Mencari makalah yang lain :

Google
 

Thursday, April 26, 2007

Kebudayaan: Arena Pertarungan Kelas

Oleh: Merah Johansyah Ismail *


Di Sore hari yang teduh, Setelah sholat ashar dan ketika matahari telah condong ke barat. Mak Kumala seorang wanita setengah baya beserta suaminya, Pak Masdar nampak sibuk menganyam sebuah keranjang kecil yang terbuat dari bambu tipis. mereka biasa menyebutnya kelengkang. sebuah keranjang tempat beras empat warna, sebutir telur ayam kampung ditambah sebilah dupa Cina. Semua perkakas tersebut merupakan perlengkapan ritual “melepas ayam”, sebuah ritual yang dipercayai oleh masyarakat kampung nyerakat untuk “bernegosiasi” dengan makhluk gaib berupa jin dan makhluk halus penunggu kampung mereka. Nyerakat adalah nama kampung halaman mak kumala dan pak masdar. Sebuah kampung yang terletak di Bontang Selatan yang daerahnya mulai dihuni tahun 1942-an. dahulu menurut tradisi lisan yang berkembang, daerah ini disebut “sekambing”. Namun kini diganti oleh walikota dengan sebutan yang menurut pemerintah lebih “sopan” dan lebih enak didengar di telinga yaitu “bontang Lestari”. Menurut pemerintah sebutan itu lebih pas ketimbang “sekambing” yang ketinggalan zaman.

Mak kumala bercerita bahwa tadi siang, sebelum dzuhur ada seorang kontraktor penambangan dan pengangkut pasir yang punya proyek pembangunan jalan raya di santan datang. Mereka meminta bantuan mak kumala untuk memberikan sesajen atau ritual adat yang dipercaya warga sekitar dapat mencegah hal-hal yang nantinya dapat mengganggu aktivitas proyek yang selama ini ‘kesohor’ terjadi, berupa gangguan makhluk halus, jin, penunggu hutan dllnya. Kampung nyerakat memang terkenal angker bagi aktivitas pembangunan dan proyek baik pemerintah dan perusahaan yang lalu lalang tanpa permisi dengan sang penunggu kampung yakni makhluk halus dan jin, yang menurut mereka “kehadirannya” sudah terlebih dahulu ada bahkan sebelum manusia hadir. Mulai dari truk yang terbalik hingga kendaraan berat proyek yang mogok tanpa sebab seringkali menjadi tumbalnya.

Mitos dan Subkultur

Dunia metafisik semacam itu hanya bisa lahir dari kehidupan yang mengenal ‘misteri’ dan ‘pesona’, dari masyarakat yang masih hidup dalam kosmos yang “mysterium, tremendum, fascinans” [“yang misterius, agung, mempesona” -- sebutan ini berasal dari Rudolf Otto, teolog Protestan asal Jerman abad 20]. titik menarik dari fenomena nyerakat adalah pada proses persentuhan antara ritual dengan modernisasi tersebut. Mak kumala dan komunitas kampung nyerakat justru menggunakan “kosmologi dan mitos dunia mereka” untuk melakukan perlawanan tertutup atas modernitas. Perlawanan ini dalam kajian Cultural Studies, dapat berupa siasat atau negoisasi, antara komunitas nyerakat sebagai subkultur terhadap negara dan perusahaan sebagai kultur dominan!

“kehadiran” mak kumala ketika melakukan ritual tersebut di lokasi penambangan pasir sore itu bak pahlawan yang ditunggu-tunggu. dengan segala “kesaktian”nya, Posisi mak kumala dan komunitas nyerakat sebagai subkultur tiba-tiba setara bahkan dominan ketika mereka dapat menciptakan mitos tandingan tersebut [Hebdige; From Culture to Hegemony, 2004 ] mitos tandingan ini yang memaksa kultur dominan untuk ikut melibatkan dan berkompromi dengan komunitas lokal atau subkultur, sesuatu apa yang disebut Hebdige sebagai de-mistifikasi. begitulah siasat atau negosiasi komunitas lokal atau subkultur bertahan dari serangan modernitas dan segala turunannya.

Pergunjingan genit tentang pertarungan kelas [class war] memang lebih banyak macet di perdebatan tentang basis dan superstruktur versi marxisme klasik yaitu determinasi ekonomi yang materialistik dan positivistik. Kebudayaan sebagai basis dan superstruktur yang lebih luas dan penting seolah-olah tergeser. Jauh-jauh gramsci seorang marxis kritis dari italia sudah memperingatkan ini lewat konsep hegemoni. Gramsci mengkritik dogma sejarah kaum marxis klasik tentang akan tibanya masa krisis kapitalisme yang digantikan secara alamiah oleh masa komunisme [revolusi pasif], bagi gramsci hegemoni adalah determinan non ekonomi dari sejarah. Determinan kebudayaan inilah yang menentukan, melembagakan dan melanggengkan kepemimpinan dengan cara melemahkan potensi lawan lewat kepatuhan aktif.

Hebdige mengacu dan meramu pengertian “mitos”nya dari barthes, “ideologi”nya althusser dan “hegemoni”nya gramsci untuk membangun teori subkultur. Dalam batas-batas tertentu teorinya tentang subkultur memacu dan membuka kran diskusi tentang gejala kepatuhan sehari-hari dan perlawanan dalam hidup sehari-hari.

Modernitas dan segala turunannya memang terlalu kuat, bagaikan gurita dengan karunia lengan yang lebih banyak, modernitas menjulurkan lengannya yang lain lewat subsistem kebudayaan lain yang sangat ampuh dan mujarab yaitu Agama. Agama yang didomplengi modernitas ini, menyerang dan menuding subkultur seperti praktik tradisi ritual dan “agama” rakyatnya mak kumala sebagai praktik dengan label “Musyrik” dan “Syirik” dan melawan ajaran agama.

Budaya Perlawanan

Dalam sejarah bangsa ini singkretisme sebagai subkultur dan budaya perlawanan telah tercatat walaupun sering diabaikan. Diantaranya perlawanan lewat perang petani di banten 1888 yang melibatkan kaum tarekat, para haji dan petani singkretis terhadap represi imperialisme belanda. Yang menarik menurut catatan Baso dalam karyanya Islam Pasca-Kolonial, pada tahun-tahun setelah itu belanda menciptakan lembaga bernama Kantoor voor indlandsche zaken yang merupakan embrio departemen agama sebagai strategi politik pengawasan agama-agama [Baso; 2005], bahkan kala itu ada aturan dan pasal yang dikeluarkan belanda tentang larangan menggunakan jimat.

Kultur dominan seperti agama modern memang selalu ingin menyingkirkan subkultur seperti agama rakyat berupa tradisi, ritual yang tradisional, mistis dan irasional. Pertarungan kelas zaman sekarang memang seharusnya tidak melulu merujuk pada pertarungan kelas masa lampau seperti di zaman industrial eropa yang memiliki konteksnya sendiri. Saat ini “Tanda” [baca; kebudayaan] telah menjadi ruang terbuka bagi pertarungan kelas yang sesungguhnya.[]


*Penulis sedang bergiat di NALADWIPA

Institute for Social and Cultural Studies Samarinda

Email:merahjoe@yahoo.co.id

Monday, April 23, 2007

How to Start Video Blogging?

by: Kanicen Nichathavan
Videoblogging is the next generation of posting ideas and products over the internet. Everybody knows about textblogging. Now they use videos for a better way of expression. This form of communication may entail a lot of resources, but it is all worth it. If pictures say a thousand words, videoblogging exceeds that by far.

A videoblog requires larger disk spaces on websites, a faster server, and a whole new set of programs to support it. Videoblogs can be fed through RSS. This is technology of syndicating your website to other RSS aggregators.

Videoblogging works with people on the internet expressing their selves. Now if you put this on a business prospective, you are up to a lot of benefits. Think of it as a powerful tool in making showing your prospective customers your line of products or your services. It’s just like showing a commercial all for free. And if you videoblog through RSS, then most probably you are getting your target market.

People like to see what they are going to buy. Some would like to see proof and be sure that they are getting their money’s worth before shelving their dimes on it. All of us know the influence of a thirty second commercial. The effect of videoblogging is similar to that. You show your product, people watch it. If they like it, they buy it. If you present it good enough, they’ll buy the product even if they don’t need it.

Now on the web, things are pretty much static, unlike in television in which all are moving. If you post something that is mobile, it would most likely catch attention. Now imaging your product parading in all it’s royalty through videoblog. You’ll get phone call orders in no time.

If your business is just starting up, you can create a videoblog right at your own home. All you need is your web camera, microphone, video software, and lights. For as long as you know how to use your camera, then you can create a videoblog.

Invest in a good web camera. The higher its resolution is the better the output. And you like to present your goods in the optimum way so get the best one possible. Make a short story, or just capture your goods in one go. Just make sure you are getting the best profile for each. Get those creativity juices flowing.

Lights are important in a production. Make sure you illuminate entirely the area you are going to use to create videoblog. The brighter the area, the crispier the images will be. You can also use lighting effects for added appeal to the presentation.

Should you require sounds for your videoblog, you need a microphone. Record you voice as a voice over for promoting the product and its benefit to consumers. Sounds are as important as videos on a videoblog. It is advisable to make your sound effects as enticing as the video.

Your video editing software can be any program. You need this to finalize your work. You can add sounds, delete some bad angles, or insert some still pictures in there too. Some programs are user-friendly and can be used even with zero knowledge on video editing. Even simple video editing programs should do the trick. Select your background carefully too. The light affects the presentation so make sure that the background and the light complements each other.

Videoblogging is a great tool but it also has it downside. It may slow down the computer so other may steer clear of it. Download time may also be time consuming especially if customer is still on a dial- up connection.

But don’t let those stop you. Let videoblogging be an alternative for you, though it is best to still keep the text and pictures present in your presentation to accommodate all possible viewers of your site.

Nowadays, the more creative you are in presenting your product to the market, they more you are likely to succeed. Videoblogging offers an interactive way of selling. You involve the customers. You instill in them the advantage of your goods. And at times, those are enough to make a sale.

Sunday, April 15, 2007

MLM Marketing the Perfect Home Business

by Kozan Huseyin

MLM Marketing is an amazing model of business to consider as your new Home Business. MLM Marketing allows you to free your time, schedule your own time, run your own business while also having the added benefit of having a proven system set out in front of you.

Get ready for a new lifestyle.

I was doing research at a salary research site today, and found the average person in MLM Marketing earns on average $120,000.

So it's something to consider, especially as more millionaires in the United States became a millionaire due to MLM Marketing and Network Marketing.

MLM Marketing is a way of business or business model which primarily operates its marketing through independent business people such as you and me, showing the product to other people.

Now if your looking at "Get Rich Quick" or don't want to meet people and share, show, introduce them into something then you will not be successful with MLM Marketing and I would strongly suggest you don't get in or you will only become one of the failures who says it doesn't work.

Right now we cleared that up, and you are still reading. Be prepared for an amazing extraordinary journey. A journey of a new lifestyle, success, and everything you could ever want. And also you get to meet like minded positive people who are going for there goals and outcomes.

Just wait for the conventions, usually in some nice place, which when you achieve going will give you even more confidence.

MLM Marketing is a great choice for a home business, as it gives you the ability of joining a company who is committed for your success. They have the road map, and the recipe for success. And with that recipe, you can do the same thing and you will get the same results or similar.

