politik Islam telah lenyap.[6]

Pemikiran politik sesungguhnya telah dikenal oleh sejarah sejak zaman Yunani kuno. Karya-karya besar sebagai perintis telah ditulis misalnya buku The Republic[7] karya Plato (428/7-348/7 SM) dan buku Politics[8] dari Aristoteles (384-322 SM). Kedua karya ini kemudian terlihat mempengaruhi pemikiran filosof muslim seperti al-Farabi (260-339 H/870-950 M), Ibnu Sina (370-428 H/980-1037 M), Ibnu Bajah (w. 1138 M), dan Ibnu Rusyd (520-595 H/1126-1198 M).[9] Meskipun demikian, ini tidak berarti bahwa pemikiran politik yang berkembang dalam dunia Islam hanya diilhami oleh pemikiran Barat, sebab sebelum munculnya kaum filosof muslim tersebut pemikiran politik telah dikenal dalam lingkungan fuqaha seperti Abu Hanifah (80-150 H/699-769 M) dan Abu Yusuf (l. 117 H/731 M).[10] Demikian pula dalam karya Imam Syafi`i (150-204 H), pemikiran politik dapat ditemukan,[11] hanya saja sebagai faqih, pemikiran mereka bersifat legalistik normatif karena berakar pada teks-teks al-Qur`an dan Sunnah. Namun memasuki abad V H, pemikiran legalistik normatif ini mengambil pula unsur kesejarahan seperti yang tampak dalam karya Ali bin Muhammad al-Mawardi (w. 450 H)[12] dan al-Farra (w. 458 M).[13] Pemikiran yang legalistik tetapi memiliki dasar filsafat moral terlihat dalam karya Imam al-Ghazali (450-505 H/1058-1111 M)[14] dan pemikiran sosiologis historis dikemukakan oleh Abd al-Rahman bin Khaldun (732-808 H/1332-1406 M).[15]

Kemunduran kerajaan-kerajaan besar Islam dalam abad XVIII membangunkan dunia Islam untuk mengamati dan mempelajari kekalahannya dan mencari pemecahan masalah yang dihadapi. Kerajaan Turki Usmani mencoba mengambil peradaban Barat yang lebih maju terutama dalam bidang teknik dan kemiliteran.[16] Sedang di India tampil Ahmad Syah Waliyullah bin Abd al-Rahman al-Dahlawi (1703-1762 M) mengemukakan gagasan agar sistem pemerintahan yang telah dikembangkan oleh al-Khulafa` al-Rasyidun (para khalifah yang mendapat petunjuk).[17]

Pemikiran politik yang berkembang dalam dua abad berikutnya bercabang dari dua pola pemikiran di atas. Pengambilan dan penerapan nilai-nilai kebudayaan Barat (Westernisasi) dapat dibedakan atas bentuk ekstrem dan bentuk moderat. Westernisasi ekstrem terlihat dalam Kemalism (Aliran Kemalis, Kemalisme) yang berhasil mendirikan Republik Turki (1923 M) dan membebaskan segala institusi politik dari kekuasaan agama.[18] Sedangkan Westernisasi moderat terlihat dalam pemikiran kelompok Turki Muda, khususnya pada tokoh-tokoh seperti Ahmad Riza (1859-1931 M) dan Pangeran Sahabuddin (1877-1948 M). Mereka ingin menerapkan nilai-nilai kebudayaan Barat yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam seperti ajaran konstitusi dan ajaran mengenai pengembangan kemampuan berdiri sendiri.[19] Pada sisi lain aliran yang bertumpu pada ajaran Islam dapat pula dibedakan atas pemikiran yang ingin mengembalikan ajaran Islam yang bersumber al-Qur`an dan Sunnah dan yang bersumber dari fiqih para imam madzhab dan para mujtahid pengikut mereka dan pemikiran yang bermaksud mengembangkan konsepsi-konsepsi dari al-Qur`an dan Sunnah. Aliran pertama yang dapat disebut sebagai aliran tradisional dalam konteks pembaharuan di Turki terlihat dalam pemikiran Nemik Kemal (1840-1888 M). Meskipun ia menghendaki pembaruan, tetapi ia tetap mempertahankan tradisi-tradisi yang ada.[20] Aliran kedua yang dapat disebut dengan meminjam istilah Linguistik sebagai “Puritanisme”, atau mempertahankan kemurnian.[21] Jamal al-Din al-Afghani (1839-1877 M) yang menjadi pelopor Pan Islamisme adalah contoh pemikir puritanisme dari kalangan pembaru di Mesir.[22]

Dari latar belakang di atas, penulis mencoba untuk mengungkapkan konsep kepemimpinan dalam perspektif al-Qur`an, yang membahas tentang term-term kepemimpinan dalam al-Qur`an dan penafsiran para ulama atas ayat-ayat kepemimpinan.

PENGERTIAN DAN TERM-TERM PEMIMPIN

Al-Qur`an menggunakan Khalifah, Ulu al-Amri, Imam dan Malik untuk pengertian pemimpin. Berikut ini akan diuraikan pengertian term-term tersebut satu persatu.

A. Khalifah

Dilihat dari segi bahasa, term khalifah akar katanya terdiri dari tiga huruf yaitu kha`, lam dan fa. Makna yang terkandung didalamnya ada tiga macam yaitu mengganti kedudukan, belakangan dan perubahan.[23]

Dari akar kata di atas, ditemukan dalam al-Qur`an dua bentuk kata kerja dengan makna yang berbeda. Bentuk kata kerja yang pertama ialah khalafa-yakhlifu dipergunakan untuk arti “mengganti”, dan bentuk kata kerja yang kedua ialah istakhlafa-yastakhlifu[24] dipergunakan untuk arti “menjadikan”.[25]

Pengertian mengganti di sini dapat merujuk kepada pergantian generasi ataupun pergantian kedudukan kepemimpinan. Tetapi ada satu hal yang perlu dicermati bahwa konsep yang ada pada kata kerja khalafa disamping bermakna pergantian generasi dan pergantian kedudukan kepemimpinan, juga berkonotasi fungsional artinya seseorang yang diangkat sebagai pemimpin dan penguasa di muka bumi mengemban fungsi dan tugas-tugas tertentu.[26]

Bentuk jamak dari kata khalifah ialah khalaif dan khulafa. Term khalaif dipergunakan untuk pembicaraan dalam kaitan dengan manusia pada umumnya dan orang mukmin pada khususnya. Sedangkan khulafa dipergunakan oleh al-Qur`an dalam kaitan dengan pembicaraan yang tertuju kepada orang-orang kafir.[27]

B. Ulu al-Amr

Istilah Ulu al-Amr terdiri dari dua kata Ulu artinya pemilik dan al-Amr artinya urusan atau perkara atau perintah. Kalau kedua kata tersebut menjadi satu, maka artinya ialah pemilik urusan atau pemilik kekuasaan. Pemilik kekuasaan di sini bisa bermakna Imam dan Ahli al-Bait, bisa juga bermakna para penyeru ke jalan kebaikan dan pencegah ke jalan kemungkaran, bisa juga bermakna fuqaha dan ilmuan agama yang taat kepada Allah SWT.[28]

Dilihat dari akar katanya, term al-Amr terdiri dari tiga huruf hamzah, mim dan ra, ketiga huruf tersebut memiliki lima pengertian, yaitu; perkara, perintah, berkat, panji dan keajaiban.[29]

Kata al-Amr itu sendiri merupakan bentuk mashdar dari kata kerja Amara-Ya`muru artinya menyuruh atau memerintahkan atau menuntut seseorang untuk mengerjakan sesuatu. Dengan demikian term Ulu al-Amr dapat kita artikan sebagai pemilik kekuasaan dan pemilik hak untuk memerintahkan sesuatu. Seseorang yang memiliki kekuasaan untuk memerintahkan sesuatu berarti yang bersangkutan memiliki kekuasaan untuk mengatur dan mengendalikan keadaan.[30]

C. Imam

Kata Imam berakar dari huruf hamzah dan mim, kedua huruf tersebut mempunyai banyak arti, diantaranya ialah pokok, tempat kembali, jama`ah, waktu dan maksud.[31]