An even bigger reason to consider MLM Marketing as your new home business is you don't have to quit your job, and I suggest you stay in your job, till you see you are earning similar or more money from your MLM Marketing business.

A recent study showed that 85% of self employed people earn less than if they where working for someone else. MLM Marketing with its working system allows you to achieve much more and be a success.

One warning I have to give you is understand this is NOT overnight success. It does take time, and effort. It took me 4 months before getting any results. And you may have to go through several companies till you find the one that's right for you.

One suggestion I offer you is to research. Look at what is on offer. Don't just dive into the first MLM Marketing organisation you find. Find one which you really like the product/service. And that if you was to sell one million units you would still have a smile.

That's why I love the MLM Marketing organisation I work with at the min. It's a product I use myself ~ Self development. And I have the satisfaction that the person who joins gains major benefit also. And much more then the face value of the product.

Remember that last point.

Do what you love. If you're focused simply on making money, you won't make it. People who make it in MLM Marketing are the ones who care the most.

Look at the MLM Marketing organisation see if there is anyone who is at the level of incomes you want to achieve. Speak to them, see if they are willing to help you.

Try to get into companies where you are more closer to the top. A bit risky, but it means that you've got much more chance of success with the MLM Marketing company. The reason being is that whenever you speak to someone about the MLM Marketing company, you don't want everyone who's heard about it. You want to be the first. Microsoft became #1 due to coming to market first.

MLM Marketing is also a business which usually you can start with very small amount of investment, to get into the business. You still may need to factor in other costs, such as marketing, phone costs, car costs, etc... Though it's much easier to start in MLM Marketing then many other businesses. Treat it like a business, and success is assured, as long as you keep doing and adjusting, till you reach your goals.

I hope this information has been of great benefit to you. Make sure you know what you want out of it, your goals, and intentions for getting in. And if you need help I am always here to help you succeed.

In my next article to you I will be speaking about the steps to starting in your new MLM Marketing home business.

Till then...

As always, to your greatest success,

Kozan Huseyin.

Marketing Revolution

by Aurelio Aranda


***NEWS FLASH*** Have you heard? We are in a new revolution in 2007 when it comes to internet marketing. So, how can you get your piece of the pie? what trends and niches are out there that have the potential to make you a millionaire? Well, you wanted more than 6 figures right... Let me explain more about this internet revolution. You see, if you have been looking for a way to make your million or even supplement your income you've probably run into information about Network Marketing. I know many people have negative interpretations of this industry but guess what, it's no longer on trial. No, in fact it is said to be the best way for the average person to reach above average levels of achievement and income and ultimately true wealth. Don't take my word for it, just read work from top authors and billionaires, Guy Kiosaki and Donald Trump. OK so whats the revolution? Well, as you may know the average person in any industry can fail miserably and this industry is no different. One thing though that you may not have heard, the success rate for a network marketer is much higher than that of a traditional business. It's true and now we have a system before us that really can automate your business.

How to reduce your Adwords costs?

by ivan juras

No matter how many gurus you ask, you will always get a different answer to this question: how do I reduce my Adwords campaigns and max out earning potential?

Some experts will say that the best way to optimize your campaigns is to bid on high amounts of keywords in hope to get many clicks. This is a totally false direction, and will definitely break your budget. The optimal way that's always working for me is to research my keywords for 90% of my daily "work" time, and then use the 10% to set up a campaign.

You see, I never have more than 5-6 keywords which I bid on, and it always works. Why ? Because of the impressions. By eliminating the keywords which don't have the earning potential, or the keywords which are not highly relevant to the product or service you are selling, you are eliminating "bad impressions" and raising your CTR (click-through-rate). This way your ads will get higher on search engine rankings, and you will be able to lower your bid amounts.

Make sure that the keywords you pick are highly relevant and targeted. If you're just starting, you probably don't have thousands of dollars for your campaigns, and that's what gurus alway forget to tell you, because they do have that. Even to this day, I rarely set my daily budget over $10 for 1 campaign. By targeting specific keywords you will reduce the cost of your clicks, which will increase the chance of you selling something. Just be sure to laser-target the keywords you want to bid on.

Don't just stuff in keywords. It can cost you alot of money by getting untargeted visitors. By applying these simple principles, you'll be able to reduce your advertising costs and get more targeted visitors which results in more sales.

Thursday, April 12, 2007

The Colonial Look Returns You to a Simpler Time

by James Allen

The Colonial look is steeped in tradition, but with distinctly American undertones. Here are some tips and guidelines to make this look a reality in your home.

You have a bit of elbow room to play with when orchestrating your color scheme. Using distinctive colors like vermilion, indigo, and olive mimics the colors found in affluent homes of the time. Mellow, earthy hues like brown, yellow and green gives you a color palette used by modest families of the period.

Candles and lanterns were a signature lighting instrument during the Colonial era, and it's easy to get that same look today. Simulated tapers, with a tiny bulb replacing a flame, are a common design in today's lighting market. Find chandeliers and sconces that implement the same wrought iron or brass metal finishes that were found in the fixtures of the time. If you want a more opulent style, concentrate on glass chandeliers embellished with dangling crystals.

A colonial room mixes Queen Anne and Chippendale styles with classic American elements. Characteristics of Queen Anne furniture include the elegantly feminine cabriole leg that curves from chair to floor, and the "S" scrolls that shape the pieces. Besides chairs, select tables and chests that feature cabriole legs for a cohesive look that runs throughout the entire room. Chippendale chairs are another possibility, with straight front legs and bowed or pierced slat backs. To transition from English traditional to American Colonial, simply insert some American design staples like a secretary desk, a handsome and functional fixture that adds charm to living spaces. Chest-on-chests, dining tables with drop leaves, highboys and matching lowboys and Windsor chairs will also do nicely.

Dig out any heirloom samplers from your family attic and break out the silver or pewter service ware for display on your sideboard. Colonial style focuses on the hearth, so if you have one, make it the focus of your design and enhance it with molding and carved mantels. You can draw attention to your fireplace by hanging large paintings or prints over it if you don't have a mantel. Another signature accessory, the grandfather clock, complements dignified furniture like secretary desks, and varieties can be found with lacquers, broken pediments and finials. Lastly, tie in your windows with drapes them with festoon blind and French draw curtains.

Tuesday, April 10, 2007

METODOLOGI MEMAHAMI HADIS AHKAM

(Kajian atas Hadis-hadis Kontradiksi)

Subhan*


Abstrak:
Tulisan ini membahas tentang hadis-hadis yang dianggap kontradiksi (mukhtalaf al-hadis). Dalam beberapa kitab hadis sering ditemukan antara hadis yang satu dengan yang lainnya secara tekstual nampaknya bertentangan. Disinilah peran ilmu mukhtalaf al-hadis. Dalam studi mukhtalaf al-hadis hendaknya merujuk pada studi keilmuan lainnya seperti fiqh, ushul fiqh, dan asbab al-wurud. Penyelesaiannya dengan dikompromikan (al-jam`u) yaitu menggabungkan pengertian keduanya sehingga masing-masing hadis tetap dipergunakan sebagai hujjah, nasakh yaitu hadis yang terdahulu dihapus oleh hadis yang belakangan dan hadis yang dijadikan hujjah hanya satu yaitu yang menasakh, tarjih yaitu mengunggulkan salah satu hadis dari hadis yang berlawanan maksudnya atau tawaquf yaitu ditangguhkan dan terus dilakukan pengkajian terhadap hadis-hadis yang kontradiksi sehingga statusnya dapat meningkat apakah dapat ditarjih atau dinasakh.

Kata Kunci: Mukhtalaf al-Hadis, al-Jam`u, Naskh, dan Tarjih.

PENDAHULUAN

Nabi Muhammad SAW selain sebagai Rasulullah juga sebagai manusia biasa[1] yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Komunikasi dengan masyarakat terjadi tidak hanya satu arah saja yakni Nabi kepada umatnya, tetapi juga dua arah secara timbal balik. Tidak jarang Nabi menerima pertanyaan dari para sahabat, bahkan pada kesempatan tertentu Nabi memberi komentar terhadap peristiwa yang sedang terjadi. Dengan demikian sangat wajar jika terdapat beberapa hadis yang nampaknya kontradiksi antara satu hadis dengan hadis yang lainnya. Disinilah peran ilmu mukhtalaf al-hadis (hadis-hadis kontradiksi).

Ilmu mukhtalaf al-hadis merupakan salah satu cabang ulum al-hadis yang sangat urgen untuk dipelajari karena dapat mengetahui hadis-hadis yang kelihatannya bertentangan tetapi masih bisa dikompromikan, dinasakh atau ditarjih, sehingga seseorang tidak dengan mudah menuduh suatu hadis itu palsu hanya karena ia tidak memahami makna hadis baik secara tekstual maupun kontekstual.

Ilmu mukhtalaf al-hadis ini terkait dengan ilmu-ilmu lainnya seperti ilmu gharib al-hadis, asbab wurud al-hadis, nasakh mansukh, ilmu fiqih dan ushul fiqh. Maka dalam tulisan ini penulis mencoba untuk memaparkan pembahasan tentang hadis-hadis ikhtilaf yang meliputi, pengertian mukhtalaf al-hadis, metodologi penyelesaian mukhtalaf al-hadis serta contoh-contoh hadis-hadis ikhtilaf.

MUKHTALAF AL-HADIS

Secara etimologi kata mukhtalaf merupakan isim fa`il dari al-ikhtilaf artinya lawan dari kesesuaian.[2] Mukhtalaf al-hadis dari segi bahasa adalah hadis-hadis yang berlawanan maknanya antara satu hadis dengan yang lainnya.[3] Adapun secara terminologi para ulama memberikan definisi dengan beragam.

Al-Suyuthi mendefinisikan mukhtalaf al-hadis dalam kitabnya Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi; “Dua hadis yang saling bertentangan pada makna lahirnya (namun makna sebenarnya bukanlah bertentangan, untuk mengetahui makna sebenarnya), maka keduanya dikompromikan atau ditarjih (untuk mengetahui mana yang kuat diantara keduanya)”.[4]

Namun dari definisi tersebut mengandung kelemahan, yakni kekurangtegasan dalam rumusannya, karena rumusan definisi tersebut mencakup semua hadis yang secara lahirnya tampak saling bertentangan antara satu dengan lainnya, baik hadis tersebut termasuk kategori maqbul (memenuhi persyaratan untuk diterima dan dijadikan hujjah), atau yang mardud (tidak memenuhi persyaratan untuk diterima dan dijadikan hujjah) tanpa ada batasan, padahal tidak semua yang tampak saling bertentangan perlu dikaji untuk dapat dikompromikan penyelesaiannya, yang perlu dikompromikan hanyalah apabila hadis-hadis tersebut sama-sama dalam kategori maqbul. Tetapi jika salah satu maqbul dan yang lain mardud, maka cukup yang jadi pegangan yang maqbul dan yang mardud ditinggalkan.[5]

Sebagian ulama hadis menambahkan kategori hadis maqbul dalam mendefinisikan mukhtalaf al-hadis, seperti yang dipaparkan Ali al-Rajihi; “Dua hadis yang maqbul saling kontradiksi dari segi makna dzahirnya dan dimungkinkan untuk dikompromikan antara keduanya sebagai dalil tanpa dibaut-buat”.[6]

Dari definisi yang dipaparkan Ali al-Rajihi di atas, memberikan batasan atas hadis-hadis maqbul yang saling bertentangan dan memenuhi persyaratan untuk diterima karena berkualitas shahih dan hasan. Pendapat ini sesuai dengan mayoritas ulama.