Para ulama mendefinisikan kata Imam itu sebagai setiap orang yang dapat diikuti dan ditampilkan ke depan dalam berbagai permasalahan, misalnya Rasulullah itu adalah imamnya para imam, khalifah itu adalah imamnya rakyat, al-Qur`an itu adalah imamnya kaum muslimin.[32]

Adapun sesuatu yang dapat diikuti dan dipedomani itu tidak hanya manusia, tapi juga kitab-kitab dan lain sebagainya. Kalau dia manusia, maka yang dapat diikuti dan dipedomani ialah perkataan dan perbuatannya. Kalau dia kitab-kitab, maka yang dapat diikuti dan dipedomani ialah ide dan gagasan-gagasannya. Tetapi jangan lupa, bahwa sesuatu yang dapat diikuti itu terbagi pada dua macam, dalam hal kebaikan dan keburukan.[33]

D. Malik

Akar kata al-Malik terdiri dari tiga huruf, yaitu mim, lam dan kaf, artinya ialah kuat dan sehat. Dari akar kata tersebut terbentuk kata kerja Malaka-Yamliku artinya kewenangan untuk memiliki sesuatu. Jadi term al-Malik bermakna seseorang yang mempunyai kewenangan untuk memerintahkan sesuatu dan melarang sesuatu dalam kaitan dengan sebuah pemerintahan. Tegasnya term al-Malik itu ialah nama bagi setiap orang yang memiliki kemampuan di bidang politik pemerintahan.[34]

PENAFSIRAN ATAS AYAT-AYAT KEPEMIMPINAN

Penelitian terhadap kitab-kitab tafsir al-Qur`an menunjukkan adanya ide-ide yang berkenaan dengan kecenderungan perkembangan pemikiran politik para mufassir. Hal ini terlihat dalam perbedaan pendapat mereka sebagai akibat perbedaan metode dan corak tafsir mereka.

Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H) yang menggunakan unsur kebahasaan disamping unsur riwayat dalam menafsirkan al-Qur`an mengemukakan konsep yang relevan dengan negara kesejahteraan. Ia menyatakan bahwa raja adalah penyelenggara kesejahteraan rakyat dan penduduk negerinya. Ia bertugas mengatur urusan mereka, menutup jalan-jalan yang menjurus kepada kelaliman, mencegah orang berbuat aniaya dan membela rakyat dari perbuatan yang melampaui batas.[35]

Mahmud bin Umar al-Zamakhsyari (467-538 H/1027-1144M) menekankan aspek kesusastraan Arab dan dukungan terhadap aliran teologi Mu`tazilah mengemukakan konsep Negara moral. Ia menegaskan bahwa eksistensi Imamah adalah untuk menolak kedzaliman.[36] Imam berfungsi sebagai panutan penyeru kebajikan dan sebagai pemerintah,[37] karena itu ia wajib memerintah dengan menegakkan keadilan dan kebenaran dan melarang kemunkaran.[38]

Berbeda dengan dua mufassir terdahulu, Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi (w. 671 H) dan Isma`il bin Katsir (w. 774 H) mengemukakan pemikiran legalistik meskipun metode yang mereka pergunakan berbeda. Al-Qurthubi yang menekankan pembahasannya pada aspek hukum Islam (fiqih) menggunakan kaidah-kaidah dan pengertian kebahasaan dan analisis perbandingan membahas soal Imamah mengikuti sistematik pembahasan fiqih.[39] Ibnu Katsir yang menulis tafsirnya dengan metode seperti yang dipergunakan Ibnu Jarir mengemukakan pula uraian tentang Imamah seperti analisis al-Qurthubi, ia juga menambahkan argumentasi pentingnya Imamah berdasarkan dalil rasional.[40]

Pemikiran yang berbeda dikemukakan pula oleh Muhammad Abduh (1849-1905 M) seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M) dalam tafsir al-Manar. Penggunaan pendekatan sosio-kultural[41] olehnya menghasilkan konsepsi politik yang bercorak sosiologis dan lebih mendalam karena pengaruh pemikiran Barat. Dengan mengutip pandangan filosof bahwa manusia adalah makhluk politik,[42] ia juga mengemukakan bahwa perekat sosial yang universal adalah kebutuhan hidup. Karena itu eksistensi manusia sebagai umat tidaklah berdasarkan agama.[43]