Sementara Ibnu Hajar menyatakan bahwa mukhtalaf al-hadis itu sama dengan musykil al-hadis, beliau mendefinisikan; “Hadis yang secara dzahirnya bertentangan dengan kaidah-kaidah dan mengangan-angankan pada makna yang bathil, atau yang bertentangan dengan nash syar`i yang lain”.[7]

Tetapi dari definisi tersebut belum mencakup kesempurnaan definisi mukhtalaf al-hadis. Definisi mukhtalaf al-hadis yang mudah dipahami adalah sebagaimana disampaikan oleh Mushthafa Ali Ya`qub; “Hadis shahih yang bertentangan dzahirnya dengan nash al-qur`an atau hadis lain yang sama nilainya atau bertentangan dengan nalar serta kemungkinan dikompromikan antara keduanya atau dinasakh atau ditarjih”.[8]

Dari definisi diatas memberikan pemahaman bahwa mukhtalaf al-hadis (hadis-hadis kontradiksi) akan terjadi apabila ada suatu hadis berlawanan maksudnya dengan nash syar`i (baik dengan ayat-ayat al-Qur`an atau dengan hadis yang nilainya sama) atau berlawanan dengan nalar. Dan dalam penyelesaian hadis-hadis mukhtalaf para ulama memberikan rumusan-rumusan sebagai metode agar tidak adanya kesan bahwa hadis-hadis mukhtalaf sebagai dalil-dalil yang kontradiktif (ta`arrudh al-adillah) yang dipandang surut didalam istinbath hukum.

Mukhtalaf al-hadis merupakan salah satu disiplin ilmu yang penting untuk dipelajari terutama bagi yang ingin memahami hadis-hadis ahkam. Imam Syafi`i (w. 204 H) adalah ulama yang mempelopori munculnya disiplin ilmu mukhtalaf al-hadis. Hal ini terlihat dalam karya besarnya “al-Umm”, meskipun beliau tidak secara khusus mengarang kitab mukhtalaf al-hadis tetapi didalam kitab al-Umm beliau mencantumkan pembahasan khusus tentang mukhtalaf al-hadis.[9]

Pasca al-Syafi`i, penulisan kitab yang membahas mukhtalaf al-hadis dilakukan oleh Abdullah bin Muslim bin Qutaibah yang lebih dikenal dengan Ibn Qutaibah (213-276 H) . Beliau mengarang kitab ta`wil mukhtalif al-hadis, kitab ini dicetak di Mesir tahun 1326 H. Dalam kitabnya ini Ibn Qutaibah memberikan beberapa penjelasan, diantaranya bahwa jika keberadaan suatu hadis lebih bagus dari satu segi dan terdapat kejelekan pada segi yang lain, maka dibatasinya dan didatangkan hadis yang lain yang dianggap lebih unggul dan kuat.[10]

Selain Imam Syafi`i dan Ibn Qutaibah ada beberapa ulama yang menulis kitab dengan pembahasan tentang mukhtalaf al-hadis, diantaranya adalah; Abu Yahya Zakaria bin Yahya al-Saji (w. 307 H), Abi Ja`far Ahmad bin Salamah al-Thahawi (239-321 H) dengan karyanya Musykil al-Atsar, [11] Abu Bakar Muhammad bin al-Hasan bin Faurak (w. 406 H) dengan karyanya Musykil al-Hadis wa Bayanuh, Ibnu al-Jauzi (w. 597 H), dan masih banyak kitab-kitab lainnya dalam studi mukhtalaf al-hadis.[12]

METODE DALAM PENYELESAIAN MUKHTALAF AL-HADIS

Perlu diingat bahwasanya secara hakekat tidak terjadi kontradiksi antara nash (antara dua ayat atau antara dua hadis yang shahih, atau antara ayat dan hadis shahih). Dan jika hal itu terjadi, maka sebenarnya bukan kontradiksi secara hakikat, tetapi hanya dalam dzhairnya saja, dan diwajibkan bagi mujtahid untuk berijtihad agar dapat menghilangkan anggapan tentang kontradiksi dari kedua nash tersebut dengan tujuan untuk mensucikan Allah yang membuat syari`at.[13] Bila dimungkinkan kedua nash tersebut secara dzahir dikompromikan (jam`u) keduanya dan menetapkan hakikat atau maksud dari keduanya tersebut.

Al-Qasimi dengan mengutip pendapat Imam Syafi`i dalam Risalahnya mengatakan bahwa dalam hadis-hadis yang dianggap kontradiksi, maka kami tidak mengambil pendapat salah satunya kecuali ada sebab yang menunjukkan kepada yang lebih kuat dari hadis yang akan ditinggalkan.[14]

Ketelitian Imam al-Syafi`i dalam menyeleksi hadis-hadis yang dianggap kontradikasi antara keduanya, memberikan dua rumusan; (1) Jika keadaan salah satu dari dua hadis menyerupai kitabullah (dari segi makna), maka yang dijadikan hujjah adalah hadis yang menyerupai kitabullah, (2) Jika dalam hadis tidak ada yang menyerupai (dari segi makna) dengan teks kitabullah, maka kami menetapkan salah satunya dengan cara diantaranya; (a) Keadaan rawi lebih dikenal dari segi sanad dan lebih masyhur keilmuan, hafalan dan imla`, (b) Keadaan rawi hadis yang kami pilih adalah yang sanad periwayatan dari dua jalur atau lebih banyak dan kami meninggalkan yang satu jalur periwayatan, (c) Hadis yang kami pilih adalah hadis yang menyerupai makna kitabullah atau menyerupai sunnah Rasulullah SAW yang lain, dan yang diunggulkan adalah hadis yang diketahui oleh pakar ilmu hadis dan menggunakan qiyas dalam penjelasannya.[15]

Sementara al-Suyuthi membagi tiga bagian dalam merumuskan hadis-hadis yang mukhtalaf yaitu; (a) Keduanya dikompromikan (al-jam`u), jika bisa dikompromikan, dan dengan cara ini tidak akan terjadi kontradiktif dan nasakh, dan tentu wajib untuk mengamalkan antara keduanya, (b) Jika tidak mungkin dikompromikan, maka mengamalkan salah satunya, yaitu mendahulukan yang nasikh, (c) Jika tidak terjadi nasikh mansukh, maka mengamalkan dengan cara mentarjih (mengunggulkan) salah satunya.[16]

Dalam hal mentarjih harus mengetahui faktor-faktor pengunggul (wujuh al-tarjih) dan faktor ini bervariatif dikalangan para ulama, seperti al-Hazami dalam kitabnya al-I`tibar menyebutkan ada 50 faktor, al-Iraqi dalam syarahnya Ibnu Shalah menambahkan menjadi 110 faktor, akan tetapi al-Suyuthi meringkasnya menjadi 7 faktor.[17]

Dari rumusan-rumusan di atas, dapat dipahami menjadi sebuah metode dalam memahami hadis yang dianggap kontradiksi, baik dengan nash al-Qur`an, hadis shahih atau dengan nalar. Metode tersebut adalah sebagai berikut:

1). Metode al-Jam`u (mengkompromikan), maksudnya menggabungkan pengertian keduanya sehingga masing-masing dalil tetap dipergunakan sebagai hujjah.

2). Metode al-Nasakh (penghapusan masa berlakunya hadis), maksudnya hadis yang terdahulu di nasakh oleh hadis yang belakangan dan hadis yang dipakai sebagai dalil hanya satu. Jika metode kedua ini tidak dapat ditempuh dan tidak diketahui sejarahnya, maka ditempuh dengan jalan tarjih.

3). Metode tarjih (mengunggulkan salah satu hadis dari hadis yang berlawanan maksudnya), dalam metode ini harus disertai dengan pengetahuan faktor-faktor pengunggul (wujuh al-tarjih). Dan jika metode ini tidak dapat ditempuh maka sebagai alternatif adalah al-tawaquf (ditangguhkan) dan lebih dahulu terus dilakukan pengkajian terhadap hadis-hadis yang kontroversial sehingga statusnya dapat meningkat apakah dapat ditarjih atau dinasakh.[18]

HADIS-HADIS MUKHTALAF

Kategori hadis-hadis mukhtalaf adalah masalah tanawwu` al-ibadah yakni hadis yang menerangkan praktek ibadah tertentu yang dilakukan atau diajarkan Rasulullah SAW, tetapi antara satu dengan yang lain terdapat perbedaan sehingga menggambarkan adanya keberagaman ajaran dalam pelaksanaan ibadah.

Diantara contoh hadis-hadis mukhtalaf adalah tentang buang hajat dengan posisi menghadap atau membelakangi kiblat (ka`bah), hadis tersebut adalah:

عن ابى هريرة رضى الله عنه عن النبى صلى الله عليه وسلم قال اذا جلس احدكم على حاجته فلا يستقبل القبلة ولا يستدبرها (رواه مسلم).

Diriwayatkan dari Abu Hirairah ra dari Rasulullah SAW bersabda; apabila seseorang diantara kamu duduk untuk buang hajat maka hendaklah jangan menghadap dan membelakangi arah qiblat. (HR. Muslim).[19]

عن ابن عمر رضى الله عنه قال رقيت على بيت اختى حفصة فرايت رسول الله صلى الله عليه وسلم قاعدا لحجته مستقبل الشام مستدبر القبلة (رواه مسلم).

Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra berkata; Aku datang ke rumah saudari perempuanku Hafshah dan aku melihat Rasulullah SAW dalam keadaan duduk untuk buang hajat menghadap kearah Syam dan membelakangi qiblat. (HR. Muslim).[20]

Kalu diteliti kedua hadis ini tampak adanya perbedaan antara qaul (ucapan) Nabi SAW dengan af`alnya (perbuatannya). Dalam hal ini al-Syaukani mengutip pendapat Ibnu Rusyd; “bahwa hukum dalam perbuatan Rasulullah SAW seperti hukum dalam qaul-qaulnya”.[21]

Dan menurut pendapatnya jika terjadi kontradiksi antara qaul Nabi SAW dan af`alnya maka diambil beberapa sikap sebagai berikut; pertama, mendahulukan qaul daripada af`al, kedua, mendahulukan af`al daripada qaul, ketiga, mendahulukan yang diketahui sejarahnya.[22] Imam al-Qurthubi sebagaimana dikutip oleh al-Syaukani berpendapat bahwa perbuatan Nabi SAW menunjukkan pada wajib (ketetapan) dan jika diketahui faktor sejarah maka yang datang terakhir dinasakh dan jika yang datang terakhir juga diketahui sejarahnya maka keduanya ditarjih dan tetap diantara keduanya tidak terjadi kontradiksi, boleh jadi menunjukkan pada nadab atau ibadah diantara perbedaan qaul dan af`al.[23]

Contoh hadis lain yang dianggap berlawanan adalah hadis tentang jumlah basuhan dalam berwudhu. Hadis tersebut adalah sebagai berikut:

عن ابن عباس رضى الله عنه قال توضأ رسول الله صلى الله عليه وسلم مرة مرة .