Sebagaimana Muhammad Abduh yang terpengaruh dengan pemikiran Barat, Sayyid Quthb yang pernah mengenyam pendidikan di Barat dan bersentuhan langsung dengan politik Barat, memberikan penafsiran bahwa kepemimpinan itu adalah hak bagi orang-orang yang karena amal dan perbuatannya bukan warisan dari keturunan.[44] Hanya saja dalam penafsirannya Sayyid Quthb nampak lebih menonjolkan pembelaannya terhadap Islam. Hal ini terlihat ketika dia menyatakan bahwa terjauhnya kaum Yahudi dari kepemimpinan dan yang berhak untuk menjadi pemimpin adalah umat Islam yang sesuai dengan manhaj (aturan) Allah.[45] Kepemimpinan menurut Sayyid Quthb meliputi pemimpin risalah, pemimpin kekhalifahan, pemimpin shalat dan semua imamah atau kepemimpinan. Sebagaimana al-Zamakhsyari, Sayyid Quthb mengungkapkan konsep keadilan bagi para pemimpin dan jika pemimpin itu melakukan kedzaliman maka lepaslah dirinya dari hak kepemimpinan.[46]

PENUTUP

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa term yang digunakan al-Qur`an untuk menjelaskan tentang pemimpin adalah khalifah, ulu al-amr, imam dan malik. Adapun penafsiran para ulama atas ayat-ayat kepemimpinan itu terkait dengan latarbelakang mufasir, metode dan corak yang digunakan. Walaupun pada akhirnya menghasilkan penafsiran tentang kepemimpinan yang hampir sama yang pada intinya berpendapat bahwa seorang pemimpin itu harus menyeru kebajikan, menegakkan keadilan dan menolak kedzaliman.

DAFTAR PUSTAKA

Abu al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim bin Abi Bakar Ahmad al-Syahratsani, al-Milal wa al-Nihal, Mesir : Mushtafa al-Babi wa Auladuh, Cet. I, 1387 H.

Abu al-A`la al-Maududi, Abu Hanifah and Abu Yusuf dalam M.M. Sharif (ed.) A. History of Muslim Phylosophy, Wies Baden : Otto Harrassowits, Cet. I, 1963.

Abu Abdillah Muhammad Idris al-Syafi`i, al-Umm, Beirut : Dar al-Fikr, Cet. I, 1403 H/1983 M.

Al-Syafi`i, al-Fiqh al-Akbar dalam Abu Hanifah al-Nu`man al-Fiqh al-Akbar, Mishr : al-`Amirah al-Syarqiyah, 1324 H.

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya `Ulum al-Din, al-Qahirah : Muassasah al-Halabi wa Syarikah, Cet. I, 1387 H/1967 M.

Abi al-Husain Ahmad Ibn Faris Zakariyya, Mu`jam Maqayis al-Lughah, Juz II, t.tp., : Dar al-Fikr, 1979.

Abd Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur`an, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994.

Al-Raghib al-Ashfahani, Mufradat Alfadz al-Qur`an, Damsyiq : Dar al-Qalam, 1992.

Abu Ja`far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami` al-Bayan al-Ta`wil fi Tafsir al-Qur`an, Mishr : Mushtafa al-Bab al-Halabi wa Auladuh, Cet. VII, 1373 H/1954 M.

Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, al-Jami` li Ahkam al-Qur`an, Mishr : Dar al-Katib al-Arabi, Cet. I, 1967.

Abd al-Jabbar bin Ahmad, Syarh al-Ushul al-Khamsah, al-Qahirah : Maktabah al-Wahdah, 1965.

Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu`i, yang diterjemahkan oleh Suryan A. Jamrah dalam Metode Tafsir Maudhu`i Suatu Pengantar, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996.

B. Jowett and T. Twinning, Ariestotele`s Politics and Poetics, New York : The Viking Press, 1957.

E.I.J. Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam, London : Cambridge University Press, 1962.