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra berkata; Rasulullah SAW telah berwudhu satu kali-satu kali basuhan.[24]

عن عبد الله ابن زيد ان رسول الله صلى الله عليه وسلم توضأ مرتين مرتين (رواه أحمد والبخارى)

Diriwayatkan dari Abdullah Ibn Zaid, bahwasanya Rasulullah SAW berwudhu dua kali-dua kali basuhan.[25]

عن عثمان رضى الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم توضأ ثلاثا ثلاثا (رواه أحمد ومسلم)

Diriwayatkan dari Utsman ra, bahwa Nabi SAW berwudhu tiga kali-tiga kali basuhan.[26]

Contoh hadis lain yang dianggap berlawanan adalah hadis tentang puasa ramadhan bagi orang yang bepergian. Hadis tersebut adalah sebagai berikut:

عن عبد الله ابن موسى عن أسامه بن زيد عن ابن شهاب عن ابى سلمه عن أبيه قال رسول الله صلى الله عليه وسلم صيام رمضان فى السفر كفطرة فى الحضر

Diriwayatkan dari Abdullah bin Musa dari Usamah bin Zaid dari Ibnu Syihab dari Abi Salmah dari ayahnya, Rasulullah SAW bersabda; Puasa ramadhan bagi orang yang dalam perjalanan berbukanya seperti orang yang menetap.[27]

عن حمزة ابن عمرو الأسلمى قال يا رسول الله صلى الله عليه وسلم إنى اجد قوة على الصيام فى السفر قال ان شئت فافطر

Diriwayatkan dari Hamzah bin Amr al-Aslami beliau berkata; Ya Rasulullah SAW sesungguhnya aku mampu menjalankan puasa dalam perjalanan, Rasulullah menjawab; jika kamu sanggup berpuasa maka berpuasalah dan jika kamu menghendaki berbuka maka berbukalah.[28]

Ibnu Qutaibah berpendapat bahwa kedua hadis tersebut bisa dikompromikan. Yang berpegang pada hadis pertama adalah kelompok yang tidak menyenangi rukhshah dari Allah SWT. Mereka beranggapan bahwa berdosa orang yang bepergian kemudian berbuka puasa di bulan Ramadhan dan dosanya sama dengan orang yang tidak bepergian kemudian berbuka puasa. Kelompok ini meninggalkan rukhshah dari Allah, karena bagi mereka ada hadis Nabi SAW:

قال : من صام الدهر ضيقت عليه جهنم

Adapun bagi orang yang bepergian di musim dingin atau bepergian beberapa hari dan puasa bagi orang tersebut memberatkan maka Nabi SAW memberikan pilihan untuk berpuasa atau berbuka, sebagaimana sabda Nabi SAW:[29]

PENUTUP

Dalam studi mukhtalaf al-hadis hendaknya merujuk pada studi keilmuan lainnya seperti fiqh, ushul fiqh, asbab a-wurud dan lain-lain, agar dapat memberikan pemahaman yang sempurna dan tidak rancu, sehingga dapat dipahami bahwa hadis-hadis mukhtalaf yang secara lahir tampak saling bertentangan dengan hadis shahih atau hadis hasan, namun makna yang dimaksud oleh hadis-hadis tersebut tidaklah bertentangan karena hadis yang satu dengan yang lainnya dapat dikompromikan atau dicari penyelesaiannya dalam bentuk nasakh, tarjih atau tawaquf.


DAFTAR PUSTAKA

Ali Habillah, Ushul al-Tasyri` al-Islami, Mesir : Dar al-Ma`arif, 1976, Cet. V, hal. 210.

Ali Mushtafa Ya`qub, Catatan Sari Kuliah Metode Memahami Hadis, Jakarta : Pascasarjana IIQ (Institut Ilmu al-Qur`an), 13 Februari 2004.

Ahmad Muuhammad Syakir, al-Bahits al-Hatsis Syarh Ikhtishar `Ulum al-Hadis, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.

Abd al-Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, Kairo : Dar al-Ilmi, 1978.

Jamal al-Din al-Qasimi, Qawaid al-Tahdis min Funun Mushthalah al-Hadis, t.tp : Dar al-Nukhasy, t.th.

Ali Mushtafa Ya`qub, Peran Ilmu Hadis dalam Pembinaan Hukum Islam, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1999, Cet. I.

Al-Nasa`i, Sunan al-Nasa`i bi Syarh Jalal al-Din al-Suyuthi, Semarang : Toha Putra, 1930, Cet. I, Jilid 9.

Abi Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah, Ta`wil Mukhtalaf al-Hadis, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.th.

Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy al-Naisaburi, Shahih Muslim, Beirut : Dar al-Fikr, 1988, Cet. I, Jilid 1.

Ibn Hajar al-Asqalani, Nuzhat al-Nadzar fi Taudhih Nukhbab al-Fikr fi Mushthalah Ahli al-Atsar, Damsyiq : Matba`ah al-Shabah, 1992.

Jalaluddin al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, Beirut : Dar al-Kutub, t.th., Jilid II, hal. 115.

Mahmud al-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadis, Beirut : Dar al-Tsaqafah al-Islamiah, 1985, hal. 59.

Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul Ila Tahqiq al-Haq min Ulum al-Ushul, Beirut : Dar al-Fikr, t.th.

Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Nail alAuthar Syarh Muntaqa al-Akhbar min Ahadis Sayid al-Akhyar, Beirut : Dar al-Fikr, 1982, Cet. I, Jilid 1.

Nur al-Din `Its, Manhaj al-Naqad fi Ulum al-Hadis, Suriyah : Dar al-Fikr, 1997.

Pembahasan tentang mukhtalaf al-hadis oleh Imam Syafi`i bisa dilihat di dalam karyanya “al-Umm” juz ke-VII.

Sarf al-Din Ali al-Rajihi, Mushthalah al-Hadis wa Atsaruh `ala al-Dars al-Lughawi Inda al-Arab, Beirut : Dar al-Nahdhah al-Arabiyah, t.th., hal. 217.

Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadis wa Mushthalahuh, Beirut : Dar al-Ilmi Lilmalayin, 1959.



* Penulis adalah dosen STAIN Samarinda dan kini tengah menyelesaikan Program Doktor (S3) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

[1] Lihat QS. Ali Imran (18): 110.

[2] Mahmud al-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadis, Beirut : Dar al-Tsaqafah al-Islamiah, 1985, hal. 59.

[3] Ibid.

[4] Jalaluddin al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, Beirut : Dar al-Kutub, t.th., Jilid II, hal. 115.

[5] Ali Habillah, Ushul al-Tasyri` al-Islami, Mesir : Dar al-Ma`arif, 1976, Cet. V, hal. 210.

[6] Sarf al-Din Ali al-Rajihi, Mushthalah al-Hadis wa Atsaruh `ala al-Dars al-Lughawi Inda al-Arab, Beirut : Dar al-Nahdhah al-Arabiyah, t.th., hal. 217.

[7] Ibn Hajar al-Asqalani, Nuzhat al-Nadzar fi Taudhih Nukhbab al-Fikr fi Mushthalah Ahli al-Atsar, Damsyiq : Matba`ah al-Shabah, 1992, hal. 73.

[8] Ali Mushtafa Ya`qub, Catatan Sari Kuliah Metode Memahami Hadis, Jakarta : Pascasarjana IIQ (Institut Ilmu al-Qur`an), 13 Februari 2004.

[9] Pembahasan tentang mukhtalaf al-hadis oleh Imam Syafi`i bisa dilihat di dalam karyanya “al-Umm” juz ke-VII. Lihat juga Ahmad Muhammad Syakir, al-Bahits al-Hatsis Syarh Ikhtishar `Ulum al-Hadis, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th., hal. 169.

[10] Ahmad Muhammad Syakir, op. cit., hal 170.

[11] Ibn Hajar al-Asqalani, op. cit., hal. 74.

[12] Subhi al-Shalih, Ulum al-Hadis wa Mushthalahuh, Beirut : Dar al-Ilmi Lilmalayin, 1959, hal. 112, Nur al-Din `Its, Manhaj al-Naqad fi Ulum al-Hadis, Suriyah : Dar al-Fikr, 1997, hal. 341.

[13] Abd al-Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, Kairo : Dar al-Ilmi, 1978, hal. 230.

[14] Jamal al-Din al-Qasimi, Qawaid al-Tahdis min Funun Mushthalah al-Hadis, t.tp : Dar al-Nukhasy, t.th., hal. 318.

[15] Ibid.

[16] Al-Suyuthi, op. cit., hal. 115.

[17] Ahmad Musthafa Syakir, op. cit., hal. 171.

[18] Ali Mushtafa Ya`qub, Peran Ilmu Hadis dalam Pembinaan Hukum Islam, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1999, Cet. I, hal. 31-32.

[19] Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy al-Naisaburi, Shahih Muslim, Beirut : Dar al-Fikr, 1988, Cet. I, Jilid 1, hal. 137.

[20] Ibid, hal. 138.

[21] Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul Ila Tahqiq al-Haq min Ulum al-Ushul, Beirut : Dar al-Fikr, t.th., hal. 38

[22] Ibid, hal. 39.

[23] Ibid.

[24] Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Nail alAuthar Syarh Muntaqa al-Akhbar min Ahadis Sayid al-Akhyar, Beirut : Dar al-Fikr, 1982, Cet. I, Jilid 1, hal. 213.

[25] Ibid, hal. 214.

[26] Ibid, hal. 215.

[27] Al-Nasa`i, Sunan al-Nasa`i bi Syarh Jalal al-Din al-Suyuthi, Semarang : Toha Putra, 1930, Cet. I, Jilid 9, hal. 158.

[28] Ibid.

[29] Abi Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah, Ta`wil Mukhtalaf al-Hadis, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.th., hal. 242.

Sunday, April 8, 2007

Kritik Nalar Arab

Solusi Perseteruan Tiga Nalar Dalam Islam

Oleh: Amir Tajrid, M.Ag.

- Muncunya sebuah kritik wacana ke-Islaman (baik yang datang dari Jabiri, Arkoun), diawali sebuah kegelisahan terhadap alam pikiran umat Islam yang mengalami kebekuan. Kebekuan ini terejawantahkan dalam hampir seluruh pemikiran umat Islam yang terlepas dari akar historisnya sehingga muncul apa yang disebut dengan taqdis al-afkar al-diniyyah. Sehingga horison kajian pemikiran Islam dalam studi Islam (dirasah Islamiyah) mengalami penyempitan.

- Dalam khazanah ilmu-ilmu al-Qur’an terdapat dua cara memahami al-Qur’an, yaitu tafsir dan ta’wil. Yang pertama lebih populer dari pada yang terakhir. Tafsir dikenal sebagai cara untuk menguarai bahasa, konteks, dan pesan-pesan moral yang terkandung dalam teks. Posisi teks sebagai subyek. Paradigma penafsiran ini dapat dikategorikan sebagai yang menggunakan epistemologi bayani. Berbeda dengan tafsir, takwil dipahami sebagai cara untuk memahami teks dengan menjadikannya sebagai obyek kajian. Tradisi baru ini keberadaannya dalam studi Islam konvesional kurang begitu dikenal, karena maenstream studi ke-Islaman telah menganggap Ulum al-Qur’an matang dan baku (nadhaja wa ikhtaraqa). Termasuk salah satu yang dibakukan adalah apa yang dianggap ta’wil tak lain dan tak bukan adalah ta’wil al-bathini, yang agaknya ekuivalen dengan tafsir al-isyari. Dalam ranah ini, yakni menjadikan teks atau pemahaman orang, kelompok, madzhab, aliran, organisasi, kultur, sebagai obyek telaah keilmuan ke-Islaman, maka pendekatan yang dipakai adalah ta’wil al-ilmi sebagai model tafsir alternatif terhadap teks menggunakan jalur lingkar hermeneutik yang mendialogkan secara sungguh-sungguh diantara ketiga epistemologi yang dikenal dalam Islam, epistemologi bayani, irfani, dan burhani. Tetapi gagasan ini pada dataran praksis juga mengalami problem internal akibat sisa-sisa sejarah masa lalu yang menampilkan pesetruan yang tak kunjung berhenti diantara tiga epistem tersubut dalam panggung sejarah pemikiran umat Islam.

- Paralel dengan gagasan-gagasan baru tersebut perbincangan mengenai tiga sistem pengetahuan (epistem) yang sedang ngtrend dalam diskusrsus ke-Islaman kontemporer banyak mengundang perhatian dari berbagai kalangan akademisi. Perhatian ini terutama diberikan oleh mereka yang concern terhadap kajian-kajian tentang system pengetahuan hubungannnya dengan Islam sebagai sebuah agama yang juga mempunyai budaya dan system pengetahuan. Islam, sebagaimana yang telah di tulis oleh Muhammad Abid al-Jabiri mempunyai tiga system pengetahuan. System pengetahuan ini ia sebut dengan epistemologi bayani, burhani, dan irfani. “Sistem pengetahuan” ini kadang juga disebut dengan istilah “Nalar”. Dengan kata lain, kebudayaan Arab Islam terbangun di dasarkan pada pada tiga system pengetahuan sebagaimana berikut: system pengetahuan bayani yang dibangun di atas warisan Islam “murni” yakni bahasa dan agama (yang tereduksi dalam bentuk wahyu) sebagai teks, system pengetahuan irfani yang didasarkan pada irrasionalitas atau ketersingkiran akal dalam tradisis kuno pra Islam khususnya budaya hermetic, dan terakhir adalah system pengetahuan burhani yang dibangun berdasarkan filsafat dan ilmu-ilmu rasional khususnya logika Aristoteles.

- Dua dari ketiga system pengetahuan tersebut, yakni system pengetahuan bayani dan irfani keberadaannya tidak perlu diperdebatkan lagi. Karena system pengetahuan/nalar bayani adalah penopang utama bagi keberadaan kebudayaan Islam yang memang lekat dengan budaya teks. Sehingga Islam pun dikenal atau identik dengan agama teks, yang merupakan bentuk reduksi dari nalar ini. Bahkan nalar bayani (yang terejawantahkan dalam teks) ini marasuki hampir di seluruh pengetahuan Islam. Pengetahuan apapun dalam Islam harus di dasarkan pada teks. Kuatnya budaya teks ini terlihat dalam kedua sumber Islam, yakni al-Qur’an dan al-Hadits. Akibat keterkungkungan nalar Islam yang tereduksi dalam bentuk teks ini menjadikan Islam tidak mudah merespon permasalahan empiris yang terjadi dalam masyarakat. Oleh karena itu, mengandalkan nalar bayani an sich tidaklah cukup, melainkan juga harus memasukkan nalar burhani (akal universal). Nalar yang berangkat dari pemahaman akal terhadap realitas maujud yang dibangun berdasarkan filsafat dan ilmu-ilmu rasional. Keberadaan nalar burhani ini dalam sejarah kebudayaan Arab Islam pernah mengalami ketersingkiran yang cukup lama, walaupun pada akhirnya kembali hadir dalam kebudayaan tersebut. Timbul tenggelamnya nalar burhani (akal universal) ini menarik untuk diadakan pengkajian secara khusus dalam tulisan ini. Sebagaimana nalar bayani, nalar irfani pun menjadi salah satu penopang bagi kebudayaan Islam walaupun diantara keduanya kadang terjadi persaingan dalam mempengaruhi kebudayaan tersebut. Fenomena nalar irfani atau ketersingkiran akal ini terlihat dengan hadirnya konsep imamah dalam tradisi Syi’ah dan walayah dalam tradisi agnostisisme (sufi) yang masih berjalan hingga sekarang.

- Sedangkan nalar burhani mengalami peminggiran secara sistematis akibat pertarungan politik penguasa. Terutama setelah idieologi Mu’tazilah digantikan oleh ideology Sunni. Memang nalar burhani ini pernah mengalami masa keemasan pada saat pemerintahan Khalifah al-Makmun al-Abbasiy. Namun setelah era al-Makmun al-Abbasiy, tepatnya pada masa pemerintahan Khalifah al-Mutawakkil ala Allah yang berideologi sunni, nalar burhani mengalami keterpasungan secara sistematis karena tidak di dukung oleh penguasa. Dan lambat laun nalar ini mulai tergantikan oleh nalar yang lain. Walaupun dalam kondisi tertentu muncul seorang tokoh yang mencoba menghidupkan kembali nalar ini. Tetapi keberadaannya tidak begitu signifikan karena nalar yang lain sudah begitu kuat merasuk dalam alam pikiran dan system budaya Islam yang ada saat itu. Sehingga hal ini pun berakibat pada menguatnya dimensi normative agama. Sebab normativitas agama ini lebih banyak dipahami dengan menggunakan pendekatan nalar bayani (nalar teks). Sedangkan dimensi historisitas agama yang tidak dapat dilepaskan dari aspek ruang dan waktu yang banyak dipahami dengan menggunakan pendekatan nalar burhani menjadi melemah.

- Terjadinya peminggiran nalar burhani, setidaknya memberikan penegasan bahwa dalam epistem kebudayaan Arab Islam terjadi sebuah dialektika diantara ketiga nalar yang dikenal dalam Islam. Dialektika ini mewajibkan adanya sebuah persaingan untuk memperebutkan dominasi cultural untuk mempengaruhi alam pikiran umat Islam. Dialektika dalam memperebutkan dominasi cultural ini pada akhirnya menempatkan sebuah nalar tertentu vis a vis nalar yang lain. Misalnya nalar bayani berhadapan dengan nalar burhani, di satu sisi dan nalar burhani berhadapan dengan nalar irfani, pada sisi yang lain. Atau bahkan terjadi penggabungan diantara kedua nalar tertentu. Misalnya untuk memperkuat nalar irfani, maka harus dilandasi dan berpijak pada nalar bayani (ta’sis al-irfan alal bayan).

- Dari paparan tersebut, jelaslah bahwa ketiga epistem tadi secara historis memang mengalami pertarungan untuk memperebutkan dan menancapkan pengaruhnya dalam alam pikiran umat Islam. Untuk mengembalikan kebekuan alam pikiran umat Islam setidaknya harus ada keterbukaan diantara ketiga epistem tersebut untuk saling megkoreksi kekuarangan masing-masing. Jika dianggap sebagai sebuah solusi. Jika tidak, maka diperluakan sumbangsih pemikiran dari peserta diskusi. Wassalam.

Wednesday, April 4, 2007

KEADILAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR`AN

Studi Analitis Penafsiran Sayyid Quthb Dalam Tafir Fi Zhilal al-Qur`an

Subhan*

Abstrak: Keadilan adalah sesuatu yang sangat signifikan dalam kehidupan sehari-hari. Al-Qur`an banyak mengungkapkan ayat-ayat tentang keadilan, term yang digunakan didalam al-Qur`an ketika menyebutkan keadilan adalah al-Adl dan al-Qisht. Melalui tulisan ini penulis mencoba mengungkapkan penafsiran Sayyid Quthb terhadap ayat-ayat keadilan didalam tafsirnya Fi Zhilal al-Qur`an. Bagimana Sayyid Quthb mendefinisikan keadilan, apa tujuan menegakkan keadilan, siapa yang berhak mendapatkan keadilan dan dasar apa yang digunakan untuk menegakkan keadilan. Menurut Sayyid Quthb keadilan itu bersifat mutlak yang bersifat menyeluruh diantara semua manusia. Tujuan menegakkan keadilan itu semata-mata karena Allah bukan karena kebaikan seseorang, golongan atau kelompok, dan yang berhak mendapatkan keadilan adalah semua manusia, muslim atau kafir, teman atau lawan, kaya ataupun miskin. Adapun aturan yang digunakan untuk menegakkan keadilan adalah syari`at Allah.

Kata kunci: Keadilan dan Penafsiran

Pendahuluan

Sejarah telah mencatat bahwa diantara persoalan-persoalan yang diperselisihkan pada hari-hari pertama sesudah wafatnya Rasulullah SAW adalah persoalan politik atau biasa disebut persoalan al-Imamah (Imamah). Meskipun masalah tersebut berhasil diselesaikan dengan diangkatnya Abu bakar (w. 13 H/634 M) sebagai khalifah, namun dalam waktu tidak lebih dari tiga dekade masalah seupa muncul kembali dalam lingkungan umat Islam. Kalau pada pertama kalinya, perselisihan yang terjadi adalah antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar, maka pada kali ini perselisihan yang terjadi adalah antara khalifah Ali bin Abi Thalib (w. 41 H/661 M) dan Mu`awiyah bin Abi Sufyan (w. 64 H/689 M) dan berakhir dengan terbunuhnya khalifah Ali dan bertahtanya Mu`awiyah sebagai khalifah dan pendiri kerajaan Bani Umayyah.[1]

Mencuatnya persoalan-persoalan tersebut dikarenakan al-Qur`an maupun al-Hadis sebagai sumber hukum Islam tidak memberikan penjelasan secara pasti mengenai sistem pemerintahan dalam Islam, konsepsi kekuasaan dan kedaulan serta ide-ide tentang konstitusi.[2] Salah satu persoalan dalam sistem pemerintahan adalah masalah keadilan. Term keadilan ini banyak disebut-sebut dalam al-Qur`an.

Al-Qur`an banyak memerintahkan kepada umat manusia agar memperhatikan dan mempelajari al-Qur`an, salah satunya didalam Surah Muhammad ayat 24. Berdasarkan ayat ini dapat dinyatakan bahwa pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur`an melalui penafsirannya mutlak sangat diperlukan. Maka tulisan ini ingin mengungkapkan penafsiran Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi Zhilal al-Qur`an atas ayat-ayat yang terkait dengan keadilan. Dipilihnya penafsiran Sayyid Quthb karena dia dikenal aktif dalam pergerakan Islam yang pernah mengenyam pendidikan di Barat dan tulisan-tulisannya banyak mempengaruhi kehidupan sosial politik masyarakat Mesir pada waktu itu.