Harun Nasution dan Azyumardi Azra, Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta : Yayasan Obor, 1985.

Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta : Bulan Bintang, 1975.

Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, Jakarta : Gramedia, 1983.

Muhammad Imarah, al-`A`mal al-Kamilah li Jamal al-Din al-Afghani, t.tp. : Dar al-Katib al-`Arabi, t.t.

J.L. Davies & D.J. Vaughan, The Republic of Plato, London : Macmillan and co. Limited, 1950.

M. Sirojuddin Syamsuddin, “Pemikiran Politik” (Aspek yang Terlupakan dalam Sistem Pemerintahan Islam), dalam Refleksi Pembaharuan Islam, Jakarta : LSAF, 1989.

Mahmud bin Umar al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf an Haqaiq al-Tanzil wa Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta`wil, Mishr : Mushtafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, Cet. I, 1972.

M. Quraish Shihab, Metode Penyusunan Tafsir yang Berorientasi pada Sastra, Budaya dan Kemasyarakatan, Ujung Pandang : IAIN Alauddin, 1984.

Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur`an al-Hakim, Mishr : Maktabat al-Qahirah, t.t., Cet. II.

Muhammad Fuad Abd al-Baqi, al-Mu`jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur`an al-Karim, Beirut : Dar al-Fikr, Cet. IV, 1997 M/1418 H, hal. 303-306.

Nizayi Berkes, The Development of Secularism in Turkey, Montrel : Mc Gill University Press, 1964.

Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur`an, Jilid I, Kairo : Dar al-Syuruq, Cet. XVIII, 1412 H/1992 M.

Thomas W. Arnold, The Caliphate, London : Routledge & Kegan Paul Ltd., 1967.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1988.

Wayne S. Vucinich, The Ottoman Empire, Its Record and Legacy, Toronto : D. Van Nostron Co. Inc., 1955.


* Penulis adalah Dosen STAIN Samarinda dan tengah menyelesaikan Program Doktor Konsentrasi Tafsir Hadis di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

[1] Abu al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim bin Abi Bakar Ahmad al-Syahratsani, al-Milal wa al-Nihal, Mesir : Mushtafa al-Babi wa Auladuh, 1387 H, Cet I, hal. 24.

[2] Ibid.

[3] M. Sirojuddin Syamsuddin, “Pemikiran Politik” (Aspek yang Terlupakan dalam Sistem Pemerintahan Islam), dalam Refleksi Pembaharuan Islam, Jakarta : LSAF, 1989, hal. 252.

[4] Harun Nasution dan Azyumardi Azra, Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta : Yayasan Obor, 1985, hal. 10.

[5] Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta : Bulan Bintang, 1975, hal. 154.

[6] Thomas W. Arnold, The Caliphate, London : Routledge & Kegan Paul Ltd., 1967, hal. 180.

[7] Karya tersebut dalam bentuk dialog filosofis tentang keadilan. Menurut Plato, keadilan lebih mudah dipelajari apabila dimulai dari keadilan yang terdapat dalam Negara. Karena itu ia membahas kelahiran sebuah Negara, latar belakang dan tujuan yang hendak dicapai, unsur-unsur dan kriteria yang harus terpenuhi agar terwujud sebuah Negara yang paling baik. Lebih lanjut lihat J.L. Davies & D.J. Vaughan, The Republic of Plato, London : Macmillan and co. Limited, 1950, hal. 53.

[8] Karya ini ditulis oleh Aristoteles berdasarkan hasil penelitiannya terhadap konstitusi negara-negara kota Yunani dan merupakan respons terhadap pemikiran utopi Plato. Buku ini diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dan diterbitkan bersama dengan karya Aristoteles lainnya oleh The Viking Press (1957) dengan judul Aristotele`s Politics and Poetics.

[9] E.I.J. Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam, London : Cambridge University Press, 1962, hal. 122-202.

[10] Abu al-A`la al-Maududi, Abu Hanifah and Abu Yusuf dalam M.M. Sharif (ed.) A. History of Muslim Phylosophy, Wies Baden : Otto Harrassowits, 1963, Cet I, hal. 674-702.