Sayyid Quthb: Lahir, Perjalanan dan Lingkungan Hidupnya

Sayyid Quthb adalah seorang aktivis muslim Mesir termasyhur pada abad ke XX, selain itu dia juga dikenal sebagai kritikus sastra, novelis dan penyair.[3] Dia dilahirkan di Koha, wilayah Asyyuth, pada bulan September 1906.[4] Nama lengkapnya adalah Sayyid bin Quthb bin Ibrahim. Ayahnya al-Haj Quthb Ibrahim adalah seorang anggota Partai Nasional pimpinan Mushtafa Kamil, yang memiliki kesadaran politik dan semangat nasional yang tinggi. Selain itu Quthb bin Ibrahim juga adalah anggota Komisaris partai Nasional di desanya.[5]

Ketika Sayyid Quthb dilahirkan, ekonomi keluarga Quthb sebenarnya sedang merosot, tetapi berkat status pendidikan bapaknya mereka tetap mempunyai martabat tinggi.[6] Dia adalah orang yang taat beribadah dan selalu mendorong anak-anaknya untuk menjadi orang-orang yang taat beragama pula. Setiap hari menjalankan shalat lima waktunya di Masjid secara berjama`ah dengan mengajak serta anak-anaknya.[7]

Ibunya berasal dari keluarga terkemuka dan taat beragama pula. Keluarga ibunya memang dianugerahi dua kelebihan sekaligus; kaya dan berpendidikan tinggi. Ayahnya seorang berpendidikan al-Azhar. Ibunya Sayyid Quthb mempunyai empat saudara, dua diantaranya adalah alumnus-alumnus al-Azhar. Salah seorang diantaranya adalah Ahmad Husain Utsman, meninggalkan pengaruh yang besar pada diri Sayyid Quthb, karena pernah tinggal bersamnya di Kairo.[8]

Sayyid Quthb memperoleh pendidikan dasarnya dari Madrasah di desanya yang dimasukinya ketika dia berusia enam tahun dan diselesaikannya dalam waktu empat tahun. Pada usia sepuluh tahun, dibawah bimbingan ibunya, Sayyid Quthb telah hafal al-Qur`an secara lengkap.[9]

Pada tahun 1921 Sayyid Quthb berangkat ke Kairo untuk melanjutkan pendidikannya di Madrasah Tsanawiyah. Di Kairo, dia tinggal bersama pamannya, Ahmad Husain Utsman yang saat itu telah menyelesaikan pendidikannya di al-Azhar dan bekerja sebagai guru dan penulis. Selesai menamatkan tingkat Tsanawiyah pada tahun 1925, Sayyid Quthb melanjutkan studinya di Madrasah Mu`allimin di Kairo selama tiga tahun. Alumni dari Madrasah tersebut mendapat ijazah yang disebut Kafa`ah (kelayakan mengajar).[10]

Setelah menyelesikan pendidikannya di Madrasah Mu`allimin, Sayyid Quthb melanjutkan pendidikannya di Dar al-Ulum pada tahun 1930 yang ditempuhnya selama tiga tahun dan memperoleh gelar Lisance (S1) dalam bidang sastera sekaligus diploma pendidikan.[11]

Sesudah menyelesaikan pendidikannya di Dar al-Ulum, Sayyid Quthb diangkat menjadi penilik pada Kementerian Pendidikan dan Pengajaran Mesir. Sesudah menjadi penilik, Sayyid beralih tugas menjadi sekretaris Thaha Husein dan Abbas Mahumud al-`Aqqad, dua orang pengikut Muhammad Abduh.[12]

Sewaktu bekerja sebagai penilik Sekolah, pada tahun 1949, Sayyid Quthb mendapat tugas belajar ke Amerika Serikat untuk mempelajari metode pendidikan Barat. Ia menempuh pendidikannya di Wilson`s Collage di Washington, University of Nothern Colorado`s Teacher dengan memperoleh gelar MA di bidang pendidikan dan Stanford University di California.[13]

Dia tinggal di Amerika selama dua setengah tahun, dan hilir mudik antara Washington dan California. Melalui pengamatan langsung terhadap peradaban dan kebudayaan yang berkembang di Amerika, Sayyid Quthb melihat bahwa sekalipun Barat telah berhasil meraih kemajuan pesat dalam sains dan teknologi, namun sesungguhnya ia merupakan peradaban yang rapuh karena kosong dari nilai-nilai spiritual.[14]

Sekembalinya ke Mesir dia bergabung dengan gerakan Islam Ikhwa al-Muslimin, dan ia juga banyak menulis secara terang-terangan tentang masalah ke-Islaman. Dan ternyata kembalinya Sayyid Quthb berbarengan dengan berkembangnya krisis politik Mesir yang kemudian menyebabkan terjadinya kudeta militer pada bulan Juli tahun 1952. Selama periode inilah tulisan Sayyid Quthb lebih diwarnai dengan kritik sosial dan polemik politik, dengan demikian dia dapat mendiagnosis penyakit masyarakat Mesir dan juga dapat memberikan penyembuhan penyakitnya.[15]

Sayyid Quthb memandang Ikhwan al-Muslimin sebagai suatu organisasi yang bertujuan untuk mewujudkan kembali masyarakat politik Islam. Dan juga merupakan medan yang luas untuk menjalankan syari`at Islam secara menyeluruh. Di samping itu ia juga menyakini bahwa gerakan ini merupakan gerakan yang tidak tertandingi dalam hal kesanggupannya menghadang rencana-rencana zionisme, sabilisme dan kolonialisme. [16]

Pada tahun 1954 dia menjadi pemimpin redaksi harian umum al-Ikhwan al-Muslimin, tetapi baru dua bulan terbit, harian itu dibrendel atas perintah Gamal Abdel Nasser, presiden Mesir, karena mengancam perjanjian Mesir-Israel 7 Juli 1954.[17] Pada penghujung tahun 1954, atas tuduhan percobaan pembunuhan terhadap presiden Nasser oleh kelompok Ikhwan al-Muslimin, Sayyid Quthb dijebloskan ke penjara selama sepuluh tahun. Ia menikmati udara bebas pada tahun 1964 tetapi tahun 1965 kembali lagi ia ditahan.[18] Akhirnya pada tanggal 29 Agustus 1966 ia dihukum mati atas tuduhan berkomplot melawan rezim Nasser.[19]

Karya-karya Sayyid Quthb

Dalam situasi ketika dunia Islam dan kaum muslimin berhadapan dengan filsafat dan pandangan Barat, Sayyid Quthb menyadari tentang mendesaknya kebutuhan akan suatu pandangan dunia (world view) yang Islami, yang bisa menjadi pedoman bagi kaum muslimin dalam menghadapi berbagai tantangan. Dengan demikian, Sayyid Quthb ingin menjadikan Islam sebagai landasan perjuangan dengan dua sasaran; pertama, meningkatkan kwalitas pengalaman ajaran Islam dikalangan kaum muslimin, kedua, menghadapi tantangan dari Barat. Karena itu, Sayyid Quthb menaruh perhatian yang tinggi terhadap masalah ketuhanan, hakikat iman dan Islam, keadilan, kedudukan manusia di alam semesta, peranan akal, dan bahkan sstera budaya. Untuk semuanya, sayyid Quthb telah menulis dua puluh lima buku yang telah diterbitkan dengan beberapa kali cetak ulang, salah satunya adalah Fi Zhilal al-Qur`an dalam 30 juz, disamping beberapa naskah yang belum sempat terbit ketika dia meninggal dunia. Sementara itu, makalah-makalah dan puisi-puisinya bertebaran di berbagai media masa.

Karier penulisannya dimulai dengan menulis dua buku mengenai keindahan dalam al-Qur`an, yaitu al-Tashwir al-Fanniy fi al-Qur`an dan Masyahid al-Qiy`mah fi al-Qur`an. Buku lainnya yang sempat ditulis antara lain; al-Adalah al-Ijtimaiyyah fi al-Islam, Hadza al-Din, al-Mustaqbal li Hadza al-Din, Khashaish al-Tashawwur al-Islamiy, Ma`alim fi al-Thariq, al-Salam al-`Alamiy wa al-Islam, Nahwa Mujtama` Islamiy, Ma`rakatuna ma`a al-Yahud, Ma`rakat al-Islam, wa Ra`sumaliyyah, al-Islam wa Muskilat al-hadarah, Dirasah al-Islamiyah, al-Naqd al-Adabiy Ususuhu wa Manahijuhu, dan yang paling monumental adalah tafsir Fi Zhilal al-Qur`an yang sedang dikaji dalam tulisan ini.[20]

Tafsir Fi Zhilal al-Qur`an: Motivasi Penulisan

Sayyid Quthb kembali ke Mesir berbarengan dengan berkembangnya krisis politik Mesir yang kemudian menyebabkan terjadinya kudeta militer pada bulan Juli 1952. Mulai saat itulah tulisan Sayyid Quthb jadi lebih diwarnai kritik sosial dan politik. Diantara karya Sayyid Quthb adalah tafsir Fi Zhilal al-Qur`an yang ditulis pada tahun 1952-1965.[21]

Didalam tafsir ini dibahas tentang logika konsepsi negara Islam menurut Sayyid Quthb. Buku ini juga dijadikan bukti utama dalam sidang Sayyid Quthb yang dituduh bersekongkol hendak menumbangkan rezim.[22] Akibatnya dia diadili dan mendapat hukuman lima belas tahun penjara.[23]

Motivasi Sayyid Quthb untuk menulis tafsir Fi Zhilal al-Qur`an ini diawali atas permintaan rekannya yaitu Said Ramadhan yang menertibkan majalah bulanan al-Muslimun pada bulan Desember 1951, agar berpartisipasi bisa menyumbangkan tulisannya tiap bulan satu kali dengan sajak yang tepat dan tema-tema bersambung.

Sayyid Quthb menyambut baik atas permintaan Said Ramadhan untuk mengasuh rubrik tersebut, dia memberi nama rubrik itu Fi Zhilal al-Qur`an. Tulisan perdana dari Fi Zhilal al-Qur`an adalah Tafsir surah al-Fatihah yang dimuat dalam al-Muslimun edisi ketiga Februari 1952 dan dilanjutkan dengan Tafsir surah al-Baqarah. Pada bagian ketujuh akhir akhir tulisannya Sayyid Quthb mengumumkan bahwa tulisannya dihentikan sampai di situ. Dengan alasan akan menyusun hikmah tafsir tersendiri yang diberi nama Fi Zhilal al-Qur`an yang akan diterbitkan dalam 30 juz berturut-turut setiap juz akan terbit dalam waktu dua bulan, terhitung bulan Desember 1952 yang ditangani oleh penerbit Isa al-Halabi wa Syirkah.[24]

Setiap juz Fi Zhilal al-Qur`an terbit dalam dua bulan sekali, bahkan ada yang kurang dari dua bulan. Enam belas juz Fi Zhilal al-Qur`an telah diterbitkan antara Oktober 1952 hingga Januari 1954. Hanya dalam waktu satu tahun tiga bulan, Sayyid Quthb berhasil menyelesaikan enam belas juz dari tafsirnya itu.[25]

Selama dalam tahanan, Januari sampai dengan Maret 1954, Sayyid Quthb berhasil menyelesaikan dua juz berikutnya, yaitu juz ke tujuh belas dan kedelapan belas, kemudian juz-juz yang masih tersisa diselesaikan pada saat-saat akhir tahanannya.[26]

Metode dan Corak Tafsir Fi Zhilal al-Qur`an

Dengan meminjam klasifikasi metode tafsir al-Qur`an yang dilakukan oleh al-Farmawiy yaitu tahlily, ijmaly muqaran dan maudhu`iy, nampaknya secara metodologis tafsir Fi Zhilal al-Qur`an dapat dikelompokkan ke dalam jenis tafsir tahlily. Artinya penafsir menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur`an dari seluruh aspeknya dengan mengikuti runtutan ayat-ayat sebagaimana yang terdapat dalam mushaf.[27]

Secara lebih rinci metode penafsiran Fi Zhilal al-Qur`an dapat dijabarkan dalam uraian sebagai berikut:

Pertama; Mengidentifikasikan surah-surah yang ditafsirkan antara Makkiyah dan Madaniyah serta membandingkan keduanya dari segi karakteristik dan topik-topik yang dibahasnya.[28] Sebagaimana halnya para ulama ahli ilmu-ilmu al-Qur`an yang menjelaskan bahwa dari segi karakteristik dan topiknya, ayat-ayat dan surah-surah Makkiyah umumnya berisi ajaran-ajaran universal mengenai ketauhidan, hari kiamat, surga dan neraka, sementara ayat-ayat dan surah-surah Madaniyah pada umumnya merupakan pendukung terhadap ajaran-ajaran universal Islam dan berisi masalah hukum dan pranata sosial,[29] Sayyid Quthb pun mengidentifikasi surah-surah Makkiyah dan Madaniyah dari karakteristik semacam itu.

Kedua; Menerangkan korelasi (munasabah) antara surah yang ditafsirkan dengan surah sebelumnya.[30] Misalnya ketika menafsirkan surah al-Nisa, Sayyid Quthb menghubungkan dengan dua surah sebelumnya yakni surah al-Baqarah dan Ali Imran. Surah al-Baqarah dan Ali Imran isinya mencakup perkembangan masyarakat Islam di Madinah, juga menjelaskan tentang karakteristik metode rabbaniy yang menjadi asas perkembangan masyarakat tersebut serta menetapkan kebenaran-kebenaran asasi yang dibangun atasnya angan-angan Islam, surah al-Nisa pun mengarah pada hal-hal seperti itu.[31]

Ketiga; Membagi surah kedalam beberapa fragmen secara tematis yang masing-masing faragmen itu menggambarkan satu tema dan kemudian dipayungi oleh suatu tema pokok yang disebut mihwar.[32] Atau kadang-kadang juga dipakai istilah al-maudhu `al-raisiy sebagaimana yang terdapat dalam surah Yunus.

Keempat; Menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat (asbab al-nuzul).[33] Sayyid Quthb seperti dinyatakan Ahmad `Atiyatullah telah menjadikan asbab al-nuzul sebagai bagian dari metode penafsirannya.[34]

Kelima; Memaparkan kandungan makna ataupun maksud kalimat dalam ayat secara umum dengan penjelasan yang fasih dan isyarat yang bersifat pergerakan dan pendidikan serta terkadang menyebutkan hadis dalam menafsirkan ayat tersebut.[35]

Keenam; Sangat berhati-hati terhadap cerita Israiliyyah dan meninggalkan perbedaan-perbedaan fiqhiyyah, serta tidak bertele-tele dalam membahas masalah bahasa, kalam ataupun filsafat.[36]

Adapun pendekatan penafsiran dalam tafsir Fi Zhilal al-Qur`an tampaknya cenderung kepada pendekatan rasional (bi al-ra`yi) yakni pendekatan yang dilakukan dengan menetapkan rasio sebagai titik tolak.[37] Sejalan dengan penjelasan ini, `Aliy Iyaziy menyebutkan bahwa tafsir Fi Zhilal al-Qur`an menggunakan pendekatan rasional (manhaj fikriy).[38] Disamping itu ia juga menggunakan pendekatan lain yaitu pendekatan tafsir bi al-ma`tsur yaitu suatu penafsiran al-Qur`an dengan al-Qur`an, dengan hadis-hadis Nabi dan dengan perkataan para shabat dan tabi`in.

Ditinjau dari corak tafsirnya, tafsir Fi Zhilal al-Qur`an dapat digolongkan kedalam tafsir al-adabi al-ijtima`i (bercorak sastra, budaya dan kemasyarakatan), yakni corak penafsiran al-Qur`an yang menjelaskan ketelitian ungkapannya dengan menekankan tujuan pokok diturunkannya al-Qur`an kemudian mengaplikasikannya pada tataran sosial seperti pemecahan masalah-masalah umat Islam dan bangsa pada umumnya sejalan dengan perkembangan masyarakat.

Pengertian dan Term-term Keadilan dalam al-Qur`an

Al-Qur`an menggunakan term al-`Adl dan al-Qisht untuk pengertian keadilan.

Dilihat dari akar katanya, term al-`Adl terdiri dari huruf `ain, dal dan lam. Maksud yang terkandung didalamnya ada dua macam, yaitu lurus dan bengkok. Makna ini bertolak belakang antara satu dan lainnya. Intinya ialah persamaan atau al-musawah.[39]

Sementara akar kata al-Qisht terdiri dari tiga huruf yaitu qaf, sin dan tha. Makna yang terkandung dalam struktur ketiga huruf di atas ada tiga macam yaitu keadilan atau al-Qisht, kecenderungan atau al-Qasht dan bengkok atau al-Qasath. Dari pengertian di atas dapat dimunculkan lagi dua makna yang lain yaitu bagian al-Nashib dan neraca atau al-Qisthas.[40]

Term al-Qisht dapat diartikan sebagai memperoleh bagian dan porsi yang adil. Kemudian term al-Qasht dapat diartikan sebagai mengambil porsi orang lain atau curang. Sedangkan term al-Iqsath dapat diartikan sebagai memberikan hak dan porsi seseorang kepada yang bersangkutan.[41] Jadi tampaknya term al-Iqsath ini mengarah kepada pengertian keadilan dalam makna proposional.[42]

Penafsiran Sayyid Quthb atas Ayat-ayat Keadilan

Ada sejumlah ayat al-Qur`an yang berkaitan dengan keadilan dan relevan dengan tema pembahasan, diantaranya adalah:

1. Al-Qur`an secara tegas telah memberikan tuntunan agar berlaku adil kepada semua manusia. Hal ini ditegaskan Allah dalam surah al-Nisa ayat 58: Sesungguhnya Allah telah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhek menerimanya dan (menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-sebaiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat

Sayyid Quthb menafsirkan ayat di atas bahwa keadilan itu bersifat mutlak yang berarti meliputi keadilan yang menyeluruh diantara semua manusia, bukan keadilan diantara sesama kaum muslimin dan terhadap ahli kitab saja. Keadilan merupakan hak setiap manusia mukmin ataupun kafir, teman ataupun lawan, orang berkulit putih ataupun berkulit hitam orang arab ataupun orang ajam (non arab).[43] Dalam menafsirkan ayat di atas, nampak sekali pembelaan Sayyid Quthb terhadap Islam, hal ini bisa dilihat ketika dia mengatakan bahwa memutuskan hukum dengan adil itu sama sekali belum pernah dikenal oleh manusia kecuali hanya di masa kepemimpinan Islam saja.[44]

2. Al-Qur`an memberikan tuntunan agar ketika menegakkan keadilan tidak menggunakan hawa nafsu. Ada beberapa ayat yang menegaskan agar tidak cenderung kepada hawa nafsu, kebencian atau penghormatan ketika memutuskan perkara. Salah satu ayat tersebut adalah Firman Allah SWT: Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemashlahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.(QS. al-Nisa : 135).

Menurut Sayyid Quthb ayat di atas merupakan amanat untuk menegakkan keadilan yang sebenarnya pada semua tempat dan keadaan dan semua manusia baik mukmin ataupun kafir, teman atau musuh, kaya ataupun miskin menurut pandangan Allah memiliki hak yang sama untuk mendapatkan keadilan. Dan menegakkan keadilan itu tidak karena kebaikan seseorang, golongan atau kelompok dan berusaha untuk melepaskan dari semua kecenderungan, hawa nafsu, kemashlahatan dan penghormatan tetapi semata-mata karena Allah.[45]

3. Menegakkan keadilan itu semata-mata karena ketaqwaan kepada Allah. Hal ini dijelaskan Allah dalam surah al-Maidah ayat 8; Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada taqw. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Sayayid Quthb memberikan penafsiran pada ayat ini bahwa berbuat adil itu harus yang mutlak tidak karena cenderung kasih sayang atau kebencian pada seseorang juga tidak karena kerabat, kemashlahatan atau hawa nafsu.[46] Keadilan itu muncul hanya karena ketaqwaan kepada Allah SWT. [47]

4. Para Rasul membawa risah keadilan untuk manusia. Sebagaimana firman Allah SWT; Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan...QS. al-Hadid : 25.

Setiap rasul itu datang untuk menetapkan keadilan di muka bumi untuk memperbaiki perbuatan-perbuatan dan rasa aman dari hawa nafsu. Maka mizan (keadilan) itu menjadi pegangan yang tetap bagi manusia, karena mereka menemukan di dalamnya sesuatu yang haq (kebenaran).[48]

Dari beberapa penafsiran Sayyid Quthb di atas dapat diambil kesimpulan sementara bahwa keadilan itu halus sebagaimana timbangan yang lurus, keseimbangan hak-hak manusia dan kebebasan. Dalam hal ini Sayyid Quthb mengidentifikasikan kepada Islam sebagai ajaran, karena dalam setiap pembahasannya tentang keadilan selalu merujuk pada al-Qur`an dan tidak bebas nilai. Sebagaimana yang dia katakan bahwa Islam datang dengan keadilan yang menanggung setiap pribadi dan kelompok yang merupakan undang-undang mutlak untuk dilaksanakan, tidak cenderung kepada hawa nafsu, tidak mengutamakan cinta kasih dan kebencian, tidak pula membedakan kaya, miskin, kuat dan lemah dalam menegakkannya.[49]

Jadi apa yang dimaksud Sayyid Quthb tentang keadilan merupakan suatu yang agung, keadilan yang tidak dipengaruhi oleh ruang dan waktu, nafsu dan kecenderungan-kecenderungan lain. Keadilan yang menuntut perlakuan sama terhadap semua manusia tanpa terkecuali.

Adapun tujuan penegakkan keadilan menurut Sayyid Quthb adalah untuk memberi rasa aman dari kekacauan hawa nafsu dan berbenturannya kemashlahatan dan kemadharatan.[50] Dan yang paling penting adalah bertujuan untuk menuju ketaqwaan dan keridhaan Allah SWT.[51]

Sedangkan yang berhak untuk mendapatkan keadilan menurut penafsiran Sayyid Quthb adalah semua manusia berdasarkan manhaj rabbani baik yang mukmin maupun non mukmin, teman atau lawan kaya atau miskin, arab atau `ajam. Dan yang perlu diperhatikan lanjut Sayyid adalah menegakkan keadilan itu berdasarkan syari`at Allah, karena jika menegakkan keadilan itu tidak berdasarkan syari`at Allah, maka hal itu tidak berlangsung lama dalam kehidupan manusia dan hal itu merupakan kekacauan yang dihembuskan oleh orang-orang jahiliyah dan berdasarkan hawa nafsu.[52]

Penutup

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keadilan itu merupakan sesuatu yang sangat di tegaskan dalam Islam yang menuntut perlakuan yang sama terhadap semua manusia tanpa terkecuali. Adapun tujuan penegakan keadilan itu untuk menuju ketaqwaan dan keridhaan Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA

Abu al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim bin Abi Bakar Ahmad al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Mesir : Mushtafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1387 H.

Al-Usymawi Ahmad Sulaiman, al-Syahid Sayyid Quthb, Kairo : Dar al-Da`wah, 1969.