[11] Lihat Abu Abdillah Muhammad Idris al-Syafi`i, al-Umm, Beirut : Dar al-Fikr, 1403 H/1983 M, Cet. I, hal. 188-190. Lihat juga al-Syafi`i, al-Fiqh al-Akbar dalam Abu Hanifah al-Nu`man, al-Fiqh al-Akbar, Mishr : al-`Amirah al-Syarqiyah, 1324 H, hal. 38-40.

[12] Pemikiran politik al-Mawardi tertuang dalam kitabnya yang berjudul al-Ahkam al-Sulthaniyah wa al-Wilayah al-Diniyah, yang memuat hukum-hukum ketatanegaraan.

[13] Karya al-Farra juga berjudul al-Ahkam al-Sulthaniyah, seperti halnya karya al-Mawardi di atas, kitab ini memuat pula hukum-hukum tatanegara dengan sistematik yang tak jauh berbeda. Hanya sebagai pengikut madzhab Hambali, kitab tersebut memuat pula pandangan-pandangan Imam Ahmad bin Hambal (w. 241 H) mengenai kehidupan politik zamannya.

[14] Lihat Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya `Ulum al-Din, al-Qahirah : Muassasah al-Halabi wa Syarikah, 1387 H/1967 M, Cet I, hal. 23-24.

[15] Pemikiran politik Ibnu Khaldun dapat ditemukan dalam jilid pertama dari kitabnya yang berjudul al-Ibar wa Diwan al-Mubtada` wa al-Khabr fi Ayyam al-`Arab wa al-`Ajam wa al-Barbar wa Man Asharahum min Dzawi al-Muqaddimah Ibnu Khaldun. Jilid ini dikenal juga dengan judul Muqaddimah Ibnu Khaldun dan berisi filsafat sosial dan sejarah.

[16] Harun Nasution, Pembaharuan op. cit., hal. 13-14.

[17] Ibid, hal. 18-21.

[18] Wayne S. Vucinich, The Ottoman Empire, Its Record and Legacy, Toronto : D. Van Nostron Co. Inc., 1955, hal. 183.

[19] Nizayi Berkes, The Development of Secularism in Turkey, Montrel : Mc Gill University Press, 1964, hal. 304-313.

[20] Ibid, hal. 214-215, Harun Nasution, Pembaharuan op. cit., hal. 108-111 dan 135.

[21] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1988, hal. 711. Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, Jakarta : Gramedia, 1983, hal. 141.

[22] Lihat Muhammad Imarah, al-`A`mal al-Kamilah li Jamal al-Din al-Afghani, t.tp. : Dar al-Katib al-`Arabi, t.t. hal. 27.

[23] Abi al-Husain Ahmad Ibn Faris Zakariyya, Mu`jam Maqayis al-Lughah, Juz II, t.tp., : Dar al-Fikr, 1979, hal. 210.

[24] Al-Qur`an menggunakan bentuk istakhlafa-yastakhlifu pada lima ayat (QS. al-Nur;55, al-An`am;133, Hud;57, dan al-A`raf;129), selain itu menggunakan bentuk khalafa-yakhlifu dibanyak ayat, Lihat Muhammad Fuad Abd al-Baqi, al-Mu`jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur`an al-Karim, Beirut : Dar al-Fikr, Cet. IV, 1997 M/1418 H, hal. 303-306.

[25] Lihat Abd Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur`an, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994, hal. 112.

[26] Ibid, hal. 114.

[27] Ibid, hal. 111, Al-Qur`an menggunakan term khalaif sebanyak empat kali (QS. al-An`am;165, Yunus;14, 73 dan Fathir;39) sedangkan term khulafa sebanyak tiga kali (QS. al-A`raf;69, 74 dan al-Naml;62).

[28] Lihat al-Raghib al-Ashfahani, Mufradat Alfadz al-Qur`an, Damsyiq : Dar al-Qalam, 1992, hal. 90.

[29] Ibn Faris, op. cit., hal. 137.

[30] Abd Muin Salim, op. cit., hal. 231.

[31] Ibn Faris, op. cit., Juz I, hal. 21.