`Adil Nuwaihid, Mu`jam al-Mufassirin, t.tp : Muassasah Nuwaihid al-Saqafiyyah, 1403 H/1983 M, Jilid I.

Ahmad `Atiyatullah, al-Qamus al-Islamiy, Kairo : Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, 1390 H/1970 M, Jilid III.

Al-Sayyid Muhammad `Aliy Iyaziy, al-Mufassirun Hayatuhum wan Manhajuhum, Teheran : Wizarah al-Saqafah wa al-Irsyad al-Islamiy, 1373 H.

Ali Rahnema, Para Perintis Zaman Baru Islam, Bandung : Mizan, Cet. I, 1416 H/1995 M.

Abi al-Husain Ahmad Ibn Faris Ibn Zakariyya, Mu`jam Maqayis al-Lughah, Juz V, t.tp : Dar al-Fikr, 1979.

Al-Raghib al-Ashfahani, Mufradat Alfadz al-Qur`an, Damsyik : Dar al-Qalam, 1992.

Abu Abdullah Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz IV, Bandung : Maktabah Dahlan, t.t.

Afif Muhammad, Studi Tentang Corak Pemikiran Sayyid Quthb, Bandung : Mizan, 1996.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, Vol. IV.

Ditpertais Departemen Agama, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta : Depag, 1992/1993.

M. Sirajuddin Syamsuddin, Pemikiran Politik (Aspek yang Terlupakan dalam Sistem Pemerintahan Islam) dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam, Jakarta : LSAF, 1989.

Muhammad Quthb, Sukhriyyah Shaghirah, Beirut : Dar Lubnan, t.t.

Malise Ruthven, Modern Trends in Islam, dalam Trevor Mostyn (ed.) The Cambridge Encyclopedia of the Middle East and North Africa, Cambridge : Cambridge University Press, 1988.

M. Quraish Shihab Sejarah dan `Ulum al-Qur`an, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2000.

Manna` al-Qattan, Mabahis fi `Ulum al-Qur`an, t.tp: Mansyurah al-`Asr al-Hadits, t.t.

Muhammad Ibn Muhammad Abu Syuhbab, al-Madkhal li Dirasat al-Qur`an al-Karim, Kairo : Maktabah al-Sunnah, 1412 H/1992 M.

Shahrough Akhvi, “Sayyid Quthb”, dalam John L. Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia of The Modern islamic World, Oxford University Press, 1995.

Shalah Abd al-Fattah al-Khalidi, Sayyid Quthb al-Syahid al-Hayy, `Amman : Maktabat al-Aqsha, 1981.

Shalah Abd al-Fattah al-Khalidi, Madkhal Ila Zhilal al-Qur`an, Jeddah : Dar al-Manarah, 1986.

Subhi Shalih, Mabahis fi `Ulum al-Qur`an, Beirut : Dar al-`Ilm li al-Malayin, 1988.

Sayyid Quthb, al-`Adalah al-Ijtimaiyyah fi al-Islam, Beirut : Dar al-Kutub al-`Arabi, 1952.

____________, Sayyid Quthb di Amerika, Bandung : Mizan, 1986.

____________, Thifl Min al-Qaryah, hal. 37.

____________, Fi Zhilal al-Qur`an, Jilid II, Kairo : Dar al-Syuruq, Cet. XVII, 1412 H/1992 M.

____________, Fi Zhilal al-Qur`an, Jilid II, Kairo : Dar al-Syuruq, Cet. XVII, 1412 H/1992 M.



* Penulis adalah Dosen STAIN Samarinda dan tercatat sebagai Mahasiswa Program Doktor Konsentrasi Tafsir Hadis di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

[1] Abu al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim bin Abi Bakar Ahmad al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Mesir : Mushtafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1387 H, hal. 24.

[2] M. Sirajuddin Syamsuddin, Pemikiran Politik (Aspek yang Terlupakan dalam Sistem Pemerintahan Islam) dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam, Jakarta : LSAF, 1989, hal. 252.

[3] Shahrough Akhvi, “Sayyid Quthb”, dalam John L. Esposito (ed.), The Oxford Ensyclopedia of The Modern Islamic World, Oxford University Press, 1995, hal. 400.

[4] Al-Usymawi Ahmad Sulaiman, al-Syahid Sayyid Quthb, Kairo : Dar al-Da`wah, 1969, hal. 9. Lihat juga Shalah Abd al-Fattah al-Khalidi, Sayyid Quthb al-Syahid al-Hayy, `Amman : Maktabat al-Aqsha, 1981, hal. 46.

[5] Sayyid Quthb, Thifl Min al-Qaryah, hal. 37.

[6] Shahrough Akhavi, loc. cit.

[7] Sayyid Quthb, op. cit., hal. 120.

[8] Al-Khalidi, op. cit., hal. 59.

[9] Shalah Abd al-fattah al-Khalidi, Madkhal Ila Zhilal al-Qur`an, Jeddah : Dar al-Manarah, 1986, hal. 18-19.

[10] Al-Khalidi, Sayyid Quthb al-Syahid al-Hayy, hal. 88.

[11] Al-Khalidi, Madkhal Ila Zhilal al-Qur`an, hal. 20.

[12] Muhammad Quthb, Sukhriyyah Shaghirah, Beirut : Dar Lubnan, t.t., hal. 8.

[13] Shahrough Akhavi, op. cit., hal. 401, Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, Vol. IV, hal. 145.

[14] Sayyid Quthb, al-`Adalah al-Ijtimaiyyah fi al-Islam, Beirut : Dar al-Kutub al-`Arabi, 1952, hal. 286-288.

[15] Sayyid Quthb, Sayyid Quthb di Amerika, Bandung : Mizan, 1986, hal. 1617.

[16] Ibid.

[17] Shahrough Akhavi, op. cit., hal. 401. `Adil Nuwaihid, Mu`jam al-Mufassirin, t.tp : Muassasah Nuwaihid al-Saqafiyyah, 1403 H/1983 M, Jilid I, hal. 219.

[18] Ibid.

[19] Malise Ruthven, Modern Trends in Islam, dalam Trevor Mostyn (ed.) The Cambridge Encyclopedia of the Middle East and North Africa, Cambridge : Cambridge University Press, 1988, hal. 180.

[20] Ibid, Lihat juga Ahmad `Atiyatullah, al-Qamus al-Islamiy, Kairo : Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, 1390 H/1970 M, Jilid III, hal. 589. dan al-Sayyid Muhammad `Aliy Iyaziy, (selanjutnya disebut `Aliy Iyaziy) al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, Teheran : Wizarah al-Saqafah wa al-Irsyad al-Islamiy, 1373 H, hal. 512.

[21] Ali Rahnema, Para Perintis Zaman Baru Islam, Bandung : Mizan, Cet. I, 1416 H/1995 M, hal. 158.

[22] Ibid.

[23] Ditpertais Departemen Agama, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta : Depag, 1992/1993, hal. 1040.

[24] Afif Muhammad, Studi Tentang Corak Pemikiran Sayyid Quthb, Bandung : Mizan, 1996, hal. 84.

[25] Al-Khalidi, Sayyid Quthb al-Syahid al-Hayy, hal. 240-241.

[26] Ibid, hal. 242.

[27] Dalam menafsirkan al-Qur`an secara tahlily (analisis) ini, biasanya mufassir melakukan hal-hal sebagai berikut; a. menerangkan hubungan (munasabah) baik antara satu ayat dengan ayat lainnya ataupun stu surah dengan surah lainnya; b. menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat (asbab al-nuzul); c. Menganalisis mufradat (kosa kata) dan lafal dari sudut pandang bahas Arab. Untuk menguatkan pendapatnya, terutama dalam menjelaskan bahasa ayat yang bersangkutan, mufassir kadang-kadang juga mengutip syair-syair yang berkembang sebelum dan pada masanya; d. Memaparkan kandungan dan maksud ayat secara umum; e. menerangkan unsur-unsur fashahah, bayan dan i`jaznya bila dianggap perlu, khususnya bila ayat-ayat yang ditafsirkan mengandung keindahan balaghah; f. menjelaskan hukum yang dapat ditarik dari ayat yang dibahas, khususnya apabila ayat-ayat yang ditafsirkan adalah ayat-ayat ahkam; g. menerangkan makna dan maksud syara` yang terkandung dalam ayat bersangkutan. Sebagai sandarannya, mufassir mengambil manfaat dari ayat-ayat lainnya, hadis Nabi SAW, pendapat para sahabat dan tabi`in disamping ijtihad mufassir sendiri. Lihat M. Quraish Shihab et. al., Sejarah dan `Ulum al-Qur`an, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2000, hal. 173.

[28] `Aliy Iyaziy, loc. cit.

[29] Penjelasan lebih luas tentang masalah ini dapat dilihat dalam Manna` al-Qattan, Mabahis fi `Ulum al-Qur`an, t.tp: Mansyurah al-`Asr al-Hadits, t.t., hal. 374; Subhi Shalih, Mabahis fi `Ulum al-Qur`an, Beirut : Dar al-`Ilm li al-Malayin, 1988, hal. 181-194; Muhammad Ibn Muhammad Abu Syuhbah, al-Madkhal li Dirasat al-Qur`an al-Karim, Kairo : Maktabah al-Sunnah, 1412 H/1992 M, hal. 205-208.

[30] `Aliy Iyaziy, loc. cit.

[31] Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur`an, Jilid II, Kairo : Dar al-Syuruq, Cet. XVII, 1412 H/1992 M, hal. 204-205.

[32] `Aliy Iyaziy, op. cit., hal. 517.

[33] Ibid., hal. 515.

[34] Ahmad `Atiyatullah, loc. cit.

[35] `Aliy Iyaziy, loc. cit.

[36] Ibid.

[37] Tentang pengertian ini, lihat Quraish Shihab, et. al., op. cit., hal. 176.

[38] `Aliy Iyaziy, loc. cit.

[39] Abi al-Husain Ahmad Ibn Faris Ibn Zakariyya, (Selanjutnya disebut Ibn Faris) Mu`jam Maqayis al-Lughah, Juz V, t.tp : Dar al-Fikr, 1979, hal. 246.

[40] Ibid, hal. 86.

[41] Al-Raghib al-Ashfahani, Mufradat Alfadz al-Qur`an, Damsyik : Dar al-Qalam, 1992, hal. 670.

[42] Ibn Faris, op. cit., hal. 87.

[43] Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur`an, Jilid II, Kairo : Dar al-Syuruq, Cet. XVII, 1412 H/1992 M, hal. 690.

[44] Ibid.

[45] Ibid, hal. 776.

[46] Berkaitan dengan keadilan ini, Rasulullah menjelaskan dalam hadisnya; Wahai sekalian manusia, sesungguhnya orang-orang yang sebelum kamu telah sesat disebabkan mereka itu melaksanakan hukum atas orang-orang yang hina dan memaafkan orang-orang yang terhormat. Aku bersumpah, demi Allah, sekiranya Fatimah puteri Rasulullah mencuri sesuatu, niscaya kupotong tangannya. Lihat Abu Abdullah Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz IV, Bandung : Maktabah Dahlan, t.t., h. 2856.

[47] Ibid, hal. 852.

[48] Ibid, Jilid VI, hal. 3494.

[49] Ibid, Jilid IV, hal. 2190.

[50] Ibid, Jilid VI, hal. 3494.

[51] Ibid, hal. 3344.

[52] Ibid, Jilid VI, hal. 3495.