[32] Ibid, hal. 28.

[33] Lihat Al-Ashfahani, op. cit., hal. 87.

[34] Lihat Ibn Faris, op. cit., Juz V, hal. 351.

[35] Lihat Abu Ja`far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami` al-Bayan al-Ta`wil fi Tafsir al-Qur`an, Mishr : Mushtafa al-Bab al-Halabi wa Auladuh, 1373 H/1954 M, Cet. VII, hal. 77.

[36] Mahmud bin Umar al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf an Haqaiq al-Tanzil wa Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta`wil, Mishr : Mushtafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1972, Cet I, hal. 309 dan 382.

[37] Ibid, Cet. III, hal. 165.

[38] Ibid, Cet. I, hal. 535.

[39] Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, al-Jami` li Ahkam al-Qur`an, Mishr : Dar al-Katib al-Arabi, 1967, Cet. I, hal. 263-274. Di sini al-Qurthubi mengemukakan beberapa masalah Imamah dengan cara seperti yang terdapat dalam kitab fiqih. Secara berurutan ia mengemukakan hukum mengangkat Imam, cara pengangkatan Imam, penolakan terhadap pemikiran politik syi`ah Imamiah, persaksian akad Imamah, syarat-syarat Imam, pemecatan Imam, ketaatan rakyat dan hukum berbilangnya Imam dalam sebuah wilayah pada waktu yang sama. Metode seperti ini mengingatkan metode al-Mawardi dan al-Farra terdahulu dan dengan demikian al-Qurthubi dapat dipandang sebagai mufassir pertama yang memadukan metode fiqih kedalam tafsir al-Qur`an.

[40] Penggunaan dalil rasional ditemukan dalam pemikiran politik tokoh Mu`tazilah Abd al-Jabbar bin Ahmad (w. 415 H). Lihat Abd al-Jabbar bin Ahmad, Syarh al-Ushul al-Khamsah, al-Qahirah : Maktabah al-Wahdah, 1965, hal. 750-751.

[41] Lihat Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu`i, yang diterjemahkan oleh Suryan A. Jamrah dalam Metode Tafsir Maudhu`i Suatu Pengantar, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996, hal. 29. Lihat juga Quraish Shihab, Metode Penyusunan Tafsir yang Berorientasi pada Sastra, Budaya dan Kemasyarakatan, Ujung Pandang : IAIN Alaudin, 1984, hal. 1. Di sini diungkapkan ciri pendekatan sosio-kultural (Adabi al-Ijtima`i) yaitu mengungkapkan keindahan bahasa al-Qur`an, kemu`jizatannya, hukum alam, hukum kemasyarakatan dan mengatasi masalah sosial dengan petunjuk-petunjuk al-Qur`an serta mengkompromikan antara al-Qur`an dengan pengetahuan yang benar.

[42] Pandangan seperti ini ditemukan dalam pemikiran Ariestoteles “Man is by Nature a Political Animal”, Lihat B. Jowett and T. Twinning, Ariestotele`s Politics and Poetics, New York : The Viking Press, 1957, hal. 5.

[43] Muhammad Abduh mengakui agama sebagai salah satu faktor sosial, tetapi bukanlah yang utama. Pendapatnya ini diperkuat oleh kenyataan adanya berbagai akidah dan perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa manusia bukan satu umat. Dengan begitu ia memasukkan unsur kemanusiaan dalam konsep umat yang sebelumnya hanya dikenal berdasarkan agama. Lihat Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur`an al-Hakim, Mishr : Maktabat al-Qahirah, t.t., Cet. II, hal. 282.

[44] Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur`an, Jilid I, Kairo : Dar al-Syuruq, Cet. XVIII, 1412 H/1992 M, hal. 113

[45] Ibid.

[46] Ibid.

3 comments:

Kang Aldie said...

..menarik pak; ulasan, esensi dan referensi. idzin copas ya pak, untuk pengayaan.

HERRY'S BLOG said...

ayat-ayat yang menyangkut kepemimpinan kok gak disebutkan?? dalam surat apa dan ayat berapa?

HERRY'S BLOG said...
This comment has been removed by the author.